Minggu, 13 Oktober 2019

BRAIN WASH

Dibawah ini tulisan tentang bagaimana brainwashed bisa terjadi.... Namanya Akhmad..., dia adalah Jokower sejati. Menurut dia..., Jokowi adalah orang hebat yang telah dikirimkan Tuhan untuk membangun negeri ini. Saya suka geli sendiri..., melihat betapa fanatiknya Akhmad pada mantan Walikota Solo tersebut. Postingannya di Facebook hampir semuanya tentang Jokowi..., bahkan dia telah mencuri start untuk mengampanyekan Jokowi agar terpilih 2 periode di pemilu 2019. Mengetahui bahwa saya juga pendukung Jokowi..., Akhmad seneng banget. Dia sering ngirim WA tentang kebijakan-kebijakan Presiden kita ini...; bagaimana Jokowi mendahulukan sila ke lima tentang Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Berita-berita tentang Jokowi membangun infrastruktur di Indonesia Timur..., saya peroleh lengkap dari Akhmad. Sampai suatu hari..., dia tiba-tiba menghilang. Dia berhenti memposting broadcast tentang Jokowi..., bahkan boleh dibilang dia gak pernah posting apapun lagi. Penasaran yang membukit membuat saya gatel dan mengirim WA ke dia..., bunyinya singkat saja..: “Apa kabar, Mad...?” Dan tau gak apa jawabnya...? Akhmad membalas WA saya panjang banget..., isinya pun diluar dugaan saya. Begini isi WA nya...: “Terima kasih Bud..., loe orang yang baik hati..., mau menanyakan kabar gue..., semoga loe juga mau untuk bergandengan tangan sama gue untuk berjuang. Kita harus bergerak Bud..., kita harus berjuang menyelamatkan negeri ini. Jokowi adalah orang yang haus kekuasaan..., dia sampe menghalalkan segala cara demi menduduki jabatan sebagai pemimpin negeri ini. Dia bahkan mau menjual negara ini ke tangan China..., dia antek aseng.., dia PKI. Dan itu masih belum seberapa...; yang paling bikin gue sakit hati.., hanya untuk kekuasaan..., Jokowi begitu sampai hati memusuhi umat islam. Sekali lagi..., kita harus berjuang Bud...; jangan sampe negeri ini terjajah oleh China..., kita harus gagalkan niat Jokowi untuk menjadi presiden kedua kalinya. Apapun harus kita lakukan...! Kita jihad Bud...; nyawa pun akan gue korbankan untuk melawan musuh islam. Takbiiir....! Allahu Akbar...!" Sumpah..., saya kaget banget membaca messagenya. Kok tiba-tiba anak ini bisa berubah 180 derajat...? Apa yang terjadi dengan Akhmad...? Karena penasaran..., akhirnya saya ajak Akhmad untuk ngopi bareng di sebuah coffee shop di Citos. “Kok loe mendadak bisa berubah begitu Mad...? Bukankah selama ini loe Jokower...?”, tanya saya sambil menghirup Hot Cappucinno kesukaan saya. “Kita selama ini tertipu Bud..., Jokowi itu ternyata serigala berbulu domba...”, jawab Akhmad. “Berbulu domba gimana...?”, tanya saya kebingungan. “Selama ini Jokowi cuma pencitraan doang Bud. Dia berlagak sederhana..., berlagak mencintai rakyat..., berlagak membangun infrastruktur untuk kesejahteraan rakyat...” “Membangun infrastruktur kok bisa belagak...?” Makin puyeng nih kepala gue. “Sebetulnya dia pengen ngejual negeri ini ke China Bud. Semua proyek yang dia bangun semua dikasihkan ke kontraktor China..., dari perusahaan sampe tenaga buruhnya didatangkan dari China...; emang loe gak tau udah jutaan buruh China menyerbu negeri kita...? Padahal rakyat butuh lapangan kerja....” “Heh...? Loe jangan fitnah Mad...; gue juga denger semua berita itu..., tapi semuanya datang dari media abal-abal..., dan berita itu semuanya hoax...!”, kata saya agak keras. “Hoax gimana...? Semua ada datanya..., dan loe tau gak