Senin, 27 Februari 2023

MEMAHAMI WONG SOLO

 Pandangan seorang pengamat: Roes Haryanto *)


Judul tulisan ini sengaja kami buat “Memahami wong Solo”, bukan memahami orang Jawa, karena memang orang Solo berbeda dengan orang Surabaya, orang Semarang, orang Banyumas, walaupun semua yang terakhir ini oleh orang luar sering disebut orang Jawa.


Bahkan orang Solo berbeda dengan orang Yogya. 

Orang Solo pakai beskap, orang Yogya pakai surjan. 

Orang Solo pakai blangkon, orang Yogya pakai mondolan. 

Sampai saat ini orang Solo masih bertengkar terus dengan orang Yogya, masing-masing mengklaim sebagai pusatnya kebudayaan Jawa.


Sebetulnya dulu sama, tetapi Belanda yang membeda-bedakan agar antara keraton Solo dan Yogya tidak bersatu menjadi satu kekuatan politik dan militer yang kuat. Bahkan antar keluarga Yogya atau keluarga Solo sendiri juga dipecah-pecah. Sehingga di Yogya sekarang kita mengenal ada Kasultanan dan Pakualaman, di Solo kita mengenal ada Kasunanan dan Mangkunegaran.


Priyayi Solo:

Jaman dulu, didalam tatanan masyarakat Solo kelompok ningrat, bangsawan atau golongan berdarah biru, mempunyai derajat yang paling tinggi. Kemudian menyusul kelompok ambtenaar atau priyayi, baru kelompok pedagang. Priyayi, walaupun banyak pula yang menyandang gelar, bukan termasuk kelompok ningrat, sebagaimana yang diduga orang selama ini. Priyayi adalah mereka yang duduk dalam infrastruktur administrasi Hindia Belanda di Indonesia. Mereka berpendidikan Belanda (HIS, HBS, MULO), dan menduduki jabatan-jabatan seperti onderwijzer (guru), opziener (penilik), beheerder (kepala kantor), commies (komis) dan jabatan-jabatan di pangreh praja (vide: Baca Para Priyayi, karangan Umar Khayam)


Menjadi priyayi merupakan idaman setiap inlanders (orang pribumi), karena gajinya besar, bisa bergaul dan Nederlands spreken (bicara bahasa Belanda) dengan mereka. Hal ini juga menjelaskan mengapa orang-orang Jawa dulu selalu bercita-cita menyekolahkan anaknya setinggi mungkin agar bisa menjadi ambtenar / pegawai negri


Namun Golongan ningrat menganggap profesi pedagang sebagai pekerjaan rendah, tukang menipu, kulakan misalnya sebagai contoh (modalnya) Rp100,- bilangnya Rp150,-. 


Orang Kraton tidak ada yang mau berdagang, karena dianggap akan menjatuhkan martabatnya. Kalaupun ada kesempatan berbisnis, biasanya tidak dikerjakan sendiri tetapi diserahkan ke Cina.


Dulu orang-orang kaya Solo adalah pengusaha batik yang tinggal mengelompok di satu daerah namanya Laweyan. Mereka ini mendapat julukan “galgendu” (pengusaha kaya). Sampai beredar cerita, orang Laweyan karena saking kayanya konon sampai-sampai dinding dan bak kamar mandinya ditempeli uang ringgit emas semua.

Walaupun mereka ini kaya-kaya sekali namun tidak pernah ada yang mendapat anugerah gelar kebangsawanan dari keraton. Paling tinggi mereka disapa manganten (pria) dan mbokmase (perempuan).


Sebaliknya ada seorang Cina Go Tik Swan yang rajin memelihara, meneliti dan membukukan pusaka-pusaka kraton mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan diberi tetenger (nama) Harjonegoro (vide: seperti nama Pasar Gede, Solo)


Tidak to the point:

Orang Solo sering dituduh kalau punya maksud bicaranya mbulet (melingkar-lingkar), tidak ‘straight to the point’.

