Jumat, 31 Maret 2023

Survei


 

Mengenal sejarah Israel dan Palestina

 


ISRAEL DI MATAKU

 Israel dari Perspektif Seorang Ilmuwan *Luthfie Asyaukanie*, pengajar di Universitas Paramadina, serta Deputi Direktur di Freedom Institute.

    

*BEBERAPA CATATAN DARI ISRAEL*


Saya baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.


Ketika transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul.. Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.

Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.


Tentu saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.


Kecerdasan itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian peraih Nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.


Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.


Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa Arab.


Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru angin oleh musuh-musuhnya.


Saya sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah 60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.


Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betula bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah.. Setiap melihat keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:


_Engkau ciptakan gulita_

_Aku ciptakan pelita_

_Engkau ciptakan tanah_

_Aku ciptakan gerabah_


Dalam Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama Israel _(Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan)_ disematkan kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.


Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.


Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orag-orang Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.


Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan yang membentuknya seperti sekarang ini. 

Tapi, jangan bayangkan ia seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.

Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.


Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.


Saya protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”


Ada banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.


Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.

Namun, di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.


Tapi begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.

Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup, cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.


Tapi para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh. Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.


Tentu saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.


Saya tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak masuk akal. □*****


  

*Luthfi Assyaukani* (Paramadina Mulia Jakarta)  


_"Our worst days are never so bad that (we) are beyond the reach of God’s grace . And (our) best days are never so good that (we) are beyond the need of Gods grace”._ Jerry Bridges.Israel dari Perspektif Seorang Ilmuwan *Luthfie Asyaukanie*, pengajar di Universitas Paramadina, serta Deputi Direktur di Freedom Institute.

    

*BEBERAPA CATATAN DARI ISRAEL*


Saya baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.


Ketika transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul.. Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.

Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.


Tentu saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.


Kecerdasan itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian peraih Nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.


Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.


Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa Arab.


Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru angin oleh musuh-musuhnya.


Saya sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah 60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.


Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betula bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah.. Setiap melihat keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:


_Engkau ciptakan gulita_

_Aku ciptakan pelita_

_Engkau ciptakan tanah_

_Aku ciptakan gerabah_


Dalam Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama Israel _(Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan)_ disematkan kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.


Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.


Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orag-orang Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.


Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan yang membentuknya seperti sekarang ini. 

Tapi, jangan bayangkan ia seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.

Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.


Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.


Saya protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”


Ada banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.


Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.

Namun, di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.


Tapi begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.

Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup, cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.


Tapi para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh. Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.


Tentu saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.


Saya tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak masuk akal. □*****


  

*Luthfi Assyaukani* (Paramadina Mulia Jakarta)  


_"Our worst days are never so bad that (we) are beyond the reach of God’s grace . And (our) best days are never so good that (we) are beyond the need of Gods grace”._ Jerry Bridges.

CINA DAN YAHUDI RAS UNGGUL

 *HIDUP BERSAMA YAHUDI DAN CINA.*


Oleh Iyyas Subiakto

Sumber FB


Mungkin di semua kitab suci Allah sudah menyampaikan bahwa *Yahudi itu ras pilihan* , terlepas ada yg suka dan tidak tapi ini fakta dan mereka diendorse Tuhan.


Sementara ras orang Cina  _yg diendorse oleh Nabi Muhammad_  juga sama , sekarang menjadi fakta , mereka maju dan tak lama lagi menguasai dunia.


Yahudi yg populasinya tidak mencapai 10 juta orang di seluruh dunia , tapi konon mereka menguasai 2/3 kekayaan dunia , *bayangkan manusia dgn jumlah populasi yg hanya 0,13% di dunia itu bs berkuasa secara financial , apalagi kalau gak pintar.* 


Terus pintarnya dari siapa ya Tuhan , Cina juga *sama.* 


Di luar perpolitikan mestinya kita *harus berkawan* dgn Yahudi , kawan dgn orang pinter itu kan gak salah , kalau ada yg bilang mereka dikutuk Tuhan , *lha buktinya mereka tetap diberi kecerdasan* , sama jg dgn *Cina , mereka ulet , pintar dan militan.* 


Jadi kenapa kita ngurusi soal mereka mau jadi kerak neraka , ya biar aja , dan itu kan kata kita , kan itu urusan Tuhan , lagian itu masih nanti , *sekarang kita ngurus dunia dulu aja* , nanti kalau sudah di akhirat kan masing2 lewat jembatan sirotol Mustaqin . Ada yg lolos ada yg jatuh.