kenapa Jokowi mau ngejual negeri ini ke China...?” “Kenapa....?” “Karena dia keturunan PKI. Loe tau kan..., China itu negara komunis....”, Akhmad bicara sambil berteriak keras..., sehingga tamu-tamu lain menengok ke arah meja kami. “Ngaco loe....!”, kata saya. “Loe yang ngaco...!”, bentak Akhmad dengan suara garang...! “Gue bersyukur banget akhirnya bisa mengetahui belangnya Jokowi. Dia itu antek Aseng...! Bahkan untuk ngejual negeri ini pun dia tega-teganya sampai memusuhi Islam. Sadar Bud...., sadaaaar....!” Suasana mendadak jadi panas. Kami berdebat dengan hebatnya..., dan Akhmad emosinya semakin meninggi. Saya heran bukan main. Selama ini Akhmad selalu bersikap lemah lembut pada saya..., dia adalah orang yang sangat sabar. Biasanya dia mau ngedengerin pendapat orang lain. Tapi kali ini dia bersikap sangat garang..., sepertinya siap mengajak berkelahi. Saya berusaha mendebat Akhmad dengan data-data yang saya peroleh dari media mainstream..., namun Akhmad semakin murka. “Goblok...! Manusia goblok...! Loe gak sadar selama ini diboongin sama Jokowi...?” Dia memaki saya dengan kata kasar..., yang belum pernah sekalipun dia lontarkan ke saya. “Mad.., loe jangan kasar ya ngomong sama gue...! Jangan bikin gue marah...”, saya memperingatkan. “Loe yang bikin gue marah...! Goblok boleh..., tapi jangan diborong semua. Insyaf Bud..., insyaf...!” Saking murkanya..., saya berdiri dan mencengkram kerah baju Akhmad dengan tangan kiri..., sementara tangan kanan siap memukul..., karena gak tahan dihina seperti itu. Akhmad diam tidak bergerak..., tapi parasnya juga tidak menunjukkan rasa takut. Dia melotot ke arah saya..., tanpa mengucap sepatah kata. Saya masih memegang kerah baju Akhmad..., orang-orang di kafe semua menatap kami..., dan berharap ada drama yang terjadi di antara kami. Saya mengambil napas berkali-kali..., untuk meredakan amarah yang bergolak di dada. Alhamdulillah..., saya berhasil menahan diri untuk tidak nonjok mukanya. Saya lepaskan Akhmad..., hingga terduduk kembali di bangkunya. Dengan perasaan gondok..., saya berjalan ke kasir dan membayar bill kami berdua. Sebelum pergi..., saya menghampiri Akhmad yang masih duduk memandang saya dengan pandangan aneh. “Gue cabut dulu Mad. Gue gak tau apa yang terjadi..., tapi loe udah jadi orang aneh sekarang...” “Gue dapet hidayah Bud..., dan gue mau membimbing eloe ke jalan Surga..., tapi loe malah marah ke gue. Jadi sebenernya yang aneh itu siapa...?” “Dapet hidayah...? Jangan-jangan loe juga percaya ya..., kalo bumi itu datar...?” tanya saya. “Memang bumi itu datar. Loe kira bumi itu bulat...? Dasar thogut...!” “Hah....? Mad..., dari mana loe dapet info bumi itu datar...?” “Al-Hijr ayat 19...: dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran....” Kembali saya terpaku mendengar omongannya Akhmad. “Surat Al-Baqarah 22...: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap…”, kata Akhmad lagi. Saya shock mendengar omongan temen saya ini..., dia sarjana S1 dan salah satu lulusan terbaik di kampusnya dulu..; tapi bisa punya pendapat seperti itu. “Surat Qaaf 7...: Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata…” “Mad..., dengerin omongan gue…”, selak saya..., tapi Akhmad masih mengoceh terus. “Surat An-Naba’ ayat 6-7..., Surat Al Gasyiah ayat 20...; semua mengatakan telah kuhamparkan bumi. Hampar itu seumpama sajadah..., jadi pasti datar. Kalo loe masih ngotot mengatakan bumi itu bulat..., berarti loe emang