Berbeda dengan orang Surabaya yang lebih lugas dan ‘straightforward’. Bagi yang tidak mengerti / memahami karakteristik uwong Solo, memang benar, agak melingkar-lingkar. Namun bagi orang Solo ‘cekek’ (asli) sendiri sebetulnya ini merupakan tehnik diplomasi yang tinggi. Kalau misalnya, saya mau pinjam mobil ke Pak Indaryono, yang sama-sama orang Solo, saya akan datang kerumahnya dan mengatakan: “Pak Indar, sebetulnya besok itu saya ada rencana mau ke Sragen, ada undangan manten, tetapi mobil saya masih di bengkel”.

 Pak Indaryono sebagai orang Solo, “tanggap ing sasmito” (faham) langsung bisa menangkap: Wah Pak Roes ini pasti mau pinjam mobil. 


Kalau Pak Indar berkenan meminjamkan mobilnya beliau akan mengatakan: 

“Lha monggo, pakai mobil saya saja kebetulan saya juga tidak kemana-mana.”


Namun jika Pak Indar tidak berkenan, beliau akan mengatakan: “Wah kebetulan saya sendiri besok mau ke Semarang, nengok besan sakit.”


Dalam hal ini saya tidak akan merasa sakit hati ditolak, karena toh saya tidak pernah mengatakan mau pinjam. Begitu Sebaliknya Pak Indar juga tidak perlu merasa bersalah, toh tidak pernah mengatakan menolak. Diskursus ini pas dengan filsafat Jawa, menang tanpo ngasorake (menang tanpa mengalahkan). 

So the business is settled, nobody gets a hard feeling.


Bagimana caranya orang Solo minta tambah minum? Waktu bulan kemarin saya ke Solo menengok ibu, sempat mampir kerumahnya mas Sarasno (terakhir Inspektur Jogya) di Ngasem, Kartosuro. Tidak lama setelah duduk, suguhan (hidangan) keluar. Teh panas manis kenthel, pisang goreng & kacang rebus.


Ngobrolnya kesana kemari asyik sekali, tau-tau teh di gelas sudah habis, tapi ditunggu-tunggu koq nggak diisi lagi.

Wah ini harus pakai tehnik melingkar lagi.

 Saya akan pura-pura bertanya: “Mas dalan mburi ngomah kuwi joge nang endi?” (Mas jalan belakang rumah itu nyampainya ke mana ?) Dalam kosakata bahasa Jawa, jog juga bisa berarti tambah. Dengan begitu Mas Sarasno segera tahu kalau saya minta tambah teh lagi.


Pemimpin adalah rojo:

Orang Solo percaya bahwa seseorang bisa menjadi raja karena mendapat “pulung”, semacam wahyu. Kalau dia mendapat kesempatan menjadi pemimpin, apakah itu pemimpin cabang, pemimpin wilayah atau direktur, dia percaya bahwa telah mendapat “pulung”, yang orang lain tidak memilikinya. Jadi bukan hanya karena pandai saja. 

Makanya di Jawa ada ungkapan “ketiban pulung”, artinya kejatuhan rejeki. 


Sang pemimpin akan menganggap dirinya sebagai “rojo” (raja). Apalagi kalau dia benar-benar masih keturunan ningrat.

 Raja bebas berbuat apa saja terhadap kawulanya. Raja bebas mendekati kawulanya, guyon, bercanda, bicara dengan bahasa Jawa ngoko (bahas Jawa kasar), tetapi kawula tidak. Sedangkan Kawula tetap harus hormat dan menjaga jarak terhadap rajanya.


Makanya hati-hati kalau anda punya boss orang Solo. Kalau kemudian dia kelihatan begitu akrab dengan anda, relaks, suka bercanda, cengengesan, jangan cepat-cepat GR. Kalau dia ngajak ngomong Jawa ngoko, jangan coba-coba membalas dengan ngoko. Jangan coba-coba pula ikut cengengesan. That’s a very serious offence.


Anda tetap harus menjawab dengan bahasa Jawa halus, kalau bisa. Kalau tidak bisa lebih baik menggunakan bahasa Indonesia saja. 


Jadi lebih enak jadi orang Padang atau Mangkassara yang bisa omong Jawa. Kalau mereka ngomong Jawanya kasar orang Solo maklum, tetapi kalau bisa ngomong halus, “... wah hebat kali kau”.


Sombongnya orang Solo:

Bagaimana orang Solo memamerkan kekayaannya? Kemlinthi (sombong). Coba simak dialog antar ibu-ibu berikut pada suatu pertemuan arisan. 


Bu Dibyo: “Coba mbakyu apa ndak pusing, itu lho Heny, masak masih SMA saja dikasih uang saku Rp100.000,- sehari ndak cukup.” 

Bu Puji: “Dasar anak sekarang, itu lho jeng, Anto, baru kuliah semester 1 saja sudah minta BMW 318i. Ya sudah, terpaksa saya belikan daripada nggak mau sekolah.”


 Sebetulnya kedua ibu ini tidak bermaksud mengeluhkan kenakalan anak-anaknya, tetapi hanya ingin memamerkan bahwa mereka mampu memberi uang Rp100.000 sehari atau membelikan BMW seri terbaru.


Sehabis sholat Jum’at di Kampus, saya sempat ngobrol dengan Pak Djokosantoso (waktu itu Dirut BRI). 

Saya katakan: “Pak sekarang ini hasil tromol Jum’at semakin baik, tidak pernah kurang dari Rp1 juta. Hanya minggu kemarin saja dapatnya sedikit , cuma Rp500.000,-.


 “Kenapa ?” : tanya Pak Djoko dengan nada curiga.


 “Karena minggu kemarin saya tidak Jum’atan disini.

 Ha…ha..ha..” Jawab saya sambil cepat-cepat ngeloyor pergi. Nah ini juga termasuk sombongnya orang Solo. 

Untuk yang non-muslim kalau pengin tahu artinya tromol Jum’at, silahkan tanya sama temannya yang muslim.


Prasmanan tidak jalan:

Anda pernah menghadiri undangan resepsi perkawinan di Solo? 

Disana ada istilah USDEK, singkatan dari Unjukan (minuman+ kue), Sop, Dahar (makan), Es (pudding) dan Kondur (pulang). Tamu-tamu yang datang akan langsung mengambil tempat duduk yang telah disediakan. Umumnya mereka datang tepat waktu, sebab kalau anda terlambat bisa mengganggu prosesi dan anda akan klincutan (malu) sendiri. Setelah semua undangan hadir dilanjutkan dengan upacara adat. Selesai upacara adat hidangan akan disajikan dengan urutan unjukan, sop, dahar, ditutup dengan es atau pudding. 

Sambil menikmati hidangan anda dihibur dengan tari-tarian atau ular-ular (nasehat) perkawinan. Dengan keluarnya es berarti ini isyarat bahwa tamu-tamu dipersilahkan kondur (pulang). Temanten berdua didampingi kedua orang tua akan menuju ke pintu keluar untuk menerima ucapan selamat dan doa restu dari para undangan.


Orang Solo agak canggung datang ke undangan dengan sistem prasmanan. Mereka terlalu gengsi untuk mengambil makanan sendiri. Prinsipnya saya ini kan diundang dengan hormat, koq disuruh ngambil makanan sendiri, ya dilayani dong.


Humor Solo:

Seperti orang Jogya, orang Solo dikenal mempunyai rasa humor yang tinggi. Hanya, guyonnya orang Solo sering dikiritik agak cynical. Ada orang Solo minum es campur di warung. 

Setelah hampir habis baru tahu kalau ada seekor lalat didalam gelasnya. Dia tidak akan marah, tetapi malah pesan es lagi : 

“mBak minta es campur lagi tapi nggak pakai lalat ya.” 

Si mbak ini rupanya tidak mau kalah : 

“Pakai coro (kecoak) saja ya mas.”