Saya kadang bingung apa rencana Tuhan , *Yahudi disebut ras terbaik* , tapi konon jg dikutuk , tapi *tetap jg dikasi kecerdasan premium , dikasi kekayaan dunia yg melimpah.* 


Nah kita yg tiap hari takbir _hidupnya disuruh bergantung_ dgn Yahudi dan Cina , sebenarnya ini maunya apa.


Ada yg bilang ini cobaan buat manusia beriman , _apa tahan dan bisa hidup dgn cobaan jauh dari karya Yahudi dan Cina_ ```gimana caranya.``` 


 ```Coba ada yg bisa kasih wayout.``` 😎😎😎


Nulis FB ini saja amal jariahnya diambil Yahudi dan Cina , gimana tidak, _Gadgetnya Red Mi buatan Cina_ , *FB , WA , Twitter, dst ciptaannnya Yahudi* , karena ```azas manfaatnya mereka yg punya.``` 


Nabi Muhammad juga bilang , sebaik2 manusia adalah *manusia yg bermanfaat utk manusia lainnya dan seisi alam.* 


 Sekarang ini *faktanya itu yg dilakukan Yahudi dan Cina* , kita bisa apa. 🤦‍♂️🤦‍♂️🤦‍♂️


Inilah resiko kalau bawa mobil liatnya kaca spion melulu , spedometer nol gak tau , nyampe nggak , tau2 ditabrak dari belakang karena jalannya pelan.


Mau laju , yg diinjak pedal rem.


Ethiopia yg tandus , 75% lahannya *dihijaukan oleh teknologi pertanian IsraeL* ,  pabrik tekstil dan industri dibangun Cina , _sementara Arab Saudi ngebom Yaman saudara seiman_ , kebolak balik kan ?.


 Tambah bingung Saya. 😝😝😝


 video youtuber yg menyampaikan urutan produk temuan ras Yahudi yg kita pakai 24 jam sehari tanpa henti , sambil kita terus maki2 yg menemukannya dan selama ini *telah membuat hidup manusia semakin mudah dan mulia* , terus kita ini siapa sebenarnya , sudah gak bisa buat , tapi menghujat , kalau mau konsisten dan *_gak munafik_* ya coba gak usah pakai hp, gak pakai WA, gak pakai FB, dst


Apa terus cuma mau makan pisang.


Sudah itu aja gak panjang2, takut ada yg tersungging , andai saja GUSDUR masih ada alangkah indahnya , mungkin kita sudah kawan sama Israel , enak berkawan ama orang pinter bisa belajar , gak cuma menghafal kitab suci , tapi tiap hari kerjanya maki2. 

SONTOLOYO


SALAM INDONESIA BERDIKARI 🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Sabtu, 04 Maret 2023

Kontroversi putusan PN Jakpus tentang Penundaan Pemilu

 *Jalan Akhir Penundaan Pemilu Melalui Pengadilan: Cipta Kondisi Chaos*


Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)


Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sulit dilihat sebagai produk hukum semata. Tetapi bisa juga bagian dari skenario besar menunda pemilu yang selama ini sudah kencang didengungkan.


Karena hampir mustahil kalau PN Jakpus tidak mengerti permasalahan penyelesaian pemilu.


Mahkamah Agung (MA) juga  sudah bersuara, membela putusan PN Jakpus, dan menegaskan hakim PN Jakpus tidak bisa disalahkan. Artinya, putusan PN Jakpus menurut Mahkamah Agung sudah benar: "Hakim tidak bisa dipersalahkan secara kedinasan terkait produk putusannya, karena putusan dianggap benar".


Upaya hukum selanjutnya adalah banding, dan seterusnya. Prosesnya sangat panjang. Silakan dicoba. Tetapi, bagaimana kalau pengadilan selanjutnya menguatkan Putusan PN Jakpus, yaitu KPU terbukti melakukan perbuatan melawan hukum?


Untuk bukti ini, sepertinya tidak sulit. Menurut PN Jakpus, KPU sudah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, melawan Putusan Bawaslu yang berkekuatan hukum. 


Yaitu, Bawaslu memerintahkan KPU agar memberikan kesempatan kepada Partai Prima untuk bisa menyerahkan dokumen verifikasi administrasi perbaikan selama 1x24 jam.


Sepertinya KPU gagal melaksanakan Putusan Bawaslu ini.


Mungkin saja KPU memang “diarahkan” untuk melakukan perbuatan melawan hukum, melawan Putusan Bawaslu? Terkesan ada kesengajaan!


Terlepas dari itu, sengaja atau tidak sengaja, yang mengejutkan adalah konsekuensi perbuatan melawan hukum KPU ini.