thogut....” “Mad..., tafsir itu cuma dipake untuk sesuatu yang belum diketahui. Karena belum diketahui..., makanya manusia menafsirkan. Jaman sekarang udah ada foto-foto dan video sebagai bukti otentik bahwa bumi itu bulat...". “Dari mana loe tau foto-foto itu...? Dari NASA...?” “Ya banyak...! NASA cuma salah satunya aja...” “Terus loe percaya sama omongan orang kafir...? Loe seharusnya lebih percaya sama Allah daripada orang kafir....” “Eh Mad..., gue percaya 100% sama Allah...; yang gue gak percaya itu eloe..., bumi kok datar...? Waktu acara pembagian otak dari Tuhan..., loe gak hadir ya...?” kata saya mulai emosi lagi. “Kalo percaya sama orang kafir..., maka loe juga kafir. Kalo loe sebagai kafir tapi masih mengharapkan surga..., berarti loe munafik..., thogut...!” Nyerah deh..., gue. Daripada saya tonjok beneran..., akhirnya saya pergi meninggalkan Akhmad. Sewaktu melangkah menjauh..., masih terdengar suaranya berteriak dengan lantang. “Orang kafir dan munafik kayak eloe tempatnya di neraka Bud. Allah menawarkan surga dengan 70 bidadarinya yang senantiasa perawan untuk melayani eloe..., malah loe tolak. Dasar kafir...!”. Saya berjalan terus ke arah area parkir sambil menulikan telinga..., tapi suara Akhmad sayup-sayup masih terdengar. “Kalo masih mendukung Jokowi..., lebih baik kita gak usah berteman lagi. Gue gak mau berteman dengan musuh islam...! Daripada bermusuhan..., lebih baik kita tidak berteman...!”, kata Akhmad lagi. Sehabis pertemuan itu..., saya baru menyadari ternyata bukan cuma Akhmad..., tapi ada banyak temen-temen saya yang berubah seperti Akhmad. Sebenernya saya gak masalah mempunyai temen yang berbeda pilihan politik...; yang saya heran adalah kenapa orang yang awalnya mendukung Jokowi..., sekonyong-konyong pindah haluan dan berbalik membencinya setengah mati. Anehnya..., karakter orang tersebut juga berubah menjadi pemarah. Mereka sulit sekali diajak berdebat dengan kepala dingin. Mereka rata-rata bersikap sebagai pemegang kebenaran..., mereka gak pernah peduli pada data..., pokoknya apa yang mereka yakini adalah yang paling benar. Semua yang tidak sehaluan langsung dituduh kafir..., munafik..., dan musuh islam. Peristiwa dengan Akhmad membuat saya merasa perlu berkonsultasi dengan kawan lama saya..., Bagus. Dia adalah kawan sesama pecinta alam..., yang sekarang bekerja sebagai psikolog. Bagus juga seorang konsultan politik..., sehingga dia banyak tahu seluk-beluk seputar kegilaan pilpres ini. Di ruang meeting kantornya..., kami berdua berdiskusi soal politik. Panjang lebar saya bercerita pada Bagus..., pengalaman saya bersama Akhmad beberapa waktu yang lalu. “Loe pernah denger istilah Reptilian Brain...?”, tanya Bagus setelah saya menyelesaikan cerita. “Reptilian brain..., apa itu...?” “Ada orang yang bernama Paul D. MacLean. Dia seorang physician and neuroscientist..., yang memperkenalkan teori triune dalam otak manusia...” “Triune...?” “Triune itu sendiri artinya three in one...” “Sebentar-sebentar. Coba loe terangin ke gue..., seakan-akan gue anak SD”, protes saya. “Menurut teori ini..., otak manusia sebenarnya terdiri dari tiga bagian. Otak reptil..., otak mamalia..., dan neo cortex..., atau biasa disebut dengan human brain....” “Buset...! Kok makin susah aja ngertinya...” “Kalo kita mengikuti teori evolusi..., otak reptil ini adalah jenis otak yang pertama kali dimiliki oleh manusia purba..." "OK. Terusin cerita loe..." "Otak reptil tidak