HOBBY MENGHINA
Pengamat politik, yang juga mantan dosen universitas negeri terkenal telah mencuit tulisan “Pakaian adat dengan kelakuan biadab. Ya bernilai sampah” di akun Twitter pribadinya, 16 Agustus 2021.
Tweet pengamat politik tersebut dianggap telah menghina dan mencemarkan nama baik tokoh yang baru saja mengenakan pakaian adat dalam forum resmi, yang tak lain adalah presiden Jokowi.
Memang dalam beberapa kesempatan pengamat politik ini seringkali menggunakan kata-kata yang berkonotasi menghina.
Sebuah penghinaan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengurangi status sosial penerima dan meningkatkan status si penghina.
Penghinaan sering kali dimotivasi oleh kemarahan yang melingkupi pribadi orang yang melakukannya.
Penghinaan sering kali merujuk pada status sosial seseorang dalam hal: keturunan, atau keanggotaan dalam kelompok luar yang dibenci (misalnya PKI) atau tanpa pekerjaan.
Selain status sosial dan seksualitas, penghinaan juga dilakukan dengan menimbulkan rasa malu dengan menyebutkan ciri-ciri yang tidak menarik dari jasmani seseorang seperti gemuk, pendek, botak, jerawatan, dan lain-lain.
Cara lain untuk menjatuhkan atau menghina seseorang adalah dengan menyinggung kecerdasan atau kompetensi mental umum penerima seperti "bodoh" atau "gila"
Bagi mereka yang senang menyebarkan hinaan, internet adalah lingkungan yang tepat, lingkungan dimana anonimitas bisa diterapkan dan kemungkinan tidak adanya konsekuensi hukum.
Mengapa beberapa orang begitu terdorong untuk menghina merugikan atau membenci orang lain?
Seperti yang pernah dikatakan penyair, novelis, dan pelukis Jerman-Swiss yang terkenal Hermann Hesse: "Jika Anda membenci seseorang, Anda membenci sesuatu dalam dirinya yang juga merupakan bagian dari diri Anda sendiri."
Menurut Eva Jajonie, psikoterapis klinis dari American Center for Psychiatry and Neurology di Abu Dhabi, "Ketika kekhawatiran dan perasaan tertekan, seperti kurangnya harga diri, pikiran dan perilaku yang merusak diri sendiri, rasa bersalah dan kemarahan, orang menggunakan hinaan untuk melepaskan kemarahan, untuk melarikan diri dari rasa sakit atau trauma yang dialami atau sebagai cara untuk mengendalikan orang lain dan merasa kuat."
Orang-orang menghina juga karena mereka mengulangi pola umum yang mereka alami di lingkungan dimana mereka pernah mendapat penghinaan seperti rumah, sekolah, dan tempat kerja, dan di mana penghinaan menjadi kebiasaan yang berfungsi untuk menangani atau menyelesaikan masalah.
Eva Jajonie mengatakan: "Bahkan media memainkan peran utama saat ini. Beberapa kartun, film, dan video game, misalnya, mengajarkan penghinaan dan kekerasan, yang memengaruhi anak-anak."
Kata-kata dan perilaku juga ditafsirkan secara berbeda oleh individu, tergantung pada nilai dan budaya setempat dimana mereka tinggal.
Ada kata atau perilaku yang dianggap tidak sopan atau menghina disatu tempat, tetapi dianggap biasa di tempat lain.
Walaupun demikian, kata-kata, atau kebiasaan -kebiasaan adalah budaya seseorang yang membentuk sikapnya dan bagaimana dia berfungsi.
Nilai-nilai lingkungan kita yang terinternalisasi, terkait dengan wilayah, negara, gender, dan sebagainya akan memainkan peran penting dalam bagaimana kita memahami apa yang dikatakan dan dilakukan kepada kita.
Apakah penghinaan terhadap diri kita bisa “diabaikan”?
Eva Jajonie
mengatakan. "Ingatlah bahwa penghinaan akan mempengaruhi Anda, tetapi tidak dapat memasuki pikiran Anda dan menghasilkan reaksi tertentu kecuali Anda mengizinkannya.
Anda adalah satu-satunya orang yang berkuasa atas pikiran dan perilaku Anda. Jadilah pejuang yang damai.
Anda akan memenangkan pertarungan dengan tidak bertarung sama sekali."
Pengamat politik yang dimaksud pada awal tulisan ini dan orang yang biasa melakukan penghinaan, telah meremehkan norma-norma Etiket, Etika, Agama, bahkan telah kehilangan hati nurani.
“Kemarahan selalu lebih berbahaya daripada penghinaan yang menyebabkannya”
Pepatah Cina
RTS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar