Jumat, 31 Maret 2023

Survei


 

Mengenal sejarah Israel dan Palestina

 


ISRAEL DI MATAKU

 Israel dari Perspektif Seorang Ilmuwan *Luthfie Asyaukanie*, pengajar di Universitas Paramadina, serta Deputi Direktur di Freedom Institute.

    

*BEBERAPA CATATAN DARI ISRAEL*


Saya baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.


Ketika transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul.. Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.

Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.


Tentu saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.


Kecerdasan itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian peraih Nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.


Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.


Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa Arab.


Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru angin oleh musuh-musuhnya.


Saya sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah 60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.


Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betula bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah.. Setiap melihat keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:


_Engkau ciptakan gulita_

_Aku ciptakan pelita_

_Engkau ciptakan tanah_

_Aku ciptakan gerabah_


Dalam Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama Israel _(Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan)_ disematkan kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.


Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.


Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orag-orang Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.


Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan yang membentuknya seperti sekarang ini. 

Tapi, jangan bayangkan ia seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.

Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.


Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.


Saya protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”


Ada banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.


Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.

Namun, di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.


Tapi begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.

Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup, cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.


Tapi para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh. Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.


Tentu saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.


Saya tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak masuk akal. □*****


  

*Luthfi Assyaukani* (Paramadina Mulia Jakarta)  


_"Our worst days are never so bad that (we) are beyond the reach of God’s grace . And (our) best days are never so good that (we) are beyond the need of Gods grace”._ Jerry Bridges.Israel dari Perspektif Seorang Ilmuwan *Luthfie Asyaukanie*, pengajar di Universitas Paramadina, serta Deputi Direktur di Freedom Institute.

    

*BEBERAPA CATATAN DARI ISRAEL*


Saya baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.


Ketika transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul.. Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.

Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.


Tentu saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.


Kecerdasan itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian peraih Nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.


Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.


Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa Arab.


Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru angin oleh musuh-musuhnya.


Saya sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah 60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.


Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betula bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah.. Setiap melihat keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:


_Engkau ciptakan gulita_

_Aku ciptakan pelita_

_Engkau ciptakan tanah_

_Aku ciptakan gerabah_


Dalam Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama Israel _(Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan)_ disematkan kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.


Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.


Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orag-orang Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.


Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan yang membentuknya seperti sekarang ini. 

Tapi, jangan bayangkan ia seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.

Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.


Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.


Saya protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”


Ada banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.


Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.

Namun, di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.


Tapi begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.

Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup, cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.


Tapi para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh. Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.


Tentu saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.


Saya tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak masuk akal. □*****


  

*Luthfi Assyaukani* (Paramadina Mulia Jakarta)  


_"Our worst days are never so bad that (we) are beyond the reach of God’s grace . And (our) best days are never so good that (we) are beyond the need of Gods grace”._ Jerry Bridges.

CINA DAN YAHUDI RAS UNGGUL

 *HIDUP BERSAMA YAHUDI DAN CINA.*


Oleh Iyyas Subiakto

Sumber FB


Mungkin di semua kitab suci Allah sudah menyampaikan bahwa *Yahudi itu ras pilihan* , terlepas ada yg suka dan tidak tapi ini fakta dan mereka diendorse Tuhan.


Sementara ras orang Cina  _yg diendorse oleh Nabi Muhammad_  juga sama , sekarang menjadi fakta , mereka maju dan tak lama lagi menguasai dunia.


Yahudi yg populasinya tidak mencapai 10 juta orang di seluruh dunia , tapi konon mereka menguasai 2/3 kekayaan dunia , *bayangkan manusia dgn jumlah populasi yg hanya 0,13% di dunia itu bs berkuasa secara financial , apalagi kalau gak pintar.* 


Terus pintarnya dari siapa ya Tuhan , Cina juga *sama.* 


Di luar perpolitikan mestinya kita *harus berkawan* dgn Yahudi , kawan dgn orang pinter itu kan gak salah , kalau ada yg bilang mereka dikutuk Tuhan , *lha buktinya mereka tetap diberi kecerdasan* , sama jg dgn *Cina , mereka ulet , pintar dan militan.* 


Jadi kenapa kita ngurusi soal mereka mau jadi kerak neraka , ya biar aja , dan itu kan kata kita , kan itu urusan Tuhan , lagian itu masih nanti , *sekarang kita ngurus dunia dulu aja* , nanti kalau sudah di akhirat kan masing2 lewat jembatan sirotol Mustaqin . Ada yg lolos ada yg jatuh.


Saya kadang bingung apa rencana Tuhan , *Yahudi disebut ras terbaik* , tapi konon jg dikutuk , tapi *tetap jg dikasi kecerdasan premium , dikasi kekayaan dunia yg melimpah.* 


Nah kita yg tiap hari takbir _hidupnya disuruh bergantung_ dgn Yahudi dan Cina , sebenarnya ini maunya apa.


Ada yg bilang ini cobaan buat manusia beriman , _apa tahan dan bisa hidup dgn cobaan jauh dari karya Yahudi dan Cina_ ```gimana caranya.``` 


 ```Coba ada yg bisa kasih wayout.``` 😎😎😎


Nulis FB ini saja amal jariahnya diambil Yahudi dan Cina , gimana tidak, _Gadgetnya Red Mi buatan Cina_ , *FB , WA , Twitter, dst ciptaannnya Yahudi* , karena ```azas manfaatnya mereka yg punya.``` 


Nabi Muhammad juga bilang , sebaik2 manusia adalah *manusia yg bermanfaat utk manusia lainnya dan seisi alam.* 


 Sekarang ini *faktanya itu yg dilakukan Yahudi dan Cina* , kita bisa apa. 🤦‍♂️🤦‍♂️🤦‍♂️


Inilah resiko kalau bawa mobil liatnya kaca spion melulu , spedometer nol gak tau , nyampe nggak , tau2 ditabrak dari belakang karena jalannya pelan.


Mau laju , yg diinjak pedal rem.


Ethiopia yg tandus , 75% lahannya *dihijaukan oleh teknologi pertanian IsraeL* ,  pabrik tekstil dan industri dibangun Cina , _sementara Arab Saudi ngebom Yaman saudara seiman_ , kebolak balik kan ?.


 Tambah bingung Saya. 😝😝😝


 video youtuber yg menyampaikan urutan produk temuan ras Yahudi yg kita pakai 24 jam sehari tanpa henti , sambil kita terus maki2 yg menemukannya dan selama ini *telah membuat hidup manusia semakin mudah dan mulia* , terus kita ini siapa sebenarnya , sudah gak bisa buat , tapi menghujat , kalau mau konsisten dan *_gak munafik_* ya coba gak usah pakai hp, gak pakai WA, gak pakai FB, dst


Apa terus cuma mau makan pisang.


Sudah itu aja gak panjang2, takut ada yg tersungging , andai saja GUSDUR masih ada alangkah indahnya , mungkin kita sudah kawan sama Israel , enak berkawan ama orang pinter bisa belajar , gak cuma menghafal kitab suci , tapi tiap hari kerjanya maki2. 

SONTOLOYO


SALAM INDONESIA BERDIKARI 🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Sabtu, 04 Maret 2023

Kontroversi putusan PN Jakpus tentang Penundaan Pemilu

 *Jalan Akhir Penundaan Pemilu Melalui Pengadilan: Cipta Kondisi Chaos*


Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)


Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sulit dilihat sebagai produk hukum semata. Tetapi bisa juga bagian dari skenario besar menunda pemilu yang selama ini sudah kencang didengungkan.


Karena hampir mustahil kalau PN Jakpus tidak mengerti permasalahan penyelesaian pemilu.


Mahkamah Agung (MA) juga  sudah bersuara, membela putusan PN Jakpus, dan menegaskan hakim PN Jakpus tidak bisa disalahkan. Artinya, putusan PN Jakpus menurut Mahkamah Agung sudah benar: "Hakim tidak bisa dipersalahkan secara kedinasan terkait produk putusannya, karena putusan dianggap benar".


Upaya hukum selanjutnya adalah banding, dan seterusnya. Prosesnya sangat panjang. Silakan dicoba. Tetapi, bagaimana kalau pengadilan selanjutnya menguatkan Putusan PN Jakpus, yaitu KPU terbukti melakukan perbuatan melawan hukum?


Untuk bukti ini, sepertinya tidak sulit. Menurut PN Jakpus, KPU sudah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, melawan Putusan Bawaslu yang berkekuatan hukum. 


Yaitu, Bawaslu memerintahkan KPU agar memberikan kesempatan kepada Partai Prima untuk bisa menyerahkan dokumen verifikasi administrasi perbaikan selama 1x24 jam.


Sepertinya KPU gagal melaksanakan Putusan Bawaslu ini.


Mungkin saja KPU memang “diarahkan” untuk melakukan perbuatan melawan hukum, melawan Putusan Bawaslu? Terkesan ada kesengajaan!


Terlepas dari itu, sengaja atau tidak sengaja, yang mengejutkan adalah konsekuensi perbuatan melawan hukum KPU ini.


Yaitu, PN Jakpus memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024, tetapi harus diulang dari awal, yang makan waktu 2 tahun 4 bulan dan 7 hari, hingga pelantikan presiden.


Putusan ini sangat mengada-ada, tidak logis, dan patut diduga bagian dari skenario besar penundaan pemilu, untuk menciptakan kondisi ketidakpastian yang dapat membuat chaos.


Alasannya sebagai berikut. *Pertama*, tahapan pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu hanya 4 bulan 16 hari saja (29/07/22-13/12/22). Karena itu, sanksi waktu yang bisa diberikan kepada KPU maksimal hanya terkait tahapan ini. Sedangkan tahapan lainnya tidak ada urusan dengan sengketa partai Prima dan KPU.


Misalnya, tahapan *penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan (14/10/22-9/02/23)*, tidak ada hubungan dengan apakah Partai Prima ikut sebagai peserta pemilu atau tidak. Sehingga tidak relevan semua tahapan pemilu harus diulang dari awal.


*Kedua*, verifikasi Partai Prima bahkan seharusnya bisa dilakukan secara paralel dengan sisa tahapan pemilu ke depannya. Sehingga pemilu tetap bisa dilaksanakan sesuai jadwal 14 Februari 2024.


Bahkan, lebih ekstrim lagi, PN Jakpus seharusnya mengikuti apa yang sudah diputuskan oleh Bawaslu tetapi tidak dilaksanakan oleh KPU, yaitu cukup memberi waktu kepada Partai Prima selama 1x24 jam, untuk menyerahkan dokumen verifikasi administrasi.


Putusan Bawaslu, sebagai pihak yang berwenang memutuskan sengketa pemilu, wajib ditaati oleh semua pihak, termasuk PN Jakpus terkait verifikasi administrasi Partai Prima.


Oleh karena itu, Putusan PN Jakpus bahwa tahapan pemilu harus diulang dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sangat tidak masuk akal, melawan Putusan Bawaslu, dan patut diduga bagian dari skenario besar menciptakan kondisi ketidakpastian yang berpotensi memicu chaos.


Karena kalau pengadilan selanjutnya menguatkan putusan PN Jakpus, maka pada Oktober 2024 akan terjadi kekosongan jabatan anggota parlemen (DPR/DPD) dan eksekutif (presiden dan kabinet).


Dan, Indonesia akan menjadi rimba belantara perebutan kekuasaan. 


—- 000 —-


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230303114417-12-920279/ma-bela-hakim-pn-jakpus-terkait-polemik-putusan-tunda-pemilu-2024/amp

ISU PENUNDAAN PEMILU

ISU GEOPOLITIK PENUNDAAN PEMILU DAN GERILYA 2024* 


Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) memutuskan untuk tidak melaksanakan pemilu selama 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari semenjak putusan dibacakan pada hari Kamis, 2 Maret 2023 atas gugatan Partai Prima karena dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam verifikasi administrasi partai politik. "Kita banding," kata Ketua KPU, Hasyim Asyari. 


Putusan PN Jakpus cukup fenomenal di tengah memanasnya _copras-capres_ jelang Pemilu 2024. Artinya, jika putusan PN tersebut dijalankan maka bakal tidak ada pemilu hingga 2025. Dengan kata lain, "Pemilu 2024 ditunda!"


Menariknya, putusan PN Jakpus diketok (2/3) usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materil masa jabatan presiden (28/2). Tok! Tok! (bunyi palu diketok) lalu isu kontroversi tentang perpanjangan masa jabatan presiden (tiga periode) pun bubar. MK menolak. Isu Jokowi tiga periode tutup layar. _The end._


Beberapa pakar Hukum Tata Negara (HTN) langsung bersahut-sahutan di ruang publik terkait putusan PN Jakpus di atas. 


Tak pelak, Denny Indrayana, Guru Besar HTN UGM menyatakan, "PN tak punya yuridiksi dan kompetensi untuk menunda Pemilu". Putusan majelis hakim tak punya dasar, dan karenanya tak bisa dilaksanakan, kata Denny (2/3/2023). "Atas dasar itu, putusan PN Jakpus harus ditolak dan harusnya dari awal tidak dikeluarkan," pungkas Denny.


Namun lain Denny, lain pula pendapat Prof Yusril Ihza Mahendra (YIM). Poin pendapat Prof YIM lebih terurai, "Gugatan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara".


Dalam perdata, sengketa yang terjadi adalah antara Penggugat (Partai Prima) dan Tergugat (KPU). Tidak menyangkut pihak lain. Oleh karena itu, putusan mengabulkan dalam sengketa perdata hanya mengikat penggugat dan tergugat saja, tidak dapat mengikat pihak lain. Beda dengan putusan di bidang hukum tata negara dan administrasi negara seperti pengujian oleh MK atau peraturan lainnya oleh MA, sifat putusannya berlaku bagi semua orang _(erga omnes)_, ujar YIM.


Dalam kasus gugatan perbuatan melawan hukum oleh Partai Prima, jika gugatan ingin dikabulkan majelis hakim, maka putusan itu hanya mengikat Partai Prima sebagai Penggugat dan KPU sebagai Tergugat, tidak mengikat partai lain baik calon maupun sudah ditetapkan sebagai Peserta Pemilu.


Jadi, kalau majelis berpendapat bahwa gugatan Partai Prima beralasan hukum, maka KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima, tanpa harus 'mengganggu' partai-partai lain dan mengganggu tahapan pemilu. Pada hemat saya, majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan gugatan tak dapat diterima karena PN tidak berwenang mengadili perkara tersebut, pungkas Prof YIM. 


Menkopolhukam, Prof MMD, justru lebih menohok analoginya, "Putusan penundaan pemilu oleh PN ibarat peradilan militer memutus kasus perceraian".


Pertanyaan nakal muncul, apakah penundaan pemilu ala PN Jakpus kebetulan, dan terkait dengan Pemilu 2024? Jawabannya, "Ada! Terkait dengan Pemilu 2024, dan tidak ada kebetulan di muka bumi".


Dalam tulisan saya bertajuk: MEMBACA SKENARIO PEMILU MELALUI AGENDA 2024 diurai asumsi, bahwa Agenda 2024 adalah melanjutkan program infrastruktur Jokowi. Titik. Atas dasar asumsi tersebut, ada prakiraan tiga Skenario di 2024, antara lain: 


Skenario I: Jokowi tiga periode; 


Skenario II: Perpanjangan waktu jabatan presiden. Skenario ini memiliki konsekuensi penundaan pemilu sebagai langkah awal berdalih kegentingan memaksa ataupun 'dipaksakan'; 


Skenario III: Tetap digelar Pemilu dan/atau pemilihan presiden (pilpres), tetapi dengan syarat bahwa kandidat pilihan Jokowi HARUS MENANG dalam rangka meneruskan program infrastruktur yang belum selesai termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).


Maka, dengan ditolaknya isu tiga periode oleh MK, Skenario pun I gugur. Jadi, tinggal dua skenario tersisa yakni Skenario II: 'Tunda Pemilu', dan Skenario III: 'Tetap digelar pilpres namun kandididat pilihan Jokowi harus menang'.


Pertanyaan selidik, "Dari dua skenario yang tersisa, manakah skenario yang akan digelar pada 2024?"


Hingga hari ini, kedua skenario baik penundaan pemilu (Skenario II) maupun digelar pilpres (skenario III) tetap berproses secara terstruktur, sistematis lagi masive. Dan penundaan pemilu ala PN Jakpus, diduga kuat merupakan manuver alias gerilya para pihak yang menginginkan program infrastruktur Jokowi terus berlanjut. 


Jadi, gejolak elitis dari kaum akademis tentang putusan PN Jakpus sebagaimana diurai sekilas di atas, seyogianya tidak menyoal sah atau ilegal putusan PN, boleh atau tidak -- tetapi yang lebih utama adalah menyoal siapa _power_ di balik Tim Hakim penundaan pemilu.


Kenapa demikian?


Agaknya, dalih kegentingan memaksa yang hendak dijadikan basis penundaan pemilu sudah terbaca publik, maka gerilya politik penundaan Pemilu 2024 melalui putusan PN.


Dan dari balik jendela rumah, lamat-lamat kudengar intro lagu 'Pantun Janda' yang lagi viral: 


"Kuda mana, kuda mana tuan inginkan; kuda putih, kuda putih di dalam kandang; janda mana, janda mana tuan inginkan; janda putih, janda putih berambut panjang"..


*Tamat__*

Senin, 27 Februari 2023

MEMAHAMI WONG SOLO

 Pandangan seorang pengamat: Roes Haryanto *)


Judul tulisan ini sengaja kami buat “Memahami wong Solo”, bukan memahami orang Jawa, karena memang orang Solo berbeda dengan orang Surabaya, orang Semarang, orang Banyumas, walaupun semua yang terakhir ini oleh orang luar sering disebut orang Jawa.


Bahkan orang Solo berbeda dengan orang Yogya. 

Orang Solo pakai beskap, orang Yogya pakai surjan. 

Orang Solo pakai blangkon, orang Yogya pakai mondolan. 

Sampai saat ini orang Solo masih bertengkar terus dengan orang Yogya, masing-masing mengklaim sebagai pusatnya kebudayaan Jawa.


Sebetulnya dulu sama, tetapi Belanda yang membeda-bedakan agar antara keraton Solo dan Yogya tidak bersatu menjadi satu kekuatan politik dan militer yang kuat. Bahkan antar keluarga Yogya atau keluarga Solo sendiri juga dipecah-pecah. Sehingga di Yogya sekarang kita mengenal ada Kasultanan dan Pakualaman, di Solo kita mengenal ada Kasunanan dan Mangkunegaran.


Priyayi Solo:

Jaman dulu, didalam tatanan masyarakat Solo kelompok ningrat, bangsawan atau golongan berdarah biru, mempunyai derajat yang paling tinggi. Kemudian menyusul kelompok ambtenaar atau priyayi, baru kelompok pedagang. Priyayi, walaupun banyak pula yang menyandang gelar, bukan termasuk kelompok ningrat, sebagaimana yang diduga orang selama ini. Priyayi adalah mereka yang duduk dalam infrastruktur administrasi Hindia Belanda di Indonesia. Mereka berpendidikan Belanda (HIS, HBS, MULO), dan menduduki jabatan-jabatan seperti onderwijzer (guru), opziener (penilik), beheerder (kepala kantor), commies (komis) dan jabatan-jabatan di pangreh praja (vide: Baca Para Priyayi, karangan Umar Khayam)


Menjadi priyayi merupakan idaman setiap inlanders (orang pribumi), karena gajinya besar, bisa bergaul dan Nederlands spreken (bicara bahasa Belanda) dengan mereka. Hal ini juga menjelaskan mengapa orang-orang Jawa dulu selalu bercita-cita menyekolahkan anaknya setinggi mungkin agar bisa menjadi ambtenar / pegawai negri


Namun Golongan ningrat menganggap profesi pedagang sebagai pekerjaan rendah, tukang menipu, kulakan misalnya sebagai contoh (modalnya) Rp100,- bilangnya Rp150,-. 


Orang Kraton tidak ada yang mau berdagang, karena dianggap akan menjatuhkan martabatnya. Kalaupun ada kesempatan berbisnis, biasanya tidak dikerjakan sendiri tetapi diserahkan ke Cina.


Dulu orang-orang kaya Solo adalah pengusaha batik yang tinggal mengelompok di satu daerah namanya Laweyan. Mereka ini mendapat julukan “galgendu” (pengusaha kaya). Sampai beredar cerita, orang Laweyan karena saking kayanya konon sampai-sampai dinding dan bak kamar mandinya ditempeli uang ringgit emas semua.

