PENDAHULUAN
1. Demografi dan
Ilmu Kependudukan
Dalam perencanaan
pembangunan, data kependudukan memegang peranan yang sangat penting, makin
lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia, maka makin mudah dan tepat
rencana pembangunan itu dapat dibuat. Untuk dapat memahami keadaan kependudukan
di suatu daerah atau negara, maka perlu di dalami kajian Demografi.
Secara umum, gambaran penduduk atau statistik
dan data kependudukan sangat diperlukan terutama oleh para pembuat kebijakan
dikalangan pemerintah maupun nonpemerintah. Data tentang jumlah dan pertumbuhan
penduduk digunakan sebagai informasi dasar dalam pengembangan kebijakan
penurunan angka kelahiran, peningkatan pelayanan kesehatan, pengarahan
pesebaran penduduk, persediaan kebutuhan penduduk akan makanan, pendidikan, perumahan
dan lapangan pekerjaan.
Dalam dunia
politik, statistik kependudukan juga sangat dibutuhkan, antara lain untuk
mengestimasi jumlah suara pemilih dalam pemilihan umum. Demikian pula halnya
pada sektor industri dimana perusahaan yang memproduksi kebutuhan anak-anak
seperti pakaian, susu, dan mainan dapat menggunakan data jumlah penduduk usia
muda (usia 0 – 14 tahun) dan
karakteristiknya seperti distribusi umur, persebaran wilayah, dan komposisi
jenis kelamin untuk perencanaan tingkat produksi.
Selain itu data dan
statistik kependudukan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran sosial dan
ekonomi penduduk disuatu negara. Dari segi ketenagakerjaan, keadaan penduduk
dapat dilihat dari presentasenya menurut
bidang pekerjaan utama (pertanian,
industri dan jasa), status pekerjaan (formal dan informal), atau jenis kegiatan
(bekerja, sekolah atau mencari pekerjaan). Angka
harapan hidup pada saat lahir, yang menunjukan rata rata lamanya hidup
penduduk, sering kali dipakai untuk melihat peningkatan standar hidup.
Dari sudut perkembangan
ilmu itu sendiri, statistik kependudukan memegang peranan penting.
Penemuan-penemuan baru tentang apa yang terjadi secara empiris akan membentuk
teori baru dan teori tersebut akan diuji lagi dengan penemuan data empiris yang
terbaru dan demikian seterusnya.
Secara singkat, ilmu demografi sangat
bermanfaat untuk :
a.
Mempelajari kuantitas, komposisi dan distribusi penduduk dalam
suatu daerah tertentu serta
perubahan-perubahannya.
b.
Menjelaskan pertumbuhan masa lampau dan mengestimasi
pertumbuhan penduduk pada masa mendatang.
c.
Mengembangkan hubungan sebab akibat antara perkembangan
penduduk dan bermacam-macam aspek pembangunan sosial, ekonomi, budaya, politik,
lingkungan dan keamanan.
d.
Mempelajari dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
konsekuensi pertumbuhan penduduk pada masa mendatang.
2. Definisi Demografi
Demografi (demography) berasal dari dua suku kata
Yunani, yaitu
demos yang berarti rakyat atau
penduduk dan grafein yang berarti
menggambar atau menulis. Oleh karena itu demografi dapat diartikan sebagai
tulisan atau gambaran tentang penduduk. Istilah ini pertama kali dipakai oleh
Achille Guillard pada tahun 1855 dalam karyanya yang berjudul Ellements de Statistique Humaine, ou
Demographie compare atau Ellements of
Human Statistics or Comparative Demography.
Pengertian tentang demografi berkembang
seiring dengan perkembangan keadaan penduduk serta penggunaan statistik
kependudukan yang dialami oleh para penulis kependudukan pada zamannya.
Beberapa contoh tentang perkembangan pengertian demografi :
Johan Sussmilch (1762,dalam
Adioetomo,Sri M, 2011) berpendapat bahwa demografi adalah ilmu yang mempelajari
hukum Tuhan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan pada umat manusia yang
terlihat dari jumlah kelahiran, kematian dan pertumbuhannya.
Achille Guillard (1855) memberikan
definisi demografi sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu dari keadaan
dan sikap manusia yang dapat diukur, yaitu meliputi perubahan secara umum,
fisiknya, peradabannya, intelektualnya dan kondisi moralnya.
United Nations (1958) dan international
Union for the Scientific Study of Population/ IUSSP (1982) mendefinisikan
demografi sebagai studi ilmiah masalah penduduk yang berkaitan dengan jumlah,
struktur, serta pertumbuhannya. Masalah demografi lebih ditekankan pada studi
kuantitatif dari berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, yaitu
fertilitas, mortalitas dan migrasi. Ketiga faktor itu biasanya disebut sebagai
variabel demografi atau komponen pertumbuhan penduduk. Ketiga variabel
demografi tersebut ditambah dengan faktor lain seperti perkawinan, perceraian,
dan mobilitas sosial (perubahan status sosial) akan menentukan struktur atau
komposisi penduduk.
Donald J. Bogue (1969) mendefinisikan
demografi sebagai ilmu yang mempelajari secara statistik dan matematik jumlah,
komposisi, distribusi penduduk dan perubahan perubahannya sebagai akibat
bekerjanya komponen komponen pertumbuhan
penduduk yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas ), perkawinan,
migrasi dan mobilitas sosial.
George W. Barclay (1970) mendefinisikan
demografi sebagai ilmu yang memberikan gambaran secara statistik tentang
penduduk. Demografi mempelajari perilaku penduduk secara menyeluruh bukan perorangan.
Dengan mengacu kepada definisi definisi
di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu demografi merupakan suatu alat untuk
mempelajari perubahan perubahan kependudukan dengan memanfaatkan data dan statistik
kependudukan serta penghitungan secara matematik dan statistik dari data
penduduk terutama mengenai perubahan
jumlah, pesebaran dan komposisi/strukturnya. Perubahan perubahan tersebut
dipengaruhi oleh perubahan pada komponen komponen utama pertumbuhan penduduk,
yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi yang pada gilirannya menyebabkan
perubahan pada jumlah, struktur, dan pesebaran penduduk. Demografi memberikan
gambaran menyeluruh tentang perilaku penduduk, baik secara agregat maupun
kelompok.
Batasan formal demografi telah pula
diberikan oleh Hauser dan Ducan yang menyatakan : Demografi adalah studi
mengenai jumlah, distribusi territorial dan komposisi penduduk,
perubahan-perubahan yang bertalian dengannya serta komponen komponen yang
menyebabkan perubahan bersangkutan dapat diidentifikasi sebagai natalitas, mortalitas, gerak penduduk
teritorial dan mobilitas sosial (perubahan status).
Demografi dapat dilihat dalam makna yang
sempit, dalam hal ini sama dengan analisis demografi atau dalam makna yang
lebih luas mencakup baik analisis
demografi maupun studi kependudukan.
Pemisahan antara studi kependudukan dan
analisis demografi telah dilakukan oleh Hauser yang menyatakan bahwa :
a.
Analisis demografi merupakan analisis statistik terhadap
jumlah, distribusi dan komposisi
penduduk serta komponen-komponen variasinya dan perubahan; sedangkan,
b.
Studi kependudukan mempersoalkan hubungan antara variabel
demografi dan variabel dari sistem lain.
Demografi
murni (pure demography) atau dapat
juga disebut dengan demografi formal (formal
demography) hanya mendeskripsikan atau menganalisis variable-variabel
demografi, sebagai contoh hubungan antara naik turunnya tingkat fertilitas
dengan struktur demografi di suatu daerah. Kajian Demografi biasanya diampu
oleh ahli-ahli ilmu lain terutama ilmu-ilmu sosial (ilmu yang orientasi
pembahasannya adalah manusia) seperti sosiologi,ekonomi dan biologi. Sehubungan
dengan hal tersebut ,analisis demografi untuk suatu wilayah sangat tergantung
pada metode analisis ilmu yang mengampunya (lihat gambar 1) Namun demikian
demografi sebagai ilmu yang mempunyai metode tersendiri, terutama dalam
mengukur maupun membuat estimasi variabel demografi baik untuk masa lampau,
sekarang, dan masa mendatang.
Demografi
|
Antropologi
Sosial
|
Geografi
Sosial
|
Sosiologi
|
Gambar 1. Demografi dalam kajian
ilmu-ilmu lain (terutama ilmu-ilmu sosial)
3. Studi Kependudukan
Studi Kependudukan (Population Studies) merupakan istilah lain bagi Ilmu
Kependudukan yang digunakan disini.
Studi Kependudukan terdiri dari analisis-analisis yang bertujuan dan mencakup :
a.
Memperoleh informasi dasar tentang distribusi penduduk,
karakteristik dan perubahan-perubahannya.
b.
Menerangkan sebab sebab perubahan dari faktor dasar tersebut,
dan
c.
Menganalisis segala konsekuensi yang mungkin sekali terjadi
dimasa depan sebagai hasil perubahan-perubahan itu.
Introduksi istilah ilmu kependudukan
sesungguhnya dimaksudkan untuk memberikan pengertian yang lebih luas tentang demografi,
karena sejumlah ahli telah menggunakan istilah demografi untuk menunjuk pada demografi
formal, demografi murni atau kadang-kadang demografi teoritis.
Studi kependudukan dapat pula dilihat
sebagai penelitian makro demografi dan mikro demografi. Penelitian
makro demografi mencakup penelitian unit skala besar, agregat orang dengan
keseluruhan sistem kebudayaan dari masyarakat. Sasaran ruang lingkup daerah
penelitian makro demografi adalah benua, bangsa dan kesatuan kesatuan wilayah
yang luas seperti provinsi dan kota kota besar. Sedangkan penelitian mikro demografi
memusatkan diri atas individu, kesatuan kesatuan keluarga autonomous, kelompok-kelompok
kecil dan lingkungan ketetanggaan. Penelitian mikro demografi berlangsung pada
tingkat luas wilayah yang relatif kecil seperti disuatu desa di Indonesia.
4. Sejarah Dan
Perkembangan Demografi
Menurut sejarahnya upaya-upaya untuk
pencatatan statistik kependudukan sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu,
meskipun masih dilakukan dalam ruang lingkup yang kecil dan digunakan secara
terbatas. John Graunt (1620 – 1674)
seorang warga negara Inggris, dikenal sebagai pelopor dalam bidang pencatatan
statistik penduduk. Bukunya yang berjudul Natural
and Political Observations Mentioned in a Following Index and Made Upon the
Bills of Mortality (Graunt, 1662
dalam Iskandar,1994) sebagian besar berisi analisis mortalitas dan selebihnya
mengenai fertilitas, migrasi, perumahan, data keluarga, perbedaan antara kota
dan Negara dan jumlah penduduk laki laki yang berada pada kelompok umur
militer. Data yang digunakan dalam analisis kematian dan kelahiran tersebut
bersumber dari catatan kematian (The
Bills of Morality) yang diterbitkan secara berkala oleh petugas gereja
setiap minggu. Dari hasil penelitiannya itu Graunt
mencetuskan “hukum - hukum” .pertumbuhan penduduk.
Graunt menyarankan agar penelitian yang menyangkut penduduk lebih menekankan
aspek komposisi penduduk menurut jenis kelamin, Negara,umur, agama, dan
sebagainya. Keistimewaan dari pendekatan yang dipergunakan oleh Graunt adalah kehati-hatiannya dan
kekritisannya dalam pengumpulan data. Apabila informasi yang ada dirasakan terlalu
sedikit, maka Graunt mengambil sampel untuk melakukan estimasi. Ia melakukan
penelitian empiris terhadap jumlah dan perkembangan penduduk London pada masa
itu. Dari usaha Graunt dalam bidang
kependudukan yang mencakup topik-topik yang menarik dapat dikatakan bahwa ilmu
demografi lahir pada zamannya. Oleh karena itu Graunt dikenal pula sebagai
Bapak Demografi.
Setelah
era Graunt, perhatian publik terhadap masalah kependudukan, baik mengenai
pencatatan statistik maupun pertumbuhannya terus meningkat. Dalam sejarah
perkembangan ilmu demografi, timbul masalah mengenai pembagian cabang ilmu ini.
Awalnya, para pengamat berpendapat bahwa demografi lebih terfokus pada
penyusunan statistik penduduk dan analisisnya. Pendapat ini memang dapat
dimengerti karena pelopor pelopor ilmu demografi, seperti Sussmilch dan Guillard menganggap demografi sebagai bio-social book- keeping, yang artinya kelahiran sebagai faktor
penambah jumlah penduduk, sedangkan kematian sebagai faktor
pengurang jumlah penduduk. Kemudian beberapa pengamat membedakan masalah
penduduk menjadi dua, yaitu yang bersifat kuantitatif yang membahas tentang
jumlah, pesebaran serta komposisi penduduk, dan yang bersifat kualitatif yang membahas
masalah penduduk dari segi genetis dan biologis. Gagasan ini kurang mendapat
dukungan karena ternyata keduanya mengandung unsur kualitatif dan kuantitatif.
Berdasarkan
pengertian dan sejarah perkembangan demografi, maka demografi saai ini tidak saja
dipelajari secara murni, tetapi juga dipelajari secara lebih luas dengan
mengindahkan variabel-variabel nondemografis (sosial, ekonomi,
budaya, lingkungan dan politik). Dengan kata lain demografi bukan lagi
merupakan disiplin ilmu yang tersendiri, tetapi juga merupakan ilmu yang
bersifat interdisipliner.
Selain itu, dari
perkembangan aplikasi demografi, terutama dalam peranannya untuk menganalisis
fenomena kependudukan, dapat dikatakan bahwa ilmu demografi sangat berguna
sebagai instrumen atau alat analisis yang dapat dipakai untuk membedah pesoalan
persoalan yang berkaitan dengan permasalahan kependudukan pada umumnya. Demografi
berperan sebagai alat analisis (tools of
analysis) dengan kemampuannya mengembangkan indikator indikator
kependudukan. Indikator kependudukan dapat dijadikan tolok ukur perbandingan
keadaan demografi sekelompok penduduk tertentu dengan kelompok penduduk yang
lain, atau perbandingan antarwaktu dalam analisis tren kependudukan. Hal ini
sangat berguna, baik untuk memonitor kemajuan maupun memonitor hasil hasil
pembangunan sosial dan ekonomi.
5. Sejarah
Pertumbuhan Penduduk Dunia
Pembahasan
transisi demografi tidak terlepas dari persoalan pertumbuhan penduduk, oleh
karena itu perlu kiranya mengetahui persoalan penduduk dan sejarah
pertumbuhannya. Pada permulaan tahun Masehi, 1 AD, jumlah penduduk dunia
diperkirakan masih sekitar 250.000.000 jiwa dengan angka pertumbuhan sekitar
0,04 % per tahun. Tingkat pertumbuhan penduduk yang amat rendah ini bertahan
dalam waktu yang cukup lama, berabad-abad dan kemudian terjadi suatu ledakan
jumlah penduduk yang dimulai sebelum abad ke 18. Pada permulaan revolusi
industri tahun 1750, jumlah penduduk dunia meningkat menjadi sekitar 790 juta.
Pada abad berikutnya, kemajuan teknologi
di Eropa dan di beberapa belahan dunia lain, mulai memperlihatkan dampaknya. Penemuan
obat obatan (seperti penisilin) dan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan
amat mengurangi berbagai penyakit. Selain itu penemuan alat transportasi
berdampak pada perluasan perdagangan yang membuat persediaan bahan pangan lebih
mudah didapat dan pada gilirannya memperbaiki nutrisi penduduk. Tingkat
kematian yang tinggi pada abad sebelumnya mulai menurun dan angka harapan hidup
mulai meningkat secara perlahan- lahan. Sementara itu, angka fertilitas masih
tetap tinggi sehingga selisih angka fertilitas dan angka kematian semakin besar. Sebagai akibatnya, terjadi
ledakan jumlah penduduk yang amat cepat, mencapai 1,7 miliar pada permulaan
tahun 1900 dan mencapai 2 miliar pada tahun 1930. Pada tahun 1950, jumlah ini
telah bertambah menjadi 2,5 miliar. Jumah ini genap mencapai 6 miliar pada
tahun 1999 ( Gelbard, Haub dan Kent, 1999). Satu tahun kemudian, yaitu
tahun 2000, penduduk dunia bertambah 55 juta jiwa atau menjadi 6.055 miliar, dan
pada 31 Oktober 2011 sudah mencapai 7 miliar.
Terjadinya
peningkatan jumlah penduduk yang cukup tajam ini menandai masuknya era modern
dari sejarah demografi yang dinyatakan sebagai transisi demografi tahap kedua.
Transisi demografi ini terjadi bersamaan dengan perubahan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi modern. Perubahan prilaku masyarakat agraris ke masyarakat
modern bersamaan dengan terjadinya industrialisasi dan urbanisasi dianggap
mempunyai dampak pada perubahan perilaku demografi.
Di
negara maju, tahap transisi demografi yang terjadi pada abad ke- 20 mencapai
titk kematangannya, yang ditandai dengan terjadinya penurunan angka kelahiran
dan kematian sampai pada titik terendah. Pada masa setelah perang dunia II,
angka pertmbuhan penduduk di negara-negara tersebut telah menunjukan
tanda-tanda mencapai di bawah angka satu
persen. Bahkan pada periode 1995-2000, angka pertumbuhan penduduk rata-rata
untuk beberapa negara maju, seperti Swedia, Perancis, dan Jepang mencapai angka
yang sangat rendah, masing-masing sebesat 0,11 %, 0,37 % dan 0,25 % pertahun, sementara
Australia dan Singapura masih mempunyai angka pertumbuhan penduduk diatas 1 %,
yang disebabkan karena imigrasi.
Sementara
itu negara-negara yang dikelompokkan oleh United
Nations Development Programme (UNDP) sebagai negara dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sedang, mempunyai pertumbuhan penduduk sekitar satu
sampai dua persen per tahun, kecuali China yang telah mampu menurunkan angka
pertumbuhan penduduk menjadi 0,88 % per tahun. Sementara itu negara-negara
dengan IPM rendah masih harus berjuang menurunkan angka pertumbuhan penduduk
yang masih berada diatas 2 % per tahun (kecuali Zimbabwe).
6. Sejarah Kependudukan
di Indonesia
Indonesia
saat ini merupakan Negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia
setelah China, India, Amerika. Kedudukan ke empat ini diperoleh setelah terjadi
perubahan politik di Uni Soviet yang menyebabkan pecahnya Negara itu.
Menurut sejarah,
berdasarkan penemuan fosil manusia purba di Jawa, Indonesia diperkirakan sudah
dihuni sejak zaman prasejarah. Berdasarkan penelitian mengenai bahasa,
cara-cara dan peralatan pertanian diperkirakan pada masa tersebut telah
terrjadi migrasi penduduk dari China Selatan melalui Semenanjung Melayu ke
pulau-pulau di Indonesia. Migrasi ini terjadi dua kali yaitu sekitar 3000 SM
dan 300 SM. Migrasi yang lain ialah migrasi dari India yang masuk ke Indonesia
dengan membawa kebudayaan Hindu.
Sejak zaman
prasejarah sampai dengan zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia informasi yang
jelas mengenai jumlah, komposisi, pesebaran dan perubahan-perubahan penduduk
tidak ada.meskipun beberapa sumber menyebutkan bahwa pada saat itu sudah ada
perhitungan jumlah penduduk melalui cacah (rumah tangga) untuk kepentingan
kekuatan perang, informasi tersebut bersifat lokal dan tidak tercatat dengan
jelas, sehingga data yang diperoleh hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan.
Informasi kependudukan baru diperoleh pada masa pemerintah Belanda mulai
berkuasa di Indonesia, yaitu kira-kira pada abad ke-17. Informasi tersebut
terbatas pada informasi penduduk di pulau Jawa yang dikumpulkan melalui
berbagai catatan resmi dan tidak resmi. karena pengumpulan data masih sangat
sederhana, mutu data yang dikumpulkan juga rendah. Hal ini menyebabkan data
penduduk pulau Jawa saat itu diperoleh dari berbagai estimasi.
Informasi kependudukan ini penting bagi Belanda untuk berbagai keperluan,
misalnya untuk pertanian dan kekuatan perang.
Dengan demikian sejarah kependudukan di
Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi empat periode yaitu periode
sebelum pemerintahan Belanda, periode pemerintahan Belanda, periode perang
kemerdekaan 1940-1950 dan periode kemerdekaan sampai dengan sekarang.
a. Periode sebelum Pemerintahan Belanda
Periode yang
dimaksud yaitu periode kerajaan-kerajaan di pulau Jawa, mulai dinasti Mataram
Hindu sampai dengan Mataram Islam. Mc
Donald (1980) memperkirakan jumlah penduduk Pulau Jawa pada akhir masa
kerajaan Mataram Hindu (abad ke-10) sebesar 5 juta jiwa. Perkiraan Mc Donald didasarkan pada perkiraan
bahwa untuk waktu yang sangat lama, pertumbuhan penduduk di pulau Jawa
mengalami kemandegan (stagnasi). Hal ini disebabkan oleh kemunduran
pemerintahan, penurunan kontrol sosial, perang, epidemik penyakit, bencana
banjir dan letusan gunung berapi.
Dari berbagai
temuan candi-candi di Jawa, tampak adanya pengelompokan candi pada
daerah-daerah yang subur, seperti yang terdapat di Prambanan, Mendut, Borobudur
dan sekitarnya. Penemuan tersebut dapat digunakan sebagai pemusatan-pemusatan
penduduk. hal ini diperkuat dengan penemuan
bekas-bekas desa di wilayah Kabupaten Klaten akhir-akhir ini. Hugo
(1987) menyatakan bahwa pada abad ke- 14 dan ke- 15 (era Majapahit), Jawa
dicirikan sebagai daerah dengan masyarakat yang sudah maju dalam pertanian dan
irigasi, stabil dala politik dan pemerintahan. Pada periode ini migrasi
penduduk antar pulau sudah dilakukan, seperti migrasi yang terjadi antara
Kerajaan Mataram di Jawa dengan Sriwijaya di Sumatera. Migrasi terjadi karena
adanya hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada dalam bidang politik,
ekonomi, perdagangan dan hubungan kekerabatan. Pepatah yang menyatakan bahwa
bangsa Indonesia merupakan bangsa bahari terbukti dengan adanya perdagangan
dengan negara-negara lain diluar Jawa melalui hubungan laut.
b. Periode
Pemerintahan Belanda
Seperti
Negara-negara Asia lainnya, Indonesia tidak mempunyai informasi kependudukan yang jelas sampai pada masa
pemerintahan Raffles (1815). Rafles
menghitung penduduk melalui registrasi penduduk, dengan mencatat semua penduduk
melalui kepala desa/dusun masing-masing melalui sistem sewa tanah. Sebelum masa
itu, angka jumlah penduduk Indonesia hanya berdasarkan perkiraan semata-mata.
Pada abad 19, sebagian investasi dan aktivitas pemerintah kolonial Belanda
dipusatkan di pulau jawa karena selain letaknya yang strategis, lahannya yang
subur sangat menguntungkan bagi usaha pertanian dan perkebunan (Mohr 1938 dalam Mantra 1990). Pembangunan
yang dilaksanakan di Jawa membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain angka
pertumbuhan penduduk alami yang tinggi, banyak pula migran masuk ke Pulau Jawa.
Peningkatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa akhirnya dianggap serius
oleh pemerintah, sehingga di ambil kebijakan untuk memindahkan sebagian
penduduk dari daerah padat di pulau jawa ke pulau sumatera. Kegiatan ini di
kenal Kolonisasi. Kolonisasi pertama dilakukan tahun 1905 dengan memindahkan
105 petani dari Kedu ke Gedong Tataan di Lampung. Karena biaya kolonisasi di
anggap tinggi, usaha pemerataan persebaran penduduk lebih di tekankan pada
migrasi tenaga kerja ke perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur (kuli kontrak).
Proyek kolonisasi ini kemudian di teruskan oleh pemerintah Indonesia dengan
nama Transmigrasi. Keseriusan pemerintah dalam menangani transmigrasi ini
terlihat dengan ditetapkannya Djawatan Transmigrasi tahun 1947 (sekarang
Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan transmigrasi.
c. Periode Perang Kemerdekaan (1940-1950)
Kondisi kependudukan paling parah
terlihat pada periode ini, yaitu di mulai pada waktu Jepang mengambil alih
kekuasaan dari Belanda. Dibawah pemerintahan Jepang, kondisi perekonomian
Indonesia sangat buruk. Beberapa jenis komoditas seperti tekstil, alat-alat
pertanian, komoditas makanan pangan menghilang dari pasaran. Jepang mengambil
alih semua jenis komoditas tersebut untuk menyokong pembiayaan angkatan perang
mereka. Pada periode ini dilakukan mobilisasi tenaga kerja (Romusha) untuk
dipekerjakan di perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek pertahanan tentara
Jepang, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar Negeri. Pada masa ini
tidak terdapat data mengenai berapa jumlah kematian para pekerja Romusha
tersebut. Keyfitz dan Nitisastro
(1962) memperkirakan bahwa angka kematian di antara pekerja tersebut tinggi,
ini disebabkan karena kelaparan, penyakit, dan kemiskinan.
Sesudah kemerdekaan diproklamasikan pada tahun 1945, keadaan Indonesia
masih diliputi suasana perang untuk mempertahankan kemerdekaan (1947-1948).
Pada masa ini terjadi migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pejuang
kemerdekaan akibat pendudukan kota-kota besar oleh Belanda. Perang kemerdekaan
tersebut menyebabkan menurunnya angka kelahiran dan meningkatnya angka kematian
di Indonesia.
d. Periode Paska Perang Kemerdekaan
Walaupun perang
kemerdekaan sudah berakhir tetapi keadaan politik di Indonesia belum stabil.
Banyaknya pemberontakan PRRI/Permesta sampai dengan Komunis terus-menerus
berlangsung sampai tahun 1965. Kondisi ketidak stabilan politik tersebut
ternyata tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk di Indonesia. Angka
pertumbuhan penduduk tetap tinggi, sebagai akibat kebijakan pemerintahan
Soekarno yang pronatalis. Kebijakan
pronatalis ini juga menyebabkan banyaknya perkawinan dan kelahiran pada masa
itu. Angka kelahiran kasar diperkirakan 47,31 pada tahun 1950. Sedangkan jumlah
penduduk diperkirakan mencapai 77,2 juta pada tahun 1950. Dari jumlah tersebut
sekitar 50,5 juta berada di pulau jawa.
Angka kematian pada
tahun 1950-an tidak banyak mengalami penurunan di bandingkan periode
sebelumnya. Hal ini terjadi karena adanya serangan cacar pada tahun 1950.
Nitrisastro (1970) mencatat bahwa hasil registrasi penduduk yang dilakukan di
daerah Wonosobo menunjukan angka kelahiran kasar sebesar 21,3 pada tahun 1958.
e. Periode 1960-1990
Pada periode ini
data di peroleh dari Sensus Penduduk Indonesia tahun 1961, 1971, 1980, dan
1990. Belajar dari pengalaman selama kegagalan pemerintahan orde lama dalam
bidang ekonomi, pada era pemerintahan orde baru kebijakan peningkatan
perekonomian menjadi titik perhatian utama. Jumlah penduduk yang besar tanpa di
imbangi sumber daya manusia yang baik, hanya akan menambah beban bagi
perekonomian Negara. Oleh karena itu, kebijakan pronatalis mulai ditinggalkan
dan pada awal tahun 1970 kebijakan Keluarga Berencana yang mengatur jumlah
maupun jarak kelahiran mulai di berlakukan di pulau Jawa dan Bali. Setelah
program tersebut berjalan dengan baik dilakukan perluasan program KB keseluruh
daerah di luar Jawa-Bali.
Kegiatan Keluarga
berencana ini selain ditujukan untuk pembatasan kelahiran, juga ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memberi kesempatan pada perempuan untuk
mengembangkan diri. Walaupun penurunan kelahiran juga disebabkan oleh perluasan
Pendidikan perempuan, penigkatan usia kawin, dan perluasan kesempatan kerja,
diakui bahwa peran Keluarga Berencana dalam penurunan kelahiran terlihat nyata.
Keberhasilan
Keluarga Berencana dalam bentuk penurunan angka kelahiran berdampak pula pada angka
pertumbuhan penduduk. Hal ini juga ditunjang dengan penurunan angka kematian,
terutama dengan kematian bayi. Besarnya angka kematian bayi biasa digunakan
sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Angka kematian bayi
(IMR) telah menurun dengan pesat selama masa pemerintahan orde baru. Jika kita
menengok kebelakang setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1961 dilakukan
sensus penduduk yang pertama. Hasil sensus penduduk 1961 menunjukan jumlah
penduduk Indonesia 97 juta. Dari hasil sensus penduduk tersebut diketahui bahwa
sekitar 60% penduduk Indonesia mengelompok di pulau Jawa dan Madura, yang
luasnya hanya 6,9% dari luas daratan Indonesia. Pada tahun 1980 penduduk yang
bertempat tinggal di pulau Jawa meningkat menjadi 61,91%. Pada tahun 1990 angka
tersebut menurun menjadi 59,99% (BPS 1992).
Dalam kurun waktu
10 tahun penduduk pulau jawa mengalami penurunan prosentase jumlah penduduk.
Sedangkan di pulau-pulau lain terjadi peningkatan. Penurunan prosnetase di
pulau Jawa dan peningkatan penduduk di pulau-pulau lain disebabkan arus migrasi
dari pulau Jawa ke pulau-pulau lain, serta penurunan angka kelahiran yang lebih
cepat di pulau Jawa.
Migrasi yang
terjadi akhir-akhir ini menunjukan perubahan arah dari Indonesia bagian barat
ke Indonesia bagian timur. Perubahan arus migrasi terjadi karena kebijakan
pemerintah untuk mengalihkan migrasi penduduk yang menuju pulau Sumatera ke
pulau-pulau lain di Indonesia bagian timur. Selain itu, pertumbuhan pusat
ekonomi di Indonesia timur juga menarik minat penduduk pulau Jawa untuk datang
ke bagian timur Negara ini.
Mantra (1990)
mengatakan bahwa selain penduduk Indonesia mengelompok pada pulau yang relatif
sempit, lebih dari 50% penduduk Indonesia bertempat tinggal di Pedesaan dengan
mata pencarian pokok di bidang pertanian. Masih tingginya angka pertumbuhan
penduduk dan makin berkurangnya lahan pertanian karena digunakan untuk
keperluan non pertanian (misalnya untuk perkantoran, terminal bus, dan tempat
rekreasi) telah mengurangi secara drastis rata-rata pemilikan lahan pertanian
oleh petani.
Karena pemilikan
luas tanah yang makin menyempit, langkanya pekerjaan di desa menyebabkan arus migrasi
dari pedesaan ke perkotaan meningkat. Arus migrasi tersebut ikut menyumbang
pada peningkatan jumlah penduduk perkotaan dewasa ini. Kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan merupakan sasaran utama pelaku
mobilitas menuju kota. Pada periode tahun 1971-1980 kelima kota besar di atas
menyumbang 30,5% dari pertumbuhan perkotaan Indonesia yaitu 3.781.535 orang
dari 12.380.392 orang (Alatas 1988).
Data ini memberi gambaran terkonsentrasinya penduduk di kota-kota besar.
Ketimpangan
persebaran penduduk di Indonesia sangat menghambat proses pembangunan, karena
itu sangat penting melaksanakan program redistribusi penduduk bagi seluruh
wilayah Indonesia. Dari sudut manapun kita memandang, program redistribusi
penduduk ini mempunyai nilai yang sangat penting. Dari segi ekonomi, program
redistribusi penduduk berarti menyediakan tenaga kerja serta keterampilan baik
untuk perluasan produksi di daerah-daerah maupun pembukaan lapangan kerja baru.
Disamping itu, akan timbul integrasi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, baik
nasional maupun daerah. Ditinjau dari aspek ideologi, redistribusi penduduk
berfungsi untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Dari aspek
politik hal ini merupakan alat pembauran etnik, mempersempit kesenjangan kelas
dan wilayah, serta dapat meningkatkan hubungan antar kelompok. Dilihat dari
segi pertahanan keamanan, redistribusi penduduk juga di nilai dapat mewujudkan
terciptanya sistem pertahanan rakyat semesta (sishankamrata). Terhadap sumber
daya alam, redistribusi penduduk di anggap dapat meningkatkan pengamanan dan
sekaligus pemanfaatannya.
Dengan dimulainya
pelita satu pada tahun 1969 terjadilah perubahan tujuan dari transmigrasi.
Program ini sekarang dikaitkan dengan usaha pembangunan daerah. Jadi, penyelenggaraan
transmigrasi merupakan hakikat pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangun seluruh masyarakat
Indonesia.
BAB II
KONSEP DEMOGRAFI
1.
Fertilitas
Fertilitas adalah
kemampuan menghasilkan keturunan yang dikaitkan dengan kesuburan wanita.
Fekunditas atau kesuburan adalah kemampuan fisik seorang wanita untuk
melahirkan anak. Wanita yang tidak dapat melahirkan anak dikatakan mandul (infecund/infertile). Fertilitas, dalam
perkembangannya, diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata (bayi lahir
hidup) dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Istilah lainnya adalah
natalitas dan kelahiran(birth).
a. Pengukuran
Fertilitas Tahunan
Fertilitas diukur
dari kelahiran hidup. Ukuran-ukuran fertilitas tahunan meliputi:
1)
Tingkat kelahiran kasar (crude
birth rate)
2)
Tingkat fertilitas umum (general
birth rate)
3)
Tingkat fertilitas menurut umur (age specific fertility rate)
4)
Tingkat fertilitas menurut urutan kelahiran (birth order specific fertility rate)
a) Tingkat Kelahiran Kasar
Tingkat
fertilitas kasar adalah banyaknya kelahiran hidup pada suatu tahun tertentu
tiap 1000 penduduk pada pertengahan tahun. Formulanya adalah:
dimana:
CBR =
Crude Birth Rate atau tingkat kelahiran
kasar
B =
jumlah kelahiran pada tahun tertentu
Pm = penduduk pertengahan tahun
k =
bilangan konstan 1000
b) Tingkat
Fertilitas Umum
Tingkat
fertilitas umum adalah perbandingan jumlah kelahiran dengan jumlah penduduk
perempuan usia subur (15 – 49 tahun). Formulanya adalah:
dimana:
GFR = General
Fertility Rate atau tingkat fertilitas kasar
B = jumlah kelahiran pada tahun tertentu Pf(15 – 49)
= jumlah penduduk perempuan
umur 15–49 tahun
pada pertengahan tahun
k = bilangan konstan 1000
c) Tingkat Fertilitas Umur
Tingkat fertilitas umur adalah tingkat fertilitas perempuan pada tiap-tiap kelompok umur.
Formulanya adalah:
di mana:
ASFRi = Age
Specific Fertility Rate atau tingkat fertilitas
kelompok umur
B = jumlah kelahiran pada tahun tertentu
Pfi =
jumlah perempuan kelompok umur i
pada
pertengahan
tahun
k = bilangan konstan 1000
d) Tingkat
Fertilitas Urutan Kelahiran
Tingkat fertilitas menurut urutan
kelahiran adalah tingkat fertilitas perempuan menurut urutan kelahiran.
Formulanya adalah:
dimana:
BOSFR = Birth Order Specific Fertility Rate atau
tingkat
fertilitas urutan
kelahiran
Boi = jumlah kelahiran urutan ke I Pf(15 – 49)
Pf = jumlah
penduduk perempuan umur 15 – 49 tahun pada pertengahan tahun
k =
bilangan konstan 1000
b. Pengukuran
Fertilitas Kumulatif
Fertilitas
kumulatif mengukur rata-rata jumlah anak laki-laki dan perempuan yang
dilahirkan oleh seorang perempuan pada saat memasuki usia subur hingga
melampaui batas reproduksinya (usia 15-49 tahun).
Ukuran fertilitas kumulatif meliputi:
1)
Tingkat fertilitas total (total
fertility rates)
2)
Tingkat reproduksi kasar (gross
reproduction rates)
3)
Tingkat reproduksi bersih (net reproduction rates)
a)
Tingkat Fertilitas Total
Tingkat
fertilitas total adalah jumlah kelahiran hidup laki-laki dan perempuan tiap
1000 penduduk yang hidup hingga akhir masa reproduksinya, dengan catatan:
(1)
tidak ada seorang perempuan yang meninggal sebelum mengakhiri
masa reproduksinya,
(2)
tingkat fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode
waktu tertentu.
Formulanya adalah:
dimana:
TFR = total fertility rate atau tingkat fertilitas total
ASFRi = tingkat fertilitas menurut kelompok umur ke-i
dari
Kelompok berjenjang
5 tahunan
b)
Tingkat Reproduksi Kasar
Tingkat reproduksi
kasar adalah jumlah kelahiran bayi perempuan oleh 1000 perempuan sepanjang masa
reproduksinya dengan catatan tidak ada seorang perempuan pun yang meninggal
sebelum mengakhiri masa reproduksinya. Formulanya adalah:
dimana:
GRR = gross reproduction rate atau tingkat kelahiran kasar
ASFRfi = tingkat fertilitas menurut
kelompok umur ke-i dari
kelompok berjenjang 5 tahunan untuk bayi
perempuan
c) Tingkat Reproduksi Bersih
Tingkat reproduksi
bersih adalah jumlah kelahiran bayi perempuan oleh sebuah generasi hipotesis
dari 1.000 perempuan dengan memperhitungkan kemungkinan meninggalnya
perempuan–perempuan tersebut sebelum mencapai akhir masa reproduksinya.
Formulanya adalah:
dimana:
NRR = Net reproduction rate atau tingkat kelahiran kasar
ASFRfi = tingkat fertilitas menurut kelompok umur ke-i
dari
kelompok berjenjang 5
tahunan untuk bayi
perempuan
nLx = jumlah perempuan yang bertahan
hidup sampai
tepat umur
x.
Lo = jumlah bayi perempuan yang lahir
pada tahun
anggapan ke-0
2. Migrasi
Migrasi
adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat
lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administratif/batas bagian
dalam suatu negara. Terdapat dua dimensi dalam migrasi, yaitu dimensi waktu dan
dimensi tempat. Badan Pusat Statistik menggunakan referensi waktu enam bulan
untuk menentukan seseorang telah menetap di suatu tempat untuk dianggap sebagai
penduduk setempat.
Dalam dimensi
tempat, migrasi dibedakan menjadi migrasi antar negara dan migrasi internal.
Migrasi antar negara adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara
lain atau disebut sebagai migrasi internasional. Migrasi internal adalah
perpindahan penduduk yang terjadi dalam suatu negara, misalnya perpindahan
antar provinsi, kota, atau kesatuan administratif lainnya.
a. Faktor-faktor Penyebab Migrasi
Faktor penyebab migrasi dikelompokkan menjadi dua yaitu
faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penarik. Faktor-faktor pendorong
diantaranya adalah:
·
Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan, misalnya
menurunnya daya dukung lingkungan, atau menurunnya permintaan atas
barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil
tambang, kayu, atau bahan-bahan dari pertanian.
·
Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal
·
Adanya tekanan politik, agama, dan suku sehingga mengganggu
hak asasi penduduk di daerah asal.
·
Pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.
·
Bencana alam, misalnya banjir, kebakaran, gempa bumi, musim
kemarau panjang, atau wabah penyakit.
Faktor-faktor
penarik diantaranya adalah:
·
Harapan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kehidupan.
·
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
·
Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan,
misalnya iklim, perumahan, sekolah, dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.
·
Aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, atau pusat
kebudayaan yang merupakan daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk
bermukim di kota besar.
b. Ukuran
Migrasi
1) Angka Mobilitas (m)
Angka mobiitas umum
menunjukkan perbandigan antara jumlah penduduk dalam siatu periode tertentu
dengan jumlah penduduk yang berisiko pindah.
dimana:
m = angka mobilitas
M = jumlah perpindahan
P = penduduk yang berisiko
Lo = konstanta (1.000)
2) Angka Migrasi Masuk (mi)
Angka
yang menunjukkan banyaknya migran yang masuk per 1.000 orang penduduk daerah
tujuan dalam waktu satu tahun.
di
mana:
m =
angka migrasi masuk
M =
jumlah migran masuk
P =
penduduk pertengahan tahun
Lo =
konstanta (1.000)
3) Angka Migrasi Keluar (mo)
Angka yang menunjukkan banyaknya migran
yang masuk per 1.000 orang penduduk daerah tujuan dalam waktu satu tahun.
dimana:
mo = angka migrasi keluar
M =
jumlah migran keluar
P =
penduduk pertengahan tahun
Lo = konstanta (1.000)
4)
Angka Migrasi Neto (mn)
Angka yang menunjukkan selisih banyaknya
migran masuk dan keluar, ke dan dari suatu daerah per 1.000 orang penduduk
dalam waktu satu tahun.
dimana:
mn = angka migrasi neto
O =
jumlah migran keluar
I =
jumlah migran masuk
P =
penduduk pertengahan tahun
Lo =
konstanta (1.000)
5) Angka
Migrasi Bruto (mg)
Angka yang
menunjukkan banyaknya kejadian perpindahan, yaitu jumlah migrasi masuk dan migrasi
keluar dibagi jumlah penduduk tempat asal dan jumlah penduduk tempat tujuan.
dimana:
mg = angka migrasi bruto
O =
penduduk pertengahan tahun di tempat tujuan
P1 = penduduk pertengahan tahun di tempat asal
P2 = penduduk pertengahan tahun
Lo =
konstanta (1.000)
c. Urbanisasi
Urbanisasi
adalah bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah perkotaan yang
disebabkan oleh pertambahan penduduk wilayah perkotaan, perpindahan penduduk ke
perkotaan, dan atau akibat dari perluasan daerah perkotaan. Terdapat dua indeks
yang dipakai mengukur derajat urbanisasi, yaitu:
1)
Persentase penduduk perkotaan (Pu)
yang formulanya adalah
sebagai
berikut:
dimana:
Pu = persentase penduduk perkotaan
U =
penduduk daerah perkotaan
P =
penduduk total
2) Rasio penduduk perkotaan-pedesaan, yang
formulanya adalah sebagai berikut:
dimana:
U =
penduduk perkotaan
R =
penduduk pedesaan
k =
konstanta (100)
3. Komposisi dan
Persebaran Penduduk
Studi
demografi menekankan tiga fenomena yang merupakan bagian penting dari perubahan
penduduk, yaitu:
a.
Dinamika kependudukan
b.
Komposisi penduduk
c.
Jumlah dan distribusi penduduk
Pengetahuan
mengenai komposisi penduduk sangat berguna untuk berbagai maksud dan tujuan,
seperti:
1)
Mengetahui sumber daya manusia yang ada menurut umur, jenis
kelamin maupun karakteristik lainnya;
2)
Mengembangkan suatu kebijakan yang berhubungan dengan
pembangunan berwawasan kependudukan;
3) Menyediakan sarana, prasarana, serta
fasilitas yang diperlukan;
4)
Membandingkan keadaan suatu penduduk dengan keadaan penduduk
lainnya;
5)
Mengetahui “proses demografi” yang telah terjadi pada
penduduk melalui piramida penduduk.
Komposisi Penduduk.
Pengelompokkan
penduduk berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik tertentu secara umum dapat diklasifikasikan menurut:
(1)
Karakteristik demografi, yaitu: umur, jenis kelamin, jumlah wanita
usia subur, dan jumlah anak;
(2)
Karakteristik sosial, diantaranya tingkat pendidikan dan
status perkawinan;
(3) Karakteritik
ekonomi, diantaranya kegiatan penduduk yang aktif secara ekonomi, lapangan
usaha, status dan jenis pekerjaan, serta tingkat pendapatan;
(4)
Karakteristik geografis atau persebaran, diantaranya
berdasarkan tempat tinggal, daerah perkotaan-pedesaan, provinsi, dan kabupaten.
Berdasarkan komposisi penduduk
tersebut maka berbagai indikator yang umum digunakan dalam penyajian data
penduduk, diantaranya adalah:
§ Umur median;
§ Rasio ketergantungan;
§ Rasio jenis kelamin;
§ Angka partisipasi sekolah (kasar dan
murni);
§ Angka melek huruf.
a. Piramida
Penduduk
Selain dengan
metode numerik, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat
digambarkan secara visual pada sebuah grafik yang disebut Piramida Penduduk.
Penggambaran suatu piramida penduduk dimulai dengan menggambarkan dua garis
yang saling tegak lurus. Garis yang vertikal menggambarkan umur penduduk mulai
dari nol lalu naik, dengan skala tahunan atau lima tahunan. Garis horisontal
menggambarkan jumlah penduduk tertentu baik secara absolut maupun relatif
(dalam persen). Bentuk-bentuk piramida penduduk ditentukan oleh tiga proses
demografi, yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan
penduduk (mobilitas).
Berdasarkan
komposisi umur dan jenis kelamin penduduk dari suatu negara, piramida penduduk
dapat dibedakan atas tiga ciri:
1) Ekspansive: lebar pada bagian dasar piramida, menunjukkan proporsi
penduduk muda yang besar dan kecilnya proporsi penduduk tua, serta pertumbuhan
penduduk yang tinggi. Contohnya adalah Indonesia dan Meksiko pada tahun
1970-an.
2) Constrictive: bagian dasar piramida kecil dan sebagian besar penduduk
masih berada dalam kelompok umur muda. Contohnya Amerika Serikat pada tahun
1970.
3) Stationary: bagian dasar piramida kecil, penduduk dalam tiap kelompok
umur hampir sama banyaknya dan mengecil pada usia tua. Contoh Swedia pada tahun
1970.
b. Persebaran
Penduduk
Persebaran
penduduk di muka bumi umumnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Persebaran penduduk secara geografis
Persebaran penduduk
di dunia menurut geografisnya pada umumnya tidak merata. Ketidakmerataan ini
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor alam (kesuburan tanah
dan iklim), sosial dan ekonomi (ketersediaan sarana dan prasarana), serta
faktor budaya dan politik.
2) Persebaran penduduk berdasarkan administrasi
pemerintahan
Pasal 2
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menetapkan bahwa wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia dibagi menjadi daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah
kota yang bersifat otonom. Selain itu, persebaran penduduk dapat dikategorikan
menurut tempat tinggal yaitu perkotaan dan pedesaan.
Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
menjelaskan:
·
Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial dan kegiatan ekonomi.
·
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, serta kegiatan ekonomi.
Deskripsi
pedesaan-perkotaan yang diberikan oleh Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
terlalu deskriptif, sehingga pada Sensus Penduduk tahun 1980 dan 1990 digunakan
tiga indikator untuk menentukan daerah perkotaan sebagai berikut:
·
Indikator kependudukan, yaitu kepadatan penduduk per
kilometer persegi.
·
Indikator kegiatan ekonomi, yaitu persentase rumah tangga
yang bekerja di sektor pertanian.
·
Indikator fasilitas perkotaan, yaitu jumlah fasilitas urban,
yang pada tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik dimodifikasi menjadi kombinasi
antara keberadaan dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan.
4. Perkawinan dan
Perceraian
a. Perkawinan
Terdapat dua bentuk
perkawinan, yaitu:
1) Perkawinan de facto: bentuk hubungan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat stabil, jangka panjang,
yang mirip dengan sebuah perkawinan tetapi tanpa suatu ikatan hukum yang pasti
(consensual union).
2) Perkawinan de jure: penyatuan legal antara dua
orang yang berlainan jenis kelamin sehingga menimbulkan hak dan kewajiban
akibat perkawinan.
Badan Pusat Statistik mengelompokkan status
perkawinan sebagai berikut:
1) Belum kawin, yaitu penduduk Indonesia
usia 10 tahun ke atas yang belum pernah menikah, termasuk penduduk yang hidup
selibat atau tidak pernah kawin.
2) Kawin adalah mereka yang kawin secara
hukum (adat, negara, dan agama) dan mereka yang dianggap hidup bersama yang
oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami istri.
3) Cerai adalah mereka yang bercerai dari
suami/isteri dan belum melakukan perkawinan ulang.
4) Janda atau duda adalah mereka yang suami
atau istrinya meninggal dan belum melakukan perkawinan ulang.
b. Perceraian
Perceraian adalah bubarnya perkawinan secara
sah yang dikukuhkan oleh surat keputusan pengadilan, yang memberikan hak kepada
masing-masing untuk kawin ulang menurut hukum sipil dan agama, sesuai dengan
peraturan atau adat kebudayaan yang berlaku di tiap-tiap negara. Dalam
masyarakat dimana perceraian tidak diperbolehkan, terdapat istilah
penangguhan/pembatalan perkawinan, dimana dalam pencatatan biasanya perkawinan
ini dikategorikan sebagai bercerai.
Selain perceraian,
ada peristiwa rujuk, yaitu perkawinan ulang antar suami dan isteri yang telah
bercerai. Dalam agama Islam, rujuk diperbolehkan dengan memberi batasan dua
kali rujuk untuk suatu pasangan. Apabila pasangan tersebut bercerai kembali
maka masing-masing pasangan diharamkan untuk menikah kembali kecuali
masing-masing telah menikah dengan orang lain dan telah cerai kembali. Dalam
agama Katolik, tidak ada peristiwa rujuk karena perceraian tidak diperbolehkan
oleh agama tersebut. Sedangkan perkawinan ulang adalah perkawinan yang terjadi
antara seorang janda/duda atau yang berstatus cerai dengan laki-laki atau
perempuan lain.
5. Keluarga
Berencana
Keluarga Berencana (KB) adalah upaya
untuk merencanakan jumlah, jarak, dan waktu kelahiran anak dalam rangka
mencapai tujuan reproduksi keluarga. Determinan KB ditentukan berdasarkan
kerangka pikir analisis yang diajukan. Misalnya:
a.
Untuk faktor-faktor tujuan kontrasepsi, dapat digunakan
jumlah anak dan tujuan fertilitas.
b.
Untuk faktor-faktor kompetensi kontrasepsi, dapat didekati
dengan umur isteri, lama menikah, pendidikan suami, pendidikan isteri, dan
status bekerja isteri.
c.
Untuk faktor-faktor evaluasi kontrasepsi, dapat digunakan
faktor budaya dan sifat dari program KB.
d.
Untuk faktor-faktor akses kontrasepsi, dapat didekati dengan
ketersediaan program KB, alat/cara KB yang diinginkan serta kegiatan-kegiatan
program di wilayah tempat tinggal pasangan usia subur.
Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa
umur, jumlah anak masih hidup, pendidikan perempuan, tempat tinggal, akses yang
teratur kepada sumber informasi (surat kabar, radio, dan televisi), kunjungan
petugas lapangan KB, status bekerja perempuan, dan lapangan kerja perempuan
secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status
pemakaian alat/cara KB yang dipilih/digunakan.
6. Ketenagakerjaan
Tenaga
kerja adalah seluruh penduduk yang dianggap mempunyai potensi untuk bekerja
secara produktif. Konsep ini berbeda dengan konsep tenaga kerja dalam dunia
industri yaitu personel yang bekerja dalam industri atau bisnis.
a. Angkatan
Kerja
Angkatan kerja (labor force) dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Bekerja.
2) Mencari pekerjaan (menganggur), yang
dapat dibedakan antara:
a)
mencari pekerjaan, tetapi sudah pernah bekerja sebelumnya dan
b)
mencari pekerjaan untuk pertama kalinya (belum pernah bekerja
sebelumnya).
Labor Utilization
Berbeda dengan
konsep labor force (angkatan kerja),
pendekatan labor utilization (pemanfaatan
tenaga kerja) digunakan agar lebih
sesuai dengan keadaan negara berkembang. Dalam konsep labor utilization, angkatan kerja dikelompokkan sebagai berikut:
1)
Pemanfaatan cukup (fully
utilized).
2)
Pemanfaatan kurang (under
utilized), karena jumlah jam kerja yang rendah, pendapatan/upah atau gaji
yang rendah dan tidak sesuai dengan kemampuan atau keahliannya.
3)
Pengangguran terbuka (open
unemployment).
Pengangguran
Pengangguran adalah
bagian dari angkatan kerja yang pada saat pencacahan sedang aktif mencari
pekerjaan. Pengertian ini sering disebut sebagai pengangguran terbuka yang
terdiri dari:
1)
Mereka yang mencari pekerjaan.
2)
Mereka yang mempersiapkan usaha.
3)
Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak
mungkin mendapat pekerjaan.
4) Mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi
belum bekerja.
Setengah Menganggur
Setengah menganggur
adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam
seminggu). Setengah menganggur terdiri dari:
1)
Setengah pengangguran terpaksa, yakni mereka yang bekerja di
bawah jam kerja normal (35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih
bersedia menerima pekerjaan.
2)
Setengah menganggur sukarela, yakni mereka yang bekerja di
bawah jam kerja normal dan tidak bersedia menerima pekerjaan lain (disebut juga
pekerja paruh waktu).
Pengangguran Tidak Kentara
Pengangguran tidak
kentara adalah angkatan kerja yang produktivitasnya tidak maksimal. Contohnya
adalah empat orang bekerja untuk membuat satu kursi padahal sebenarnya bobot
pekerjaannya cukup dikerjakan oleh dua orang saja dengan waktu yang sama.
Pengangguran tidak kentara ini disebabkan dalam pasar kerja terjadi kelebihan
penawaran tenaga kerja dan sempitnya lapangan kerja.
Pengangguran Friksional
Pengangguran
friksional adalah pengangguran tenggang waktu (waiting time) sebelum mendapatkan pekerjaan. Contohnya adalah seseorang yang sudah berhenti bekerja karena
ingin pindah pekerjaan tetapi tidak langsung mendapatkan pekerjaan yang baru.
Bukan Angkatan Kerja
Bukan angkatan
kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya tidak terlibat atau
tidak berusaha untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi. Dalam sensus penduduk
Indonesia dikemukakan bahwa penduduk berumur 15 tahun ke atas yang termasuk
dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang selama seminggu yang
lalu mempunyai kegiatan hanya:
1)
Bersekolah;
2)
Mengurus rumah tangga;
3)
Pensiunan, dan/atau mendapat penghasilan bukan dari bekerja
(misalnya warisan, deposito, dan lain-lain);
4)
Berada dirumah sakit dalam waktu lama, di lembaga
pemasyarakatan, dan sebagainya.
7. Sumber Data
Pada umumnya terdapat tiga sistem
pengumpulan data penduduk. Pertama, sensus penduduk, untuk mengetahui struktur
penduduk yang dikumpulkan melalui cacah jiwa serta umumnya dilaksanakan pada
waktu tertentu (misalnya 10 tahun sekali pada tahun yang berakhiran kosong).
Kedua, registrasi penduduk, untuk mengumpulkan data penduduk yang dinamis dan
dilaksanakan setiap saat. Ketiga, survei penduduk, untuk mengetahu data khusus
mengenai karakteristik penduduk (misalnya mobilitas tenaga kerja yang menuju ke
luar negeri) diperoleh dengan melaksanakan survei penduduk oleh instansi
tertentu.
BAB III
SUBSTANSI MATERI DEMOGRAFI
1. Kebijakan
Pembangunan Kependudukan
a. Pengertian
Kebijakan adalah suatu keputusan strategis yang berisi
rumusan umum untuk mengarahkan semua
langkah yang perlu dilaksanakan (sasaran) dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kebijakan sebaiknya dirumuskan dan dapat mengakomodir
persoalan yang ditemukan yang telah dirumuskan. Selanjutnya, kebijakan harus
dijabarkan dalam stretegi.
Dalam pada itu, H.T. Eldrige dalam Agus
Dwiyanto (1995) mendefinisikan kebijakan kependudukan sebagai keputusan
legislatif, program administrasi dan berbagai usaha pemerintah lainnya guna
merobah kecenderungan penduduk yang ada demi kepentingan kehidupan dan
kesejahteraan nasional. Meskipun demikian, tidak semua ahli setuju akan definisi
di atas.
Selanjutnya, kebijakan kependudukan menurut Perserikat Bangsa Bangsa adalah
langkah-langkah dan program-program yang membantu tercapainya tujuan-tujuan
ekonomi, sosial, demografis dan tujuan-tujuan umum yang lain dengan jalan memengaruhi
variabel-variabel demografi yang utama. Dalam pada itu, perlu dibedakan antara
kebijaksanaan yang memengaruhi variabel-variabel kependudukan maupun yang
menanggapi perubahan-perubahan penduduk. Kebijaksanaan yang memengaruhi
variabel kependudukan antara lain ialah program mengadakan vaksinasi anak-anak
yang menyelamatkan mereka dari berbagai penyakit anak-anak yang berbahaya.
Vaksinasi demikian akan menurunkan kematian anak-anak dan akan memengaruhi angka
kematian penduduk sebagai keseluruhan.
Kebijakan yang menanggapi perubahan
penduduk antara lain ialah program pendirian sekolah-sekolah untuk menampung
peningkatan jumlah anak-anak yang disebabkan oleh penurunan angka kematian
anak-anak. Suatu kebijakan yang memengaruhi variabel kependudukan dapat bersifat
langsung atau tidak langsung. Kebijakan langsung dalam hal ini antara lain
ialah program pelayanan kontrasepsi yang langsung memengaruhi besarnya penduduk
akibat penurunan banyaknya kelahiran. Kebijakan kependudukan bersifat tidak
langsung misalnya melalui ketentuan peraturan pencabutan subsidi pada keluarga
yang mempunyai anak lebih dari jumlah tertentu, misalnya dua, yang akan
memengaruhi jumlah anak yang diinginkan oleh keluarga-keluarga.
Kebijakan kependudukan berhubungan
dengan keputusan pemerintah yang memengaruhi variabel penduduk seperti kelahiran,
kematian, perpindahan, persebaran penduduk, jumlah dan komposisi penduduk.
Lebih lanjut, menurut D. Lukas yang dikutip Syarif Ali dalam buku Pengantar Ilmu Kependudukan menyebutkan
kebijakan kependudukan dapat dibatasi sebagai semua tindakan pemerintah yang
dilakukan secara sengaja untuk memengaruhi perkembangan, jumlah, distribusi,
dan komposisi penduduk.
b. Arah, Tujuan, dan Sasaran Kebijakan Pembangunan
Kependudukan:
Di
dalam buku Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035 yang disusun
oleh Tim Lintas Kementerian di Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, sekarang Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(PMK) disebutkan bahwa arah, tujuan, dan sasaran kebijakan kependudukan di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1) Arah Kebijakan
a)
Pembangunan kependudukan
menggunakan pendekatan hak asasi sebagai prinsip utama
b)
Pembangunan kependudukan
mengakomodasi partisipasi semua pemangku kepentingan, baik di tingkat
pusat, daerah maupun masyarakat
c)
Pembangunan kependudukan mendasarkan
penduduk sebagai titik sentral pembangunan, yaitu penduduk sebagai pelaku
(subjek) maupun penikmat (objek) pembangunan
d)
Pembangunan kependudukan mampu menjadi bagian dari usaha
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
e)
Pembangunan kependudukan mampu menyediakan data dan
informasi kependudukan yang valid dan
dapat dipercaya. Arah kebijakan ini seterusnya dimaksudkan untuk mencapai
tercapainya tujuan Grand Design
Pembangunan Kependudukan sebagai berikut:
2) Tujuan
Tujuan Utama Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035:
a)
Tercapainya kualitas penduduk yang tinggi sehingga mampu
menjadi faktor penting dalam mencapai kemajuan bangsa.
b)
Mewujudkan penduduk berkualitas sebagai modal pembangunan untuk
mencapai Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan sejahtera.
c)
Peningkatan Kualitas Penduduk, Pengembangan Sistem Informasi
Data Kependudukan yang berkualitas dan
terintegrasi.
d)
Pengelolaan Kuantitas penduduk dan Pengarahan Mobilitas
Penduduk serta Pembangunan Keluarga.
3) Sasaran yang ingin dicapai adalah:
a)
Terwujudnya pembangunan berwawasan kependudukan yang
berdasarkan pada pendekatan hak asasi untuk meningkatkan kualitas penduduk
dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan
b)
Pencapaian windows of opportunity melalui pengelolaan
kuantitas penduduk dengan cara pengendalian angka kelahiran, penurunan angka
kematian, dan pengarahan mobilitas penduduk.
c)
Keluarga berkualitas yang memiliki ciri ketahanan sosial,
ekonomi, budaya tinggi serta mampu merencanakan sumber daya keluarga secara
optimal.
d)
Pembangunan database kependudukan melalui pengembangan
sistem informasi data kependudukan yang akurat, dapat dipercaya, dan
terintegrasi untuk:
(1)
Mewujudkan tercapainya tahap windows of opportunity melalui pengelolaan
kuantitas penduduk yang berkaitan dengan jumlah, struktur/komposisi,
pertumbuhan, dan persebaran penduduk.
(2)
Mewujudkan keseimbangan sumber daya manusia dan lingkungan melalui
pengarahan mobilitas penduduk serta pengelolaan urbanisasi.
(3)
Mewujudkan keluarga yang berketahanan keluarga, sejahtera,
sehat, maju, mandiri, harmonis dan berkesetaraan gender serta mampu
merencanakan sumber daya keluarga.
(4)
Terwujudnya data dan informasi kependudukan yang akurat
(valid) dan dapat dipercaya serta
terintegrasi melalui pengembangan sistem informasi data kependudukan.
2. Pembangunan
Berwawasan Kependudukan
Latar belakang
Ada beberapa alasan yang melandasi
pemikiran, mengapa pembangunan berwawasan kependudukan sangat diperlukan.
Berbagai pertimbangannya adalah sebagai berikut:
a. Pengalaman
empiris menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya berwawasan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, membawa pada
peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang
terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi
sekaligus juga meningkatkan jumlah pengangguran dan setengah menganggur, serta
meningkatnya jumlah pengemis dan gelandangan/tuna wisma sebagaimana yang
terlihat selama ini di Indonesia. Demikian pula, dalam pertumbuhan ada yang
dinamakan dengan limit to growth dan dalam ilmu ekonomi The Law of Diminishing Return. Konsep ini mengacu pada kenyataan bahwa suatu
pertumbuhan ada batasnya.
b.
Penduduk merupakan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan
yang dilakukan. Penduduk adalah subjek dan objek pembangunan. Jadi, pembangunan
baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk
baik kualitas fisik maupun non fisik yang melekat pada diri penduduk itu
sendiri.
c. Keadaan
penduduk yang ada sangat memengaruhi dinamika pembangunan yang sedang
dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan
kualitas penduduk yang memadai, akan menjadi pendorong bagi pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan tingkat
kualitas rendah, menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi
pembangunan nasional.
Atas dasar tiga alasan
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan berwawasan
kependudukan mengandung makna sebagai berikut:
a. Pembangunan berwawasan
kependudukan adalah pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan
kondisi penduduk yang ada. Penduduk harus dijadikan titik sentral dalam proses
pembangunan. Penduduk harus dijadikan subjek dan objek dalam pembangunan.
Pembangunan adalah oleh penduduk dan untuk penduduk.
b. Pembangunan
berwawasan kependudukan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan
lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dibandingkan
dengan pembangunan infrastruktur semata-mata.
c. Dalam
Pembangunan Berwawasan Kependudukan aspek penduduk diintegrasikan ke dalam
Perencanaan Pembangunan, sehingga manfaat paling mendasar yang diperoleh
adalah besarnya harapan penduduk yang
ada di daerah menjadi pelaku pembangunan
dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti, pembangunan berwawasan
kependudukan lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk
secara keseluruhan dibandingkan dengan orientasi pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan.
d.
Dalam pembangunan berwawasan
kependudukan, ada suatu jaminan akan keberlangsungan proses pembangunan.
Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan lokal,
perencanaan berasal dari bawah (bottom up
planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan
yang lebih penting adalah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengawasannya.
e. Pembangunan berwawasan kependudukan
adalah juga kebijakan pembangunan yang
senantiasa merujuk kepada dinamika dan tren kependudukan.
3. Pokok-Pokok
Kebijakan Pembangunan Berwawasan
Kependudukan
Prinsip
mengenai integrasi kebijakan kependudukan ke dalam kebijakan pembangunan harus
menjadi prioritas, karena hanya dengan menerapkan prinsip tersebut, pembangunan
kependudukan akan berhasil. Untuk itu, strategi pertama yang harus dilakukan
adalah melakukan population mainstreaming.
Semua
kebijakan pembangunan harus dilakukan dengan mendasarkan pada prinsip people
centered development untuk mencapai pembangunan yang berwawasan kependudukan.
Pelaksanaannya harus mendasarkan pada pendekatan hak asasi. Untuk
itu langkah pertama adalah melakukan capacity building untuk seluruh
pemangku kepentingan, baik di tingkat pemerintah pusat, provinsi, maupun
kabupaten. Langkah berikutnya adalah melakukan integrasi kebijakan kependudukan
dengan kebijakan pembangunan sejak tahap perumusan, implementasi sampai dengan
evaluasi dan monitoring. Dengan memerhatikan bahwa kondisi dari semua
aspek di Indonesia tidak homogen, maka disparitas yang terjadi antar provinsi,
terlebih lagi antar kabupaten/kota, harus menjadi pertimbangan utama dalam
merumuskan strategi. Strategi yang dirumuskan tidak harus bersifat tunggal,
tetapi disesuaikan dengan kondisi dan
permasalahan di setiap daerah. Oleh karena itu, dalam menyusun strategi
diperlukan mekanisme yang saling melengkapi antara bottom-up dan top-down.
a. Kebijakan
Pengendalian Kuantitas Penduduk
Kebijakan pengendalian kuantitas
penduduk dilakukan melalui pengaturan dua komponen utama kependudukan, yaitu
pengaturan fertilitas dan penurunan mortalitas.
1) Pengaturan Fertilitas
Pengaturan fertilitas dilakukan melalui
program KB yang mengatur (1) usia ideal perkawinan, (2) usia ideal melahirkan,
(3) jarak ideal melahirkan, dan (4) jumlah ideal anak yang dilahirkan. Kebijakan
pengaturan fertilitas melalui program KB pada hakikatnya dilaksanakan untuk
membantu pasangan suami istri mengambil keputusan dan memenuhi hak-hak
reproduksi yang berkaitan dengan hal-hal berikut. (1) Pengaturan kehamilan yang
diinginkan, (2) penurunan angka kematian bayi dan angka kematian ibu, (3)
peningkatan akses dan kualitas pelayanan, (4) peningkatan kesertaan KB pria,
serta (5) promosi pemanfaatan air susu ibu. Pengaturan fertilitas melalui
program KB juga dilakukan dengan cara berikut. (1) Peningkatan akses dan
kualitas KIE serta pelayanan kontrasepsi di daerah, (2) larangan pemaksaan
pelayanan KB karena bertentangan dengan HAM, (3) pelayanan kontrasepsi
dilakukan sesuai dengan norma agama, budaya, etika, dan kesehatan, serta (4)
perhatian bagi penyediaan kontrasepsi bagi penduduk miskin di daerah terpencil,
tertinggal, dan perbatasan.
2) Penurunan Mortalitas
Penurunan angka kematian bertujuan untuk
mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas pada seluruh dimensinya.
Penurunan angka kematian ini diprioritaskan pada upaya (1) penurunan angka
kematian ibu hamil, (2) penurunan angka kematian ibu melahirkan, (3) penurunan
angka kematian pasca melahirkan, serta (4) penurunan angka kematian bayi dan
anak. Upaya penurunan angka kematian diselenggarakan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat melalui upaya-upaya proaktif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif sesuai peraturan perundang-undangan dan norma agama.
Di samping itu, upaya penurunan angka kematian difokuskan pada (1) kesamaan hak
reproduksi pasangan suami istri (pasutri), (2) keseimbangan akses, kualitas
KIE, dan pelayanan, (3) pencegahan dan pengurangan risiko kesakitan dan
kematian, serta (4) partisipasi aktif keluarga dan masyarakat.
3) Strategi
Pengendalian Kuantitas
Untuk mencapai tahap yang diinginkan,
yaitu pertumbuhan penduduk yang terkendali dan pencapaian windows of
opportunity, maka pengendalian angka kelahiran sangat penting.Untuk itu,
diperlukan revitalisasi program KB di Indonesia. Dalam melakukan revitalisasi
program KB, pendekatan pelaksanaan program KB perlu diubah orientasinya dari supply
ke demand side approach. Strategi
yang dikembangkan adalah melakukan integrasi, desentralisasi, kemitraan, dan
pemberdayaan serta fokus pada penduduk miskin. Berikut adalah penjelasan
detailnya.
Integrasi adalah implementasi program KB
ke dalam program pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi. Sementara itu,
desentralisasi dilakukan melalui lima cara. Pertama, memberikan otoritas yang
lebih besar kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam implementasi program KB,
salah satunya adalah dengan memperkuat kelembagaan. Tujuannya adalah melakukan
sinkronisasi dan menghindarkan overlap fungsi dan peran antara pemerintah
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Seperti telah diamanatkan dalam UU No. 52
Tahun 2009 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga, BKKBD (Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah) perlu segera dibentuk. Pemerintah
memfasilitasi pembentukan BKKBD dengan merevisi regulasi, khususnya yang terkait
dengan otonomi daerah, yang menghambat terbentuknya lembaga tersebut. Kedua,
melakukan pemberdayaan SDM di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam
rangka capacity building. Ketiga,
memperkuat komitmen politik, khususnya di tingkat kabupaten/kota dalam
pelaksanaan program KB. Keempat, memperkuat infrastruktur
untuk mendukung pelaksanaan program KB di tingkat kabupaten/kota. Kelima,
mendelegasikan kewenangan operasional di tingkat kabupaten/kota untuk
memberikan otoritas yang lebih besar pada kabupaten/kota dalam rangka
mengembangkan program dan melaksanakannya berdasarkan kondisi spesifik setiap
daerah. Sementara itu, strategi kemitraan dilakukan dengan cara memperkuat
kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Tujuan strategi ini
adalah untuk lebih mengembangkan keterlibatan pihak swasta dan masyarakat sipil
dalam pelaksanaan program KB. Kemitraan tidak terbatas dilakukan secara
internal, tetapi juga dengan lembaga internasional dengan prinsip kesetaraan
dan mutual benefits. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kapasitas
kelembagaan untuk memperkuat jejaring antarpemangku kepentingan, baik secara
vertikal maupun horizontal, nasional maupun intenasional. Sejalan dengan
program penanggulangan kemiskinan, pelaksanaan program KB difokuskan pada
masyarakat miskin dengan cara memberikan subsidi pelayanan kesehatan reproduksi
dan KB. Dalam pelaksanaannya, strategi ini perlu memperhatikan kondisi sosial,
budaya, demografi, dan ekonomi kelompok sasaran.
b. Kebijakan
Peningkatan Kualitas
1) Dimensi
Kesehatan
Meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam rangka menurunkan angka kematian dan meningkatkan angka
harapan hidup.
2) Dimensi
Pendidikan
• Meningkatkan
kompetensi dan daya kompetisi penduduk Indonesia melalui pendidikan formal,
nonformal maupun informal dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan nasional.
• Mengurangi
kesenjangan pendidikan menurut jenis kelamin melalui peningkatan akses
perempuan untuk memperoleh pendidikan.
3) Dimensi
Ekonomi
• Meningkatkan
status ekonomi penduduk melalui perluasan kesempatan kerja dan pengurangan
pengangguran dan setengah pengangguran.
• Mengurangi
kesenjangan ekonomi sebagai salah satu usaha untuk menurunkan angka kemiskinan.
4)
Strategi Peningkatan
Kualitas
Strategi peningkatan kualitas penduduk
merupakan aspek yang sangat penting dalam pembangunan kependudukan. Di samping
itu, strategi peningkatan kualitas penduduk merupakan bagian integral dari
strategi pengendalian kuantitas penduduk, pembangunan keluarga, dan pengarahan
mobilitas penduduk. Penduduk merupakan pelaku, pelaksana, dan penikmat
pembangunan. Dengan kualitas yang tinggi, penduduk akan lebih banyak berperan
sebagai pelaku dan pelaksana pembangunan. Selain itu, pembangunan tidak hanya
bergantung pada sumber daya alam dan teknologi, tetapi justru lebih bergantung
pada kualitas penduduknya. Dengan tersedianya sumber daya manusia yang memadai
dalam arti kuantitas dan kualitas, maka tantangan di masa yang akan datang
dapat diatasi dengan baik. Kualitas sumber daya manusia yang ada sekarang masih
perlu ditingkatkan agar tantangan tersebut diatasi dengan baik.
Pembangunan kualitas penduduk Indonesia
ditentukan oleh tiga hal: pembangunan ekonomi, pembangunan kesehatan, dan
pendidikan. Oleh karena itu, kondisi yang ingin dicapai dalam peningkatan
kualitas penduduk tahun 2035 adalah penduduk yang sehat, cerdas, produktif, dan
berakhlak mulia serta berkarakter. Kondisi inilah yang harus dicapai oleh
seluruh penduduk Indonesia. Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam
aspek fisik dan nonfisik meliputi kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, dan kecerdasan. Hal itu
dianggap sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati
kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian,
berkebangsaan, dan hidup layak.
Penduduk yang sehat tidak hanya berumur
panjang sejalan dengan bertambahnya usia harapan hidup, tetapi juga produktif,
cerdas, dan berdaya saing. Penduduk dengan kualitas seperti itu diharapkan
dapat mengatasi arus pasar global yang semakin menguat. Dengan memperhatikan
unsur-unsur tersebut, maka strategi peningkatan kualitas penduduk harus fokus
pada tiga dimensi, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Strategi di bidang
kesehatan dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak serta
kematian maternal. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengalami pergeseran
pola penyakit dari penyakit infeksi pada penyakit kronis dan degeneratif. Untuk
itu, strategi utama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan dan treatment
penyakit infeksi, khususnya pada bayi dan anak-anak. Di samping itu,
sejalan dengan meningkatnya penyakit kronis dan degeneratif
sebagai penyebab kematian orang dewasa, maka alokasi sumber daya kesehatan
harus juga diarahkan untuk pencegahan dan treatment penyakit tersebut.
Akan tetapi, dengan memperhatikan diversitas kondisi kesehatan antardaerah,
terutama dalam hal penyakit, maka setiap strategi, sekali lagi, tidak dapat
bersifat homogen atau tunggal, tetapi harus merespons kondisi spesifik setiap
daerah.
Sementara itu, strategi penurunan
kematian maternal sangat erat kaitannya dengan program KB sehingga strategi
yang dijalankan untuk pelaksanaan program KB juga akan memberikan kontribusi
terhadap penurunan angka kematian maternal. Hal tersebut harus ditopang dengan
pengembangan pelayanan prenatal maupun antenatal. Dari sisi pendidikan,
strategi yang harus dilakukan adalah memberikan akses yang sebesar-besarnya
kepada kelompok rentan, khususnya penduduk miskin, untuk memperoleh pendidikan.
Penurunan gender gap dalam hal akses terhadap pelayanan pendidikan juga
penting sebagai prioritas, khususnya untuk mengatasi masalah di berbagai daerah
yang masih lebar kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuannya.
Karena di berbagai provinsi angka melek huruf masih rendah, maka untuk
pendidikan nonformal maupun informal perlu memperoleh prioritas. Oleh karena
itu, kebijakan pendidikan harus dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan
tersebut. Strategi di tiga dimensi tersebut sekaligus merupakan strategi untuk
meningkatkan IPM. Namun, karena ketertinggalan Indonesia dalam hal IPM
dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya adalah pada bidang pendidikan, maka
tampaknya sektor tersebut perlu menjadi prioritas dalam strategi peningkatan
IPM.
c. Kebijakan
Pembangunan Keluarga
Pokok-pokok kebijakan pembangunan
keluarga memuat pokok-pokok kegiatan membangun keluarga yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa; membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang
sah; membangun keluarga berketahanan, sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan
harmonis yang berkeadilan dan berkesetaraan gender; membangun keluarga yang
berwawasan nasional dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan negara;
serta membangun keluarga yang mampu merencanakan sumber daya keluarga. Sasaran
dari pokok kegiatan pembangunan keluarga tersebut adalah seluruh keluarga
Indonesia yang terdiri dari keluarga dengan siklus keluarganya; keluarga yang
memiliki potensi dan sumber kesejahteraan sosial; keluarga rentan secara
ekonomi, sosial, lingkungan, maupun budaya; serta keluarga yang bermasalah
secara sosial ekonomi dan sosial psikologis.
Strategi Pembangunan Keluarga
a) Membangun keluarga yang bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa Dalam upaya membangun keluarga yang
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, strategi yang disuguhkan adalah
pembangunan keluarga melalui Pendidikan Etika, Moral, dan Sosial Budaya secara
formal maupun informal.
Pembangunan keluarga yang bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa mempunyai indikator keberhasilan sebagai berikut.
• Keluarga
yang menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing
• Keluarga
yang menaati nilai, norma, dan aturan agama
• Keluarga
yang memelihara kerukunan antarumat beragama.
b) Strategi
Membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah
Strategi untuk membangun iklim
berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah dilakukan dengan hal-hal sebagai
berikut:
• Meningkatkan
pelayanan lembaga penasihat perkawinan
• Meningkatkan
peran kelembagaan keluarga
• Komitmen
pemerintah Indonesia yang hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan
perempuan
• Perkawinan
yang dilakukan menurut hukum agama dan negara
• Perkawinan
yang mensyaratkan diketahui oleh keluarga dan masyarakat
Indikator keberhasilan dalam membangun
iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah adalah:
• Keluarga
dibangun dari perkawinan menurut hukum agama dan negara.
• Keluarga
dibangun dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan, bukan perkawinan
dengan sejenis kelamin.
• Keluarga
dibangun dari perkawinan yang diketahui oleh keluarga dan masyarakat.
• Setiap
perkawinan tercatat di lembaga yang berwenang dengan dibuktikan oleh
kepemilikan akta nikah.
c) Strategi membangun keluarga harmonis,
sejahtera, sehat, maju, dan mandiri.
Beberapa strategi untuk membangun
keluarga harmonis, sejahtera, sehat, maju, dan mandiri adalah sebagai berikut:
(1) Peningkatan ketahanan keluarga berwawasan gender berbasis kelembagaan local strategi ini dijalankan melalui
kegiatan konsultasi dan advokasi keluarga, pendampingan keluarga rentan,
pengembangan nilai keluarga dan keadilan gender, pembagian peran gender yang
berkeadilan dan berkesetaraan, serta optimalisasi fungsi keluarga menuju
kesejahteraan dan ketahanan keluarga.
(2) Pengembangan perilaku hidup sehat pada keluarga (sehat fisik/reproduksi,
sehat psikologis, sehat sosial, dan sehat lingkungan).
(3) Pendidikan dan pengasuhan anak agar berkarakter baik.
(4) Pengembangan ketahanan keluarga dan ketahanan pangan keluarga. Strategi
ini dilaksanakan dengan pemanfaatan pekarangan dan dukungan sosial lingkungan.
Indikator
keberhasilannya adalah:
(1) Keluarga berketahanan (kuat, bertahan hidup, beradaptasi)
(2) Keluarga sejahtera (pendapatan per kapita/bulan tidak miskin, rumah layak
huni, mempunyai tabungan)
(3) Keluarga sehat (kecukupan pangan dan gizi, morbiditas rendah, tidak
berpenyakit, sehat psikologis)
(4) Keluarga maju (partisipasi pendidikan, partisipasi kerja)
(5) Keluarga mandiri (kemandirian sosial ekonomi)
(6) Keluarga harmonis (tidak bercerai, penurunan tingkat kekerasan dalam
rumah tangga, penurunan tingkat
perdagangan manusia, penurunan tingkat kenakalan anak).
d) Strategi Membangun keluarga yang berwawasan
nasional dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan Negara Strategi yang digunakan adalah
penyadaran melalui pendidikan, pembinaan, dan penyuluhan. Strategi ini
dilakukan melalui kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) keluarga,
seperti penguatan kapasitas keluarga, pembangunan sebuah keluarga berketahanan
sosial, pemilihan keluarga pionir, dan peningkatan peran serta keluarga dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan. Indikator
keberhasilannya adalah keluarga yang berketahanan sosial,
berwawasan ke depan (menguasai iptek), serta berkontribusi kepada masyarakat,
bangsa, dan negara (berperan serta dalam kegiatan sosial kemasyarakatan).
e) Strategi membangun keluarga yang mampu
merencanakan sumber daya keluarga, strategi yang dapat dilakukan adalah untuk membangun keluarga
yang mampu merencanakan sumber daya dengan pendampingan manajemen sumber daya
keluarga. Kegiatan lainnya adalah dengan konsultasi perkawinan, pengasuhan
anak, manajemen keuangan rumah tangga, manajemen stres, serta manajemen waktu
dan pekerjaan keluarga. Indikator
keberhasilannya adalah:
(1) Keluarga mempunyai perencanaan berkeluarga.
(2) Keluarga mempunyai perencanaan investasi anak. Hal ini dapat dilihat dari
tingkat partisipasi sekolah wajib belajar, tabungan/asuransi pendidikan anak,
dan angka drop-out menurun.
(3) Keluarga mempunyai perencanaan keuangan. Hal ini dapat diukur dari
tabungan keluarga, partisipasi keluarga menabung di bank, dan perencanaan
membeli rumah.
d. Persebaran
dan Pengarahan Mobilitas Penduduk
Kebijakan Pembangunan Kependudukan pada
penataan persebaran dan pengerahan mobilitas, dapat diuraikan sebagai berikut:
1)
Pengarahan mobilitas penduduk yang
didorong dan mendukung pembangunan-pembangunan daerah yang berkeadilan
2)
Pengelolaan urbanisasi yang mengarah
pada pembangunan perkotaan yang berkelanjutan
3)
Pengarahan persebaran penduduk untuk
mencapai tujuan Pembangunan Nasional sesuai dengan kebutuhan setiap wilayah.
4)
Pencegahan munculnya faktor-faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya IDPs
5)
Pemberian perlindungan kepada tenaga
kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri secara maksimal.
Strategi mencapai tujuan kebijakan pengarahan mobilitas penduduk adalah
sebagai berikut:
• Menumbuhkan
kondisi kondusif bagi terjadinya migrasi internal yang harmonis
• Melindungi
penduduk yang terpaksa pindah karena keadaan (pengungsi)
• Memberikan
kemudahan, perlindungan, dan pembinaan terhadap para migrant internasional dan keluarganya
• Menciptakan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan
• Mengendalikan
kuantitas penduduk di suatu daerah/wilayah tertentu
• Mengembangkan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru
• Memperluas
kesempatan kerja produktif
• Meningkatkan
ketahanan dan pertahanan nasional
• Menurunkan
angka kemiskinan dan mengatasi pe ngangguran
• Meningkatkan
kualitas dan produktivitas sumber daya manusia
• Meningkatkan
infrastruktur permukiman, meningkatkan daya saing wilayah
baru, meningkatkan kualitas lingkungan, dan meningkatkan penyediaan
pangan bagi masyarakat.
Beberapa upaya pengarahan mobilitas
penduduk dilakukan dengan cara sebagai berikut.
(1) Mengupayakan
peningkatan mobilitas nonpermanen dengan cara menyediakan berbagai fasilitas
sosial, ekonomi, budaya, dan administrasi di beberapa daerah yang diproyeksikan
sebagai daerah tujuan mobilitas penduduk.
(2) Mengurangi
mobilitas penduduk ke kota megapolitan, seperti Jakarta agar tidak terulang di
luar Jawa. Dengan adanya penataan wilayah penyangga untuk mengembangkan daerah
tujuan transmigrasi yang secara khusus diintegrasikan dengan kota besar
sekitarnya. Transmigrasi seharusnya tidak terkesan membuang penduduk ke wilayah
terpencil, tetapi benar-benar menonjolkan napas distribusi penduduk .
(3) Mengurangi
peran pusat dan meningkatkan promosi daerah-daerah tujuan baru sehingga penduduk terangsang untuk melakukan
perpindahan secara spontan.
(4) Membuat
regulasi yang menguntungkan bagi daerah tujuan dengan sasaran menghambat/mengurangi
minat penduduk yang tidak berkualitas berpindah ke daerah lain (mobilitas bukan
sekadar pemindahan kemiskinan). Penduduk miskin adalah tanggung jawab daerah
asal/kelahiran.
(5) Membuat
kebijakan yang berskala nasional dan berujung pada kepentingan nasional,
misalnya transmigrasi ke pulau terdepan, peningkatan kualitas prasarana dan
sarana ekonomi, serta peningkatan akulturasi dan asimilasi kultural antara
pendatang dan penduduk asli.
(6) Penyusunan
roadmap kebijakan pengarahan mobilitas penduduk tidak semata-mata atas
dasar pertimbangan hukum, tetapi juga didasari oleh fakta sosiologis dan
dinamika lingkungan sosio-kultural dan politik Indonesia pasca reformasi.
Berdasarkan pertimbangan ini, maka roadmap pengarahan mobilitas penduduk
secara tegas berbasis pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan
Nasional, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, UU No. 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Inpres No. 1 Tahun
2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembanguan Nasional, Inpres No. 3
Tahun 2010 tentang Pembangunan yang Berkeadilan, serta Perpres No. 5 Tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Pada saat itu, basis kondisi sosiologis
serta dinamika sosio-kultural dan politik mengamanatkan penyusunan strategi
pengerahan mobilitas penduduk perlu mempertimbangkan berbagai kondisi
perkembangan lingkungan global, nasional, dan daerah. Basis ini pun secara
nyata mencermati sejauh mana komitmen pemerintah provinsi dan kota/kabupaten
terhadap aspek mobilitas penduduk sehingga menjadi bagian yang integral dan
menentukan bagi perkembangan dan keberhasilan pembangunan penduduk dan
pembangunan berkelanjutan di wilayahnya. Pada titik ini, pengarahan mobilitas
penduduk perlu menjamin kepastian pelibatan elemen nonpusat. Fakta yang
berkembang menunjukkan bahwa pengerahan mobilitas penduduk saat ini tidak
semata dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga elemen masyarakat sipil dan pasar. Oleh karena itu, penting untuk mereposisi
dan mengidentifikasi peran yang harus dimainkan pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Mereka memiliki kewenangan dan perannya masing-masing. Demikian
juga peran dan kewenangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun Civil
Society Organization (CSO). Semua elemen harus memiliki peran strategis
dalam pelaksanaan pembangunan kependudukan. Kebijakan mobilitas daerah harus
memperhatikan perkembangan-perkembangan spesifik daerah, misalnya kemungkinan
dampak masuknya penduduk ke daerah industri baru, cara mengantisipasi dan
memitigasi kemungkinan dampak negatif bagi daerah tujuan, dampak bagi
keseimbangan penduduk lokal dan pendatang, serta kemungkinan marginalisasi
penduduk lokal. Dengan demikian, penting dirumuskan sebuah kebijakan lokal yang
dapat merespons hal-hal tersebut, misalnya melalui perda pengendalian penduduk.
Berbicara tentang
pengerahan penduduk, maka dalam jangka pendek maupun menengah dan panjang,
perlu dirumuskan beberapa sasaran pengarahan mobilitas penduduk yang antara
lain meliputi hal – hal berikut:
(1)
Pemodelan
rekayasa sosial yang memungkinkan integrasi antara penduduk pendatang dan
penduduk asli
(2) Pengembangan kebijakan lokal
yang pro masyarakat asli tanpa mengurangi hak hidup pendatang.
(3)
Pengembangan
regulasi yang memungkinkan adanya migration selection berdasarkan
kapasitas pendidikan dan keterampilan, aspek politik, dan kelembagaan.
(4)
Penguatan
peran elemen masyarakat sipil (CSO, NGO, dan universitas) dalam capacity building permukiman baru hasil kebijakan
mobilitas formal.
(5)
Pengembangan
forum komunikasi antar warga di daerah-daerah tujuan mobilitas.
(6) Penguatan kelembagaan keluarga migran dalam
konteks kebijakan kesehatan Reproduksi.
(7) Strategi pengembangan daerah penyangga
perkotaan dan pengembangan ekonomi perdesaan sehingga mengurangi minat penduduk
desa melakukan urbanisasi
(8) Pemodelan pengembangan ekonomi makro dan
distribusi kesejahteraan yang merata sehingga semakin mengurangi distorsi biaya
hidup antarwilayah
(9) Memikirkan kembali keterkaitan antara
pendidikan dan kesempatan kerja
(10) Desentralisasi kewenangan pengarahan mobilitas
penduduk.
(11)
Pengembangan kajian akademis terkait pemodelan mobilitas penduduk dikaitkan
dengan kepentingan nasional (sesuai dengan dokumen perundangan),tujuannya
adalah untuk pengembangan dan
mengonstruksikan proposisi / teori menengah terkait dengan proses-proses
migrasi yang berhasil diidentifikasi dari studi terkait kondisi masyarakat
Indonesia. Hal ini untuk menjawab tantangan tujuan-tujuan pengarahan penduduk, mengaitkannya dengan kebijakan pengarahan mobilitas penduduk terkait perkembangan
ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan fisik migran, baik lokal, regional
maupun global.
(12)
Membangun kerangka konseptual baru yang memungkinkan untuk menjawab tantangan
pengarahan mobilitas penduduk, serta pengembangan strategi-strategi baru
terkait dengan pengarahan mobilitas penduduk, baik internal maupun
internasional. Untuk tercapainya
tujuan-tujuan pengarahan mobilitas penduduk
tersebut, maka sejak awal dipastikan bahwa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), dan berbagai
aturan pelaksana lainnya telah dapat diselesaikan. Beberapa peraturan yang dibutuhkan untuk meng- implementasikan tujuan itu adalah sebagai
berikut.
(a)
Penataan
dan penyebaran penduduk ke daerah perbatasan antar Negara.
(b)
Kebijakan
mobilitas penduduk nonpermanent.
(c)
Penataan
persebaran penduduk melalui kerja sama antar daerah.
(d) Pengarahan mobilitas
penduduk melalui pengembangan daerah penyangga
(e) Pedoman pengelolan
urbanisasi di perkotaan
(f) Pedoman pelayanan terhadap
penduduk musiman serta tata cara pengumpulan data, analisis mobilitas, dan persebaran penduduk.
Sementara itu, pada tataran perda, dibutuhkan adanya perda tentang kebijakan
mobilitas penduduk.
Pada tataran
operasional, pengarahan mobilitas penduduk dalam konteks dukungan terhadap
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi dilakukan melalui manajemen
terpadu pada koridor utama pembangunan wilayah sebagai berikut:
(1) Mengembangkan
potensi ekonomi wilayah di enam Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu Koridor
Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor
Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi
Papua–Kepulauan Maluku
(2) Memperkuat
konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara
global (locally integrated, globally connected)
(3) Memperkuat kemampuan
SDM dan Iptek nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap
koridor ekonomi. Keinginan dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk menebar
kekuatan ekonomi ke seluruh penjuru Nusantara ini, semakin kentara melalui
percepatan pembangunan ekonomi nasional berbasis koridor (ruang) ekonomi dengan
delapan program utamanya. Komitmen ini diawali dengan percepatan penyediaan
infrastruktur: (1) industri, (2) pertambangan, (3) pertanian, (4) kelautan, (5)
pariwisata, (6) telekomunikasi, (7) energi, dan (8) ekonomi Kawasan. Koridor
ekonomi yang dalam hal ini berbasis “ruang pulau” terbagi menjadi enam koridor
sebagai berikut.
(a) Pulau
Sumatera sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi serta lumbung energi nasional.
(b) Pulau
Jawa sebagai pendorong industri manufaktur dan jasa nasional.
(c) Pulau
Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang serta lumbung energi nasional.
(d) Pulau
Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan,
perikanan, migas, dan pertambangan nasional.
(e) Pulau
Bali, NTB, dan NTT sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional.
(f) Pulau
Papua-Maluku sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan
pertambangan nasional (di Papua). Koridor ekonomi ini, dengan demikian,
merupakan ruang yang secara sengaja dirancang untuk tempat tumbuh dan
berkembangnya komoditas dan/atau usaha unggulan tertentu yang terintegrasi
dengan kawasan permukiman dan membentuk pusat-pusat pelayanan baru atau
mendukung pusat-pusat pelayanan yang ada. Pola pikir penataan persebaran adalah
dengan cara mengembangkan dan membangun sentra-sentra ekonomi di luar Pulau
Jawa. Strategi yang dilaksanakan adalah dengan menciptakan kota-kota
metropolitan potensial dari empat kota metropolitan besar menjadi 14 kota
metropolitan besar, kota metropolitan kecil dari tiga menjadi 18, kota besar
dari 17 menjadi 44, serta penciptaan kota sedang, kota kecil, dan pusat-pusat
pertumbuhan (pusat kegiatan lokal). Strategi Penataan Persebaran Penduduk
disesuaikan dengan pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar di seluruh pulau di
Indonesia dan diarahkan pada pulau-pulau luar Jawa yang merupakan pusat
pertumbuhan ekonomi baru dan potensial. Diharapkan wilayah-wilayah tersebut
menjadi kota-kota metropolitan baru dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru
yang akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di dalamnya.
4. Permasalahan
dan Tantangan
Untuk
mewujudkan kondisi yang diinginkan tersebut di atas, ditemukan permasalahan dan tantangan sebagai berikut:
a. Kesenjangan Wilayah.
Secara umum, disparitas antarwilayah
merupakan permasalahan pokok di bidang kependudukan. Semua indikator kuantitas
penduduk, kualitas penduduk, pembangunan keluarga, mobilitas penduduk dan juga
pembangunan data base memperlihatkan bahwa masih ada kesenjangan antara satu
wilayah dengan wilayah yang lain. Artinya
di masa mendatang Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk memeratakan
hasil-hasil pembangunan. Penjelasan di bawah ini merupakan ilustrasi singkat
mengenai permasalahan dan tantangan pembangunan kependudukan di Indonesia di
tingkat nasional. Penjelasannya perlu dipahami dalam konteks seperti telah
disebutkan di atas, yaitu permasalahan tersebut tidak
bersifat tunggal, tetapi bervariasi antarwilayah. Pendalaman lebih lanjut
sangat diperlukan untuk dijadikan dasar perumusan kebijakan kuantitas penduduk,
kualitas penduduk, pembangunan keluarga, mobilitas penduduk dan juga
pembangunan data base.
b.
Permasalahan Kuantitas Penduduk
1) Pencapaian
Bonus Demografi
Bonus demografi akan terjadi di tanah air pada kurun waktu 15 tahun ke
depan atau mulai 2025. Bonus “ledakan” kaum muda dan angkatan kerja produktif
ini sangat krusial jika SDM yang tumbuh tidak berkualitas. Bonus demografi
terjadi apabila mayoritas penduduk Indonesia adalah usia angkatan kerja.
Penduduk yang berada di usia angkatan kerja tersebut dapat menjadi potensi bagi
Indonesia menjadi negara maju, tetapi juga dapat menjadi bumerang apabila
kualitas sumber daya manusia usia produktif itu rendah. Modal untuk pembangunan
adalah kualitas SDM.
Salah satu tanda bonus demografi adalah angka ketergantungan di bawah 50
persen, artinya satu orang penduduk nonproduktif ditanggung oleh 1-2 orang
penduduk usia produktif. Berdasarkan kelompok umur, penduduk dapat dibedakan
atas tiga kategori, yaitu muda (0-14 tahun), menengah (15-64 tahun), dan tua
(65 tahun keatas). Pada tahun 2010, proporsi penduduk lanjut usia sebesar 5
persen dengan proporsi di daerah perkotaan sebesar 4,3 persen dan di perdesaan
sebesar 5,8 persen. Dibandingkan dengan sensus penduduk tahun sebelumnya,
proporsi penduduk lanjut usia mempunyai tren meningkat dengan rata-rata
peningkatan 0,6 persen.
Peningkatan persentase penduduk lansia dapat diinterpretasikan sebagai
hasil perbaikan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan gizi, dan perbaikan
pola hidup. Proporsi penduduk lansia di daerah perdesaan lebih besar
dibandingkan dengan perkotaan. Pengelompokan penduduk yang terkait dengan
kemampuan berproduksi secara ekonomi dapat diklasifikasikan menjadi penduduk
nonproduktif dan penduduk usia produktif. Penduduk nonproduktif terdiri dari
penduduk yang berumur 0-14 tahun dan penduduk yang berumur 65 tahun. Kelompok
penduduk usia produktif adalah penduduk yang berumur 15-64 tahun. Angka beban
ketergantungan Indonesia sebesar 51,3 persen, yang artinya setiap 100 penduduk
usia produktif menanggung sekitar 52 penduduk nonproduktif. Hasil sensus tahun
sebelumnya menunjukkan tren yang semakin menurun yang berarti beban penduduk
usia produktif semakin kecil sehingga diharapkan tingkat kesejahteraan penduduk
mengalami peningkatan.
Secara umum, di tingkat provinsi
menunjukkan angka rasio ketergantungan yang menurun. Data BPS menunjukkan bahwa
rasio ketergantungan penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 51,33 persen. Sekitar
80 juta penduduk usia tidak produktif di Indonesia bergantung pada sekitar 157
juta penduduk pada usia produktif (15—64 tahun). Angka tersebut sangat berbeda
dibandingkan dengan rasio ketergantungan penduduk sebelum penerapan program
Keluarga Berencana tahun 1970 yang sekitar 80 persen. Rasio ketergantungan
penduduk antarprovinsi di Indonesia ternyata tidak merata karena hampir
setengah dari 33 provinsi di Indonesia memiliki rasio ketergantungan penduduk
di bawah rata-rata nasional. Rasio ketergantungan provinsi masih timpang dengan
adanya rasio tertinggi di Nusa Tenggara Timur sebesar 73,23 persen dan rasio
terendah di DKI Jakarta sebesar 36,95 persen. Pemerintah dapat memanfaatkan
mobilitas penduduk untuk meratakan angka ketergantungan penduduk antar provinsi
di Indonesia.
Dengan adanya kebijakan tersebut,
penduduk usia produktif dari provinsi lain disediakan untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi di wilayah dengan rasio ketergantungan penduduk yang
tinggi. Beban ketergantungan merupakan indikator yang tidak hanya ditentukan
oleh jumlah penduduk muda, tetapi juga ditentukan oleh jumlah penduduk tua.