Di Bandung saya pernah mau makan Mie Kocok di restoran Kabita, karena katanya terkenal enak. Saya tunggu-tunggu sampai setengah jam belum datang juga pesanan saya. Saya panggil pelayannya, saya pesan, “Neng, ulah lami-lami nya ngocokna” (mBak jangan lama-lama ya ngocoknya)


Mas Mardi, asal Banjarsari, kebetulan mau ke Jakarta naik kereta ekonomi Senja Utama. Kereta penuh sekali sehingga terpaksa harus berdiri. Tiba-tiba dia merasa kakinya terinjak oleh pria yang sama-sama berdiri disebelahnya. Mula-mula didiamkan saja, tetapi lama-lama terasa sakit. Mas Mardi tidak tahan lagi: 

“Mas, mas apa sampeyan anggota ABRI./TNI”


 “Bukan”, jawab pria itu. 

“Apa punya saudara ABRI”,

 “Ndak”, jawabnya lagi. 

“Apa punya teman-teman ABRI”.

 “nDak, memangnya kenapa “? tanya pria itu. 

“Kalau bukan, maaf mas tolong jangan diinjak kaki saya.” kata mas Mardi.


Di Jogya ada minuman hangat yang terkenal namanya “Bajigur”, yaitu sejenis minuman yang dibuat dari santan yang dimasak dengan daun pandan dan gula merah. Minuman ini kurang laku di Solo. 

Kata “bajigur” di Solo adalah kata untuk misuh (mengumpat), sedikit lebih halus dari kata “bajingan”.  Bagi orang Solo yang dididik dalam lingkungan tata krama halus, agak sulit untuk mengucapkan kata bajigur. Sering diplesetkan ‘bajindul’. 

Jadi kalau kita ke warung kepengin minum bajigur sering serba salah. Mau pesan bajigur lidah terasa kelu untuk mengucapkannya, tidak pesan sering keduluan penjualnya: “Bajigur mas ?”, gantian kita yang di-pisuhi.


Dalam hati ningrat Surakarta membathin, bakule iki (ba) jindul tenan 😝 


Pak Djokosantoso, waktu masih menjabat Dirut BRI, ketika berkunjung ke Kanwil Semarang untuk memberikan pengarahan mengenai transformasi organisasi sempat mengeluh. “Mas, orang Semarang ini bagaimana, Dirut cape-cape memberikan pengarahan koq tidak ada keploknya (tepuk tangannya).” kata beliau. 

Sebagai orang Solo saya jawab pelan-pelan: “Mohon maaf Pak, kalau di Semarang yang biasanya dikeploki itu doro (merpati).” Jadi di Jawa itu kalau ada burung merpati baru keluar rumah biasanya ditepukin ramai-ramai supaya terbang tinggi ke angkasa.


Alon-alon (slowly):

Untuk ukuran Jakarta, ritme kehidupan di Solo terasa lamban sekali. Falsafah ‘bloody solonese’ - alon-alon waton kelakon (slowly but sure).


Di Surakarta Solo Hadiningrat tidak ada bus kota, angkot atau tukang becak yang rebutan penumpang. Bus kota yang sering saya naiki kondisinya masih bagus sekali, sebagus lima tahun yang lalu, karena tidak pernah kebut-kebutan rebutan penumpang.


Orang Solo juga sering dituding terlalu nrimo. Sebetulnya bukan nrimo, hanya saja orang Solo tidak mau upaya mencari materi di dunia ini mengganggu keseimbangan bathinnya. Siapa orangnya yang tidak ingin kaya, tetapi tidak usah ngoyo, ngodrok - serakah.


Semuanya sudah ada yang mengatur, yaitu yang Diatas (Tuhan, Allah). mBok-mbok yang jualan nasi liwet langganan ibu saya, bisa menyekolahkan anaknya di Gajah Mada. Buat apa cepet-cepetan, yang datang duluan belum tentu lebih senang dari kita. Buat apa rebutan rejeki, yang lebih kaya belum tentu lebih bahagia dari kita. Di kantor kalau kita naik pangkat duluan kadang-kadang malah terasa risi, terkucil, seolah-olah keluar dari circle.