Walaupun mereka ini kaya-kaya sekali namun tidak pernah ada yang mendapat anugerah gelar kebangsawanan dari keraton. Paling tinggi mereka disapa manganten (pria) dan mbokmase (perempuan).


Sebaliknya ada seorang Cina Go Tik Swan yang rajin memelihara, meneliti dan membukukan pusaka-pusaka kraton mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan diberi tetenger (nama) Harjonegoro (vide: seperti nama Pasar Gede, Solo)


Tidak to the point:

Orang Solo sering dituduh kalau punya maksud bicaranya mbulet (melingkar-lingkar), tidak ‘straight to the point’.

Berbeda dengan orang Surabaya yang lebih lugas dan ‘straightforward’. Bagi yang tidak mengerti / memahami karakteristik uwong Solo, memang benar, agak melingkar-lingkar. Namun bagi orang Solo ‘cekek’ (asli) sendiri sebetulnya ini merupakan tehnik diplomasi yang tinggi. Kalau misalnya, saya mau pinjam mobil ke Pak Indaryono, yang sama-sama orang Solo, saya akan datang kerumahnya dan mengatakan: “Pak Indar, sebetulnya besok itu saya ada rencana mau ke Sragen, ada undangan manten, tetapi mobil saya masih di bengkel”.

 Pak Indaryono sebagai orang Solo, “tanggap ing sasmito” (faham) langsung bisa menangkap: Wah Pak Roes ini pasti mau pinjam mobil. 


Kalau Pak Indar berkenan meminjamkan mobilnya beliau akan mengatakan: 

“Lha monggo, pakai mobil saya saja kebetulan saya juga tidak kemana-mana.”


Namun jika Pak Indar tidak berkenan, beliau akan mengatakan: “Wah kebetulan saya sendiri besok mau ke Semarang, nengok besan sakit.”


Dalam hal ini saya tidak akan merasa sakit hati ditolak, karena toh saya tidak pernah mengatakan mau pinjam. Begitu Sebaliknya Pak Indar juga tidak perlu merasa bersalah, toh tidak pernah mengatakan menolak. Diskursus ini pas dengan filsafat Jawa, menang tanpo ngasorake (menang tanpa mengalahkan). 

So the business is settled, nobody gets a hard feeling.


Bagimana caranya orang Solo minta tambah minum? Waktu bulan kemarin saya ke Solo menengok ibu, sempat mampir kerumahnya mas Sarasno (terakhir Inspektur Jogya) di Ngasem, Kartosuro. Tidak lama setelah duduk, suguhan (hidangan) keluar. Teh panas manis kenthel, pisang goreng & kacang rebus.


Ngobrolnya kesana kemari asyik sekali, tau-tau teh di gelas sudah habis, tapi ditunggu-tunggu koq nggak diisi lagi.

Wah ini harus pakai tehnik melingkar lagi.

 Saya akan pura-pura bertanya: “Mas dalan mburi ngomah kuwi joge nang endi?” (Mas jalan belakang rumah itu nyampainya ke mana ?) Dalam kosakata bahasa Jawa, jog juga bisa berarti tambah. Dengan begitu Mas Sarasno segera tahu kalau saya minta tambah teh lagi.


Pemimpin adalah rojo:

Orang Solo percaya bahwa seseorang bisa menjadi raja karena mendapat “pulung”, semacam wahyu. Kalau dia mendapat kesempatan menjadi pemimpin, apakah itu pemimpin cabang, pemimpin wilayah atau direktur, dia percaya bahwa telah mendapat “pulung”, yang orang lain tidak memilikinya. Jadi bukan hanya karena pandai saja. 

Makanya di Jawa ada ungkapan “ketiban pulung”, artinya kejatuhan rejeki. 


Sang pemimpin akan menganggap dirinya sebagai “rojo” (raja). Apalagi kalau dia benar-benar masih keturunan ningrat.

 Raja bebas berbuat apa saja terhadap kawulanya. Raja bebas mendekati kawulanya, guyon, bercanda, bicara dengan bahasa Jawa ngoko (bahas Jawa kasar), tetapi kawula tidak. Sedangkan Kawula tetap harus hormat dan menjaga jarak terhadap rajanya.


Makanya hati-hati kalau anda punya boss orang Solo. Kalau kemudian dia kelihatan begitu akrab dengan anda, relaks, suka bercanda, cengengesan, jangan cepat-cepat GR. Kalau dia ngajak ngomong Jawa ngoko, jangan coba-coba membalas dengan ngoko. Jangan coba-coba pula ikut cengengesan. That’s a very serious offence.


Anda tetap harus menjawab dengan bahasa Jawa halus, kalau bisa. Kalau tidak bisa lebih baik menggunakan bahasa Indonesia saja. 


Jadi lebih enak jadi orang Padang atau Mangkassara yang bisa omong Jawa. Kalau mereka ngomong Jawanya kasar orang Solo maklum, tetapi kalau bisa ngomong halus, “... wah hebat kali kau”.


Sombongnya orang Solo:

Bagaimana orang Solo memamerkan kekayaannya? Kemlinthi (sombong). Coba simak dialog antar ibu-ibu berikut pada suatu pertemuan arisan. 


Bu Dibyo: “Coba mbakyu apa ndak pusing, itu lho Heny, masak masih SMA saja dikasih uang saku Rp100.000,- sehari ndak cukup.” 