Peningkatan derajat kesehatan yang sangat memadai pada titik tertentu akan
berdampak pada membesarnya kelompok ini yang secara langsung akan meningkatkan
angka beban ketergantungan penduduk usia produktif. Dengan kata lain, seiring
dengan perjalanan waktu, beban ketergantungan tidak ditentukan oleh besarnya
angka kelahiran, tetapi dengan meningkatnya derajat kesehatan. Lansia yang
panjang umur, sehat, dan tidak tergantung merupakan langkah yang harus
dipersiapkan untuk menjemput penduduk “tua”. Penurunan kualitas fisik dan
psikis lansia dapat disikapi secara bijak sehingga kelemahan yang ada dapat
dimanfaatkan menjadi suatu modal pembangunan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam
membicarakan bonus demografi adalah kualitas penduduk usia “dewasa” atau
produktif. Menyiapkan generasi muda yang berkualitas dari aspek pendidikan dan
kesehatan merupakan modal utama untuk membekali generasi muda melakukan
kompetisi mendapatkan pasar kerja yang lebih berkualitas. Pengangguran
terdidik dan peningkatan angkatan kerja perempuan di satu sisi, sedangkan di
sisi yang lain lapangan pekerjaan yang semakin terbatas merupakan tantangan
tersendiri bagi bidang ketenagakerjaan. Satu hal yang
perlu disikapi adalah besarnya jumlah penduduk usia kerja yang kemudian disebut
dengan bonus demografi benar-benar merupakan jendela kesempatan di bidang
ekonomi, bukan sebaliknya sebagai petaka yang menyertai ledakan penduduk usia
kerja ini.
2) Pengaturan angka kelahiran
Pencapaian bonus demografi sangat
tergantung kepada usaha pengaturan fertilitas. Memperhatikan kecederungan
perubahan angka fertilitas, baik dari hasil sensus penduduk maupun SDKI. Tantangan
terbesar di bidang kuantitas penduduk adalah tetap mempertahankan penurunan
angka fertilitas sehingga dicapai angka replacement
level yaitu TFR sama dengan 2,1 per perempuan. Target yang dicanangkan
dalam RPJMN, yaitu TFR sama dengan 2,1 diharapkan tercapai tahun 2015 dan jika
kemudian kecenderungan penurunan TFR berlanjut terus, maka pencapaian angka
ketergantungan paling rendah akan dicapai tahun 2030. Akan tetapi memperhatikan
TFR yang cenderung stagnan, atau bahkan meningkat, tampaknya Indonesia akan
mengalami masalah yang cukup serius. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah
bagaimana TFR dapat diturunkan secara konsisten sehingga mencapai 2,1 tahun
2020. Kondisi
tersebut berkaitan dengan menurunnya kinerja program keluarga berencana (KB),
khususnya sejak krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an.
Ada indikasi bahwa CPR cenderung stagnan dan unmet demand meningkat. Jika penurunan fertilitas menjadi salah
satu tujuan kebijakan kependudukan di bidang kuantitas penduduk, maka
revitalisasi program keluarga berencana menjadi tantangan di tahun-tahun
mendatang. Dalam konteks ini ada empat tantangan utama yang perlu diperhatikan,
yaitu bagaimana mengembangkan aspek kelembagaan sebagaimana diamanatkan oleh UU
No. 52 tahun 2009; mengembangkan komitmen politik dalam bidang KB di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota; mengubah orientasi program keluarga berencana dari
supply ke demand driven; serta bagaimana meningkatkan akes dan kualitas
pelayanan KB dan kesehatan reproduski, khsusunya bagi kelompok miskin.
c. Permasalahan
Kualitas Penduduk
1) Pendidikan
Salah satu masalah penting pendidikan di
Indonesia adalah masih rendahnya partisipasi murni di tingkat SLA dan perguruan
tinggi. Untuk tingkat SD sudah hampir 95 persen dan SLP hampir 70 persen.
Dengan program wajib belajar 12 tahun tampaknya masalah tersebut akan segera
teratasi. Akan tetapi jika di lihat di tingkat SLA dan PT, maka terlihat bahwa
angkanya masih relatif rendah. Hal ini menggambarkan rendahnya akses penduduk
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SLA dan PT. Akses penduduk dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu akses ekonomi dan akses fisik. Keterbatasan akses
secara ekonomi terutama terjadi pada penduduk miskin yang tidak mampu membiayai
pendidikan di jenjang SLA dan PT. Keterbatasan akses dari sisi fisik mengacu
kepada keterbatasan sarana dan prasarana serta kondisi geografis. Sementara
itu, dilihat dari rata-rata tahun sekolah (mean
years of schooling) Indonesia tergolong masih rendah dibandingkan dengan
negara tetangga. Kondisi ini merupakan indikasi, besarnya jumlah murid yang drop out dari pendidikan SD atau SLP.
Sekali lagi hal ini terkait dengan persoalan akses terutama akses ekonomi.
Pendidikan Indonesia juga berhadapan dengan tantangan untuk meningkatkan
kompetensi dan kompetisi penduduk. Berhadapan dengan globalisasi peningkatan
daya kompetensi dan kompetisi menjadi salah satu kunci.
2) Kesehatan
a) Perilaku Kesehatan
Salah satu tantangan terbesar di bidang
kesehatan adalah berkaitan dengan perilaku kesehatan. Kesadaran penduduk untuk
berperilaku sehat masih rendah.
b)
Kesehatan Lingkungan
Tantangan dalam bidang ini menyangkut
kondisi lingkungan fisik dan biologis yang belum memadai
c)
Pelayanan Kesehatan
Dalam pelayanan kesehatan, paling tidak
ada dua tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama adalah berkaitan dengan
masih rendahnya akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan, khususnya
bagi penduduk miskin. Akses terhadap pelayanan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu akses dari sisi fisik yang terkait dengan kondisi geografis yang tidak
menguntungkan. Kedua, adalah akses penduduk yang rendah karena kemampuan
ekonomi yang tidak memadai. Hal ini terkait dengan ketersediaan dan distribusi
pelayanan kesehatan. Ketiga adalah kualitas pelayanan kesehatan. Kualitas
pelayanan kesehatan yang baik belum merata di seluruh wilayah Indonesia
sehingga belum semua penduduk dapat menikmati pelayanan yang prima. Sumbernya
adalah masih terbatasnya tenaga kesehatan yang profesional serta distribusi
tenaga kesehatan yang timpang.
d) Status
Gizi
Selama periode 1989-2010, persentase
penduduk dengan status gizi kurang dan buruk menurun secara signifikan. Akan
tetapi, untuk status gizi buruk angkanya cenderung fluktuatif dan penurunan
selama periode tersebut relatif rendah. Dengan kata lain, Indonesia masih
berhadapan dengan masalah gizi buruk dan hal ini erat kaitannya dengan
persoalan kemiskinan.
e) Perubahan
Pola Penyakit
Di bidang penanggulangan penyakit, saat
ini Indonesia berada di persimpangan jalan. Penanganan dan penanggulangan
penyakit yang mudah diberantas dan murah biayanya belum sampai tuntas dilakukan. Tapi
kemudian muncul
berbagai tipe penyakit yang sulit diberantas dan memerlukan biaya sangat mahal.
Transisi epidemiologi tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena munculnya
penyakit degeneratif masih diikuti tingginya insiden penyakit infeksi. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri, sebab angka kematian bayi pada umumnya berkaitan
dengan penyakit infeksi, sedangkan kematian penduduk usia dewasa pada umumnya
disebabkan karena oleh penyakit degeneratif. Persoalan yang menyangkut
penentuan skala prioritas menjadi problematik.
3) Ekonomi
a) Kesempatan
Kerja dan Pengangguran
Jumlah penduduk tahun 1971 sekitar 118,3
juta dan meningkat menjadi 237,6 juta tahun 2010. Angka pertumbuhan penduduk
periode 1971-1980 adalah 2,32 persen per tahun dan menurun menjadi 1,49 persen
per tahun pada periode 2000-2010. Persebaran penduduk antara Jawa dan Luar Jawa
sangat timpang. Pada tahun 1971, sekitar 64,2 persen penduduk bertempat tinggal
di Jawa dan menurun menjadi 59,1 persen tahun 2010. Ketimpangan ini menyebabkan
terkurasnya sumber daya alam atau daya dukung lingkungan di Jawa. Sebaliknya,
sumber daya alam yang ada di luar Jawa kurang dimanfaatkan secara
optimal karena kekurangan sumber daya manusia. Dilihat dari struktur umur,
terutama usia 0-14, dari sekitar 25,4 persen atau 63,0 juta tahun 2015 akan
terjadi penurunan menjadi 18,9 persen atau 56,6 juta tahun 2035. Penduduk usia
kerja (15+) tahun 2015 hanya sekitar 74,6 persen atau 185,2 juta dan akan
meningkat menjadi 81,1 persen atau 243,0 juta tahun 2035. Dengan menggunakan
TPAK 69,2 persen (Sakernas, 2011), maka jumlah angkatan kerja yang tahun
2015 mencapai sekitar 128,1 juta akan bertambah menjadi 168,2 juta tahun 2035.
Apabila angka pengangguran terbuka hanya sekitar 6,7 persen dan angka setengah
pengangguran hanya 29,5 persen, maka jumlah pengangguran terbuka sekitar 8,6
juta meningkat menjadi 11,3 juta tahun 2035. Kemudian pekerja setengah
penganggur meningkat dari 37,8 juta tahun 2015 menjadi 49,6 juta tahun 2035.
Apabila pemerintah dan swasta nasional berhasil memperluas kesempatan kerja
sebanyak 50 persen hingga 2035, maka jumlah pengangguran terbuka dan pekerja
setengah penganggur masih sekitar 30 juta penduduk. Hal ini merupakan pekerjaan
yang berat, tetapi harus dilakukan untuk menciptakan kesempatan kerja yang
baru. Tantangannya adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan
kesempatan kerja yang memadai bagi angkatan kerja baru. Setiap tahun,
pertambahan jumlah angkatan kerja diperkirakan 2 juta sehingga untuk
mempertahankan jumlah pengangguran terbuka pada angka yang sama dengan tahun
sebelumnya ada tuntutan penambahan kesempatan kerja dalam jumlah yang sama
juga. Jika targetnya adalah penurunan jumlah pengangguran terbuka, maka
kesempatan kerja yang diciptakan harus lebih besar dari pada jumlah angkatan
kerja baru. Permasalahan lain yang dihadapi Indonesia adalah bahwa ternyata pertumbuhan
ekonomi yang relatif stabil tinggi diikuti oleh peningkatan kesenjangan. Salah
satu indikatornya adalah kenaikan gini rasio. Sejak tahun 2007 hingga 2011
angka gini rasio meningkat dari 0,33 menjadi 0,41. Ketimpangan pendapatan
adalah salah satu faktor pentig yang menyebabkan munculnya kemiskinan. Di samping
itu, ketimpangan merupakan sumber dari instabilitas sosial dan politik,
sehingga tantangannya adalah bagaimana tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan dalam waktu yang bersamaan menurunkan ketimpangan.
b) Kemiskinan
Karakteristik rumah tangga atau penduduk
miskin, antara lain, berada pada keadaan 4L, yaitu the last, the
least, the lowest, dan the lost atau mereka yang tercecer di
belakang. Menurut Bappenas (2007), batasan kemiskinan adalah sekelompok orang
atau seseorang yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasar untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermanfaat. Hak-hak dasar, antara lain, adalah
terpenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan air
bersih, merasa aman dari tindak kekerasan, serta mempunyai hak berpartisipasi
dalam kehidupan sosial politik. Konsep operasional kemiskinan model Bappenas
tersebut sebagian sulit diukur sehingga perhitungan kemiskinan yang digunakan
adalah dengan pendekatan makro dan dilakukan oleh BPS dengan data sampel dari
Susenas modul konsumsi. Hasil perhitungan menyajikan jumlah dan persentase
penduduk miskin serta tidak dapat menunjukkan siapa dan lokasi penduduk miskin.
Metode ini dilakukan sejak 1984 sampai sekarang.
Persoalan kemiskinan tidak lepas dari
ketimpangan pendapatan antargolongan di Indonesia yang diukur dari Rasio Gini.
Data menunjukkan bahwa Rasio Gini setelah tahun 2006 mengalami peningkatan,
sebaliknya pertumbuhan ekonomi setelah tahun 2007 hingga 2009 mengalami
penurunan. Data lain menunjukkan bahwa secara nasional penurunan Rasio Gini
hanya terjadi di perkotaan dari 0,362 menjadi 0,352, sedangkan di perdesaan
justru meningkat menjadi 0,297 dari 0,288.
c) Ketahanan
Pangan.
Kebutuhan dasar makanan dan minuman
mencakup satu dari 52 komoditas saja, yaitu beras. Kebutuhan pangan beras
dihitung berdasarkan Kebutuhan Hidup Pantas (KHP), yaitu 10 kg beras per kapita
per bulan atau 120 kg beras per kapita per tahun. Pada tahun 2011,
jumlah penduduk Indonesia diperkirakan telah mencapai 242 juta, tahun 2015
sekitar 257,3 juta, dan tahun 2035 minimal telah menjadi 307,2 juta.
Menggunakan kriteria di atas, maka
kebutuhan pangan beras sekitar 2.575 juta kg per bulan atau 30.900 juta kg per
tahun. Jumlah ini akan meningkat menjadi 308,2 juta kg per tahun atau 36.984
juta kg per tahun.
Ini baru kebutuhan pangan beras, belum
termasuk kacang, kedelai, jagung, gula, garam, ikan, daging, dan lain-lain.
Persediaan beras sebagai makanan pokok nasional, menurun terus akibat dari
berbagai hal, seperti penyusutan lahan pertanian pangan menjadi peruntukan
nonpangan, gagal panen karena hama dan penyakit, serta musim kemarau yang
panjang. Solusi paling mudah adalah mengimpor beras yang banyak menguras devisa
negara. Jika pengendalian jumlah penduduk gagal, maka jumlah beras itulah yang
akan muncul. Kebijakan penciptaan tanah pertanian pangan yang baru di
Jawa-Madura sangat sulit dilakukan dan yang terjadi adalah alih fungsi lahan
pertanian produktif menjadi tempat tinggal, industri, dan jasa. Memperlambat
cepatnya penyusutan lahan pertanian dalam jangka panjang sampai 2035 agaknya
sulit dilakukan, tetapi ini harus dilakukan. Penciptaan lahan pertanian baru di
luar Jawa adalah pilihan utama sambil mempelajari kegagalan pencetakan lahan
pertanian sejuta hektar di Kalimantan. Pemberian subsidi input pertanian juga
diperlukan, utamanya dalam bentuk pupuk, bibit unggul lokal, pestisida, dan
infrastruktur irigasi teknis. Perlu juga dilakukan perluasan kesempatan kerja
di luar sektor pertanian dan pemberdayaan upah sekaligus mengerem urbanisasi
desa-kota. Apabila beberapa hal tersebut gagal dilaksanakan, ada kemungkinan
Indonesia akan tetap menjadi pengimpor produk pertanian terbesar di dunia. Hal
yang sama juga terjadi dalam hal negara pengimpor garam yang cukup besar
jumlahnya, padahal Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di
dunia.
d) Persebaran dan Mobilitas Penduduk
Salah satu tantangan pembangunan
kependudukan yang perlu memperoleh perhatian serius adalah persebaran penduduk.
Hal ini perlu memperoleh perhatian karena masalah persebaran penduduk tidak
hanya masalah kependudukan, tetapi terkait dengan pembangunan pada umumnya.
Dari sisi pembangunan ekonomi, distribusi penduduk erat kaitannya dengan
kesenjangan wilayah. Daerah padat penduduk merupakan daerah yang secara ekonomi
maju, sebaliknya daerah yang tidak padat penduduk adalah daerah yang secara
ekonomi kurang menguntungkan. Dalam konteks ini, dikotomi Jawa-Bali
dengan luar
Jawa Bali dan/atau kota dengan desa merupakan representasi dari perbandingan
antara daerah maju dengan yang belum atau tidak maju. Tantangan ke depan adalah
membuat suatu wilayah di satu pihak tidak menanggung beban terlalu besar karena
menjadi tempat akumulasi penduduk dan pada saat yang sama ada wilayah lain yang
tidak mampu melakukan optimalisasi pemanfaat sumber daya alam karena kekurangan
sumber daya manusia. Hal ini menjadi lebih penting ketika dikaitkan dengan
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), ketika
setiap koridor yang telah ditetapkan berkembang dengan dukungan sumber daya
manusia yang memadai. Dalam konteks mobilitas penduduk di Indonesia
dewasa ini, terdapat beragam tantangan yang perlu menjadi perhatian, yakni
transmigrasi, urbanisasi, migrasi tenaga kerja TKI/TKW, Pengungsi dalam negeri
atau Internally Displaced Oersons (IDPs), pencari suaka ilegal, resettlement,
dan lain-lain. Tiga kecenderungan migrasi di Indonesia sejak tahun 2000 adalah
sebagai berikut:
• Pertama
adalah mobilitas akibat globalisasi. Migran masuk dengan kualifikasi tenaga
ahli dari luar negeri dan diiringi dengan migrasi tenaga kerja dengan
keterampilan rendah ke luar negeri mengalami peningkatan.
• Kedua
adalah proses akselerasi, yakni pertumbuhan pesat suatu daerah akibat proses
migrasi (dengan beragam alasan), sebagai contoh adalah Kota Jakarta,
Balikpapan, dan Batam.
• Ketiga
adalah proses feminisasi, yakni meningkatnya jumlah migran perempuan yang
akhirnya menjadi mayoritas di berbagai tingkatan dan kawasan. Feminisasi pada
proses mobilitas penduduk terjadi pada mobilitas internasional oleh tenaga
migran TKW/TKI migran. Sebagian besar mereka masih bekerja pada sektor
informal, seperti sebagai pembantu rumah tangga dan beberapa pekerjaan
rendahan. Beberapa tahun terakhir, mulai muncul pekerja migran yang masuk ke
sektor formal sebagai perawat. Bentuk mobilitas lain yang cukup mengemuka dalam
satu dasawarsa terakhir di Indonesia adalah pengungsian (displacement)
akibat bencana alam, konflik sosial, kerusuhan lokal, serta intervensi-investasi
ekonomi yang akhirnya mendorong sebagian penduduk terusir dari tanah kelahiran
dan tempat tinggalnya lalu terpaksa untuk pindah ke tempat lain. Dalam konteks
di Indonesia, fenomena pengungsian terjadi secara besar-besaran terkait dengan
berbagai konflik sosial dan politik. Sementara itu, perpindahan terpaksa akibat
konflik laten antarelemen masyarakat pada satu dasawarsa terakhir akibat
munculnya sentimen antipendatang di beberapa wilayah Indonesia yang semakin
mengemuka. Pengungsi dalam negeri atau Internally Displaced Persons (IDPs)
dalam satu dasawarsa terakhir semakin meningkat dengan berbagai alasan. Perlu
adanya kebijakan nasional maupun lokal yang kondusif bagi seluruh penduduk
sehingga mengurangi bias kepentingan lokal, etnis, dan kelompok. Konflik lokal
yang marak dalam beberapa tahun terakhir harus mampu dikelola dengan baik dan
dicarikan solusi dalam kerangka kepentingan nasional. Apabila negara gagal
melakukan hal ini, maka tidak dapat dihindari terjadinya mobilitas penduduk dari
penduduk nonlokal yang meninggalkan daerah nonasal etnis, meninggalkan daerah
mayoritas religi akibat adanya diskriminasi kelompok minoritas, dan
proses-proses reklamasi (reclaiming) kelompok masyarakat atas aset tanah
kelompok masyarakat yang lain (pendatang). Hal yang sangat khas Indonesia
adalah pada saat ini fenomena IDPs (sukarela maupun terpaksa) belum dianggap
sebagai masalah penting. Belum muncul kebijakan maupun aksi nyata untuk
menangani penduduk terusir ini, baik pada tingkatan nasional maupun lokal. Pada
kenyataannya, masalah ini sebenarnya semakin meningkat dalam satu dasawarsa
terakhir seiring dengan menguatnya isu kedaerahan dalam kebijakan politik saat
ini. Konflik di berbagai tempat merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan.
Dalam konteks IDPs, kebijakan mobilitas penduduk harus mampu menjadi bagian
dari penyelesaian masalah tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik yang
terjadi di berbagai tempat merupakan ekses dari mobilitas penduduk yang tidak
dikelola secara baik. Konflik berdarah yang terjadi di Indonesia selama
beberapa tahun terakhir telah menyebabkan tidak kurang dari 1,2 juta manusia
yang tersebar di 20 provinsi harus mengungsi di negara sendiri. Meskipun telah
ada strategi penanganan pengungsi yang mencakup normalisasi, relokasi, dan
pemberdayaan, penanganan pengungsi belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
d. Fenomena
dan Dampak Migrasi Internal
1)
Migrasi Sirkuler (commuting)
• Peningkatan
secara eksponensial jumlah kendaraan bermotor mengakibatkan peningkatan
kemampuan jarak tempuh > 50 km per hari dari desa ke kota.
• Paling
tidak ada seorang anggota dari 25 persen rumah tangga perdesaan melakukan
ulang-alik desa-kota-desa.
• Sulitnya
memperoleh pekerjaan/mengembangkan usaha di perdesaan mengakibatkan ulang-alik
dan bekerja/berusaha di sektor informal di perkotaan.
• Jumlah
wilayah perkotaan yang terbatas, utamanya di Jawa, dengan infrastruktur dan
pelayanan yang tidak memadai serta penegakan hukum yang lemah menyebabkan
kekumuhan perkotaan dan kemacetan lalu lintas.
2)
Migrasi Musiman (temporary)
• Terbukanya
lapangan kerja berbasis usaha migas dan berbasis pertanian/kehutanan di luar
Jawa (wilayah perdesaan) yang tanpa keberpihakan kepada masyarakat setempat
telah menarik penduduk luar wilayah tersebut bermigrasi masuk secara musiman.
• Buruknya
konektivitas antarwilayah mengakibatkan masuknya penduduk yang berketerampilan
tinggi, cukup pengalaman, dan cukup modal sehingga memicu disparitas di
perdesaan.
• Secara
nasional terjadi disparitas tingkat upah dan pengangguran antarwilayah, padahal
aliran informasi antarwilayah cukup memadai sehingga berpotensi terjadinya
kecemburuan sosial. Migrasi internal yang lebih spesifik di Indonesia adalah
transmigrasi yang telah dikenal sejak zaman kolonisasi sampai otonomi daerah.
Cukup banyak lokasi penempatan transmigrasi dari Jawa, Madura,
dan Bali yang telah berkembang pesat dan daerah tersebut menjadi
kabupaten/kota, seperti di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Riau, dan
Sumatera Utara. Demikian pula yang terjadi di semua provinsi di Kalimantan,
Sulawesi, dan kawasan timur Indonesia. Persoalan utama yang tidak pernah
terselesaikan adalah tanah garapan (pekarangan, ladang, dan sawah) untuk
jaminan kegiatan ekonomi rumah tangga migran internal termasuk di dalamnya
pelayanan kebutuhan dasar. Sejak otonomi daerah diberlakukan, kerja
sama dalam penerimaan dan pengiriman antardaerah pengirim dan penerima lebih
diintensifkan dalam arti calon transmigran diberi kesempatan untuk datang dan
melihat lokasi yang akan ditempati. Termasuk pula daerah penerima harus
menyiapkan calon transmigran lokal (translok) dari penduduk setempat atau dari
sekitar lokasi penempatan transmigrasi. Dengan demikian, proses asimilasi
antara pendatang dan penduduk lokal dapat segera tercapai dan sekaligus
menghilangkan prasangka buruk di antara kedua kelompok tersebut. Model translok
dengan menyisipkan ke dalam transmigrasi umum dalam beberapa hal dapat
mengurangi aspek negatif atau saling curiga. Tidak hanya itu, tanah yang
disiapkan untuk transmigrasi tidak sekadar diklaimkan sebagai tanah ulayat yang
tidak dapat diberikan pada transmigran umum. Pembangunan sarana prasarana
pelayanan kebutuhan dasar tidak hanya terbatas pada lokasi penempatan
transmigrasi, tetapi terkondisi dengan daerah-daerah pinggirannya. Studi
banding untuk translok, bahkan sering didampingi oleh pemerintah daerah Jawa
Bali.
3)
Fenomena dan Dampak Migrasi
Internasional
• Belum
semua profesi pekerjaan berstandar kompetensi internasional sehingga kesempatan
kerja di pasar kerja internasional tidak termanfaatkannya secara optimal.
• Hanya
pekerjaan D3 (dirty-dark-dangerous) di pasar kerja internasional yang
dapat dimanfaatkan oleh TKI nonprofesional. Hal ini melemahkan perlindungan
bagi tenaga kerja. Investasi asing yang mengalir tanpa batas dan dikuti dengan
kehadiran tenaga kerja asing dan lemahnya regulasi migrasi internasional dalam
konteks Perjanjian Perdagangan Bebas menimbulkan persaingan tenaga kerja.