berbeda dengan binatang. Jadi manusia kala itu bertindak tanpa mikir..., alias hanya mengandalkan insting. Dengan kata lain..., dahulu kita adalah binatang berbentuk manusia..., karena kita belum memiliki human brain...” Saya makin kebingungan mendengar penjelasan Bagus. “Otak reptil sifatnya untuk survive. Tindakannya hanya pada wilayah...: Fight..., flight..., food..., fuck. Agar gampang diingat..., orang biasa menyebutnya 4F...” “Okay..., lalu...?” “Fight dan flight itu adalah situasi ketika kita dihadapkan terhadap ketakutan (fear). Ketika berhadapan dengan ketakutan..., insting kita akan mempunyai dua pilihan...; apakah melawan (fight)..., atau melarikan diri (flight)...." Bagus behenti sejenak untuk menunggu reaksi saya..., tapi saya memutuskan untuk menunggu kelanjutan omongannya. “Sementara..., Food adalah naluri untuk mempertahankan hidup..., karena semua makhluk hidup perlu makan. Dan fuck adalah naluri mencari pelampiasan..., ketika libido menyerang dan menuntut kepuasan seksual. Semua insting spontanitas ini dikendalikan reptilian brain...” Saya berusaha untuk fokus pada cerita Bagus..., yang amat sulit dipahami. “Inget gak loe..., waktu SD..., kita diajarkan oleh guru bahwa gerak refleks adalah gerakan otomatis..., yang tidak diperintah oleh otak...” “Iya.., inget...” “Nah..., sebenarnya yang mengatur gerak refleks tersebut adalah otak reptil. Otak reptil bertugas mengatur gerak refleks dan keseimbangan koordinasi pada tubuh manusia. Ketika bahaya mengancam dengan tiba-tiba..., otak reptil inilah yang memberi komando untuk bereaksi...” “Oh..., gue ngerti sekarang. Tapi apa hubungannya dengan peristiwa yang mengubah Akhmad...?” “Loe pernah denger teori Firehose of Falsehood...?” tanya Bagus lagi. “Ya taulah. Itu kan strategi yang dipake sama Donald Trump ketika mengalahkan Hillary Clinton saat pemilu di Amerika, kan...?”. “Betul. Loe tau bagaimana cara Trump menggunakan strategi itu...?” “Kalo gak salah dia mengimplementasikan teorinya Hitler..., yang pernah mengatakan..., bahwa kebohongan yang dilakukan secara terus menerus..., lama kelamaan akan menjelma menjadi sebuah kebenaran...” “Tepat sekali. Di Amerika..., kebohongan Trump sering disebut dengan fake news..., dan kebohongan itu sengaja didesain untuk menciptakan ‘FEAR’ pada masyarakat Amerika...” “Ah..., iya betul. Bagian itu gue setuju...” “Trump menggunakan isu agama..., dengan mengatakan bahwa Islam itu teroris. Dia juga menggunakan isu ras..., dengan mengatakan bahwa pengungsi itu berbahaya...; makanya dia akan membangun tembok besar di perbatasan Mexico...” “Loe kok pinter banget Gus...? Iya..., gue pernah baca itu semua....” “Trump juga bilang..., bahwa tenaga asing akan merebut lapangan kerja di Amerika. Dia juga menakuti-nakuti rakyatnya..., bahwa negara China sangat membahayakan perekonomian negeri adidaya tersebut...” “Terus apa hubungannya semua itu dengan topik kita...?”, tanya saya kebingungan. “Trump menciptakan ‘fear’ yang luar biasa..., dan sasaran semua kebohongan itu ditujukan langsung ke otak reptil rakyatnya...” "Oh..., jadi otak reptil kita masih ada...?" "Masih. Otak reptil itu yang diserang secara terus menerus tanpa jeda..., sehingga human brain gak sempet bekerja. Mereka gak sempet meggunakan logika..." "Kenapa Akhmad jadi pemarah...?" "Karena reptilian brain itu otak binatang. Mereka lagi diserang 'FEAR'..., makanya naluri binatangnya berusaha melawan dan mempertahankan