Bu Puji: “Dasar anak sekarang, itu lho jeng, Anto, baru kuliah semester 1 saja sudah minta BMW 318i. Ya sudah, terpaksa saya belikan daripada nggak mau sekolah.”


 Sebetulnya kedua ibu ini tidak bermaksud mengeluhkan kenakalan anak-anaknya, tetapi hanya ingin memamerkan bahwa mereka mampu memberi uang Rp100.000 sehari atau membelikan BMW seri terbaru.


Sehabis sholat Jum’at di Kampus, saya sempat ngobrol dengan Pak Djokosantoso (waktu itu Dirut BRI). 

Saya katakan: “Pak sekarang ini hasil tromol Jum’at semakin baik, tidak pernah kurang dari Rp1 juta. Hanya minggu kemarin saja dapatnya sedikit , cuma Rp500.000,-.


 “Kenapa ?” : tanya Pak Djoko dengan nada curiga.


 “Karena minggu kemarin saya tidak Jum’atan disini.

 Ha…ha..ha..” Jawab saya sambil cepat-cepat ngeloyor pergi. Nah ini juga termasuk sombongnya orang Solo. 

Untuk yang non-muslim kalau pengin tahu artinya tromol Jum’at, silahkan tanya sama temannya yang muslim.


Prasmanan tidak jalan:

Anda pernah menghadiri undangan resepsi perkawinan di Solo? 

Disana ada istilah USDEK, singkatan dari Unjukan (minuman+ kue), Sop, Dahar (makan), Es (pudding) dan Kondur (pulang). Tamu-tamu yang datang akan langsung mengambil tempat duduk yang telah disediakan. Umumnya mereka datang tepat waktu, sebab kalau anda terlambat bisa mengganggu prosesi dan anda akan klincutan (malu) sendiri. Setelah semua undangan hadir dilanjutkan dengan upacara adat. Selesai upacara adat hidangan akan disajikan dengan urutan unjukan, sop, dahar, ditutup dengan es atau pudding. 

Sambil menikmati hidangan anda dihibur dengan tari-tarian atau ular-ular (nasehat) perkawinan. Dengan keluarnya es berarti ini isyarat bahwa tamu-tamu dipersilahkan kondur (pulang). Temanten berdua didampingi kedua orang tua akan menuju ke pintu keluar untuk menerima ucapan selamat dan doa restu dari para undangan.


Orang Solo agak canggung datang ke undangan dengan sistem prasmanan. Mereka terlalu gengsi untuk mengambil makanan sendiri. Prinsipnya saya ini kan diundang dengan hormat, koq disuruh ngambil makanan sendiri, ya dilayani dong.


Humor Solo:

Seperti orang Jogya, orang Solo dikenal mempunyai rasa humor yang tinggi. Hanya, guyonnya orang Solo sering dikiritik agak cynical. Ada orang Solo minum es campur di warung. 

Setelah hampir habis baru tahu kalau ada seekor lalat didalam gelasnya. Dia tidak akan marah, tetapi malah pesan es lagi : 

“mBak minta es campur lagi tapi nggak pakai lalat ya.” 

Si mbak ini rupanya tidak mau kalah : 

“Pakai coro (kecoak) saja ya mas.”


Di Bandung saya pernah mau makan Mie Kocok di restoran Kabita, karena katanya terkenal enak. Saya tunggu-tunggu sampai setengah jam belum datang juga pesanan saya. Saya panggil pelayannya, saya pesan, “Neng, ulah lami-lami nya ngocokna” (mBak jangan lama-lama ya ngocoknya)


Mas Mardi, asal Banjarsari, kebetulan mau ke Jakarta naik kereta ekonomi Senja Utama. Kereta penuh sekali sehingga terpaksa harus berdiri. Tiba-tiba dia merasa kakinya terinjak oleh pria yang sama-sama berdiri disebelahnya. Mula-mula didiamkan saja, tetapi lama-lama terasa sakit. Mas Mardi tidak tahan lagi: 

“Mas, mas apa sampeyan anggota ABRI./TNI”


 “Bukan”, jawab pria itu. 

“Apa punya saudara ABRI”,

 “Ndak”, jawabnya lagi. 

“Apa punya teman-teman ABRI”.

 “nDak, memangnya kenapa “? tanya pria itu. 

“Kalau bukan, maaf mas tolong jangan diinjak kaki saya.” kata mas Mardi.


Di Jogya ada minuman hangat yang terkenal namanya “Bajigur”, yaitu sejenis minuman yang dibuat dari santan yang dimasak dengan daun pandan dan gula merah. Minuman ini kurang laku di Solo. 

Kata “bajigur” di Solo adalah kata untuk misuh (mengumpat), sedikit lebih halus dari kata “bajingan”.  Bagi orang Solo yang dididik dalam lingkungan tata krama halus, agak sulit untuk mengucapkan kata bajigur. Sering diplesetkan ‘bajindul’. 

Jadi kalau kita ke warung kepengin minum bajigur sering serba salah. Mau pesan bajigur lidah terasa kelu untuk mengucapkannya, tidak pesan sering keduluan penjualnya: “Bajigur mas ?”, gantian kita yang di-pisuhi.


Dalam hati ningrat Surakarta membathin, bakule iki (ba) jindul tenan 😝 


Pak Djokosantoso, waktu masih menjabat Dirut BRI, ketika berkunjung ke Kanwil Semarang untuk memberikan pengarahan mengenai transformasi organisasi sempat mengeluh. “Mas, orang Semarang ini bagaimana, Dirut cape-cape memberikan pengarahan koq tidak ada keploknya (tepuk tangannya).” kata beliau. 

Sebagai orang Solo saya jawab pelan-pelan: “Mohon maaf Pak, kalau di Semarang yang biasanya dikeploki itu doro (merpati).” Jadi di Jawa itu kalau ada burung merpati baru keluar rumah biasanya ditepukin ramai-ramai supaya terbang tinggi ke angkasa.


Alon-alon (slowly):

Untuk ukuran Jakarta, ritme kehidupan di Solo terasa lamban sekali. Falsafah ‘bloody solonese’ - alon-alon waton kelakon (slowly but sure).


Di Surakarta Solo Hadiningrat tidak ada bus kota, angkot atau tukang becak yang rebutan penumpang. Bus kota yang sering saya naiki kondisinya masih bagus sekali, sebagus lima tahun yang lalu, karena tidak pernah kebut-kebutan rebutan penumpang.


Orang Solo juga sering dituding terlalu nrimo. Sebetulnya bukan nrimo, hanya saja orang Solo tidak mau upaya mencari materi di dunia ini mengganggu keseimbangan bathinnya. Siapa orangnya yang tidak ingin kaya, tetapi tidak usah ngoyo, ngodrok - serakah.


Semuanya sudah ada yang mengatur, yaitu yang Diatas (Tuhan, Allah). mBok-mbok yang jualan nasi liwet langganan ibu saya, bisa menyekolahkan anaknya di Gajah Mada. Buat apa cepet-cepetan, yang datang duluan belum tentu lebih senang dari kita. Buat apa rebutan rejeki, yang lebih kaya belum tentu lebih bahagia dari kita. Di kantor kalau kita naik pangkat duluan kadang-kadang malah terasa risi, terkucil, seolah-olah keluar dari circle.


Lantas apakah orang Solo statis dan tidak kreatif. Saya kira tidak juga. Pasar Klewer adalah pusat perdagangan textil yang terbesar di Jawa Tengah. Dibanding dengan Semarang dan Jogya, tingkat pertumbuhan ekonomi paling tinggi justru di Solo. Campursari yang sekarang ini popularitasnya nomor dua setelah dangdut, lahir di Solo. Pinca-pinca (Pimpinan Cabang) yang di tempatkan di Kanwil Jogya, kalau disuruh memilih antara Semarang, Solo dan Jogya pasti lebih memilih Solo.


Perubahan: 

Solo sekarang sudah banyak berubah, terutama untuk generasi mudanya. 

Mereka meninggalkan Solo selepas SMA untuk sekolah dan mencari nafkah di tempat lain. Di tempat yang baru mereka menyerap nilai-nilai baru. Generasi tua sudah banyak yang tiada, tanpa sempat mewariskan nilai-nilai luhur budaya Solo. 


Solo dulu terkenal dengan sebutan kota yang tidak pernah tidur, banyak warung jajanan yang mulai buka jam 10.00 malam sampai pagi. Namun sesudah kerusuhan Mei 1998, warung-warung tadi bukanya sore, jam 10.00 sudah tutup. Harga makanan juga sudah mulai mahal. Contohnya 

Yang makan nasi liwet Wongso Lemu, Keprabon, umumnya wisatawan atau orang Solo yang sudah lama tinggal di luar. Karena menurut versi uwong Solo “kalkulatore rusak” - salah menghitung clients bayar mahal. Tapi, Bakmi godog Pak Hardjo, Pasarkembang, satu porsi Rp 25. 000,-, hampir sama dengan harga bakmi Jawa di Pejompongan.


Pamit:

Tidak terasa malam semakin larut, udara semakin dingin dan saya harus cari becak untuk pulang ke mBaturan, rumah ibu. 

Becak Solo agak berbeda dengan becak Jakarta atau Surabaya. Tempat duduknya lebih lebar serta lebih menyandar ke belakang. Kalau jaraknya agak jauh, pasti ngantuk, tertidur.


Saya pernah mempunyai pengalaman naik becak yang sedikit mengharukan.

Belum lama saya duduk, tukang becaknya bertanya, “Saiki neng endi Roes?” (Sekarang di mana Roes). 

Dengan agak terkejut saya menengok kebelakang. Rupanya dia Tembong, teman baik saya waktu di SD dulu, yang tidak mampu untuk melanjutkan sekolahnya. Alhasil, saya kasih dia Rp50.000 untuk ongkos becak yang biasanya cuma Rp7.000. Tidak apa-apa, for old time’s sake. Saya tidak tahu apakah dia sekarang masih kuat narik becak. Saya harus bersyukur masih bisa bekerja dan pensiun dengan selamat dari BRI.


Tiba-tiba salah seorang tukang becak teriak-teriak: “Den pakai becak saya saja, ditanggung pasti tidak digigit nyamuk.” 

Ada apa lagi ini, naik becak koq tidak digigit nyamuk. Saya mendekat sambil bertanya, “Lho apa hubungannya naik becak dengan digigit nyamuk ?”


 “Soalnya becak saya pakai tiga roda,” jawabnya sambil menyanyi ……nyamuk ini cuma takut Tiga Roda (Obat Nyamuk) ……. 

Wah tukang becak ini pasti terlalu sering nonton iklan obat nyamuknya Basuki, Dagelan Srimulat yang main di mBalekambang


Sekian dulu, maturnuwun.


*) Pensiunan BRI

Senin, 20 Februari 2023

Alasan merubah sistim Pemilu

 PASTIKAN KITA PUNYA URGENSI DAN ALASAN YANG KUAT UNTUK MENGUBAH SISTEM PEMILU

 

 

Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono

 

 

Sudah lama saya tidak bicara soal politik. Dari hari ke hari, kini saya lebih menggeluti dunia seni dan olahraga. Sungguh pun demikian, sebagai warga negara tentulah saya tidak kehilangan hak asasi saya untuk peduli dan menyampaikan pendapat. Materi yang ingin saya sampaikan ini, tentu berangkat dari niat dan tujuan yang baik, serta hendak saya sampaikan secara baik pula.

 

Saya mulai tertarik dengan isu penggantian sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Informasinya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus mana yang hendak dipilih dan kemudian dijalankan di negeri ini. Sebelum yang lain, dari sini saya sudah memiliki satu catatan.

 

Benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan diganti ketika proses pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan "time-line" yang ditetapkan oleh KPU? Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan? Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini.

 

Apakah saat ini, ketika proses pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan. Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa "tenang", bagus jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judical review ke MK. Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya  hanya bergerak dari terbuka - tertutup semata.

 

Dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak. Apa yang saya maksud? Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Perlu dilibatkan. Ada yang menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal. Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan "hajat hidup rakyat secara keseluruhan". Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya).

 

Bagaimanapun rakyat perlu diajak bicara. Kita harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat. Mengatakan "itu urusan saya dan saya yang punya kuasa", untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik "yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah", tentu juga bukan pilihan kita. Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut bersama. Consensus building yang sering diwujudkan dalam musyawarah untuk mufakat, berdialog dan berembuk, take and give, itulah nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri republik dahulu. Saya mempelajari secara mendalam, bagaimana dengan cerdas dan arifnya, founding fathers kita ~ Bung Karno, Bung Hatta, Yamin, Supomo, Ki Bagus dan lain-lain, bersedia untuk berembuk dan saling mendengar untuk merumuskan dasar-dasar negara baru (Republik Indonesia) yang dinilai paling tepat.

 

Kembali ke pokok bahasan, rakyat memang sangat perlu diberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian sistem pemilu itu. Apanya yang berbeda antara sistem terbuka dengan sistem tertutup. Mereka harus tahu bahwa kalau yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang diinginkan. Selanjutnya partai politiklah yang hakikatnya menentukan kemudian siapa orang yang akan jadi wakil mereka. Sementara, jika sistem proporsional terbuka yang dianut, rakyat bisa memilih partainya, bisa memilih orang yang dipercayai bisa menjadi wakilnya, atau keduanya ~ partai dan orangnya. Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan nafas dari sistem demokrasi.

 

Dalam artikel sangat singkat ini saya memang tidak hendak menyampaikan pikiran saya tentang mana yang paling tepat antara sistem proporsional tertutup versus sistem proporsional terbuka. Meskipun saya punya sejumlah pandangan dan pemikiran, namun bukan itu inti tulisan singkat saya ini. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa perkara besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental, hakikatnya salah satu "fundamental consensus" dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini.

 

Mungkin ada yang bicara, "tidak ada yang tidak bisa diubah di negeri ini". Konstitusi pun bisa saja diubah. Demikian juga sistem pemilu. Pendapat demikian tidaklah salah, dan saya pun amat mengerti.

 

Saya hanya mengingatkan dengan cara menyampaikan pertanyaan seperti ini. Kalau sebuah konstitusi, undang-undang dan juga sistem pemilu hendak diubah; mengapa dan bagaimana semua itu diubah? Bangsa yang maju dalam tatanan kehidupan yang baik, mesti mengedepankan pentingnya "what, why, how". Dalam perjalanan ke depan, negeri ini harus memiliki budaya untuk selalu mengedepankan "the power of reason". Begitulah karakter bangsa yang maju dan rasional. Permasalahan bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke depan, serta untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya. Bukan pikiran dan tindakan musiman, apalagi jika bertentangan dengan kehendak dan pikiran bersama kita sebagai bangsa.


# fb Susilo bambang yudhoyono

 

 

 

​​​​​​​​Yogyakarta, 18 Februari 2023