Yaitu, PN Jakpus memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024, tetapi harus diulang dari awal, yang makan waktu 2 tahun 4 bulan dan 7 hari, hingga pelantikan presiden.


Putusan ini sangat mengada-ada, tidak logis, dan patut diduga bagian dari skenario besar penundaan pemilu, untuk menciptakan kondisi ketidakpastian yang dapat membuat chaos.


Alasannya sebagai berikut. *Pertama*, tahapan pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu hanya 4 bulan 16 hari saja (29/07/22-13/12/22). Karena itu, sanksi waktu yang bisa diberikan kepada KPU maksimal hanya terkait tahapan ini. Sedangkan tahapan lainnya tidak ada urusan dengan sengketa partai Prima dan KPU.


Misalnya, tahapan *penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan (14/10/22-9/02/23)*, tidak ada hubungan dengan apakah Partai Prima ikut sebagai peserta pemilu atau tidak. Sehingga tidak relevan semua tahapan pemilu harus diulang dari awal.


*Kedua*, verifikasi Partai Prima bahkan seharusnya bisa dilakukan secara paralel dengan sisa tahapan pemilu ke depannya. Sehingga pemilu tetap bisa dilaksanakan sesuai jadwal 14 Februari 2024.


Bahkan, lebih ekstrim lagi, PN Jakpus seharusnya mengikuti apa yang sudah diputuskan oleh Bawaslu tetapi tidak dilaksanakan oleh KPU, yaitu cukup memberi waktu kepada Partai Prima selama 1x24 jam, untuk menyerahkan dokumen verifikasi administrasi.


Putusan Bawaslu, sebagai pihak yang berwenang memutuskan sengketa pemilu, wajib ditaati oleh semua pihak, termasuk PN Jakpus terkait verifikasi administrasi Partai Prima.


Oleh karena itu, Putusan PN Jakpus bahwa tahapan pemilu harus diulang dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sangat tidak masuk akal, melawan Putusan Bawaslu, dan patut diduga bagian dari skenario besar menciptakan kondisi ketidakpastian yang berpotensi memicu chaos.


Karena kalau pengadilan selanjutnya menguatkan putusan PN Jakpus, maka pada Oktober 2024 akan terjadi kekosongan jabatan anggota parlemen (DPR/DPD) dan eksekutif (presiden dan kabinet).


Dan, Indonesia akan menjadi rimba belantara perebutan kekuasaan. 


—- 000 —-


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230303114417-12-920279/ma-bela-hakim-pn-jakpus-terkait-polemik-putusan-tunda-pemilu-2024/amp

ISU PENUNDAAN PEMILU

ISU GEOPOLITIK PENUNDAAN PEMILU DAN GERILYA 2024* 


Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) memutuskan untuk tidak melaksanakan pemilu selama 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari semenjak putusan dibacakan pada hari Kamis, 2 Maret 2023 atas gugatan Partai Prima karena dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam verifikasi administrasi partai politik. "Kita banding," kata Ketua KPU, Hasyim Asyari. 


Putusan PN Jakpus cukup fenomenal di tengah memanasnya _copras-capres_ jelang Pemilu 2024. Artinya, jika putusan PN tersebut dijalankan maka bakal tidak ada pemilu hingga 2025. Dengan kata lain, "Pemilu 2024 ditunda!"


Menariknya, putusan PN Jakpus diketok (2/3) usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materil masa jabatan presiden (28/2). Tok! Tok! (bunyi palu diketok) lalu isu kontroversi tentang perpanjangan masa jabatan presiden (tiga periode) pun bubar. MK menolak. Isu Jokowi tiga periode tutup layar. _The end._


Beberapa pakar Hukum Tata Negara (HTN) langsung bersahut-sahutan di ruang publik terkait putusan PN Jakpus di atas. 


Tak pelak, Denny Indrayana, Guru Besar HTN UGM menyatakan, "PN tak punya yuridiksi dan kompetensi untuk menunda Pemilu". Putusan majelis hakim tak punya dasar, dan karenanya tak bisa dilaksanakan, kata Denny (2/3/2023). "Atas dasar itu, putusan PN Jakpus harus ditolak dan harusnya dari awal tidak dikeluarkan," pungkas Denny.