5. Kondisi
Kependudukan yang Diinginkan
Untuk
mencapai sasaran tersebut di atas, maka kondisi kependudukan yang diinginkan dari Perspektip Kuantitas Penduduk, Kualitas Penduduk,
Kondisi Keluarga, Persebaran dan Mobilitas Penduduk, serta Data Base
Kependudukan adalah sebagai berikut:
a. Kuantitas Penduduk
Dalam jangka panjang, kondisi
kependudukan yang diinginkan adalah tercapainya penduduk stabil dalam jumlah
yang tidak terlalu besar. Untuk mencapai kondisi ini, jumlah bayi yang lahir
diharapkan sama (seimbang) dengan jumlah kematian sehingga penduduk menjadi
stasioner. Indikator pencapaian penduduk tumbuh seimbang (PTS), adalah angka
kelahiran total (TFR) sama dengan 2,1 per perempuan atau Net Reproduction
Rate (Angka Reproduksi Bersih = NRR) sebesar 1 per perempuan. Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJMN), TFR sama dengan 2,1
diperkirakan tercapai pada tahun 2015. Selanjutnya, TFR diperkirakan menurun
menjadi 1,88 dan NRR menjadi 0,89 tahun 2020. Kondisi ini akan dipertahankan
terus sampai dengan tahun 2035. Akan tetapi target tersebut berbeda dengan
perkiraan yang dilakukan oleh PBB.
Seperti halnya RPJMN, diperkirakan TFR sama dengan 2,1 akan tercapai
pada tahun 2015 tetapi pada periode berikutnya penurunan TFR akan melambat
yaitu mencapai 1,94 pada periode 2020-2025. Sedangkan periode 2025-2030 menjadi
1,86, pada periode 2030-2035 menjadi
1,85. Oleh Unaited Nation (UN) angka ini dibuat konstan sampai
dengan tahun 2050. Hasil proyeksi penduduk (sementara) yang dilakukan oleh BPS
menunjukkan bahwa TFR sama dengan 2,1 juga lebih lambat dibandingkan target
RPJMN. Dengan skenario paling optimis TFR sama dengan 2,1 akan tercapai pada
tahun 2020. Kondisi inilah yang ingin dicapai, sebab jika memperhatikan dua
skenario lainnya, pencapaian TFR sama dengan 2,1 terjadi pada periode yang
lebih lambat dan akan memiliki implikasi terhadap perubahan komposisi penduduk
menurut umur dan jenis kelamin.
Berdasarkan pencapaian TFR
tersebut dan perkiraan IMR yang
didasarkan pada target program, maka tahun 2015 jumlah penduduk
diperkirakan akan mencapai 254,0 juta, dan tahun 2035 diperkirakan menjadi
304,7 juta. Perkiraan ini akan menjadi kenyataan jika pertumbuhan penduduk per
tahun dapat ditekan menjadi 1,35 persen pada periode 2010-2015; 1,19 persen
pada periode 2015- 2020; 1,03 persen pada periode 2020-2025; 0,89 persen pada
periode 2025-2030 dan 0,75 persen pada periode 2030-2035. Di samping itu, dari
sisi perubahan komposisi penduduk menurut umur, tahun 2027 diharapkan Indonesia
berada pada fase ketika rasio ketergantungan mencapai angka terendah, yaitu
kurang dari 44,8. Kondisi ini penting, karena akan memberi kesempatan bagi
Indonesia untuk mencapai bonus demografi. Salah satu tandanya adalah dengan
jumlah penduduk usia produktif yang mencapai puncak, yaitu kira-kira 70 persen
dari jumlah penduduk. Kondisi ini merupakan kondisi yang diharapkan agar sejak
sekarang, dapat disusun kebijakan untuk optimalisasi kesempatan tersebut.
Pencapaian
tahap ini sangat tergantung kepada pengelolaan pertumbuhan penduduk melalui
pengendalian angka kelahiran. Jika angka kelahiran meningkat seperti halnya
indikasi yang muncul dari berbagai sumber data, maka tahap tersebut akan
tertunda atau bahkan hilang sama sekali. Perlu untuk dicatat bahwa kondisi ini
adalah kondisi di tingkat nasional. Pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota,
kondisinya sangat bervariasi. Bagi wilayah yang angka TFR rendah misalnya DI
Yogyakarta dan DKI Jakarta, kondisinya akan sangat berbeda dengan NTT yang
masih memiliki TFR cukup tinggi. Di samping itu, variabel lain yang tidak
kalah pentingnya adalah migrasi, karena besar dan kecilnya migrasi akan sangat
memengaruhi komposisi penduduk.
b.
Kualitas penduduk
Kualitas penduduk adalah kondisi
penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang meliputi derajat kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian,
kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati
kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian,
berkebangsaan, dan hidup layak (UU No. 52 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 5).
Pengembangan kualitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan manusia yang sehat
jasmani dan rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan
memiliki etos kerja yang tinggi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pembangunan
kualitas penduduk difokuskan pada
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Dari sisi pendidikan, target utama adalah angka
melek huruf mencapai 100 persen. Hal ini didukung oleh angka partisipasi murni
(APM) untuk SD mencapai 100 persen dari 94,0 persen pada tahun 2008, meskipun
sebenarnya pencapaian target tersebut dapat dilakukan pada periode sebelumnya
melalui program wajib belajar. Sementara itu APM untuk tingkat SLP mencapai 100
persen dari 66,9 tahun 1998. Pencapaian ini cukup realistis dengan memperhatikan
tren selama 30 tahun terakhir yang memperlihatkan kenaikan cukup impresif. Pada
tahun 2010, APM di tingkat SLA telah mencapai hampir 46 persen, maka pencapaian
70-80 persen tahun 2035 adalah masuk akal. Tahun 2035 APM pada jenjang
perguruan tinggi diharapkan meningkat menjadi 20-25 persen dari 11 persen tahun
2010.
Berdasarkan target program, angka
kematian bayi tahun 2015 diharapkan akan menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup
dan terus menurun secara berlanjut hingga pada tahun 2035 menjadi sekitar 14,5
per 1.000 kelahiran hidup. Sejalan dengan menurunnya angka kematian bayi, usia
harapan hidup juga meningkat menjadi dari 71,4 tahun tahun 2015 menjadi 74,9
tahun pada tahun 2035. Pemerintah dalam visi tahun 2025 menargetkan PDB
mencapai 3,8-4,5 triliun dolar AS dengan pendapatan per kapita 13.000-16.000
dolar AS dari kurang lebih 3000 dolar AS pada tahun 2000 dari 3500-3600 dolar AS tahun 2011.
Sebagai sasaran,
antara tahun 2015 ditargetkan pendapatan per kapita akan meningkat menjadi 5500
dolar AS. Jika target ini dijadikan dasar untuk menentukan pencapaian tahun
2035, tampaknya sulit dilakukan. Keinginan untuk mencapai pendapatan per kapita
dua kali lipat lebih tahun 2025 dibandingkan tahun 2005 mengakibatkan angkanya
tahun 2035 akan lebih besar lagi. Untuk mencapainya perlu didukung oleh
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (kurang lebih 10 persen per tahun). Angka
paling realistis adalah bahwa tahun 2035 GNI per kapita penduduk Indonesia
berkisar antara 8000-9000 dolar AS. Terdapat isu yang lebih penting dari
sekadar kenaikan pendapatan per kapita, yaitu pemerataan pendapatan. Pada 2012
Gini ratio diperkirakan berada pada kisaran 0,4, artinya tidak berubah banyak
dari kondisi terakhir tahun 2010. Angka ini harus ditekan serendah mungkin
tahun 2035 agar kesenjangan pendapatan yang merupakan salah satu
sumber kemiskinan dapat ditekan.
c.
Pembangunan keluarga
Kondisi yang diinginkan melalui
pembangunan keluarga adalah terwujudnya keluarga
Indonesia yang berkualitas berdasarkan perkawinan yang sah dan bertakwa kepada
Tuhan YME. Selain itu
juga menuju keluarga sejahtera, sehat, maju, mandiri, dengan jumlah anak yang
ideal dan harmonis yang berkeadilan dan berkesetaraan gender, keluarga yang
berketahanan sosial memiliki perencanaan sumberdaya keluarga, berwawasan
nasional, berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa.
Untuk
mewujudkan keluarga Indonesia yang
berkualitas, sejahtera, dan berketahanan sosial, diupayakan mewujudkannya
melalui terbentuknya:
• Keluarga
yang bertakwa kepada Tuhan YME, yaitu keluarga berdasarkan pernikahan
yang sah menurut hukum negara
•
Keluarga sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan harmonis yang
berkeadilan dan berkesetaraan gender dengan jumlah anak yang ideal sesuai
kemampuan keluarga tersebut
•
Keluarga yang berketahanan sosial, yaitu. - Keluarga yang
memiliki perencanaan sumber daya keluarga - Keluarga berwawasan nasional, yaitu
keluarga yang mengembangkan kepribadian dan budaya bangsa Indonesia - Keluarga
yang berkontribusi kepada masyarakat, yaitu keluarga yang mampu berperan serta dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan dan memiliki kepedulian terhadap lingkungannya -
Keluarga yang berkontribusi kepada bangsa dan negara serta berpartisipasi dalam
kegiatan bela negara, taat membayar pajak, patuh terhadap peraturan perundangan
yang berlaku.
d. Persebaran
dan mobilitas penduduk
Dari aspek mobilitas penduduk, kondisi
yang diinginkan adalah terjadinya persebaran penduduk yang lebih merata ke luar
Pulau Jawa sehingga konsentrasi penduduk tidak semakin besar di Pulau Jawa yang
memang sangat padat penduduk. Demikian juga halnya dengan urbanisasi,
diharapkan agar penduduk tidak berbondong-bondong datang ke perkotaan yang pada
gilirannya menimbulkan masalah baru yang tidak kalah peliknya. Namun patut
disadari bahwa urbanisasi tidak semata-mata karena perpindahan penduduk dari
desa ke kota, tetapi juga karena daerah-daerah dengan kategori urban semakin
banyak jumlahnya karena fasilitas dan hasil pembangunan yang merata. Kondisi
persebaran penduduk yang diinginkan adalah persebaran penduduk yang merata dan
pengaturan mobilitas sesuai
dengan potensi daerahnya. Tentunya yang
diharapkan adalah adanya penataan dan persebaran yang proporsioal sesuai daya
dukung alam dan lingkungan. Ini berarti pemerintah harus dapat menata
keberadaan penduduk melalui perpindahan penduduk dari Pulau Jawa keluar pulau
Jawa. Dari segi mobilitas, kondisi yang diinginkan adalah
mendorong urbanisasi tahun 2010/2011 (sekitar 52 persen berada di pulau Jawa)
menjadi tahun 2025/ 2035 (> 65 persen). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
•
Persebaran penduduk di Pulau
Jawa dan luar Pulau Jawa tahun 2010/2011
(60 persen/40 persen) menjadi
kurang dari 50 persen dan lebih dari 50 persen tahun 2025-2035.
•
Konsentrasi pusat pelayanan
publik diubah dengan mendorong mengalirnya penduduk perdesaan ke perkotaan
(pada metropolitan potensial, terutama luar Pulau Jawa)
•
Distribusi pusat pelayanan
publik diubah dari wilayah perdesaan menjadi pusat perekonomian.
Kondisi
migrasi internasional yang diinginkan tahun 2035
adalah terjadinya persebaran penduduk yang lebih merata ke luar Pulau Jawa, sehingga
konsentrasi penduduk tidak semakin besar di Pulau Jawa yang memang sangat padat
penduduk. Meskipun demikian pemerataan distribusi penduduk harus dikaitkan
dengan kebutuhan SDM di masing-masing wilayah. Tercapainya persebaran penduduk
yang merata dan pengaturan mobilitas harus sesuai dengan potensi daerahnya dan
yang proporsial sesuai daya dukung alam dan lingkungan.
e.
Database kependudukan
Kondisi yang diinginkan dari pembangunan
data dan informasi kependudukan secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :
(1)
Tersusunnya sistem survei dan pengumpulan data kependudukan
yang sesuai dengan kebutuhan kementerian
terkait dan pihak swasta yang membutuhkan.
(2)
Tersusunnya sistem database kependudukan sehingga
diharapkan dapat diperoleh data dan informasi kependudukan yang andal, akurat,
riil, dan dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan secara cepat.
(3)
Isu-isu strategis yang harus ada di dalam Data dan Infomasi
Kependudukan adalah; Regulasi dan Kebijakan, Kelembagaan, Sumber Daya Manusia
(SDM), Aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), NIK, dan
Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) harus saling terkait
satu sama lain.
(4)
Regulasi dan kebijakan yang berkenaan dengan kependudukan
meskipun telah ada, tetapi masih perlu penjelasan yang lebih rinci, terutama
untuk operasionalisasi regulasi dan kebijakan tersebut di daerah-daerah.
Operasionalisasi regulasi dan kebijakan tersebut harus diiringi dengan enforcement
dan pemberian sanksi bagi yang melanggar regulasi dan kebijakan. Di samping
itu, regulasi dan kebijakan tersebut perlu secara sistematis disosialisasikan
kepada semua pemangku kepentingan yang terkait dengan data kependudukan.
Sosialisasi tersebut dapat berupa pelatihan-pelatihan cara menterjemahkan
regulasi dan kebijakan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih operasional dan
pembuatan alur kerja (work flow) tertib administrasi kependudukan.
(5)
Pembuatan operasionalisasi alur kerja ini hendaknya dapat
menjamin standardisasi pelaksanaan Sistem Administrasi Kependudukan (SAK).
Regulasi dan perundang-undangan serta standardisasi ini tidak akan dapat
berjalan secara optimal jika sekiranya tidak didukung oleh kelembagaan yang
baik. Kelembagaan di lingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Ditjen Dukcapil Kemdagri RI)
telah tertata dengan baik. Semua fungsi SAK dan SIAK telah terbagi ke dalam
unit-unit yang ada. Setiap unit memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang
terdefinisikan dengan jelas. Beberapa unit masih perlu menyinkronkan dan
mengkoordinasikan pelaksanaan tupoksinya. Di samping itu, perlu ditetapkan
indikator kinerja setiap unit agar irama kerja sama antarunit dapat
menghasilkan produk layanan yang optimal. Sementara itu, kelembagaan yang
menangani SAK dan SIAK di daerah masih bervariasi. Ada daerah yang secara jelas
dan tegas menetapkan Dinas Kependudukan untuk menangani SAK dan SIAK, tetapi
masih ada daerah yang menetapkan penanganan SAK dan SIAK ini di bawah dinas.
Untuk itu, perlu mendorong adanya standardisasi struktur organisasi penanganan
SAK di daerah.
(6)
Struktur organisasi yang menangani SAK dan SIAK, baik yang di
pusat maupun yang di daerah, seyogianya disusun berdasarkan hierarki kelembagaan
yang mengelola SAK dan SIAK tersebut. Setiap tingkatan pada hierarki tersebut
memerlukan kompetensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu ditetapkan SDM
yang sesuai dengan kompetensinya pada setiap
unit. SDM ini secara terus-menerus perlu ditingkatkan kapasitasnya, baik
pengetahuan maupun keterampilannya dalam menangani SAK dan SIAK
(7)
Pelatihan untuk SDM perlu dilakukan secara berkala,
terjadwal, dan berkelanjutan. Terutama
untuk SDM TIK yang telah dilatih, mereka tidak boleh dimutasikan ke bidang
non-TIK, tetapi perlu disediakan jenjang karier yang jelas. Hal ini perlu
dilakukan agar SDM TIK tersebut tetap dapat merespons
perubahan-perubahan infrastruktur TIK yang sangat pesat.
(8)
Aplikasi SIAK memiliki
dua modul utama, yaitu modul pendaftaran penduduk dan modul pencatatan sipil.
Setiap modul utama tersebut dibagi lagi atas berbagai submodul yang digunakan,
baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, perlu di review (diulas) sejauh mana aplikasi SIAK diterapkan, baik yang di
pusat maupun yang di daerah. Seyogianya, aplikasi SIAK tersebut mengalir mulai
dari titik layanan kependudukan (kelurahan atau kecamatan), lanjut ke
kabupaten/kota, dan pusat serta ke provinsi.
(9)
Secara proporsional dan terdistribusi, aliran aplikasi SIAK
harus disesuaikan dengan kondisi di daerah masing-masing. Bersamaan dengan
aplikasi SIAK tersebut, maka database kependudukan dapat
dikonsolidasikan secara bertingkat. NIK dan KTP elektronik adalah salah satu
informasi identitas dan dokumen kependudukan sebagai keluaran dari aplikasi
SIAK yang sangat penting dan berdampak luas.
(10) NIK, selain sebagai identitas
penduduk Indonesia, juga merupakan kunci akses
dalam melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna
mendukung pelayanan publik. Ketunggalan NIK secara efektif dimulai sejak
diterbitkannya kepada seorang menggunakan SIAK. Pada saat ini untuk menjamin
autentitas NIK hanya digunakan dua faktor, yaitu faktor yang menyatakan sesuatu yang Anda ketahui dan
faktor yang menyatakan sesuatu yang
Anda miliki.
(11) Dalam rangka memastikan ketunggalan
NIK, dilakukan konsolidasi antar-database kabupaten/kota, provinsi, dan
nasional secara sistem tersambung (on-line). Pada saat bersamaan, setiap
database kependudukan kabupaten/kota dimuktakhirkan untuk membersihkan unsur
yang menjadikan NIK ganda, NIK yang tidak merepresentasikan pemiliknya, satu
NIK dimiliki oleh dua orang, dan seterusnya dengan mekanisme konsolidasi secara
on-line dan verifikasi NIK. Dalam rangka meningkatkan ketunggalannya NIK
seseorang, maka seluruh penduduk wajib KTP nya direkam karakteristik yang melekat pada diri seseorang berupa biometri
seluruh sidik jari dan disimpan dalam server
database sidik jari (AFIS). Sistem database ini terintegrasi database SIAK sehingga
seseorang wajib KTP dapat diakses biodata termasuk NIK dan biometri sidik
jarinya. KTP elektronik sebagai KTP ber-chip yang memuat biodata, sidik
jari, dan foto penduduk bersangkutan adalah upaya untuk meniadakan kepemilikan
KTP palsu dan KTP ganda, serta kurangnya kepercayaan terhadap KTP bersifat
nasional. Untuk itu, secara bertahap akan diterapkan KTP elektronik sesuai
amanat Perpres No. 26 Tahun 2009 tentang KTP Berbasis NIK secara nasional.
(12) Untuk mendukung kegiatan SAK dan
SIAK yang terus berkembang dan berubah, maka untuk menjamin terjadi
kesinambungan dalam penanganan infrastruktur TIK, perlu disusun suatu tata
kelola TIK (IT Governance) untuk SAK dan SIAK. Tata kelola TIK ini
menjamin TIK yang digunakan untuk SAK dan SIAK agar memberikan manfaat yang
optimal bagi unit-unit yang menangani administrasi kependudukan. Untuk
mendapatkan manfaat yang optimal, infrastruktur TIK, seperti server,
jaringan internet, dan komputer pribadi, perlu di-upgrade secara berkala
dan berkelanjutan.
(13) Untuk melakukan outsource pengelolaan
infrastruktur TIK ini agar SDM TIK yang menangani SAK dan SIAK dapat lebih
fokus pada masalah-masalah yang substantive, maka perlu dijalin kerja sama
antara Ditjen Adminduk dengan penyedia jasa TIK, terutama untuk mendukung
kegiatan aplikasi SIAK agar memberikan hasil yang optimal.
BAB IV
PERAN
DEMOGRAFI DALAM KETAHANAN
NASIONAL
1. Umum
Ketahanan
Nasional sebagai konsepsi merupakan pengembangan kekuatan nasional melalui
pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang,
serasi, dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional
secara utuh dan menyeluruh serta
terpadu berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) Tahun 1945 dan Wawasan Nusantara (Wasantara).
Dengan kata lain, Konsepsi Ketahanan Nasional
Indonesia merupakan pedoman (sarana) untuk meningkatkan (metode) keuletan dan
ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan kekuatan nasional dengan
pendekatan kesejahterahan dan keamanan. Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai
kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya,
demi sebesar besar kemakmuran yang adil dan merata, baik
rohaniah maupun jasmaniah. Sementara itu, keamanan adalah kemampuan
bangsa melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar dan dari
dalam.
Implementasi konsepsi Ketahanan Nasional melibatkan seluruh komponen
bangsa mulai dari individu, keluarga, masyarakat, institusi pemerintah maupun non pemerintah,
serta adanya kualitas manusia Indonesia yang dapat berperan baik dalam kancah
globalisasi dunia maupun pembangunan dalam negeri.
Untuk
itu, determinasi ketahanan nasional suatu bangsa dapat dianalisis melalui
keterhubungan antar resultante ketahanan bangsa tersebut, yang dikenal dengan
istilah asta gatra meliputi gatra geografi, demografi, sumber kekayaan alam,
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Teori
ketahanan nasional yang diusung oleh Lemhannas RI, esensinya adalah bagaimana
melihat sesuatu itu secara konprehensif, integral dan holistik, yang bermuara pada persatuan
dan kesatuan bangsa.
Sehubungan
dengan hal tersebut, patut dilakukan analisis keterkaitan antara Bidang Studi
Demografi dengan Astagatra, sebagai berikut :
2. Gatra Geografi
Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504
pulau
dan dilalui gugus lempengan bola dunia, serta merupakan rangkaian gunung berapi
yang masih aktif dan labil, sangat rawan lerhadap bencana alam antara lain:
letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran, tanah longsor
serta rawan pula terhadap berbagai penyakit. Ada 92 (Sembilan puluh dua) pulau terluar yang memerlukan penanganan khusus
dalam pembangunan pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain keterbatasan
transportasi serta kualitas SDM yang masih belum optimal ditambah kurangnya
penguasan Iptek, sering terjadi keterbatasan penanganan permasalahan
pembangunan.
Kepadatan penduduk yang tidak
merata, khususnya antara Desa dan Kota, antara Jawa (sekitar 60 % penduduk
berada di Pulau Jawa, dengan luas sekitar 6,6 % dari luas Indonesia) dengan
Luar Jawa (sekitar 40 % penduduk berada diluar Pulau Jawa, dengan luas sekitar
93,4% dari luas Indonesia), antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia
Bagian Timur, semuanya telah melahirkan kesenjangan dalam berbagai aspek
kehidupan.
Secara
empiris, ternyata kondisi geografis ini merupakan salah satu faktor yang
menjadi hambatan terjadinya mobilitas penduduk antar daerah, karena antara lain
masalah transportasi, sehingga dapat menimbulkan kesejangan sumber daya manusia
diberbagai daerah, karena sumber daya manusia yang potensial akan
terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang relative akses lebih mudah untuk
dijangkau.
Hal
ini akan berpengaruh pada daya tampung dan pembangunan di daerah tersebut,
karena daerah yang akses transportasinya mudah dijangkau (Pulau Jawa) akan
menjadi minat utama bagi para investor dalam berinvestasi, hal ini akan
berdampak positif bagi daerah dan masyarakat setempat, namun bagi daerah-daerah
yang akses transportasinya lebih sulit seperti daerah-daerah di Indonesia
bagian timur, mereka akan sulit mendatangkan para investor, sehingga
pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan nasional menjadi lambat. .
3. Gatra Demografi
Katalog
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menjelaskan
bahwa pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia sekitar 243.740 juta jiwa,
merupakan penduduk dengan jumlah terbanyak ke-4 didunia setelah Tiongkok,
India, dan Amerika Serikat, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 %
pertahun. Dengan
jumlah tersebut negara Indonesia tidak
terancam kekurangan sumber daya manusia, sebaliknya memiliki peluang menjadi
kekuatan produktif yang luar biasa
dahsyat untuk mendorong persaingan global bila kekuatan itu dikelola dengan
baik dan tepat.
Tantangan
yang muncul adalah ketika kondisi bonus demografi ini tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal,
maka akan terjadi “ledakan”
pengangguran usia produktif di era Tahun 2025-2035,
yaitu, bukan terwujudnya “window of
opportunity”, namun yang dihadapi
pemerintah dan rakyat Indonesia adalah
kondisi window of disaster. Sebaiknya persiapan menyongsong
bonus demografi itu harus dimulai dari sekarang, agar pada waktunya kita tidak
panen “persoalan” melainkan tercapainya “kesejahteraan”.
Penduduk Indonesia terdiri dari lebih dari
seribu etnis dan sub etnis, disertai keragaman budaya, agama, dan bahasa.
Kondisi ini merupakan suatu kekuatan yang sangat besar apa bila mampu dikelola
dengan baik sehingga meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Namun disisi
lain keragaman ini juga menyebabkan tingkat kesenjangan
yang semakin tajam antara kaya dan miskin, antara yang maju dengan yang
terbelakang, yang berpendidikan dengan yang putus sekolah dan sebagainya. Persoalan dalam demografi yang harus diselesaikan
adalah:
a)
Program Keluarga Berencana (KB)
dan pemberian pelayanan dan perlindungan
bagi Ibu dan Anak oleh pemerintah
masih sangat lemah.