diri..." "Akmad sarjana loh..., kok bisa-bisanya percaya bumi itu datar...?" “Mau S1 atau S3 gak ada bedanya. Mereka gak bisa berpikir dengan logika..., karena otak reptil yang diberondong dengan fake news tidak sempat masuk ke human brain...” “Oh ya..., lalu apa yang terjadi...?” “Karena ditembakkan terus menerus dengan berita bohong..., fake news tersebut langsung masuk ke subconscious mind..., dan menjelma menjadi believe system...” “Gila...! Padahal kalo udah masuk ke believe system..., susah banget disembuhkannya ya...?” “Susah banget..., korbannya sudah seperti di-brainswashed. Mereka akan kebal terhadap data dan fakta...” “Maksudnya...?” “Kita gak bisa berdebat dengan orang semacam itu..., Mereka gak percaya pada data dan fakta. Fake news yang telah masuk ke Believe system..., perlu terapi khusus untuk menyembuhkannya...” “Wuiiih.., mengerikan banget ya...?” “Sangat mengerikan. Makanya Scott Pelley..., seorang jurnalis Amerika..., pernah mengatakan ‘I believe the fastest way to destroy democracy is to poison the information...’” “Siapa lagi itu Scott Pelley...?” “Scott Pelley itu news anchor di Televisi CBS News..." Selesai meeting dengan Bagus.., saya kembali ke kantor...; Pemilu kali ini bener-bener gak masuk akal. Entah berapa banyak saya kehilangan teman..., cuma gara-gara pilpres. Gak ilmiah banget..., kesel saya...! Tapi..., ya sudahlah..., gak papa kok kehilangan teman. Ada bagian dari omongan Akhmad yang saya sangat setuju...: "Daripada bermusuhan..., lebih baik kita tidak berte merdeka.

Jumat, 04 Oktober 2019

Gebyar Pelantikan DPR

GEBYAR PDPR...
 Baru saja kita selesai dengan pelantikan anggota DPR periode 2019-2024. Semua stasiun TV menyuguhkan tayangan upacara tersebut. Nitizen disuguhi foto dan video anggota DPR terutama yang baru, yang dianggap menarik untuk disimak. Foto Selebritis wanita yang cantik-cantik, laki-laki gagah perkasa dengan tiga isteri, sampai pada foto anggota yang baru saja dilantik sedang tidur lelap dikursinya, semua beredar dengan komentar yang beraneka ragam. Tidak kalah serunya, foto/video para tokoh undangan yang menghadiri pelantikan anggota DPR. Saat itu Gedung Nusantara 1, ibarat gedung tempat upacara penyerahan piala Oscar dimana para aktris dan aktor berjalan di karpet merah. Hari-hari berikutnya acara televisi tetap di padati dengan kegiatan anggota DPR/DPD/MPR. Semuanya meriah, penuh tawa ceria, menggambarkan kemakmuran para wakil rakyat Indonesia. Bagaimana bisa dikatakan makmur atau kaya? Logika sederhana, biaya kampanye untuk menjadi Yang Mulia anggota DPR pasti besar. Bukan sekedar bilangan juta, tetapi bilangan milyar. Berapa nol nya? Petani, tukang becak atau bakul pecel susah membayangkannya. Padahal mereka adalah rakyat yang diwakili oleh Yang Mulia Anggota DPR. Begitu juga gaji yang akan diterima oleh Yang Mulia, sungguh fantastis...tidak masuk akal; sangat luar biasa; sangat hebat menurut rakyat biasa. Mengapa individu yang sudah kaya masih ingin menjadi anggota DPR dengan gaji, fasiltas yang aduhai? Teori kebutuhan/ motivasi oleh Alderfer, yang disebut Teori ERG (Existence,Relatednes, Growth) bisa menjelaskannya. Existence atau keberadaan adalah suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup yaitu meliputi kebutuhan fisiologis ( gaji, makanan/minuman, dan sex) dan ditambah kebutuhan akan rasa aman (asuransi, pensiun dll) Relatedness atau hubungan mencakup kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain Growth atau pertumbuhan adalah kebutuhan yang mendorong seseorang untuk dihargai, dan memiliki pengaruh terhadap diri sendiri atau lingkungan. Semua kebutuhan yaitu : gaji besar, asuransi, pensiun, penghargaan sebagai Yang Mulia dan perwujudan diri/aktualisasi diri muncul bersamaan sekaligus, dalam diri calon anggota DPR tanpa harus berurutan. Peluang dan kepastian mendapatkan semuanya terbuka lebar dengan berkantor di DPR. Proses untuk menjadi Yang Mulia anggota DPR, sesuai dengan peribahasa “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian” bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian. Mari kita lihat sejarah DPR Pada awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Maka, sesuai pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Komite ini adalah bakal calon badan legislatif di Indonesia. Anggota KNIP berjumlah 60 orang. Sumber lain ada yang menyebutkan jumlahnya 103 anggota. Dalam Sidang KNIP yang pertama telah ditentukan empat pimpinan susunan pimpinan sebagai berikut: Mr. Kasman Singodimedjo sebagai ketua. Mr. Sutardjo Kartohadikusumo sebagai wakil ketua I. Mr. J. Latuharhary sebagai wakil ketua II. Adam Malik sebagai wakil ketua III. Berapa gajinya? Tidak ada data mengenai hal tsb. Pada masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950), badan legislatif terbagi menjadi dua majelis, yaitu Senat dengan jumlah anggota 32 orang, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang anggotanya berjumlah 146 orang (49 orang dari anggota tersebut adalah perwakilan Republik Indonesia dari Yogyakarta). Selanjutnya sampai sekarang nama Dewan Perwakilan Rakyat tetap dipakai. Kembali pada rakyat yang diwakili anggota DPR. Ada baiknya kita melihat Angka pendapatan per kapita yang merupakan ukuran paling sederhana yang dapat merepresentasikan tingkat kesejahteraan sebuah negara. Dari sebelas negara yang ada di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kelima dengan angka pendapatan per kapita, dibawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand (per Oktober 2017). Bangsa Indonesia dengan kekayaan Sumber Daya yang dimiliki, pasti akan bisa mengungguli negara tetangga, asal semua lembaga negara bekerja keras untuk menjadi juara Asean. Upaya untuk menjadi juara Asean sudah dilakukan oleh pemerintah (Eksekutif). Bagaimana dengan Legislatif ? apakah penampilan, pendapatan dan fasilitas dan anggota DPR merepresentasikan upaya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia yang katanya mereka wakili? Rakyat hidup pas-pasan tetapi wakilnya gemerlapan, bergelimang kemewahan. Bagaimana kalau nama Dewan Perwakilan Rakyat dengan singkatan DPR disesuaikan menjadi Dewan Perwakilan Perjuangan Rakyat (DPPR) atau Dewan Perjuangan Rakyat (DPR). Agar semangat para anggota dewan untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia menjadi masyarakat sejahtera, adil dan makmur lebih lama membara. Hadir dalam rapat-rapat dari awal sampai akhir, menjalankan tugas dengan penuh jawab, berintegritas selama masa jabatan. Atau kalau sulit merubah nama DPR, akan lebih mudah merubah perilaku bermewah-mewah memakai uang rakyat yang mereka wakili. Sekaligus tidak menyakitkan hati rakyat. “Orang yang mencari kebenaran tetapi malu berpakaian sederhana adalah orang yang tidak perlu kita ajak bicara” Konfusius Filsuf dari Tiongkok. Merdeka! 🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩 Retno Triani Soekonjono Psikolog