Namun lain Denny, lain pula pendapat Prof Yusril Ihza Mahendra (YIM). Poin pendapat Prof YIM lebih terurai, "Gugatan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara".


Dalam perdata, sengketa yang terjadi adalah antara Penggugat (Partai Prima) dan Tergugat (KPU). Tidak menyangkut pihak lain. Oleh karena itu, putusan mengabulkan dalam sengketa perdata hanya mengikat penggugat dan tergugat saja, tidak dapat mengikat pihak lain. Beda dengan putusan di bidang hukum tata negara dan administrasi negara seperti pengujian oleh MK atau peraturan lainnya oleh MA, sifat putusannya berlaku bagi semua orang _(erga omnes)_, ujar YIM.


Dalam kasus gugatan perbuatan melawan hukum oleh Partai Prima, jika gugatan ingin dikabulkan majelis hakim, maka putusan itu hanya mengikat Partai Prima sebagai Penggugat dan KPU sebagai Tergugat, tidak mengikat partai lain baik calon maupun sudah ditetapkan sebagai Peserta Pemilu.


Jadi, kalau majelis berpendapat bahwa gugatan Partai Prima beralasan hukum, maka KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima, tanpa harus 'mengganggu' partai-partai lain dan mengganggu tahapan pemilu. Pada hemat saya, majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan gugatan tak dapat diterima karena PN tidak berwenang mengadili perkara tersebut, pungkas Prof YIM. 


Menkopolhukam, Prof MMD, justru lebih menohok analoginya, "Putusan penundaan pemilu oleh PN ibarat peradilan militer memutus kasus perceraian".


Pertanyaan nakal muncul, apakah penundaan pemilu ala PN Jakpus kebetulan, dan terkait dengan Pemilu 2024? Jawabannya, "Ada! Terkait dengan Pemilu 2024, dan tidak ada kebetulan di muka bumi".


Dalam tulisan saya bertajuk: MEMBACA SKENARIO PEMILU MELALUI AGENDA 2024 diurai asumsi, bahwa Agenda 2024 adalah melanjutkan program infrastruktur Jokowi. Titik. Atas dasar asumsi tersebut, ada prakiraan tiga Skenario di 2024, antara lain: 


Skenario I: Jokowi tiga periode; 


Skenario II: Perpanjangan waktu jabatan presiden. Skenario ini memiliki konsekuensi penundaan pemilu sebagai langkah awal berdalih kegentingan memaksa ataupun 'dipaksakan'; 


Skenario III: Tetap digelar Pemilu dan/atau pemilihan presiden (pilpres), tetapi dengan syarat bahwa kandidat pilihan Jokowi HARUS MENANG dalam rangka meneruskan program infrastruktur yang belum selesai termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).


Maka, dengan ditolaknya isu tiga periode oleh MK, Skenario pun I gugur. Jadi, tinggal dua skenario tersisa yakni Skenario II: 'Tunda Pemilu', dan Skenario III: 'Tetap digelar pilpres namun kandididat pilihan Jokowi harus menang'.


Pertanyaan selidik, "Dari dua skenario yang tersisa, manakah skenario yang akan digelar pada 2024?"


Hingga hari ini, kedua skenario baik penundaan pemilu (Skenario II) maupun digelar pilpres (skenario III) tetap berproses secara terstruktur, sistematis lagi masive. Dan penundaan pemilu ala PN Jakpus, diduga kuat merupakan manuver alias gerilya para pihak yang menginginkan program infrastruktur Jokowi terus berlanjut. 


Jadi, gejolak elitis dari kaum akademis tentang putusan PN Jakpus sebagaimana diurai sekilas di atas, seyogianya tidak menyoal sah atau ilegal putusan PN, boleh atau tidak -- tetapi yang lebih utama adalah menyoal siapa _power_ di balik Tim Hakim penundaan pemilu.


Kenapa demikian?


Agaknya, dalih kegentingan memaksa yang hendak dijadikan basis penundaan pemilu sudah terbaca publik, maka gerilya politik penundaan Pemilu 2024 melalui putusan PN.


Dan dari balik jendela rumah, lamat-lamat kudengar intro lagu 'Pantun Janda' yang lagi viral: 


"Kuda mana, kuda mana tuan inginkan; kuda putih, kuda putih di dalam kandang; janda mana, janda mana tuan inginkan; janda putih, janda putih berambut panjang"..


*Tamat__*