Isu kependudukan dan KB tidak lagi menjadi isu
nasional yang penting dan seksi baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah termasuk oleh penyelenggara media massa, elektronik dan
cetak serta belum dijadikannya isu ini sebagai isu di media sosial. Apabila hal
ini dibiarkan akan menghambat gerakan nasional KKB, sehingga diperlukan
advokasi pada pengambil keputusan pada pemasang iklan dan pengelola media.Sehingga dibutuhkan Revitalisasi
gerakan kependudukan dan Keluarga Berencana dan Peningkatan peran dan kapasitas pengelola Kependudukan
dan Keluarga Berencana (K dan KB) di kabupaten/kota
b)
Migrasi dan urbanisasi yang
tidak terkendali akibat meningkatnya usia kerja di desa sementara lapangan
kerja sulit didapat dan di kota-kota menjanjikan kehidupan yang lebih baik
akibat kemudahan informasi dan transportasi. Adanya urbanisasi dan migrasi menyebabkan sumber
daya ekonomi dan sumber daya alam dikuasai oleh asing dan pemilik modal besar
di daerah dan perdesaan. Terjadi eksploitasi anak oleh keluarga karena
berubahnya sumber keuangan keluarga dari sektor pertanian ke sektor tenaga
kerja (transformasi ekonomi buruh tani menjadi TKW). Akibat menurunnya kemampuan infrastruktur pertanian dan makin sempitnya
lahan pertanian, tidak terbaharukannya sistem pengairan teknis sehingga terjadi
fenomena putus sekolah, kawin muda, anak balita di posyandu diantar nenek dan
tingginya kawin cerai serta meningkatnya tenaga kerja muda ke luar negeri
menjadi TKW. Oleh karena itu diperlukan pembinaan dan peningkatan daya
saing sumber daya manusia Indonesia melalui: peningkatan komitmen seluruh
komponen bangsa, perubahan pola pikir dimulai dari pemerintah dan birokrasinya,
kembangkan idealisme, profesionalisme dan etos kerja yang tinggi agar terjadi
peningkatan produktifitas, inovasi, kreatifitas didukung oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kembangkan
jiwa kewirausahaan dan kempenyaekan tentang potensi Indonesia dalam menghadapi
pasar bebas. Pemerintah
harus membangun jejaring dengan kaum profesional Indonesia di luar negeri dalam
rangka membangun ketahanan dan kepentingan nasional.
c)
Penataan sistem data
kependudukan belum selesai yang diharapkan akhir tahun 2017 tuntas (termasuk E-KTP yang belum tuntas),
sementara data kependudukan hasil sensus penduduk, survey nasional sering
mengalami disharmoni dan diragukan akurasinya serta kurang tepat waktu. Data
penduduk dan data pemilih pada pemilu dan pemilukada sering menimbulkan konflik
akibat disharmoni, akurasi data, dan pemutakhiran data, yang dianggap sebagai
tindakan manipulasi dan penyalahgunaan suara pemilih berakibat bermuara pada
konflik sosial. Sehingga
perlu mendorong BPS memberikan kemudahan akses kepada seluruh pihak yang
memerlukan data dan informasi kependudukan.
4. Gatra Sumber Kekayaan Alam
Indonesia
memiliki sumber kekayaan alam (SKA) yang berlimpah dan beraneka ragam. Jika
kita mau jujur bahwa sampai saat ini belum seluruh SKA yang kita miliki
diketahui jumlah dan jenisnya, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan sumber daya manusia yang belum sepenuhnya mampu untuk mengetahui
keberadaan SKA tersebut, apalagi memanfaatkannya,
bahkan sering kali orang luar
lebih mengetahui keberadaan SKA yang kita miliki dibandingkan kita sendiri,
karena mereka menguasai Iptek.
Perlu
menjadi perhatian bersama bahwa SKA yang besar dapat dipakai sebagai modal
dasar bangsa Indonesia untuk
mensejahterakan rakyatnya, namun demikian SKA yang besar dapat juga menjadi ancaman
bagi bangsa Indonesia, karena banyak negara yang ingin menanamkan modal/
pengaruhnya untuk ikut
menguasai/mengelola SKA yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Keberadaan
SKA yang tersebar diberbagai bagian wilayah Indonesia, perlu mendapatkan perhatian
agar supaya tetap tejaga keamanan dan pemanfaatannya. Kondisi ini akan semakin
rumit apabila sebaran penduduk di
berbagai wilayah juga tidak proporsional, sehingga berpotensi terhadap gangguan
dan ancaman terhadap SKA yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, apalagi bila di
lokasi dimana terdapat SKA yang bernilai
tinggi tidak ada penduduknya sama sekali.
Dengan
demikian sebaran penduduk di setiap wilayah yang proporsional juga akan
memiliki kontribusi yang cukup siqnifikan dalam menjaga dan mengamankan keberadaan
dan pemanfaatan SKA di wilayah NKRI.
5. Gatra Ideologi
Pancasila
merupakan pandangan hidup, falsafah, Ideologi dan dasar negara bangsa
Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, mengajarkan
kepada anak bangsa ini, antara lain :
Pengakuan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, semangat persatuan dan kesatuan
nasional, pengakuan akan HAM, demokrasi, keadilan dan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dengan
memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dapat dikatakan
bahwa nilai-nilai luhur Pancasila
akan melekat dan dapat diwujudkan serta dilestarikan dalam setiap aspek
kehidupan nasional bangsa Indonesia.
Sejarah
telah mencatat bahwa bangsa Indonesia telah mengalami berbagai cobaan dalam
mengisi kemerdekaannya, seperti adanya pemberotakan PKI tahun 1948 dan tahun
1965, DI-TII, Kartosuwiryo, Kahar Muzakar
dan lain sebagainya. Dimana semuanya itu bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Situasi dan kondisi yang
demikian dapat diatasi, karena bangsa Indonesia memiliki Ideologi yang dapat
menjaga keutuhan NKRI, yaitu Ideologi Pancasila.
Dalam
hubungannya dengan krisis multi dimensional, yang bermula dari krisis ekonomi
dunia, merembet ke Indonesia menyebabkan lahirnya krisis kepercayaan kepada
pemerintah, terjadilah krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial budaya dan
krisis keamanan, semuanya menjadikan Indonesia instabilitas, terjadi gejolak
dalam negeri dan mengancam disintegrasi bangsa. Anak bangsa ini patut bersukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa bahwa dengan adanya Ideologi Pancasila, krisis
tersebut dapat diatasi dengan segala daya dan upaya pemerintahan dan rakyat
Indonesia dalam menghadapi segala bentuk Ancaman, Tantangan, Hambatan dan
Gangguan (ATHG).
Kesadaran masyarakat (penduduk) dalam
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara merupakan kata
kunci dalam mengatasi setiap betuk ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan (ATHG) baik yang datang dari
dalam maupun dari luar sehingga keutuhan NKRI tetap terjamin.
6. Gatra Politik
Adanya
kemauan yang sungguh-sungguh dari segenap komponen bangsa yang digerakkan oleh
Pemerintah bersama rakyat Indonesia telah berhasil memasukkan issu kependudukan
dalam kerangka pembangunan nasional.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025 sebagai penjabaran politis dari kerangka
pembangunan nasional jangka panjang, telah memasukkan issu kependudukan sebagai
salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembangunan nasional
dan pembangunan daerah.
Demikian
pula dengan jargon penduduk yang dikenal selama ini sebagai sentral pembangunan
atau penduduk sebagai obyek dan subyek pembangunan pada dasarnya merupakan
suatu upaya untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan. Maksudnya
adalah pembangunan dengan memperhatikan dinamika kependudukan yang ada.
Kenyataan
menunjukkan bahwa keberhasilan yang dicapai dalam tataran politis tersebut belum diimplementasikan dalam tataran praktis
opersional. Pembangunan dilakukan bukan di ruang hampa, tetapi dilakukan di
ruang hidup yang penuh dinamika, untuk itu pembangunan akan berhasil bila
dilakukan secara tertib dan teratur dan
didukung dengan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis.
Dengan
adanya stabilitas yang mantap dan dinamis, berarti keadaan politik dalam negeri
haruslah tumbuh dan berkembang tanpa adanya gejolak politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan
di dalam masyarakat yang pada gilirannya dapat
menghabat jalan pembangunan nasional.
Stabilitas
nasional perlu terus dipupuk, dibina dan ditingkatkan melalui upaya pembangunan
nasional dimana didalamnya mengandung konsepsi tentang pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan, secara serasi dan seimbang. Harus
disadari bahwa kelemahan pada salah satu aspek
kehidupan akan berpengaruh pada aspek lainnya yang pada gilirannya akan
dapat membahayakan integritas, identitas, kelangsungan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dalam kerangka NKRI.
7. Gatra Ekonomi
Indonesia
mempunyai peluang untuk dapat menikmati Bonus Demografi, yaitu terjadinya
percepatan pertumbuhan ekonomi akibat berubahnya struktur umur penduduk yang
ditandai dengan menurunnya ratio ketergantungan (Dependency Ration) penduduk non usia kerja kepada penduduk usia
kerja. Perubahan struktur ini memungkinkan bonus demografi tercipta karena meningkatnya suplai angkatan
kerja (Labor Supply), Tabungan (Saving), dan kualitas sumber daya
manusia (Human Capital).
Di
Indonesia, ratio ketergantungan telah menurun dan melewati batas 50 % pada tahun 2012 dan mencapai titik
terendah sebesar 4,9 % antara tahun 2008 dan 2031. (Sumber : Bappenas, RPJPN
2015 – 2019). Indonesia mempunyai potensi untuk memanfaatkan bonus demografi,
baik secara nasional maupun regional. Penduduk usia produktif Indonesia sendiri
menyumbang sekitar 38 % dari total penduduk
usia produktif Asean.
Tingginya
jumlah dan proporsi penduduk usia kerja di Indonesia selain dapat meningkatkan
angkatan kerja dalam negeri, juga membuka peluang untuk mengisi kebutuhan
tenaga kerja negara-negara yang proporsi penduduk usia kejanya menurun seperti
Singapura, Korea, Jepang dan Australia.
Langkah-langkah
yang perlu diambil, yaitu :
·
Mengoptimalkan kerjasama
global dengan memperhatikan dimensi sosial budaya.
·
Memperluas lapangan kerja.
·
Meningkatkan iklim investasi
dan promosi ekspor.
·
Meningkatkan sinergi arah
kebijakan industri.
·
Meningkatkan fleksibilitas pasar
tenaga kerja serta pengembangan sistem kerja yang layak.
·
Pendalaman kapital dan
pendidikan tenaga kerja.
· Peningkatan
partisipasi perempuan dalam tenaga kerja.
8. Gatra Sosial Budaya
Secara
empiris terlihat bahwa kondisi sosial budaya bangsa Indonesia sangat adaptif,
respek dan lentur terhadap program pembangunan kependudukan, khususnya program
Keluarga Berencana (KB). Kondisi yang
demikian telah menjadikan Indonesia sebagai suatu negara paling sukses di dunia
dalam pengendalian laju pertumbuhan penduduk pada satu sisi. Sedangkan pada sisi lain masih adanya
tradisi, budaya dan adat istiadat yang kurang sejalan bahkan bertentangan
dengan program KB. Output dari kerja
keras para petugas KB dalam menyadarkan masyarakat telah berbuah manis pada perubahan cara pandang dan perubahan sikap
masyarakat serta adanya sinergitas antara masyarakat dengan petugas KB dalam
mensukseskan program KB.
Program
KB akhirnya mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat, dan masyarakat yang
terdiri dari berbagai etnis sadar bahwa setiap orang yang akan membangun rumah
tangga harus memiliki perencanaan yang baik dan matang, mulai dari tujuan
pernikahan, memilih pasangan hidup, membina keluarga, merencanakan jumlah anak,
dan yang terkait dengan urusan kerumah tanggaan yang akan dibina.
Salah
satu kendala pada saat dicanangkannya program KB di Indonesia adalah menghadapi
adat istiadat, budaya, serta agama yang
menjadikan program KB itu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun hal
tersebut pada akhirnya dapat diatasi dengan baik, dan bahkan tokoh agama, tokoh
masyarakat dan tokoh adat memberikan dukungan yang besar terhadap suksesnya
program KB. Pemanfaatan teknologi informasi melalui tayangan di televisi,
sinetron, radio, media cetak dan media lainnya telah membantu masyarakat dalam
menyerap informasi tentang program kependudukan.
9. Gatra Pertahanan Keamanan
Luasnya
wilayah Indonesia yang terdiri dari beribu pulau serta penyebaran penduduk yang
tidak merata dan didukung pula oleh kondisi geografi Indonesia yang terbuka,
menjadi peluang bagi negara-negara lain masuk dan melakukan aktivitasnya di
wilayah Indonesia dengan berbagai dampak
yang ditimbulkanya.
Pencurian ikan, perompakan, penyeludupan,
peredaran narkotika, perdagangan manusia, eksploitasi ilegal SDA seperti kayu,
produk kayu dan kertas merupakan bentuk ancaman terhadap kehidupan masyarakat
dan berdampak pula kehidupan ekonomi.
Konflik yang berkempanjangan di negara-negara
seperti Irak, Syria, Afganistan dan
munculnya ISIS serta konflik agama Rohingya
Birma, dan berbagai konflik di wilayah ASEAN lainnya telah menyebabkan banyak
warga negaranya yang mencari suaka politik ke negara lain seperti Australia
melalui Indonesia. Kepergian mereka dari
negaranya ke negara tujuan tidak jarang menggunakan alat transportasi air
(lahirlah istilah manusia perahu).
Menurut
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau Kecil (KP3K)
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman menyatakan jumlah manusia perahu yang masuk ke
Indonesia semakin banyak dalam 10 tahun terakhir. Saat ini sebanyak 544 orang manusia perahu yang masih ditampung di
tenda Kampung Tanjung Batu Berrau Kaltim untuk dipulang ke Malaysia. (Kompas 24
Nopember 2014).
Adanya
migrasi internasional ini harus menjadi perhatian bersama, disamping terkait
dengan kependudukan (pengungsi dari negara lain harus diperlakukan sesuai
ketentuan hukum internasional). Lebih
jauh dari itu harus diperhatikan dari perspektif pertahanan dan keamanan
negara.
BAB V
KETERKAITAN DEMOGRAFI DENGAN BIDANG
STUDI LAINNYA
1. Demografi dengan Wawasan Nusantara
Berbagai ahli berpendapat bahwa
pertumbuhan penduduk yang tinggi akan dapat menyebabkan berbagai persoalan
khususnya dalam bidang sosial budaya dan sosial ekonomi dalam mencapai
cita-cita dan tujuan nasional suatu bangsa. Di Indonesia, kebijakan kependudukan melalui pembangunan nasional
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari konsepsi pembangunan berwawasan kependudukan memerlukan suatu
landasan visional yaitu wawasan nasional. Wawasan Nasional
yaitu Wawasan Nusantara merupakan cara pandang dan sikap
bangsa Indonesia (geopolitik) mengenai diri dan lingkungannya yang serba
seragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa, yang tidak menghilangkan, tetapi menghargai dan dan menghormati
kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan
nasional.
Setiap
kehidupan nasional selalu berada dalam suatu sistem yang mengadakan interaksi dengan bagian dari sistem lain dan berinteraksi serta
berinterdepensi dengan dinamika lingkungan strategi, sehingga dapat menimbulkan
dampak berupa ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) yang datang dari
dalam maupun dari luar. Dengan perkembangan baru geopolitik Indonesia berupa
visi akan menjadi poros maritim dunia, pertama membangun konektifitas berupa
infra struktur pelabuhan laut, jalan darat dan bandar udara akan menambaeratnya
persatuan dan kesatuan nusantara. Tentunya
ATGHT nya juga menjadi lebih besar, namun dengan tekad yang besar dan
semangat juang yang tinggi visi tersebut akan bisa dicapai.
Dalam
menghadapi dinamika lingkungan strategis tersebut perlu diterapkan wawasan
nusantara dalam arti wawasan nusantara menentukan arah pembangunan nasional,
termasuk pembangunan kependudukan. Perkembangan kependudukan di Indonesia
merupakan bagian dari kebijakan dan strategi pembangunan nasional. Kebijakan
tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai program yang bersifat lintas
bidang dan lintas sektor. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa kebijakan,
strategi dan program kependudukan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan
persatuan dan kesatuan dalam ikatan NKRI.
Dari sisi demografi wawasan nusantara harus di sosialisasikan sejak dini
sebagai wawasan nasional dan geopolitik bangsa Indonesia mulai dari diri,
keluarga, lingkungan sampai secara nasional. Kedepan bangsa Indonesia dituntut untuk
menjaga keutuhan NKRI yang telah semakin besar dan luas sejak diakuinya
Deklarasi juanda dan Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar didunia.
2. Demografi
dengan Ketahanan
Nasional
Konsepsi
ketahanan nasional Indonesia merupakan pedoman untuk meningkatkan dan
mewujudkan keuletan serta ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan untuk
mengembangkan kekuatan nasional melalui
pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Pembangunan berwawasan
kependudukan merupakan bagian konsepsi ketahanan nasional dan merupakan
pencerminan dari perwujudan bidang kependudukan. Didalam ketahanan nasional utamanya gatra demografi dilihat dari
kuantitas, kualitas, mobilitas dan basis data.Sehingga tercapai ketahanan
nasional yang diharapkan.
Bila
dilihat dari perspektif pertambahan jumlah penduduk, bahwa pertambahan jumlah
penduduk dipengaruhi oleh mortalitas, fertilitas dan migrasi. Pertambahan
penduduk akan berdampak positif dan negatif. Sisi negatifnya adalah bila
pertambahan penduduk tidak seimbang dengan pertumbuhan ekonomi dan tidak
diikuti dengan usaha peningkatan kualitas penduduk, hal ini akan menimbulkan
permasalahan sosial seperti pengangguran, dimana pengangguran tersebut akan
berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan
nasional.
Dari
perspektif komposisi penduduk, yang merupakan susunan penduduk berdasarkan
pendekatan tertentu, seperti dari pendekatan umur; jenis kelamin; agama;
pendidikan dan lain sebagainya. Komposisi penduduk sama halnya dengan
pertambahan penduduk juga dipengaruhi oleh mortalitas, fertilitas dan
migrasi. Fertilitas berpengaruh besar
pada komposisi penduduk berdasarkan umur, sebaliknya pengaruh mortalitas
relatif kecil. Masalah yang dihadapi adalah dengan bertambahnya jumlah penduduk
golongan muda, timbulah persoalan penyediaan fasilitas pendidikan, lapangan
kerja dan lain sebagainya, tentunya hal tersebut akan berimplikasi pada
ketahanan nasional.
Bila
dilihat dari sisi persebaran penduduk, dimana persebaran penduduk yang ideal
adalah terpenuhinya persyaratan kesejahteraan dan keamanan, yaitu suatu persebaran yang
proporsional. Namun pada kenyataannya manusia ingin bertempat tinggal d idaerah yang aman dan
terjamin kehidupan sosial ekonominya. Hal inilah menjadi jawaban mengapa sampai
terjadi suatu daerah berpenduduk padat dan pada daerah lainnya jarang
penduduknya, bahkan ada daerah yang tidak berpenduduk.
Sedangkan
dari segi kualitas penduduk, bahwa sejatinya kualitas penduduk dipengaruhi oleh
faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik meliputi kesehatan, gizi dan
kebugaran, sedangkan faktor non fisik
meliputi kualitas mental dan kualitas intelektual. Kebijakan pemerintah untuk
mengatasi masalah kependudukan ini antara lain melalui pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan, gerakan KB, penyuluhan tentang transmigrasi, peningkatan kualitas,
ketrampilan, kecerdasan dan sikap mental penduduk serta peningkatan kondisi
sosial budaya masyarakat. Dengan demikian terdapat korelasi bahwa semakin meningkatnya
kualitas penduduk akan memberikan kontribusi positif terhadap tingkat ketahanan
nasional.
Penduduk Indonesia saat ini
jumlahnya adalah sekitar (± 253 juta
jiwa pada tahun 2014)[1] sekarang kurang lebih 256 juta, menduduki
urutan nomor 4 di dunia, dengan penyebaran penduduk yang tidak merata, di mana
penduduk di pulau Jawa sangat padat sedangkan di luar pulau Jawa masih sangat
jarang, telah mempengaruhi kemampuan daerah melaksanakan pembangunan. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
melaksanakan pembangunan nasional dan rentang kendali pemerintahanya dibutuhkan
informasi dan teknologi yang dapat meliputnya. Kondisi ini juga merupakan modal
yang besar untuk meningkatkan peran media pemberitaan dengan posisi sekarang
Indonesia sebagai pengguna internet nomor 4 terbesar di dunia, pengguna tweeter dan facebook nomor 6 di dunia akan menjadi kekuatan pengganda yang
besar dalam mensosialisasikan pemberitaan masyarakat media. Pertambahan penduduk yang besar akan menambah beban pembangunan bila tidak dibina
dan ditingkatkan kualitasnya. Penduduk merupakan modal dan faktor dominan pembangunan nasional. juga sekaligus
merupakan subyek dan obyek pembangunan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu media
pemberitaan tentang kependudukan yang mampu menyajikan informasi tentang jumlah penduduk dan pertumbuhannya, jumlah
angkatan kerja, jumlah usia anak
sekolah, jumlah pengangguran dan lain-lain. Melalui media pemberitaan tersebut
akan mampu meningkatkan kualitas keputusan yang akan diambil bagi penguatan pengakuan dan perlindungan
hak-hak masyarakat adat guna restorasi sosial Indonesia dalam rangka ketahanan
nasional. Hasil pengukuran Indek Ketahanan Nasional (IKN)
2016 menunjukkan demografi di daerah Maluku Utara menunjukkan Cukup tangguh.
Indonesia merupakan salah satu negara yang
unik, yaitu negara kepulauan yang terletak pada posisi silang dua benua dan dua
samudra. Kondisi geografis ini di satu pihak merupakan berkah dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, namun harus dipahami juga, bahwa kalau tidak pandai mengelola
anugerah ini, maka menjadi tantangan yang luar biasa. Dari hasil pengukuran
Ketahanan Nasional indeks gatra geografi pada tahun 2016 ini, sudah mencapai
kategori cukup tangguh dengan nilai indeks 2,68. Walaupun secara gatra sudah mencapai kategori
cukup tangguh, namun kalau dilihat per variabel masih banyak yang termasuk pada
kategori kurang tangguh seperti sarana dan prasarana.
3. Demografi dengan Kewaspadaan Nasional
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa kebutuhan primer penduduk adalah adanya rasa aman.
Rasa aman tersebut tidak hanya dibutuhkan oleh kelompok orang tertentu, akan
tetapi rasa aman tersebut dibutuhkan oleh setiap orang, setiap keluarga, dan oleh lingkungan tempat tinggal,
juga oleh organisasi bahkan bagi suatu negara. Untuk terwujudnya keamanan
pribadi, bagi yang mempunyai kedudukan mereka akan menyewa petugas keamanan (security) untuk menjaga
keamanan dimanapun mereka berada, sedangkan bagi suatu negara rasa aman
tersebut diwujudkan dengan terpenuhinya kebutuhan akan aparat dan peralatan
pertahanan (Alutsista), semakin profesional dan lengkapnya alutsista suatu
negara maka semakin tinggi rasa aman
penduduk dalam negara tersebut.
Setelah
mengetahui ancaman gangguan hambatan dan tantangan yang dijelaskan dalam
ketahanan nasional, maka untuk dapat melangsungkan dan menjaga kelangsungan
hidup bangsa dan negara dibutuhkan kewaspadaan nasional yang tinggi disegala
bidang. Bagi penyebaran penduduk yang
tidak merata dipulau pulau terpencil, termiskin dan terbelakang kewaspadaan
nasional dibina dengan meningkatkan kesejahteraan dan kewaspadaan penduduknya.
Bagi daerah frontier di perbatasan amak pemerintah menaruh kewaspadaan
tersendiri antara aparat pemerintah dan penduduk didaerah tersebut melaui
medsos, televisi dan telekomunikasi memberikan informasi tentang pembangunan
nasional dan kemajuan bangsa. Demikian
juga derah perkotaan dengan memelihara stabilitas keamanan dan kesejahteraan.