Lantas apakah orang Solo statis dan tidak kreatif. Saya kira tidak juga. Pasar Klewer adalah pusat perdagangan textil yang terbesar di Jawa Tengah. Dibanding dengan Semarang dan Jogya, tingkat pertumbuhan ekonomi paling tinggi justru di Solo. Campursari yang sekarang ini popularitasnya nomor dua setelah dangdut, lahir di Solo. Pinca-pinca (Pimpinan Cabang) yang di tempatkan di Kanwil Jogya, kalau disuruh memilih antara Semarang, Solo dan Jogya pasti lebih memilih Solo.


Perubahan: 

Solo sekarang sudah banyak berubah, terutama untuk generasi mudanya. 

Mereka meninggalkan Solo selepas SMA untuk sekolah dan mencari nafkah di tempat lain. Di tempat yang baru mereka menyerap nilai-nilai baru. Generasi tua sudah banyak yang tiada, tanpa sempat mewariskan nilai-nilai luhur budaya Solo. 


Solo dulu terkenal dengan sebutan kota yang tidak pernah tidur, banyak warung jajanan yang mulai buka jam 10.00 malam sampai pagi. Namun sesudah kerusuhan Mei 1998, warung-warung tadi bukanya sore, jam 10.00 sudah tutup. Harga makanan juga sudah mulai mahal. Contohnya 

Yang makan nasi liwet Wongso Lemu, Keprabon, umumnya wisatawan atau orang Solo yang sudah lama tinggal di luar. Karena menurut versi uwong Solo “kalkulatore rusak” - salah menghitung clients bayar mahal. Tapi, Bakmi godog Pak Hardjo, Pasarkembang, satu porsi Rp 25. 000,-, hampir sama dengan harga bakmi Jawa di Pejompongan.


Pamit:

Tidak terasa malam semakin larut, udara semakin dingin dan saya harus cari becak untuk pulang ke mBaturan, rumah ibu. 

Becak Solo agak berbeda dengan becak Jakarta atau Surabaya. Tempat duduknya lebih lebar serta lebih menyandar ke belakang. Kalau jaraknya agak jauh, pasti ngantuk, tertidur.


Saya pernah mempunyai pengalaman naik becak yang sedikit mengharukan.

Belum lama saya duduk, tukang becaknya bertanya, “Saiki neng endi Roes?” (Sekarang di mana Roes). 

Dengan agak terkejut saya menengok kebelakang. Rupanya dia Tembong, teman baik saya waktu di SD dulu, yang tidak mampu untuk melanjutkan sekolahnya. Alhasil, saya kasih dia Rp50.000 untuk ongkos becak yang biasanya cuma Rp7.000. Tidak apa-apa, for old time’s sake. Saya tidak tahu apakah dia sekarang masih kuat narik becak. Saya harus bersyukur masih bisa bekerja dan pensiun dengan selamat dari BRI.


Tiba-tiba salah seorang tukang becak teriak-teriak: “Den pakai becak saya saja, ditanggung pasti tidak digigit nyamuk.” 

Ada apa lagi ini, naik becak koq tidak digigit nyamuk. Saya mendekat sambil bertanya, “Lho apa hubungannya naik becak dengan digigit nyamuk ?”


 “Soalnya becak saya pakai tiga roda,” jawabnya sambil menyanyi ……nyamuk ini cuma takut Tiga Roda (Obat Nyamuk) ……. 

Wah tukang becak ini pasti terlalu sering nonton iklan obat nyamuknya Basuki, Dagelan Srimulat yang main di mBalekambang


Sekian dulu, maturnuwun.


*) Pensiunan BRI

Senin, 20 Februari 2023

Alasan merubah sistim Pemilu

 PASTIKAN KITA PUNYA URGENSI DAN ALASAN YANG KUAT UNTUK MENGUBAH SISTEM PEMILU

 

 

Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono

 

 

Sudah lama saya tidak bicara soal politik. Dari hari ke hari, kini saya lebih menggeluti dunia seni dan olahraga. Sungguh pun demikian, sebagai warga negara tentulah saya tidak kehilangan hak asasi saya untuk peduli dan menyampaikan pendapat. Materi yang ingin saya sampaikan ini, tentu berangkat dari niat dan tujuan yang baik, serta hendak saya sampaikan secara baik pula.

 

Saya mulai tertarik dengan isu penggantian sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Informasinya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus mana yang hendak dipilih dan kemudian dijalankan di negeri ini. Sebelum yang lain, dari sini saya sudah memiliki satu catatan.

 

Benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan diganti ketika proses pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan "time-line" yang ditetapkan oleh KPU? Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan? Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini.

 

Apakah saat ini, ketika proses pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan. Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa "tenang", bagus jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judical review ke MK. Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya  hanya bergerak dari terbuka - tertutup semata.

 

Dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak. Apa yang saya maksud? Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Perlu dilibatkan. Ada yang menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal. Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan "hajat hidup rakyat secara keseluruhan". Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya).

 

Bagaimanapun rakyat perlu diajak bicara. Kita harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat. Mengatakan "itu urusan saya dan saya yang punya kuasa", untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik "yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah", tentu juga bukan pilihan kita. Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut bersama. Consensus building yang sering diwujudkan dalam musyawarah untuk mufakat, berdialog dan berembuk, take and give, itulah nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri republik dahulu. Saya mempelajari secara mendalam, bagaimana dengan cerdas dan arifnya, founding fathers kita ~ Bung Karno, Bung Hatta, Yamin, Supomo, Ki Bagus dan lain-lain, bersedia untuk berembuk dan saling mendengar untuk merumuskan dasar-dasar negara baru (Republik Indonesia) yang dinilai paling tepat.

 

Kembali ke pokok bahasan, rakyat memang sangat perlu diberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian sistem pemilu itu. Apanya yang berbeda antara sistem terbuka dengan sistem tertutup. Mereka harus tahu bahwa kalau yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang diinginkan. Selanjutnya partai politiklah yang hakikatnya menentukan kemudian siapa orang yang akan jadi wakil mereka. Sementara, jika sistem proporsional terbuka yang dianut, rakyat bisa memilih partainya, bisa memilih orang yang dipercayai bisa menjadi wakilnya, atau keduanya ~ partai dan orangnya. Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan nafas dari sistem demokrasi.

 

Dalam artikel sangat singkat ini saya memang tidak hendak menyampaikan pikiran saya tentang mana yang paling tepat antara sistem proporsional tertutup versus sistem proporsional terbuka. Meskipun saya punya sejumlah pandangan dan pemikiran, namun bukan itu inti tulisan singkat saya ini. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa perkara besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental, hakikatnya salah satu "fundamental consensus" dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini.

 

Mungkin ada yang bicara, "tidak ada yang tidak bisa diubah di negeri ini". Konstitusi pun bisa saja diubah. Demikian juga sistem pemilu. Pendapat demikian tidaklah salah, dan saya pun amat mengerti.

 

Saya hanya mengingatkan dengan cara menyampaikan pertanyaan seperti ini. Kalau sebuah konstitusi, undang-undang dan juga sistem pemilu hendak diubah; mengapa dan bagaimana semua itu diubah? Bangsa yang maju dalam tatanan kehidupan yang baik, mesti mengedepankan pentingnya "what, why, how". Dalam perjalanan ke depan, negeri ini harus memiliki budaya untuk selalu mengedepankan "the power of reason". Begitulah karakter bangsa yang maju dan rasional. Permasalahan bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke depan, serta untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya. Bukan pikiran dan tindakan musiman, apalagi jika bertentangan dengan kehendak dan pikiran bersama kita sebagai bangsa.


# fb Susilo bambang yudhoyono

 

 

 

​​​​​​​​Yogyakarta, 18 Februari 2023