Pertanyaan generik muncul. Dalam menjalankan kehidupan
nasionalnya, dapatkah Bangsa Indonesia dalam wadah NKRI mempertahankan
kesepakatannya – mempertahankan persatuan dan kesatuannya – mempertahankan
integrasi nasionalnya. Pertanyaan lain sehubungan dengan hal tersebut;
bagaimana Bangsa Indonesia harus menjalankan kehidupan nasioalnya – menuju
cita-cita dan tujuan nasionalnya. Adalah wajar pertanyaan itu muncul, karena
menurut teori organic, bangsa dan negara adalah kehidupan – setiap mahluk
hidup akan mempertanyakan kelangsungan
hidupnya. Oleh karenanya jaminan
kelangsungan hidup akan selalu menjadi pertanyaan – akan menjadi sesuatu yang sangat vital (core value) yang setiap saat perlu dan harus diwaspadai. Kewaspadaan
adalah sikap yang berkaitan dengan
jaminan kelangsungan hidup (survival). Oleh karena itu juga, kewaspadaan
nasional menjadi sebuah konsekuensi dari sebuah kelahiran Bangsa – Bangsa Indonesia dalam wadah NKRI. Mengkait dengan
pertanyaan kesanggupan mempertahankan kesepakatan menjaga persatuan,
mempertahankan kelangsungan hidup dalam integrasi nasional NKRI, -- berikut
cara-cara dalam menjalankan kehidupan nasional, akan sangat tergantung dari
potensi ancaman yang dihadapi Bangsa. Terlebih – lebih dalam alam Globalisasi.
Disamping itu, kualitas kewaspadaan nasional akan sangat berpengaruh terhadap
jalannya kehidupan nasional. Karena Kewaspadaan Nasional adalah sikap, kualitas
kesiapan dan kesiagaan dalam menghadapi ancaman.
Bagi bangsa Indonesia yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama,
ras dan golongan yang mempunyai adat istiadat berbeda-beda, serta adanya pengaruh lingkungan strategis,
semuanya itu menjadi rawan akan perpecahan apabila tidak mampu dikelola dengan
baik. Dengan demikian, masalah keamanan menjadi kebutuhan semua pihak, sehingga
kewaspadaan dini tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan (TNI dan
POLRI), tetapi kewaspadaan dini perlu
disikapi oleh seluruh penduduk Indonesia.
Kewaspadaan
dini tidak hanya dibutuhkan
bagi penduduk yang berdomisili di kawasan kota-kota besar yang memiliki
dinamika sosial politik, ekonomi dan keamanan
yang sangat tinggi. namun disetiap
wilayah NKRI. Menurut Prof. Dr. Nur Syam, M.Si,
Kewaspadaan dini adalah kondisi
kepekaan, kesiagaan dan antisipasi masyarakat (penduduk) dalam menghadapi
potensi dan indikasi timbulnya bencana, baik bencana perang, bencana alam, baik
bencana karena ulah manusia.
Dengan
demikian, kewaspadaan dini penduduk dimaksudkan untuk menjaga keamanan yang
merupakan kondisi kepekaan, kesiap-siagaan dan antisipasi penduduk dalam
menghadapi kemungkinan timbulnya gangguan keamanan. Semakin tinggi tingkat
kewaspadaan dini penduduk, maka akan dapat menekan tingkat gangguan keamanan
ditempat tersebut.
4. Demografi dengan Sistem Manajemen Nasional
Demografi
Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan antar golongan, berjumlah 254 juta jiwa. Bila dilihat
dari segi kualitas dan kuantitas maka penduduk Indonesia merupakan sumber daya
yang potensial yang dapat diberdayakan dalam berbagai strata dan profesi,
sedangkan sumber kekayaan alam memiliki keragaman hayati, nabati dan mineral
serta luas laut yang mendominasi 2/3 wilayah Indonesia memiliki kandungan yang
tak ternilai bagi kemakmuran bangsa Indonesia. Ketiga potensi alam tersebut
perlu dikelola, diolah dan diberdayakan menjadi kemampuan nyata untuk
kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam pengelolaan potensi tersebut diperlukan perpaduan antara faktor
karsa, sarana dan upaya yang merupakan suatu metoda untuk mengubah setiap
potensi yang ada menjadi kemampuan agar memperoleh keberhasilan (outcome) sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam
lingkup tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, secara
konseptual mengubah trigatra (potensi alamiah) menjadi pancagatra (kemampuan).
Kemampuan nyata yang perlu dibangun adalah kemampuan Ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya dan hankam melalui suatu pembangunan nasional. Dalam
konteks pembangunan nasional, diperlukan suatu keterpaduan tata nilai, struktur
dan proses. Keterpaduan tersebut merupakan himpunan usaha untuk mencapai daya
guna dan hasil guna sebesar mungkin dalam penggunaan sumber daya dan sumber
dana nasional guna mewujudkan tujuan nasional. Proses itu semua dapat dinamakan
Sistem Manajemen Nasional (Sismennas).
Sismennas adalah suatu upaya
menyeluruh dengan memadukan faktor karsa, sarana, dan upaya (“Ends–Means–Ways”)
untuk memberdayakan, mengubah, meningkatkan potensi menjadi kemampuan nasional.
Mengubah potensi menjadi kemampuan dilaksanakan melalui Pembangunan Nasional.
Indonesia memiliki potensi berupa geografi, demografi, dan sumber kekayaan alam
tak terperi jumlahnya. Potensi-potensi tersebut merupakan modal dasar
pembangunan yang perlu dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Luas Indonesia bila dibentang di Eropa akan menutup London sampai Istambul.
Bila di benua Amerika, akan terbentang dari pantai barat ke pantai timur.
Kekayaan flora dan fauna memiliki berbagai varietas dan species. Hasil-hasil
hayati dan nabati dapat digali di Negara kepulauan RI. Di tahun 2000, para pimpinan dunia bertemu di New York mengumumkan
”Deklarasi Milenium”. Sebuah tekad untuk menciptakan “lingkungan yang kondusif
bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan” di tahun 2015. Indonesia ikut
menandatangani diantara 189 negara lainnya. Khususnya untuk menurunkan angka
kemiskinan dan kelaparan ekstrem di tahun 2015, menargetkan harus turun
setengahnya atau tinggal 50%. Namun realita mengungkapkan, secara absolut
jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data jumlah penduduk miskin pada Maret
2009 tercatat sebesar 32,53 juta jiwa (14,15 %). Strategi yang digariskan untuk
melepaskan dari perangkap kemiskinan, yaitu: pro growth, pro jobs, dan pro
poor. Pencapaian tersebut memerlukan percepatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5
persen per tahun dalam lima tahun mendatang.
5. Demografi dengan Kepemimpinan Nasional
Para ahli demografi pada mulanya
memproyeksikan bahwa pada abad ke-21, jumlah penduduk sudah sedemikian besarnya
tahun 2017 delapan milyar, idealnya hanya 3 sd 4 milyar, sehingga tidak ada
lagi ruang untuk bergerak, mereka tidak memperkirakan adanya pembangunan
ekonomi modern serta adanya pengaruh kepemipinan nasional dalam mengelola
pembangunan, termasuk pembangunan kependudukan. Indonesia telah mengalami
perubahan demografi yang besar karena angka fertilitas dan mortalitas[2].
Secara umum disparitas antar wilayah merupakan permasalahan pokok
dibidang kependudukan. Pada tahun 2035 populasi Indonesia diperkirakan akan
mencapai 343,04 juta jiwa, sehingga manajemen sumber daya manusia menjadi
penting dalam membangun strategi Negara, sebagaimana faktor
demografi menjadi bagian dari strategi jangka panjang Indonesia untuk mencapai
kesuksesan terhadap beberapa aspek terkait, yaitu jaminan kesehatan,
pendidikan, lapangan pekerjaan, dan dukungan[3]. hal ini membutuhkan pemimpin
nasional yang handal, termasuk kepemimpinan nasionalnya.
Terdapat
bermacam-macam defenisi tentang kepemimpinan nasional. Kepemimpinan Nasional
diartikan sebagai kelompok pemimpinan bangsa pada segenap strata kehidupan
nasional di dalam setiap gatra (ASTA GATRA) pada bidang/sektor profesi baik di
supra struktur, infrastruktur dan sub struktur, formal dan informal yang
memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/mengerahkan kehidupan
nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 serta memperhatikan dan memahami
perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam
memanfaatkan peluang. (Dr. Adi Sujatno, SH, MH). Sementara itu, DR. Susilo Bambang Yudhoyono, MA
(Presiden RI Periode 2005 – 2015) menekankan lima karakter manusia unggul yang
ingin dicapai oleh Indonesia: Pertama: Manusia-manusia Indonesia yang sungguh
bermoral, berakhlak dan berperilaku baik. Oleh karena itulah, masyarakat kita
harus menjadi masyarakat yang religius;
Kedua: adalah mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional; Ketiga : Manusia-manusia Indonesia yang makin
ke depan
menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar kemajuan; Keempat : SBY
mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat semangat harus bisa, yang
terus mencari solusi dalam setiap kesulitan; Yang terakhir (ke-lima) : kita
semua, manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa
dan negaranya, mencintai tanah airnya. (Pentingnya Karakter Bangsa, Situs resmi
Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 20 Mei 2011).
Pemimpin nasional yang dipilih 5
tahun sekali melalui demokrasi pemilu DPRD,
DPD, DPR, Prsiden dan wakilnya serta pemilihan kepala daerah Provinsi,
kabupaten dan kota akan terseleksi secara alami dan lolos sebagai pemimpin
nasional. dari sisi demografi masih
terdapat kendala yang sangat mendasar, yakni dibidang pendidikan, bahwa lulusan
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) jumlahnya lebih besar
dari pada lulusan Perguruan Tinggi.
Dengan demikian tentu akan menyulitkan dalam melahirkan kader pemimpin
nasional sesuai yang diharapkan. Sementara kualitas pemimpin nasional dituntut
memiliki nasionalisme dan wawasan kebangsaan, taat dan mampu menegakkan hukum,
memiliki keteladanan, dan memiliki integritas yang tinggi yang diaktualisasikan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga dapat
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Dari
penjelasan di atas
betapa jelasnya peran seorang pemimpin di dalam menggerakan masyarakat yang
dipimpinnya. namun demikian demografi yang ada
belum dapat melahirkan pemimpin dan memberikan kesempatan menjadi pemimpin
karena masih banyak yang pendidikanya rendah. Oleh
karena itu, salah satu yang harus dilakukan oleh para pemimpin tingkat
nasional untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang unggul adalah
dengan membangun manusia-manusia Indonesia yang berkualitas dan berkemampuan
tinggi, sehingga dapat bersaing dan
memenangkan persaingan pada setiap event,
bangsa yang unggul secara komparatif dan kompetitif.
6. Demografi dengan Hukum dan HAM
Perubahan sistem pemerintahan yang terjadi sejak
bergulirnya reformasi pada tahun 1998 membawa konsekuensi pada
perubahan mindset dan perilaku penduduk (selanjutnya disebut
dengan masyarakat). Kebebasan dan keterbukaan dimaknai berlebihan, termasuk
cara masyarakat memandang hukum. Secara
teoritis dapat dikemukakan bahwa dalam konsep penegakkan hukum, terdapat tiga
tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat
dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal. Keadilan adalah perekat
tatanan kehidupan bermasyarakat yang
beradab. Hukum diciptakan agar setiap penduduk termasuk penyelenggara negara
melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan
mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan sesuatu
tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan.
Penyimpangan perilaku masyarakat yang kadang mengabaikan
aturan hukum seringkali terjadi, seperti tindakan anarkis. Perbedaan
pendapat dan/atau perbedaan kepentingan bisa berakhir pada tindakan
anarkis, konflik sosial atau unjuk rasa
dapat berujung pada kericuhan, bentrokan dan tindakan anarkis. Terhadap tindakan-tindakan semacam ini, hukum
harus ditegakkan dengan optimal agar negara hukum yang dianut oleh bangsa
Indonesia menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
agar keadilan, kepastian, dan kemanfaatan
hukum tercapai.. Tegaknya hukum guna mendukung supremasi hukum ini
merupakan salah satu prasyarat bagi terwujudnya ketahanan nasional yang
tangguh.
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa obyek dan subyek
hukum adalah manusia (penduduk), tegak
dan berjalannya hukum sebagaimana yang diharapkan, akan memberikan
sumbangan yang signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Perbandingan
antara aparat penegak hukum dengan jumlah penduduk yang harus diawasi masih
belum seimbang. Contoh 1 Polisi mengawasi 100 orang sekarang ini masih
mengawasi 400 orang bahkan ada daerah yang 1000 orang. Demikian juga aparat
penegak hukum lainya. Oleh karena itu
demografi dan penegakan hukum membutuhkan penegak hukum yang profesional.
7. Demografi dengan Pengaruh Lingkungan Global
Dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara saat ini, sangat dirasakan adanya pengaruh globalisasi yaitu ekonomi global dan informasi. Derasnya
arus informasi yang tidak mengenal batas. Arus informasi tersebut dapat
berdampak positif maupun negatif
terhadap kehidupan di dalam negeri. Untuk itu, sebagai suatu bangsa yang
berdaulat, Indonesia dituntut
untuk mewaspadainya dan mampu untuk memilih dan memilah penggunaan informasi
apa saja yang ada manfaatnya dengan masuknya atau beredarnya berbagai informasi
baik yang tertulis maupun visual mengenai sesuatu keadaan/kejadian. Sementara faktor ekonomi adanya
perdagangan bebas menuntut Indomesia untuk menyiapkan produknya agar mampu
bersaing dengan negara lainnya.
Pemerintah
berkewajiban untuk menerbitkan informasi kependudukan yang resmi agar tidak
terjadi bias dengan kepentingan-kepentingan lainnya yang tidak benar. Informasi
kependudukan yang tertata dengan baik dapat menjadi asset baik untuk
kepentingan di dalam negeri maupun sebagai bahan rujukan bagi negara-negara
lainnya yang membutuhkan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi
telah memungkinkan suatu bangsa dari berbagai negara di dunia ini untuk
melakukan interaksi. Apabila masyarakat keliru mencernakan informasi tersebut
maka akan dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Kondisi tersebut dapat
menjadi suatu ancaman, termasuk ancaman
dalam bidang kependudukan, yang apabila masalah tersebut tidak disikapi dengan
bijak oleh pemerintah disertai langkah-langkah yang kongkrit untuk menghindari
pengaruh negatif yang akan ditimbulkannya.
Pengaruh lingkungan global yang juga akan mewarnai pembangunan kependudukan di tahun-tahun mendatang, apalagi Indonesia telah ikut meratifikasi kesepakatan pembangunan global atau Millenium Development Goals (MDGs) yang menekankan pencapaian pembangunan tahun 2015 untuk meningkatkan taraf kehidupan. Dalam MDGs terdapat 8 (delapan) sasaran yang sangat terkait dengan kependudukan, yaitu : (1) pengurangan kemiskinan dan kelaparan; (2) pencapaian pendidikan dasar yang universal; (3) promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) pengurangan tingkat kematian bayi; (5) peningkatan kesehatan ibu; (6) pencegahan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; (7) penjaminan keberlanjutan lingkungan; dan (8) kemitraan global. MDGs ini merupakan semacam konklusi dari berbagai kesepakatan internasional yang juga harus dianut oleh negara-negara yang ikut m meratifikasinya (termasuk Indonesia). Untuk Tahun 2017 berlaku Sustainable Development goals (SDGs) yang terdiri dari: 17 Goals , 169 target , 300 indikator. yaitu (1) Goal 1: 7 target: Mengakhiri segala bentuk kemiskinan di manapun. (2). Goal 2: 8 target mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan. (3) Goal 3 : 13 target -Menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraanbagi semua orang di segalausia.(4) Goal 4: 10 target- Menjamin pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang. (5). Goal 5: 9 target - Menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh wanita dan anak perempuan.(6). Goal 6 : 8 target-Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi yang berkelanjutan bagi semua orang. (7).Goal 7: 5 target - Menjamin akses energi yang terjangkau, terjamin, berkelanjutan dan modern bagisemua orang.(8). Goal 8: 12 target- Mendorong pertumbuhan ekonomi yang terusmenerus, inklusif, dan berkelanjutan, serta kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua orang. (9). Goal 9: 8 target-Membangun infrastruktur yang berketahanan, mendorong industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan serta membina inovasi. (10) Goal 10:10 target- Mengurangi kesenjangan di dalam dan antar Negara. (11). Goal 11: 10 target - Menjadikan kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, berketahanan dan berkelanjutan. (12).Goal 12:11 target- Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan . (13) Goal 1 : 5 target mengambil tindakan mendesak untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya. (14).Goal 14:10 target-Melestarikan dan menggunakan samudera, lautan serta sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan. (15). Goal 15 : 12 target-Melindungi, memperbarui, serta mendorong penggunaan ekosistem daratan yang berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan, menghentikan dan memulihkan degradasi tanah, serta menghentikan kerugian keanekaragaman hayati. (16). Goal 16: 12 target-Mendorong masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan bagi semua orang, serta membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di seluruh tingkatan.(17). Goal 17 : 19 target - Memperkuat cara-‐cara implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan .
Anak muda sebagai hasil bonus demografi harus belajar membangun kemitraan
positif. Pengembangan super tim harus
menjadi acuan proses pembangunan di Indonesia. Persahabatan antar negara
diarahkan untuk membangun kesempatan kerja bagi bonus yang besar Menuju
pembangunan berkelanjutan. dan Kerjasama global perlu diarahkan pada tujuan
menyerap potensi tenaga kerja yang melimpah.Pada tahun 2017 penduduk dunia
mencapai 8 milyar, padahal idealnya bumu hanya mampu menampung 3sd4 milyar,
maka akan timbul ketimpangan akibat kemiskinan dan kesehatan, konflik perebutan
sumberdaya dan kelangkaan energi. Konflik
anat penduduk dan antar etnis telah menyebabkan migrasi besar besaran dari
Suriah ke Eropa, daerah Timur Tengah ke Asia dan Australia yang menimbulkan
permasalahan tersendiri. Dibutuhkan inovasi yang cerdas dan kreatifitas baru
untuk penduduk bumi tinggal di planet lain.
8. Demografi dengan Pengaruh Lingkungan Regional
Indonesia
dengan jumlah penduduk sebanyak
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan berdasarkan data Susenas 2014 s/d 2015, jumlah penduduk
Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. juta jiwa merupakan negara yang
mempunyai penduduk terbesar keempat di dunia, setelah Tiongkok, India dan
Amerika Serikat. Posisi Indonesia yang berada di kawasan Asia, selain memiliki
penduduk yang besar, juga memiliki sumber kekayaan alam yang cukup bisa
diandalkan untuk mendukung pembangunan nasional.
Dengan berlakunya Dalam
konteks permasalahan kependudukan, Indonesia memang tidak sendiri menghadapi
masalah kependudukan, karena tujuh dari sepuluh penduduk terpadat di dunia
berada di Asia. Namun demikian ada hal
yang menguntungkan (berpeluang untuk berhasil) dalam mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk, karena program tersebut pernah sukses pada pemerintahan
orde baru, yaitu program keluarga berencana, dan sampai sekarang masyarakat
masih bisa menerima dan mendukung program KB tersebut.
Belajar dari sejarah
pemerintah Tiongkok pada tahun 1970 pernah belajar dari Indonesia tentang
program keluarga berencana yang dinilai berhasil dalam menekan angka kelahiran.
Seharusnya Indonesia
bangga sebagai negara percontohan dimana Tiongkok menilai program keluarga
berencana yang mereka lakukan saat ini dinilai berhasil adalah hasil dari
belajar dari Indonesia. Pemerintah Tiongkok telah menetapkan suatu kebijakan
tentang perlunya pengendalian angka kelahiran karena apabila jumlah penduduk
tidak terbatas, pada gilirannya akan menimbulkan kesenjangan sosial yang tajam.
Ternyata
setelah 30 tahun pemerintah Tiongkok melaksanakan program kependudukan, telah
berhasil mengendalikan angka kelahiran di negaranya, dan program kependudukan
ini memberikan kontribusi terhadap program pertumbuhan ekonomi di Tiongkok.
Keseriusan pemerintah Tiongkok dalam memajukan program keluarga berencana
sangat terlihat jelas dengan dibangunnya sejumlah sarana dan teknologi yang
mendukung, disertai dengan tidak henti-hentinya melakukan kampanye yaitu “Satu
Keluarga Satu Anak” (one family one child).
Negara
tetangga Tiongkok, yaitu Taiwan, pada tahun 2011 telah berhasil menurunkan
angka kelahir terendah di dunia, yaitu sebesar 0,94 % jauh dibawah angka
rata-rata dunia 2,1 % yang merupakan replacement level. Walau jumlah penduduk
Tiongkok dan Taiwan belum menurun,
mereka telah dipusingkan dengan masalah kekuarangan tenaga kerja muda dan
peledakan jumlah penduduk lansia. Namun Singapura amat cepat menyelesaikan
transisi demografinya, meskipun saat ini masih menghadapi masalah ledakan
jumlah penduduk lansia.
Sementara itu dengan jumlah penduduk yang banyak
berkontribusi terhadap besarnya Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga Indonesia
masuk G18, bahkan tahun 2016 Indonesia diundang kepertemuan G8. hal ini menunjukkan demografi Indonesia
menghasilkan PDB yang tinggi dan kepemimpinan yang diakui dunia.
BAB
VI
PENUTUP
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan hidup manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, telah berjalan dalam waktu
yang sangat lama, tetapi perhatian manusia pada pengetahuan kependudukan baru
mulai pada tahun 1662. Ada keterkaitan antara sejarah kependudukan di Eropa
dengan Negara negara di Asia termasuk Indonesia, yang paling utama adalah pada perubahan angka pertumbuhan penduduk.
Kita semua
harus ikut bertanggung jawab atas pertumbuhan penduduk yang relatif cepat
itu, begitu pula dalam membatasi
kelahiran untuk meminimalisir keadaan yang sering terjadi, diantaranya kematian
ibu atau bayi saat proses melahirkan. Kita wajib memberikan masukan-masukan
yang positif dan memberi informasi pada masyarakat tentang pentingnya
memelihara kesehatan dan harus ada kerja sama antara masyarakat dan pemerintah
dalam mencari solusi terkait dengan masalah
kependudukan.
Masalah kependudukan di Indonesia merupakan
masalah yang menuntut penyelesaian
dengan segera. Ketidakmerataan persebaran
penduduk
di Indonesia sangat berpengaruh terhadap upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi masalah ini
berhadapan dengan berbagai hambatan dan keterbatasan, sehingga tidak dengan
mudah dapat dilaksanakan.
Indonesia
dengan penduduk saat ini lebih dari 243.740 juta jiwa, dengan wilayah yang
terdiri dari kepulauan serta laju pertumbuhan penduduk yang berbeda beda, telah
melahirkan dinamika migrasi yang khas. Pola migrasi yang ada sangat menarik
untuk dikaji. Faktor faktor penyebab, baik faktor pendorong maupun faktor
penarik timbulnya migrasi tumbuh dalam kompleksitas yang meningkat sesuai
dengan perkembangan masyarakat, dengan demikian berarti upaya penyelesaian
masalah kependudukan menjadi semakin rumit. Semoga
materi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Ananta
Aris,Lembaga Demografi FEUI,1995.Transisi Demografi,Transisi Pendidikan dan
Transisi Kesehatan di Indonesia,Kantor Menteri Kependudukan Republik
Indonesia/BKKBN.
Adioetomo
Sri Moertiningsih, Samosir Omas Bulan, 2011. Dasar dasar Demografi,Edisi kedua,Salemba
Empat.Jakarta.
Dwiyanto Agus, Kebijakan Kependudukan, Pusat Kependudukan Universitas
Gajah Mada ( www.wonderwahtbiz )
Harmadi Sonny Harry B, Handayani Dwini,
Hidayat Zainul, Saputra Muda, Mariun Badrun N,
2011, Pembangunan Berwawasan Kependudukan, BKKBN & LD FEUI
Jalal
Fasli, Paparan Pembangunan Berwawasan Kependudukan, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana, Bandung, 26 November 2014
Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Tahun 2012, Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun
2011-2035,
Lembaga
Ketehanan Nasional Republik Indonesia. RevisiPetunjuk Taskap, 2014, halaman 12
Mantra
Ida Bagoes, 2013,Demografi Umum,Edisi kedua,Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Rusli Said, 2014.
Pengantar Ilmu Kependudukan. Cetakan
kesembilan. LP3ES. Jakarta
[1]http://finance.detik.com/read/2014.
Urutan penduduk dunia: China 1.355.692.576 ,
India 1.236.344.631 , Amerika
Serikat 318.892.103 , Indonesia
253.609.643, Brasil 202.656.788 dan
Pakistan 196.174.380.
[2] Adioetomo, Sri
Moertiningsih, 2013, Ringkasaonograf Penuaan Penduduk Indonesia: Fakta
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, UNFPA Indonesia Country Office, pada Materi Pokok Bidang Studi Lingkungan
Strategis, Lemhannas RI. hal. 131.
[3] Bambang H,dkk. Tim Pokja
Bidang Studi Lingstra, 2016. Materi Pokok
Bidang Studi Lingkungan Strategis, Lemhannas RI. hal.131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar