Jumat, 24 Maret 2017

BS DEMOGRAFI LEMHANNAS RI
























































































































































BAB  I 
PENDAHULUAN

1.      Demografi dan Ilmu Kependudukan
Dalam perencanaan pembangunan, data kependudukan memegang peranan yang sangat penting, makin lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia, maka makin mudah dan tepat rencana pembangunan itu dapat dibuat. Untuk dapat memahami keadaan kependudukan di suatu daerah atau negara, maka perlu di dalami kajian Demografi.
Secara umum, gambaran penduduk atau statistik dan data kependudukan sangat diperlukan terutama oleh para pembuat kebijakan dikalangan pemerintah maupun nonpemerintah. Data tentang jumlah dan pertumbuhan penduduk digunakan sebagai informasi dasar dalam pengembangan kebijakan penurunan angka kelahiran, peningkatan pelayanan kesehatan, pengarahan pesebaran penduduk, persediaan kebutuhan penduduk akan makanan, pendidikan, perumahan dan lapangan pekerjaan.
Dalam dunia politik, statistik kependudukan juga sangat dibutuhkan, antara lain untuk mengestimasi jumlah suara pemilih dalam pemilihan umum. Demikian pula halnya pada sektor industri dimana perusahaan yang memproduksi kebutuhan anak-anak seperti pakaian, susu, dan mainan dapat menggunakan data jumlah penduduk usia muda  (usia 0 – 14 tahun) dan karakteristiknya seperti distribusi umur, persebaran wilayah, dan komposisi jenis kelamin untuk perencanaan tingkat produksi.
Selain itu data dan statistik kependudukan dapat digunakan untuk mengetahui gambaran sosial dan ekonomi penduduk disuatu negara. Dari segi ketenagakerjaan, keadaan penduduk dapat dilihat dari presentasenya menurut  bidang pekerjaan utama  (pertanian, industri dan jasa), status pekerjaan (formal dan informal), atau jenis kegiatan (bekerja, sekolah atau mencari pekerjaan). Angka harapan hidup pada saat lahir, yang menunjukan rata rata lamanya hidup penduduk, sering kali dipakai untuk melihat peningkatan standar hidup.
Dari sudut perkembangan ilmu itu sendiri, statistik kependudukan memegang peranan penting. Penemuan-penemuan baru tentang apa yang terjadi secara empiris akan membentuk teori baru dan teori tersebut akan diuji lagi dengan penemuan data empiris yang terbaru dan demikian seterusnya.
Secara singkat, ilmu demografi sangat bermanfaat untuk :
a.         Mempelajari kuantitas, komposisi dan distribusi penduduk dalam suatu daerah   tertentu serta perubahan-perubahannya.
b.         Menjelaskan pertumbuhan masa lampau dan mengestimasi pertumbuhan penduduk pada masa mendatang.
c.         Mengembangkan hubungan sebab akibat antara perkembangan penduduk dan bermacam-macam aspek pembangunan sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan  dan keamanan.
d.         Mempelajari dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan konsekuensi pertumbuhan penduduk pada masa mendatang.

2.         Definisi Demografi
Demografi (demography) berasal dari dua suku kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan grafein yang berarti menggambar atau menulis. Oleh karena itu demografi dapat diartikan sebagai tulisan atau gambaran tentang penduduk. Istilah ini pertama kali dipakai oleh Achille Guillard pada tahun 1855 dalam karyanya yang berjudul Ellements de Statistique Humaine, ou Demographie compare atau Ellements of Human Statistics or Comparative Demography.
Pengertian tentang demografi berkembang seiring dengan perkembangan keadaan penduduk serta penggunaan statistik kependudukan yang dialami oleh para penulis kependudukan pada zamannya. Beberapa contoh tentang perkembangan pengertian demografi :
Johan Sussmilch (1762,dalam Adioetomo,Sri M, 2011) berpendapat bahwa demografi adalah ilmu yang mempelajari hukum Tuhan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan pada umat manusia yang terlihat dari jumlah kelahiran, kematian dan pertumbuhannya.
Achille Guillard (1855) memberikan definisi demografi sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu dari keadaan dan sikap manusia yang dapat diukur, yaitu meliputi perubahan secara umum, fisiknya, peradabannya, intelektualnya dan kondisi moralnya.
United Nations (1958) dan international Union for the Scientific Study of Population/ IUSSP (1982) mendefinisikan demografi sebagai studi ilmiah masalah penduduk yang berkaitan dengan jumlah, struktur, serta pertumbuhannya. Masalah demografi lebih ditekankan pada studi kuantitatif dari berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi. Ketiga faktor itu biasanya disebut sebagai variabel demografi atau komponen pertumbuhan penduduk. Ketiga variabel demografi tersebut ditambah dengan faktor lain seperti perkawinan, perceraian, dan mobilitas sosial (perubahan status sosial) akan menentukan struktur atau komposisi penduduk.
Donald J. Bogue (1969) mendefinisikan demografi sebagai ilmu yang mempelajari secara statistik dan matematik jumlah, komposisi, distribusi penduduk dan perubahan perubahannya sebagai akibat bekerjanya  komponen komponen pertumbuhan penduduk yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas ), perkawinan, migrasi dan mobilitas sosial.
George W. Barclay (1970) mendefinisikan demografi sebagai ilmu yang memberikan gambaran secara statistik tentang penduduk. Demografi mempelajari perilaku penduduk secara menyeluruh  bukan perorangan.
Dengan mengacu kepada definisi definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu demografi merupakan suatu alat untuk mempelajari perubahan perubahan kependudukan dengan memanfaatkan data dan statistik kependudukan serta penghitungan secara matematik dan statistik dari data penduduk terutama  mengenai perubahan jumlah, pesebaran dan komposisi/strukturnya. Perubahan perubahan tersebut dipengaruhi oleh perubahan pada komponen komponen utama pertumbuhan penduduk, yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi yang pada gilirannya menyebabkan perubahan pada jumlah, struktur, dan pesebaran penduduk. Demografi memberikan gambaran menyeluruh tentang perilaku penduduk, baik secara agregat maupun kelompok.
Batasan formal demografi telah pula diberikan oleh Hauser dan Ducan yang menyatakan : Demografi adalah studi mengenai jumlah, distribusi territorial dan komposisi penduduk, perubahan-perubahan yang bertalian dengannya serta komponen komponen yang menyebabkan perubahan bersangkutan dapat diidentifikasi sebagai  natalitas, mortalitas, gerak penduduk teritorial dan mobilitas sosial (perubahan status).
Demografi dapat dilihat dalam makna yang sempit, dalam hal ini sama dengan analisis demografi atau dalam makna yang lebih luas mencakup baik analisis demografi maupun studi kependudukan.
Pemisahan antara studi kependudukan dan analisis demografi telah dilakukan oleh Hauser  yang menyatakan bahwa :
a.         Analisis demografi merupakan analisis statistik terhadap jumlah, distribusi dan   komposisi penduduk serta komponen-komponen variasinya dan perubahan; sedangkan,
b.         Studi kependudukan mempersoalkan hubungan antara variabel demografi dan  variabel dari sistem lain.
Demografi murni (pure demography) atau dapat juga disebut dengan demografi formal (formal demography) hanya mendeskripsikan atau menganalisis variable-variabel demografi, sebagai contoh hubungan antara naik turunnya tingkat fertilitas dengan struktur demografi di suatu daerah. Kajian Demografi biasanya diampu oleh ahli-ahli ilmu lain terutama ilmu-ilmu sosial (ilmu yang orientasi pembahasannya adalah manusia) seperti sosiologi,ekonomi dan biologi. Sehubungan dengan hal tersebut ,analisis demografi untuk suatu wilayah sangat tergantung pada metode analisis ilmu yang mengampunya (lihat gambar 1) Namun demikian demografi sebagai ilmu yang mempunyai metode tersendiri, terutama dalam mengukur maupun membuat estimasi variabel demografi baik untuk masa lampau, sekarang, dan masa mendatang.
       


Demografi

                                                                                      
Antropologi
Sosial

Geografi
Sosial
          

                
                 


    Sosiologi
 





Gambar 1. Demografi dalam kajian ilmu-ilmu lain (terutama ilmu-ilmu sosial)
3.      Studi Kependudukan
Studi Kependudukan (Population Studies) merupakan istilah lain bagi Ilmu Kependudukan  yang digunakan disini. Studi Kependudukan terdiri dari analisis-analisis yang bertujuan dan mencakup :
a.         Memperoleh informasi dasar tentang distribusi penduduk, karakteristik dan perubahan-perubahannya.
b.         Menerangkan sebab sebab perubahan dari faktor dasar tersebut, dan
c.         Menganalisis segala konsekuensi yang mungkin sekali terjadi dimasa depan sebagai hasil perubahan-perubahan itu.
Introduksi istilah ilmu kependudukan sesungguhnya dimaksudkan untuk memberikan pengertian yang lebih luas tentang demografi, karena sejumlah ahli telah menggunakan istilah demografi untuk menunjuk pada demografi formal, demografi murni atau kadang-kadang demografi teoritis.
Studi kependudukan dapat pula dilihat sebagai penelitian makro demografi dan mikro demografi. Penelitian makro demografi mencakup penelitian unit skala besar, agregat orang dengan keseluruhan sistem kebudayaan dari masyarakat. Sasaran ruang lingkup daerah penelitian makro demografi adalah benua, bangsa dan kesatuan kesatuan wilayah yang luas seperti provinsi dan kota kota besar. Sedangkan penelitian mikro demografi memusatkan diri atas individu, kesatuan kesatuan keluarga autonomous, kelompok-kelompok kecil dan lingkungan ketetanggaan. Penelitian mikro demografi berlangsung pada tingkat luas wilayah yang relatif kecil seperti disuatu desa di Indonesia.

4.      Sejarah Dan Perkembangan Demografi
Menurut sejarahnya upaya-upaya untuk pencatatan statistik kependudukan sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu, meskipun masih dilakukan dalam ruang lingkup yang kecil dan digunakan secara terbatas. John Graunt (1620 – 1674) seorang warga negara Inggris, dikenal sebagai pelopor dalam bidang pencatatan statistik penduduk. Bukunya yang berjudul Natural and Political Observations Mentioned in a Following Index and Made Upon the Bills of Mortality (Graunt, 1662 dalam Iskandar,1994) sebagian besar berisi analisis mortalitas dan selebihnya mengenai fertilitas, migrasi, perumahan, data keluarga, perbedaan antara kota dan Negara dan jumlah penduduk laki laki yang berada pada kelompok umur militer. Data yang digunakan dalam analisis kematian dan kelahiran tersebut bersumber dari catatan kematian (The Bills of Morality) yang diterbitkan secara berkala oleh petugas gereja setiap minggu. Dari hasil penelitiannya itu Graunt mencetuskan “hukum - hukum” .pertumbuhan penduduk.
Graunt menyarankan agar penelitian yang menyangkut penduduk lebih menekankan aspek komposisi penduduk menurut jenis kelamin, Negara,umur, agama, dan sebagainya. Keistimewaan dari pendekatan yang dipergunakan oleh Graunt adalah kehati-hatiannya dan kekritisannya dalam pengumpulan data. Apabila informasi yang ada dirasakan terlalu sedikit, maka  Graunt mengambil sampel untuk melakukan estimasi. Ia melakukan penelitian empiris terhadap jumlah dan perkembangan penduduk London pada masa itu.  Dari usaha Graunt dalam bidang kependudukan yang mencakup topik-topik yang menarik dapat dikatakan bahwa ilmu demografi lahir pada zamannya. Oleh karena itu Graunt dikenal pula sebagai Bapak Demografi.
 Setelah era Graunt, perhatian publik terhadap masalah kependudukan, baik mengenai pencatatan statistik maupun pertumbuhannya terus meningkat. Dalam sejarah perkembangan ilmu demografi, timbul masalah mengenai pembagian cabang ilmu ini. Awalnya, para pengamat berpendapat bahwa demografi lebih terfokus pada penyusunan statistik penduduk dan analisisnya. Pendapat ini memang dapat dimengerti karena pelopor pelopor ilmu demografi, seperti Sussmilch dan Guillard menganggap demografi sebagai bio-social book- keeping, yang artinya kelahiran sebagai faktor penambah jumlah penduduk, sedangkan kematian sebagai faktor pengurang jumlah penduduk. Kemudian beberapa pengamat membedakan masalah penduduk menjadi dua, yaitu yang bersifat kuantitatif yang membahas tentang jumlah, pesebaran serta komposisi penduduk, dan yang bersifat kualitatif yang membahas masalah penduduk dari segi genetis dan biologis. Gagasan ini kurang mendapat dukungan karena ternyata keduanya mengandung unsur kualitatif dan kuantitatif.
          Berdasarkan pengertian dan sejarah perkembangan demografi, maka demografi saai ini tidak saja dipelajari secara murni, tetapi juga dipelajari secara lebih luas dengan mengindahkan variabel-variabel nondemografis (sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan politik). Dengan kata lain demografi bukan lagi merupakan disiplin ilmu yang tersendiri, tetapi juga merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner.
Selain itu, dari perkembangan aplikasi demografi, terutama dalam peranannya untuk menganalisis fenomena kependudukan, dapat dikatakan bahwa ilmu demografi sangat berguna sebagai instrumen atau alat analisis yang dapat dipakai untuk membedah pesoalan persoalan yang berkaitan dengan permasalahan kependudukan pada umumnya. Demografi berperan sebagai alat analisis (tools of analysis) dengan kemampuannya mengembangkan indikator indikator kependudukan. Indikator kependudukan dapat dijadikan tolok ukur perbandingan keadaan demografi sekelompok penduduk tertentu dengan kelompok penduduk yang lain, atau perbandingan antarwaktu dalam analisis tren kependudukan. Hal ini sangat berguna, baik untuk memonitor kemajuan maupun memonitor hasil hasil pembangunan sosial dan ekonomi.

5.      Sejarah Pertumbuhan Penduduk Dunia  
 Pembahasan transisi demografi tidak terlepas dari persoalan pertumbuhan penduduk, oleh karena itu perlu kiranya mengetahui persoalan penduduk dan sejarah pertumbuhannya. Pada permulaan tahun Masehi, 1 AD, jumlah penduduk dunia diperkirakan masih sekitar 250.000.000 jiwa dengan angka pertumbuhan sekitar 0,04 % per tahun. Tingkat pertumbuhan penduduk yang amat rendah ini bertahan dalam waktu yang cukup lama, berabad-abad dan kemudian terjadi suatu ledakan jumlah penduduk yang dimulai sebelum abad ke 18. Pada permulaan revolusi industri tahun 1750, jumlah penduduk dunia meningkat menjadi sekitar 790 juta.
Pada abad berikutnya, kemajuan teknologi di Eropa dan di beberapa belahan dunia lain, mulai memperlihatkan dampaknya. Penemuan obat obatan (seperti penisilin) dan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan amat mengurangi berbagai penyakit. Selain itu penemuan alat transportasi berdampak pada perluasan perdagangan yang membuat persediaan bahan pangan lebih mudah didapat dan pada gilirannya memperbaiki nutrisi penduduk. Tingkat kematian yang tinggi pada abad sebelumnya mulai menurun dan angka harapan hidup mulai meningkat secara perlahan- lahan. Sementara itu, angka fertilitas masih tetap tinggi sehingga selisih angka fertilitas dan angka kematian  semakin besar. Sebagai akibatnya, terjadi ledakan jumlah penduduk yang amat cepat, mencapai 1,7 miliar pada permulaan tahun 1900 dan mencapai 2 miliar pada tahun 1930. Pada tahun 1950, jumlah ini telah bertambah menjadi 2,5 miliar. Jumah ini genap mencapai 6 miliar pada tahun 1999 ( Gelbard, Haub dan Kent, 1999). Satu tahun kemudian, yaitu tahun 2000, penduduk dunia bertambah 55 juta jiwa atau menjadi 6.055 miliar, dan pada 31 Oktober 2011 sudah mencapai 7 miliar.
          Terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang cukup tajam ini menandai masuknya era modern dari sejarah demografi yang dinyatakan sebagai transisi demografi tahap kedua. Transisi demografi ini terjadi bersamaan dengan perubahan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi modern. Perubahan prilaku masyarakat agraris ke masyarakat modern bersamaan dengan terjadinya industrialisasi dan urbanisasi dianggap mempunyai dampak pada perubahan perilaku demografi.
          Di negara maju, tahap transisi demografi yang terjadi pada abad ke- 20 mencapai titk kematangannya, yang ditandai dengan terjadinya penurunan angka kelahiran dan kematian sampai pada titik terendah. Pada masa setelah perang dunia II, angka pertmbuhan penduduk di negara-negara tersebut telah menunjukan tanda-tanda mencapai  di bawah angka satu persen. Bahkan pada periode 1995-2000, angka pertumbuhan penduduk rata-rata untuk beberapa negara maju, seperti Swedia, Perancis, dan Jepang mencapai angka yang sangat rendah, masing-masing sebesat 0,11 %, 0,37 % dan 0,25 % pertahun, sementara Australia dan Singapura masih mempunyai angka pertumbuhan penduduk diatas 1 %, yang disebabkan karena imigrasi.
Sementara itu negara-negara yang dikelompokkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) sebagai negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sedang, mempunyai pertumbuhan penduduk sekitar satu sampai dua persen per tahun, kecuali China yang telah mampu menurunkan angka pertumbuhan penduduk menjadi 0,88 % per tahun. Sementara itu negara-negara dengan IPM rendah masih harus berjuang menurunkan angka pertumbuhan penduduk yang masih berada diatas 2 % per tahun (kecuali Zimbabwe).
                                                                                                                                            
6.      Sejarah Kependudukan di Indonesia
          Indonesia saat ini merupakan Negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia setelah China, India, Amerika. Kedudukan ke empat ini diperoleh setelah terjadi perubahan politik di Uni Soviet yang menyebabkan pecahnya Negara itu.
Menurut sejarah, berdasarkan penemuan fosil manusia purba di Jawa, Indonesia diperkirakan sudah dihuni sejak zaman prasejarah. Berdasarkan penelitian mengenai bahasa, cara-cara dan peralatan pertanian diperkirakan pada masa tersebut telah terrjadi migrasi penduduk dari China Selatan melalui Semenanjung Melayu ke pulau-pulau di Indonesia. Migrasi ini terjadi dua kali yaitu sekitar 3000 SM dan 300 SM. Migrasi yang lain ialah migrasi dari India yang masuk ke Indonesia dengan membawa kebudayaan Hindu.
Sejak zaman prasejarah sampai dengan zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia informasi yang jelas mengenai jumlah, komposisi, pesebaran dan perubahan-perubahan penduduk tidak ada.meskipun beberapa sumber menyebutkan bahwa pada saat itu sudah ada perhitungan jumlah penduduk melalui cacah (rumah tangga) untuk kepentingan kekuatan perang, informasi tersebut bersifat lokal dan tidak tercatat dengan jelas, sehingga data yang diperoleh hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan. Informasi kependudukan baru diperoleh pada masa pemerintah Belanda mulai berkuasa di Indonesia, yaitu kira-kira pada abad ke-17. Informasi tersebut terbatas pada informasi penduduk di pulau Jawa yang dikumpulkan melalui berbagai catatan resmi dan tidak resmi. karena pengumpulan data masih sangat sederhana, mutu data yang dikumpulkan juga rendah. Hal ini menyebabkan data penduduk  pulau Jawa  saat itu diperoleh dari berbagai estimasi. Informasi kependudukan ini penting bagi Belanda untuk berbagai keperluan, misalnya untuk pertanian dan kekuatan perang.
Dengan demikian sejarah kependudukan di Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi empat periode yaitu periode sebelum pemerintahan Belanda, periode pemerintahan Belanda, periode perang kemerdekaan 1940-1950 dan periode kemerdekaan sampai dengan sekarang.
        
 a.          Periode sebelum Pemerintahan Belanda
Periode yang dimaksud yaitu periode kerajaan-kerajaan di pulau Jawa, mulai dinasti Mataram Hindu sampai dengan Mataram Islam. Mc Donald (1980) memperkirakan jumlah penduduk Pulau Jawa pada akhir masa kerajaan Mataram Hindu (abad ke-10) sebesar 5 juta jiwa. Perkiraan Mc Donald didasarkan pada perkiraan bahwa untuk waktu yang sangat lama, pertumbuhan penduduk di pulau Jawa mengalami kemandegan (stagnasi). Hal ini disebabkan oleh kemunduran pemerintahan, penurunan kontrol sosial, perang, epidemik penyakit, bencana banjir dan letusan gunung berapi.
Dari berbagai temuan candi-candi di Jawa, tampak adanya pengelompokan candi pada daerah-daerah yang subur, seperti yang terdapat di Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya. Penemuan tersebut dapat digunakan sebagai pemusatan-pemusatan penduduk. hal ini diperkuat dengan penemuan   bekas-bekas desa di wilayah Kabupaten Klaten akhir-akhir ini. Hugo (1987) menyatakan bahwa pada abad ke- 14 dan ke- 15 (era Majapahit), Jawa dicirikan sebagai daerah dengan masyarakat yang sudah maju dalam pertanian dan irigasi, stabil dala politik dan pemerintahan. Pada periode ini migrasi penduduk antar pulau sudah dilakukan, seperti migrasi yang terjadi antara Kerajaan Mataram di Jawa dengan Sriwijaya di Sumatera. Migrasi terjadi karena adanya hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada dalam bidang politik, ekonomi, perdagangan dan hubungan kekerabatan. Pepatah yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa bahari terbukti dengan adanya perdagangan dengan negara-negara lain diluar Jawa melalui hubungan laut.    
b.      Periode Pemerintahan Belanda
                    Seperti Negara-negara Asia lainnya, Indonesia tidak mempunyai informasi  kependudukan yang jelas sampai pada masa pemerintahan  Raffles (1815). Rafles menghitung penduduk melalui registrasi penduduk, dengan mencatat semua penduduk melalui kepala desa/dusun masing-masing melalui sistem sewa tanah. Sebelum masa itu, angka jumlah penduduk Indonesia hanya berdasarkan perkiraan semata-mata. Pada abad 19, sebagian investasi dan aktivitas pemerintah kolonial Belanda dipusatkan di pulau jawa karena selain letaknya yang strategis, lahannya yang subur sangat menguntungkan bagi usaha pertanian dan perkebunan (Mohr 1938 dalam Mantra 1990). Pembangunan yang dilaksanakan di Jawa membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain angka pertumbuhan penduduk alami yang tinggi, banyak pula migran masuk ke Pulau Jawa.
               Peningkatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa akhirnya dianggap serius oleh pemerintah, sehingga di ambil kebijakan untuk memindahkan sebagian penduduk dari daerah padat di pulau jawa ke pulau sumatera. Kegiatan ini di kenal Kolonisasi. Kolonisasi pertama dilakukan tahun 1905 dengan memindahkan 105 petani dari Kedu ke Gedong Tataan di Lampung. Karena biaya kolonisasi di anggap tinggi, usaha pemerataan persebaran penduduk lebih di tekankan pada migrasi tenaga kerja ke perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur (kuli kontrak). Proyek kolonisasi ini kemudian di teruskan oleh pemerintah Indonesia dengan nama Transmigrasi. Keseriusan pemerintah dalam menangani transmigrasi ini terlihat dengan ditetapkannya Djawatan Transmigrasi tahun 1947 (sekarang Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) yang bertanggung jawab atas pelaksanaan transmigrasi.

c.           Periode Perang Kemerdekaan (1940-1950)
                    Kondisi kependudukan paling parah terlihat pada periode ini, yaitu di mulai pada waktu Jepang mengambil alih kekuasaan dari Belanda. Dibawah pemerintahan Jepang, kondisi perekonomian Indonesia sangat buruk. Beberapa jenis komoditas seperti tekstil, alat-alat pertanian, komoditas makanan pangan menghilang dari pasaran. Jepang mengambil alih semua jenis komoditas tersebut untuk menyokong pembiayaan angkatan perang mereka. Pada periode ini dilakukan mobilisasi tenaga kerja (Romusha) untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek pertahanan tentara Jepang, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar Negeri. Pada masa ini tidak terdapat data mengenai berapa jumlah kematian para pekerja Romusha tersebut. Keyfitz dan Nitisastro (1962) memperkirakan bahwa angka kematian di antara pekerja tersebut tinggi, ini disebabkan karena kelaparan, penyakit, dan kemiskinan.
              Sesudah kemerdekaan diproklamasikan pada tahun 1945, keadaan Indonesia masih diliputi suasana perang untuk mempertahankan kemerdekaan (1947-1948). Pada masa ini terjadi migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan akibat pendudukan kota-kota besar oleh Belanda. Perang kemerdekaan tersebut menyebabkan menurunnya angka kelahiran dan meningkatnya angka kematian di Indonesia.

          d.      Periode Paska Perang Kemerdekaan
Walaupun perang kemerdekaan sudah berakhir tetapi keadaan politik di Indonesia belum stabil. Banyaknya pemberontakan PRRI/Permesta sampai dengan Komunis terus-menerus berlangsung sampai tahun 1965. Kondisi ketidak stabilan politik tersebut ternyata tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk di Indonesia. Angka pertumbuhan penduduk tetap tinggi, sebagai akibat kebijakan pemerintahan Soekarno yang pronatalis.  Kebijakan pronatalis ini juga menyebabkan banyaknya perkawinan dan kelahiran pada masa itu. Angka kelahiran kasar diperkirakan 47,31 pada tahun 1950. Sedangkan jumlah penduduk diperkirakan mencapai 77,2 juta pada tahun 1950. Dari jumlah tersebut sekitar 50,5 juta berada di pulau jawa.
Angka kematian pada tahun 1950-an tidak banyak mengalami penurunan di bandingkan periode sebelumnya. Hal ini terjadi karena adanya serangan cacar pada tahun 1950. Nitrisastro (1970) mencatat bahwa hasil registrasi penduduk yang dilakukan di daerah Wonosobo menunjukan angka kelahiran kasar sebesar 21,3 pada tahun 1958.

          e.      Periode 1960-1990
Pada periode ini data di peroleh dari Sensus Penduduk Indonesia tahun 1961, 1971, 1980, dan 1990. Belajar dari pengalaman selama kegagalan pemerintahan orde lama dalam bidang ekonomi, pada era pemerintahan orde baru kebijakan peningkatan perekonomian menjadi titik perhatian utama. Jumlah penduduk yang besar tanpa di imbangi sumber daya manusia yang baik, hanya akan menambah beban bagi perekonomian Negara. Oleh karena itu, kebijakan pronatalis mulai ditinggalkan dan pada awal tahun 1970 kebijakan Keluarga Berencana yang mengatur jumlah maupun jarak kelahiran mulai di berlakukan di pulau Jawa dan Bali. Setelah program tersebut berjalan dengan baik dilakukan perluasan program KB keseluruh daerah di luar Jawa-Bali.
Kegiatan Keluarga berencana ini selain ditujukan untuk pembatasan kelahiran, juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memberi kesempatan pada perempuan untuk mengembangkan diri. Walaupun penurunan kelahiran juga disebabkan oleh perluasan Pendidikan perempuan, penigkatan usia kawin, dan perluasan kesempatan kerja, diakui bahwa peran Keluarga Berencana dalam penurunan kelahiran terlihat nyata.
Keberhasilan Keluarga Berencana dalam bentuk penurunan angka kelahiran berdampak pula pada angka pertumbuhan penduduk. Hal ini juga ditunjang dengan penurunan angka kematian, terutama dengan kematian bayi. Besarnya angka kematian bayi biasa digunakan sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Angka kematian bayi (IMR) telah menurun dengan pesat selama masa pemerintahan orde baru. Jika kita menengok kebelakang setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1961 dilakukan sensus penduduk yang pertama. Hasil sensus penduduk 1961 menunjukan jumlah penduduk Indonesia 97 juta. Dari hasil sensus penduduk tersebut diketahui bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia mengelompok di pulau Jawa dan Madura, yang luasnya hanya 6,9% dari luas daratan Indonesia. Pada tahun 1980 penduduk yang bertempat tinggal di pulau Jawa meningkat menjadi 61,91%. Pada tahun 1990 angka tersebut menurun menjadi 59,99% (BPS 1992).
Dalam kurun waktu 10 tahun penduduk pulau jawa mengalami penurunan prosentase jumlah penduduk. Sedangkan di pulau-pulau lain terjadi peningkatan. Penurunan prosnetase di pulau Jawa dan peningkatan penduduk di pulau-pulau lain disebabkan arus migrasi dari pulau Jawa ke pulau-pulau lain, serta penurunan angka kelahiran yang lebih cepat di pulau Jawa.
Migrasi yang terjadi akhir-akhir ini menunjukan perubahan arah dari Indonesia bagian barat ke Indonesia bagian timur. Perubahan arus migrasi terjadi karena kebijakan pemerintah untuk mengalihkan migrasi penduduk yang menuju pulau Sumatera ke pulau-pulau lain di Indonesia bagian timur. Selain itu, pertumbuhan pusat ekonomi di Indonesia timur juga menarik minat penduduk pulau Jawa untuk datang ke bagian timur Negara ini.
Mantra (1990) mengatakan bahwa selain penduduk Indonesia mengelompok pada pulau yang relatif sempit, lebih dari 50% penduduk Indonesia bertempat tinggal di Pedesaan dengan mata pencarian pokok di bidang pertanian. Masih tingginya angka pertumbuhan penduduk dan makin berkurangnya lahan pertanian karena digunakan untuk keperluan non pertanian (misalnya untuk perkantoran, terminal bus, dan tempat rekreasi) telah mengurangi secara drastis rata-rata pemilikan lahan pertanian oleh petani.
Karena pemilikan luas tanah yang makin menyempit, langkanya pekerjaan di desa menyebabkan arus migrasi dari pedesaan ke perkotaan meningkat. Arus migrasi tersebut ikut menyumbang pada peningkatan jumlah penduduk perkotaan dewasa ini. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan merupakan sasaran utama pelaku mobilitas menuju kota. Pada periode tahun 1971-1980 kelima kota besar di atas menyumbang 30,5% dari pertumbuhan perkotaan Indonesia yaitu 3.781.535 orang dari 12.380.392 orang (Alatas 1988).  Data ini memberi gambaran terkonsentrasinya penduduk di kota-kota besar.
Ketimpangan persebaran penduduk di Indonesia sangat menghambat proses pembangunan, karena itu sangat penting melaksanakan program redistribusi penduduk bagi seluruh wilayah Indonesia. Dari sudut manapun kita memandang, program redistribusi penduduk ini mempunyai nilai yang sangat penting. Dari segi ekonomi, program redistribusi penduduk berarti menyediakan tenaga kerja serta keterampilan baik untuk perluasan produksi di daerah-daerah maupun pembukaan lapangan kerja baru. Disamping itu, akan timbul integrasi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, baik nasional maupun daerah. Ditinjau dari aspek ideologi, redistribusi penduduk berfungsi untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Dari aspek politik hal ini merupakan alat pembauran etnik, mempersempit kesenjangan kelas dan wilayah, serta dapat meningkatkan hubungan antar kelompok. Dilihat dari segi pertahanan keamanan, redistribusi penduduk juga di nilai dapat mewujudkan terciptanya sistem pertahanan rakyat semesta (sishankamrata). Terhadap sumber daya alam, redistribusi penduduk di anggap dapat meningkatkan pengamanan dan sekaligus pemanfaatannya.
Dengan dimulainya pelita satu pada tahun 1969 terjadilah perubahan tujuan dari transmigrasi. Program ini sekarang dikaitkan dengan usaha pembangunan daerah. Jadi, penyelenggaraan transmigrasi merupakan hakikat pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangun seluruh masyarakat Indonesia.


BAB  II
KONSEP DEMOGRAFI

1.         Fertilitas
Fertilitas adalah kemampuan menghasilkan keturunan yang dikaitkan dengan kesuburan wanita. Fekunditas atau kesuburan adalah kemampuan fisik seorang wanita untuk melahirkan anak. Wanita yang tidak dapat melahirkan anak dikatakan mandul (infecund/infertile). Fertilitas, dalam perkembangannya, diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata (bayi lahir hidup) dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Istilah lainnya adalah natalitas dan kelahiran(birth).
a.           Pengukuran Fertilitas Tahunan
Fertilitas diukur dari kelahiran hidup. Ukuran-ukuran fertilitas tahunan meliputi:
1)        Tingkat kelahiran kasar (crude birth rate)
2)        Tingkat fertilitas umum (general birth rate)
3)        Tingkat fertilitas menurut umur (age specific fertility rate)
4)        Tingkat fertilitas menurut urutan kelahiran (birth order specific            fertility rate)
         a)    Tingkat Kelahiran Kasar
          Tingkat fertilitas kasar adalah banyaknya kelahiran hidup pada suatu tahun tertentu tiap 1000 penduduk pada pertengahan tahun. Formulanya adalah:
                  
                dimana:
                                    CBR   = Crude Birth Rate atau tingkat kelahiran kasar
                                    B         = jumlah kelahiran pada tahun tertentu
                                    Pm       = penduduk pertengahan tahun
                                    k          = bilangan konstan 1000              

                b)    Tingkat Fertilitas Umum
          Tingkat fertilitas umum adalah perbandingan jumlah kelahiran dengan jumlah penduduk perempuan usia subur (15 – 49 tahun). Formulanya adalah:

                    
                        dimana:
                                    GFR    = General Fertility Rate atau tingkat fertilitas kasar
                                    B         = jumlah kelahiran pada tahun tertentu  Pf(15 – 49)         
                                    = jumlah penduduk perempuan umur 15–49 tahun
                                   pada pertengahan tahun
                                    k          = bilangan konstan 1000
c)     Tingkat Fertilitas Umur
Tingkat fertilitas umur adalah      tingkat fertilitas perempuan pada tiap-tiap kelompok umur. Formulanya adalah:

                   
                di mana:
                        ASFRi =   Age Specific Fertility Rate atau tingkat fertilitas
                                     kelompok umur
                                    B         =   jumlah kelahiran pada tahun tertentu                                   
                                    Pfi        =   jumlah perempuan kelompok umur i pada
                                     pertengahan tahun
                        k         =   bilangan konstan 1000
d)    Tingkat Fertilitas Urutan Kelahiran
Tingkat fertilitas menurut urutan kelahiran adalah tingkat fertilitas perempuan menurut urutan kelahiran. Formulanya adalah:
                   
dimana:
    BOSFR    =   Birth Order Specific Fertility Rate atau tingkat
                         fertilitas   urutan kelahiran
                    Boi                   =   jumlah kelahiran urutan ke I Pf(15 – 49)    
                Pf          =  jumlah penduduk perempuan umur 15 – 49 tahun     pada pertengahan tahun
                     k         =   bilangan konstan 1000

b.      Pengukuran Fertilitas Kumulatif
Fertilitas kumulatif mengukur rata-rata jumlah anak laki-laki dan perempuan yang dilahirkan oleh seorang perempuan pada saat memasuki usia subur hingga melampaui batas reproduksinya (usia 15-49 tahun).
Ukuran fertilitas kumulatif meliputi:
1)        Tingkat fertilitas total (total fertility rates)
2)        Tingkat reproduksi kasar (gross reproduction rates)
3)        Tingkat reproduksi bersih (net reproduction rates)
a)        Tingkat Fertilitas Total
Tingkat fertilitas total adalah jumlah kelahiran hidup laki-laki dan perempuan tiap 1000 penduduk yang hidup hingga akhir masa reproduksinya, dengan catatan:
(1)       tidak ada seorang perempuan yang meninggal sebelum mengakhiri masa reproduksinya,
(2)       tingkat fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode waktu tertentu.
                       Formulanya adalah:

                   
    dimana:
                        TFR                = total fertility rate atau tingkat fertilitas total
                        ASFRi = tingkat fertilitas menurut kelompok umur ke-i dari
                                   Kelompok berjenjang 5 tahunan
b)        Tingkat Reproduksi Kasar
Tingkat reproduksi kasar adalah jumlah kelahiran bayi perempuan oleh 1000 perempuan sepanjang masa reproduksinya dengan catatan tidak ada seorang perempuan pun yang meninggal sebelum mengakhiri masa reproduksinya. Formulanya adalah:

                   
    dimana:
                        GRR               = gross reproduction rate atau tingkat kelahiran kasar
                        ASFRfi            = tingkat fertilitas menurut kelompok umur ke-i dari
                                                   kelompok berjenjang 5 tahunan untuk bayi
                                                   perempuan

    c)      Tingkat Reproduksi Bersih
Tingkat reproduksi bersih adalah jumlah kelahiran bayi perempuan oleh sebuah generasi hipotesis dari 1.000 perempuan dengan memperhitungkan kemungkinan meninggalnya perempuan–perempuan tersebut sebelum mencapai akhir masa reproduksinya. Formulanya adalah:
                  
    dimana:
                        NRR               = Net reproduction rate atau tingkat kelahiran kasar
                        ASFRfi                = tingkat fertilitas menurut kelompok umur ke-i dari
                        kelompok berjenjang 5 tahunan    untuk bayi
                        perempuan
                        nLx                 = jumlah perempuan yang bertahan hidup sampai
                                               tepat umur x.
                        Lo                    = jumlah bayi perempuan yang lahir pada tahun
             anggapan ke-0

2.      Migrasi
          Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administratif/batas bagian dalam suatu negara. Terdapat dua dimensi dalam migrasi, yaitu dimensi waktu dan dimensi tempat. Badan Pusat Statistik menggunakan referensi waktu enam bulan untuk menentukan seseorang telah menetap di suatu tempat untuk dianggap sebagai penduduk setempat.
Dalam dimensi tempat, migrasi dibedakan menjadi migrasi antar negara dan migrasi internal. Migrasi antar negara adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain atau disebut sebagai migrasi internasional. Migrasi internal adalah perpindahan penduduk yang terjadi dalam suatu negara, misalnya perpindahan antar provinsi, kota, atau kesatuan administratif lainnya.
          a.      Faktor-faktor Penyebab Migrasi
Faktor penyebab migrasi dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penarik. Faktor-faktor pendorong diantaranya adalah:
·                Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan, misalnya menurunnya daya dukung lingkungan, atau menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan-bahan dari pertanian.
·                Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal
·                Adanya tekanan politik, agama, dan suku sehingga mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal.
·                Pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.
·                Bencana alam, misalnya banjir, kebakaran, gempa bumi, musim kemarau panjang, atau wabah penyakit.
Faktor-faktor penarik diantaranya adalah:
·                Harapan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kehidupan.
·                Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
·                Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah, dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.
·                Aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, atau pusat kebudayaan yang merupakan daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar.
b.      Ukuran Migrasi
                   1)      Angka Mobilitas (m)
Angka mobiitas umum menunjukkan perbandigan antara jumlah penduduk dalam siatu periode tertentu dengan jumlah penduduk yang berisiko pindah.
       
                            dimana:
                m     = angka mobilitas
                M     = jumlah perpindahan
                P     = penduduk yang berisiko
                Lo   = konstanta (1.000)

       2)      Angka Migrasi Masuk (mi)
Angka yang menunjukkan banyaknya migran yang masuk per 1.000 orang penduduk daerah tujuan dalam waktu satu tahun.
        
       di mana:
m  = angka migrasi masuk
M  = jumlah migran masuk
P  = penduduk pertengahan tahun
Lo = konstanta (1.000)

       3)      Angka Migrasi Keluar (mo)
    Angka yang menunjukkan banyaknya migran yang masuk per 1.000 orang penduduk daerah tujuan dalam waktu satu tahun.
         
                   dimana:
                  mo   = angka migrasi keluar
                  M   = jumlah migran keluar
                  P   = penduduk pertengahan tahun
                 Lo   = konstanta (1.000)
4)        Angka Migrasi Neto (mn)
    Angka yang menunjukkan selisih banyaknya migran masuk dan keluar, ke dan dari suatu daerah per 1.000 orang penduduk dalam waktu satu tahun.
        
                   dimana:
                  mn  = angka migrasi neto
O  = jumlah migran keluar
I    = jumlah migran masuk
P  = penduduk pertengahan tahun
Lo = konstanta (1.000)

5)      Angka Migrasi Bruto (mg)
Angka yang menunjukkan banyaknya kejadian perpindahan, yaitu jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar dibagi jumlah penduduk tempat asal dan jumlah penduduk tempat tujuan.
       
      dimana:
                      mg         = angka migrasi bruto
                      O           = penduduk pertengahan tahun di tempat tujuan
                      P1          = penduduk pertengahan tahun di tempat asal
                      P2          = penduduk pertengahan tahun
                      Lo          = konstanta (1.000)
c.      Urbanisasi
Urbanisasi adalah bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah perkotaan yang disebabkan oleh pertambahan penduduk wilayah perkotaan, perpindahan penduduk ke perkotaan, dan atau akibat dari perluasan daerah perkotaan. Terdapat dua indeks yang dipakai mengukur derajat urbanisasi, yaitu:
       1)      Persentase penduduk perkotaan (Pu) yang formulanya adalah
       sebagai berikut:
       
      dimana:
                 Pu   = persentase penduduk perkotaan
                  U   = penduduk daerah perkotaan
                  P   = penduduk total
       2)      Rasio penduduk perkotaan-pedesaan, yang formulanya adalah sebagai berikut:
       
dimana:
                 U    = penduduk perkotaan
                 R    = penduduk pedesaan
                 k     = konstanta (100)

3.      Komposisi dan Persebaran Penduduk
          Studi demografi menekankan tiga fenomena yang merupakan bagian penting dari perubahan penduduk, yaitu:
a.               Dinamika kependudukan
b.               Komposisi penduduk
c.                Jumlah dan distribusi penduduk
Pengetahuan mengenai komposisi penduduk sangat berguna untuk berbagai maksud dan tujuan, seperti:
1)        Mengetahui sumber daya manusia yang ada menurut umur, jenis kelamin maupun karakteristik lainnya;
2)        Mengembangkan suatu kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan berwawasan kependudukan;
3)  Menyediakan sarana, prasarana, serta fasilitas yang diperlukan;
4)        Membandingkan keadaan suatu penduduk dengan keadaan penduduk lainnya;
5)        Mengetahui “proses demografi” yang telah terjadi pada penduduk melalui piramida penduduk.
        Komposisi Penduduk.
                   Pengelompokkan penduduk berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik tertentu   secara umum dapat diklasifikasikan menurut:
(1)          Karakteristik demografi, yaitu: umur, jenis kelamin, jumlah wanita usia subur, dan jumlah anak;
(2)          Karakteristik sosial, diantaranya tingkat pendidikan dan status perkawinan;
(3)        Karakteritik ekonomi, diantaranya kegiatan penduduk yang aktif secara ekonomi, lapangan usaha, status dan jenis pekerjaan, serta tingkat pendapatan;
(4)          Karakteristik geografis atau persebaran, diantaranya berdasarkan tempat tinggal, daerah perkotaan-pedesaan, provinsi, dan kabupaten.
         Berdasarkan komposisi penduduk tersebut maka berbagai indikator yang umum digunakan dalam penyajian data penduduk, diantaranya adalah:
§  Umur median;
§  Rasio ketergantungan;
§  Rasio jenis kelamin;
§  Angka partisipasi sekolah (kasar dan murni);
§  Angka melek huruf.
a.           Piramida Penduduk
Selain dengan metode numerik, komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat digambarkan secara visual pada sebuah grafik yang disebut Piramida Penduduk. Penggambaran suatu piramida penduduk dimulai dengan menggambarkan dua garis yang saling tegak lurus. Garis yang vertikal menggambarkan umur penduduk mulai dari nol lalu naik, dengan skala tahunan atau lima tahunan. Garis horisontal menggambarkan jumlah penduduk tertentu baik secara absolut maupun relatif (dalam persen). Bentuk-bentuk piramida penduduk ditentukan oleh tiga proses demografi, yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan penduduk (mobilitas).
Berdasarkan komposisi umur dan jenis kelamin penduduk dari suatu negara, piramida penduduk dapat dibedakan atas tiga ciri:
1)  Ekspansive: lebar pada bagian dasar piramida, menunjukkan proporsi penduduk muda yang besar dan kecilnya proporsi penduduk tua, serta pertumbuhan penduduk yang tinggi. Contohnya adalah Indonesia dan Meksiko pada tahun 1970-an.
2)  Constrictive: bagian dasar piramida kecil dan sebagian besar penduduk masih berada dalam kelompok umur muda. Contohnya Amerika Serikat pada tahun 1970.
3)  Stationary: bagian dasar piramida kecil, penduduk dalam tiap kelompok umur hampir sama banyaknya dan mengecil pada usia tua. Contoh Swedia pada tahun 1970.
b.      Persebaran Penduduk
               Persebaran penduduk di muka bumi umumnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)  Persebaran penduduk secara geografis
Persebaran penduduk di dunia menurut geografisnya pada umumnya tidak merata. Ketidakmerataan ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor alam (kesuburan tanah dan iklim), sosial dan ekonomi (ketersediaan sarana dan prasarana), serta faktor budaya dan politik.
2)  Persebaran penduduk berdasarkan administrasi pemerintahan
Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menetapkan bahwa wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Selain itu, persebaran penduduk dapat dikategorikan menurut tempat tinggal yaitu perkotaan dan pedesaan.
Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menjelaskan:
·               Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
·               Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi.
Deskripsi pedesaan-perkotaan yang diberikan oleh Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 terlalu deskriptif, sehingga pada Sensus Penduduk tahun 1980 dan 1990 digunakan tiga indikator untuk menentukan daerah perkotaan sebagai berikut:
·               Indikator kependudukan, yaitu kepadatan penduduk per kilometer persegi.
·               Indikator kegiatan ekonomi, yaitu persentase rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian.
·               Indikator fasilitas perkotaan, yaitu jumlah fasilitas urban, yang pada tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik dimodifikasi menjadi kombinasi antara keberadaan dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan.

4.         Perkawinan dan Perceraian
a.           Perkawinan
Terdapat dua bentuk perkawinan, yaitu:
1)      Perkawinan de facto: bentuk hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat stabil, jangka panjang, yang mirip dengan sebuah perkawinan tetapi tanpa suatu ikatan hukum yang pasti (consensual union).
2)      Perkawinan de jure: penyatuan legal antara dua orang yang berlainan jenis kelamin sehingga menimbulkan hak dan kewajiban akibat perkawinan.
Badan Pusat Statistik mengelompokkan status perkawinan sebagai berikut:
1)  Belum kawin, yaitu penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang belum pernah menikah, termasuk penduduk yang hidup selibat atau tidak pernah kawin.
2)  Kawin adalah mereka yang kawin secara hukum (adat, negara, dan agama) dan mereka yang dianggap hidup bersama yang oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami istri.
3)  Cerai adalah mereka yang bercerai dari suami/isteri dan belum melakukan perkawinan ulang.
4)  Janda atau duda adalah mereka yang suami atau istrinya meninggal dan belum melakukan perkawinan ulang.
b.           Perceraian
   Perceraian adalah bubarnya perkawinan secara sah yang dikukuhkan oleh surat keputusan pengadilan, yang memberikan hak kepada masing-masing untuk kawin ulang menurut hukum sipil dan agama, sesuai dengan peraturan atau adat kebudayaan yang berlaku di tiap-tiap negara. Dalam masyarakat dimana perceraian tidak diperbolehkan, terdapat istilah penangguhan/pembatalan perkawinan, dimana dalam pencatatan biasanya perkawinan ini dikategorikan sebagai bercerai.
Selain perceraian, ada peristiwa rujuk, yaitu perkawinan ulang antar suami dan isteri yang telah bercerai. Dalam agama Islam, rujuk diperbolehkan dengan memberi batasan dua kali rujuk untuk suatu pasangan. Apabila pasangan tersebut bercerai kembali maka masing-masing pasangan diharamkan untuk menikah kembali kecuali masing-masing telah menikah dengan orang lain dan telah cerai kembali. Dalam agama Katolik, tidak ada peristiwa rujuk karena perceraian tidak diperbolehkan oleh agama tersebut. Sedangkan perkawinan ulang adalah perkawinan yang terjadi antara seorang janda/duda atau yang berstatus cerai dengan laki-laki atau perempuan lain.

5.      Keluarga Berencana
          Keluarga Berencana (KB) adalah upaya untuk merencanakan jumlah, jarak, dan waktu kelahiran anak dalam rangka mencapai tujuan reproduksi keluarga. Determinan KB ditentukan berdasarkan kerangka pikir analisis yang diajukan. Misalnya:
a.               Untuk faktor-faktor tujuan kontrasepsi, dapat digunakan jumlah anak dan tujuan fertilitas.
b.               Untuk faktor-faktor kompetensi kontrasepsi, dapat didekati dengan umur isteri, lama menikah, pendidikan suami, pendidikan isteri, dan status bekerja isteri.
c.                Untuk faktor-faktor evaluasi kontrasepsi, dapat digunakan faktor budaya dan sifat dari program KB.
d.               Untuk faktor-faktor akses kontrasepsi, dapat didekati dengan ketersediaan program KB, alat/cara KB yang diinginkan serta kegiatan-kegiatan program di wilayah tempat tinggal pasangan usia subur.
Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa umur, jumlah anak masih hidup, pendidikan perempuan, tempat tinggal, akses yang teratur kepada sumber informasi (surat kabar, radio, dan televisi), kunjungan petugas lapangan KB, status bekerja perempuan, dan lapangan kerja perempuan secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status pemakaian alat/cara KB yang dipilih/digunakan.

6.      Ketenagakerjaan
          Tenaga kerja adalah seluruh penduduk yang dianggap mempunyai potensi untuk bekerja secara produktif. Konsep ini berbeda dengan konsep tenaga kerja dalam dunia industri yaitu personel yang bekerja dalam industri atau bisnis.
a.      Angkatan Kerja
Angkatan kerja (labor force) dibagi menjadi dua, yaitu:
1)  Bekerja.
2)  Mencari pekerjaan (menganggur), yang dapat dibedakan antara:
a)      mencari pekerjaan, tetapi sudah pernah bekerja sebelumnya dan
b)      mencari pekerjaan untuk pertama kalinya (belum pernah bekerja sebelumnya).
Labor Utilization
Berbeda dengan konsep labor force (angkatan kerja), pendekatan labor utilization (pemanfaatan tenaga kerja) digunakan agar lebih sesuai dengan keadaan negara berkembang. Dalam konsep labor utilization, angkatan kerja dikelompokkan sebagai berikut:
1)        Pemanfaatan cukup (fully utilized).
2)        Pemanfaatan kurang (under utilized), karena jumlah jam kerja yang rendah, pendapatan/upah atau gaji yang rendah dan tidak sesuai dengan kemampuan atau keahliannya.       
3)        Pengangguran terbuka (open unemployment).
Pengangguran
Pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang pada saat pencacahan sedang aktif mencari pekerjaan. Pengertian ini sering disebut sebagai pengangguran terbuka yang terdiri dari:
1)        Mereka yang mencari pekerjaan.
2)        Mereka yang mempersiapkan usaha.
3)        Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan.
4)      Mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum bekerja.
Setengah Menganggur
Setengah menganggur adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah menganggur terdiri dari:
1)        Setengah pengangguran terpaksa, yakni mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan.
2)        Setengah menganggur sukarela, yakni mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal dan tidak bersedia menerima pekerjaan lain (disebut juga pekerja paruh waktu).
Pengangguran Tidak Kentara
Pengangguran tidak kentara adalah angkatan kerja yang produktivitasnya tidak maksimal. Contohnya adalah empat orang bekerja untuk membuat satu kursi padahal sebenarnya bobot pekerjaannya cukup dikerjakan oleh dua orang saja dengan waktu yang sama. Pengangguran tidak kentara ini disebabkan dalam pasar kerja terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja dan sempitnya lapangan kerja.
Pengangguran Friksional
Pengangguran friksional adalah pengangguran tenggang waktu (waiting time) sebelum mendapatkan pekerjaan. Contohnya adalah  seseorang yang sudah berhenti bekerja karena ingin pindah pekerjaan tetapi tidak langsung mendapatkan pekerjaan yang baru.
Bukan Angkatan Kerja
Bukan angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya tidak terlibat atau tidak berusaha untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi. Dalam sensus penduduk Indonesia dikemukakan bahwa penduduk berumur 15 tahun ke atas yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang selama seminggu yang lalu mempunyai kegiatan hanya:
1)        Bersekolah;
2)        Mengurus rumah tangga;
3)        Pensiunan, dan/atau mendapat penghasilan bukan dari bekerja (misalnya warisan, deposito, dan lain-lain);
4)        Berada dirumah sakit dalam waktu lama, di lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya.

7.      Sumber Data
Pada umumnya terdapat tiga sistem pengumpulan data penduduk. Pertama, sensus penduduk, untuk mengetahui struktur penduduk yang dikumpulkan melalui cacah jiwa serta umumnya dilaksanakan pada waktu tertentu (misalnya 10 tahun sekali pada tahun yang berakhiran kosong). Kedua, registrasi penduduk, untuk mengumpulkan data penduduk yang dinamis dan dilaksanakan setiap saat. Ketiga, survei penduduk, untuk mengetahu data khusus mengenai karakteristik penduduk (misalnya mobilitas tenaga kerja yang menuju ke luar negeri) diperoleh dengan melaksanakan survei penduduk oleh instansi tertentu.









BAB III
SUBSTANSI MATERI DEMOGRAFI

1.         Kebijakan Pembangunan Kependudukan
a.           Pengertian
Kebijakan adalah suatu keputusan strategis yang berisi rumusan  umum untuk mengarahkan semua langkah yang perlu dilaksanakan (sasaran) dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan sebaiknya dirumuskan dan dapat mengakomodir persoalan yang ditemukan yang telah dirumuskan. Selanjutnya, kebijakan harus dijabarkan dalam stretegi.
Dalam pada itu, H.T. Eldrige dalam Agus Dwiyanto (1995) mendefinisikan kebijakan kependudukan sebagai keputusan legislatif, program administrasi dan berbagai usaha pemerintah lainnya guna merobah kecenderungan penduduk yang ada demi kepentingan kehidupan dan kesejahteraan nasional. Meskipun demikian, tidak semua ahli setuju akan definisi di atas.
Selanjutnya, kebijakan kependudukan menurut Perserikat Bangsa Bangsa adalah langkah-langkah dan program-program yang membantu tercapainya tujuan-tujuan ekonomi, sosial, demografis dan tujuan-tujuan umum yang lain dengan jalan memengaruhi variabel-variabel demografi yang utama. Dalam pada itu, perlu dibedakan antara kebijaksanaan yang memengaruhi variabel-variabel kependudukan maupun yang menanggapi perubahan-perubahan penduduk. Kebijaksanaan yang memengaruhi variabel kependudukan antara lain ialah program mengadakan vaksinasi anak-anak yang menyelamatkan mereka dari berbagai penyakit anak-anak yang berbahaya. Vaksinasi demikian akan menurunkan kematian anak-anak dan akan memengaruhi angka kematian penduduk sebagai keseluruhan.
Kebijakan yang menanggapi perubahan penduduk antara lain ialah program pendirian sekolah-sekolah untuk menampung peningkatan jumlah anak-anak yang disebabkan oleh penurunan angka kematian anak-anak. Suatu kebijakan yang memengaruhi variabel kependudukan dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Kebijakan langsung dalam hal ini antara lain ialah program pelayanan kontrasepsi yang langsung memengaruhi besarnya penduduk akibat penurunan banyaknya kelahiran. Kebijakan kependudukan bersifat tidak langsung misalnya melalui ketentuan peraturan pencabutan subsidi pada keluarga yang mempunyai anak lebih dari jumlah tertentu, misalnya dua, yang akan memengaruhi jumlah anak yang diinginkan oleh keluarga-keluarga.
Kebijakan kependudukan berhubungan dengan keputusan pemerintah yang memengaruhi variabel penduduk seperti kelahiran, kematian, perpindahan, persebaran penduduk, jumlah dan komposisi penduduk. Lebih lanjut, menurut D. Lukas yang dikutip Syarif Ali dalam buku Pengantar Ilmu Kependudukan menyebutkan kebijakan kependudukan dapat dibatasi sebagai semua tindakan pemerintah yang dilakukan secara sengaja untuk memengaruhi perkembangan, jumlah, distribusi, dan komposisi penduduk.

b.      Arah, Tujuan, dan Sasaran Kebijakan Pembangunan Kependudukan:
               Di dalam  buku Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035 yang disusun oleh Tim Lintas Kementerian di Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, sekarang Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) disebutkan bahwa arah, tujuan, dan sasaran kebijakan kependudukan di Indonesia adalah sebagai berikut:
 1)     Arah Kebijakan
a)        Pembangunan kependudukan  menggunakan pendekatan hak asasi sebagai prinsip utama
b)        Pembangunan kependudukan  mengakomodasi partisipasi semua pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat, daerah maupun masyarakat
c)         Pembangunan kependudukan mendasarkan penduduk sebagai titik sentral pembangunan, yaitu penduduk sebagai pelaku (subjek) maupun penikmat (objek) pembangunan
d)        Pembangunan kependudukan mampu menjadi bagian dari usaha untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
e)        Pembangunan kependudukan mampu menyediakan data dan informasi  kependudukan yang valid dan dapat dipercaya. Arah kebijakan ini seterusnya dimaksudkan untuk mencapai tercapainya tujuan Grand Design Pembangunan Kependudukan sebagai berikut:
          2) Tujuan
Tujuan Utama Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035:
a)        Tercapainya kualitas penduduk yang tinggi sehingga mampu menjadi faktor penting dalam mencapai kemajuan bangsa.
b)        Mewujudkan penduduk berkualitas sebagai modal pembangunan untuk mencapai Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan sejahtera.
c)         Peningkatan Kualitas Penduduk, Pengembangan Sistem Informasi Data Kependudukan yang  berkualitas dan terintegrasi.
d)        Pengelolaan Kuantitas penduduk dan Pengarahan Mobilitas Penduduk serta Pembangunan Keluarga.
3) Sasaran yang ingin dicapai adalah:
a)        Terwujudnya pembangunan berwawasan kependudukan yang berdasarkan pada pendekatan hak asasi untuk meningkatkan kualitas penduduk dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan
b)        Pencapaian windows of opportunity melalui pengelolaan kuantitas penduduk dengan cara pengendalian angka kelahiran, penurunan angka kematian, dan pengarahan mobilitas penduduk.
c)         Keluarga berkualitas yang memiliki ciri ketahanan sosial, ekonomi, budaya tinggi serta mampu merencanakan sumber daya keluarga secara optimal.
d)        Pembangunan database kependudukan melalui pengembangan sistem informasi data kependudukan yang akurat, dapat dipercaya, dan terintegrasi untuk:
(1)       Mewujudkan tercapainya tahap windows of opportunity melalui pengelolaan kuantitas penduduk yang berkaitan dengan jumlah, struktur/komposisi, pertumbuhan, dan persebaran penduduk.
(2)       Mewujudkan keseimbangan sumber daya manusia dan lingkungan melalui pengarahan mobilitas penduduk serta pengelolaan urbanisasi.
(3)       Mewujudkan keluarga yang berketahanan keluarga, sejahtera, sehat, maju, mandiri, harmonis dan berkesetaraan gender serta mampu merencanakan sumber daya keluarga.
(4)       Terwujudnya data dan informasi kependudukan yang akurat (valid)  dan dapat dipercaya serta terintegrasi melalui pengembangan sistem informasi data kependudukan.


2.         Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Latar belakang
         Ada beberapa alasan yang melandasi pemikiran, mengapa  pembangunan   berwawasan kependudukan sangat diperlukan. Berbagai pertimbangannya adalah sebagai berikut:
a.      Pengalaman empiris menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya berwawasan  pertumbuhan ekonomi yang tinggi, membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, tetapi sekaligus juga meningkatkan jumlah pengangguran dan setengah menganggur, serta meningkatnya jumlah pengemis dan gelandangan/tuna wisma sebagaimana yang terlihat selama ini di Indonesia. Demikian pula, dalam pertumbuhan ada yang dinamakan dengan  limit to growth dan dalam ilmu ekonomi The Law of Diminishing Return.  Konsep ini mengacu pada kenyataan bahwa suatu pertumbuhan ada batasnya.
b.   Penduduk merupakan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan. Penduduk adalah subjek dan objek pembangunan. Jadi, pembangunan baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk baik kualitas fisik maupun non fisik yang melekat pada diri penduduk itu sendiri.
c.     Keadaan penduduk yang ada sangat memengaruhi dinamika pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai, akan menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan tingkat kualitas rendah, menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi pembangunan nasional.        

            Atas dasar tiga alasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan berwawasan kependudukan mengandung makna sebagai berikut:
a.      Pembangunan berwawasan kependudukan  adalah pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada. Penduduk harus dijadikan titik sentral dalam proses pembangunan. Penduduk harus dijadikan subjek dan objek dalam pembangunan. Pembangunan adalah oleh penduduk dan untuk penduduk.
b.    Pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Pembangunan lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur semata-mata.
c.       Dalam Pembangunan Berwawasan Kependudukan  aspek penduduk diintegrasikan ke dalam Perencanaan Pembangunan, sehingga manfaat paling mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan  penduduk yang ada di daerah  menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan. Itu berarti, pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibandingkan dengan orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan.
d.      Dalam pembangunan berwawasan kependudukan, ada suatu jaminan akan keberlangsungan proses pembangunan. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasannya.
e.      Pembangunan berwawasan kependudukan adalah juga kebijakan pembangunan yang   senantiasa  merujuk kepada dinamika dan tren kependudukan.

3.         Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Berwawasan  Kependudukan
Prinsip mengenai integrasi kebijakan kependudukan ke dalam kebijakan pembangunan harus menjadi prioritas, karena hanya dengan menerapkan prinsip tersebut, pembangunan kependudukan akan berhasil. Untuk itu, strategi pertama yang harus dilakukan adalah melakukan population mainstreaming.
Semua kebijakan pembangunan harus dilakukan dengan mendasarkan pada prinsip people centered development untuk mencapai pembangunan yang berwawasan kependudukan. Pelaksanaannya harus mendasarkan pada pendekatan hak asasi. Untuk itu langkah pertama adalah melakukan capacity building untuk seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. Langkah berikutnya adalah melakukan integrasi kebijakan kependudukan dengan kebijakan pembangunan sejak tahap perumusan, implementasi sampai dengan evaluasi dan monitoring. Dengan memerhatikan bahwa kondisi dari semua aspek di Indonesia tidak homogen, maka disparitas yang terjadi antar provinsi, terlebih lagi antar kabupaten/kota, harus menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan strategi. Strategi yang dirumuskan tidak harus bersifat tunggal, tetapi disesuaikan  dengan kondisi dan permasalahan di setiap daerah. Oleh karena itu, dalam menyusun strategi diperlukan mekanisme yang saling melengkapi antara bottom-up dan top-down.
a.           Kebijakan Pengendalian Kuantitas Penduduk
Kebijakan pengendalian kuantitas penduduk dilakukan melalui pengaturan dua komponen utama kependudukan, yaitu pengaturan fertilitas dan penurunan mortalitas.
1)  Pengaturan Fertilitas
Pengaturan fertilitas dilakukan melalui program KB yang mengatur (1) usia ideal perkawinan, (2) usia ideal melahirkan, (3) jarak ideal melahirkan, dan (4) jumlah ideal anak yang dilahirkan. Kebijakan pengaturan fertilitas melalui program KB pada hakikatnya dilaksanakan untuk membantu pasangan suami istri mengambil keputusan dan memenuhi hak-hak reproduksi yang berkaitan dengan hal-hal berikut. (1) Pengaturan kehamilan yang diinginkan, (2) penurunan angka kematian bayi dan angka kematian ibu, (3) peningkatan akses dan kualitas pelayanan, (4) peningkatan kesertaan KB pria, serta (5) promosi pemanfaatan air susu ibu. Pengaturan fertilitas melalui program KB juga dilakukan dengan cara berikut. (1) Peningkatan akses dan kualitas KIE serta pelayanan kontrasepsi di daerah, (2) larangan pemaksaan pelayanan KB karena bertentangan dengan HAM, (3) pelayanan kontrasepsi dilakukan sesuai dengan norma agama, budaya, etika, dan kesehatan, serta (4) perhatian bagi penyediaan kontrasepsi bagi penduduk miskin di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan.
2)  Penurunan Mortalitas
Penurunan angka kematian bertujuan untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas pada seluruh dimensinya. Penurunan angka kematian ini diprioritaskan pada upaya (1) penurunan angka kematian ibu hamil, (2) penurunan angka kematian ibu melahirkan, (3) penurunan angka kematian pasca melahirkan, serta (4) penurunan angka kematian bayi dan anak. Upaya penurunan angka kematian diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat melalui upaya-upaya proaktif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sesuai peraturan perundang-undangan dan norma agama. Di samping itu, upaya penurunan angka kematian difokuskan pada (1) kesamaan hak reproduksi pasangan suami istri (pasutri), (2) keseimbangan akses, kualitas KIE, dan pelayanan, (3) pencegahan dan pengurangan risiko kesakitan dan kematian, serta (4) partisipasi aktif keluarga dan masyarakat.
3) Strategi Pengendalian Kuantitas
Untuk mencapai tahap yang diinginkan, yaitu pertumbuhan penduduk yang terkendali dan pencapaian windows of opportunity, maka pengendalian angka kelahiran sangat penting.Untuk itu, diperlukan revitalisasi program KB di Indonesia. Dalam melakukan revitalisasi program KB, pendekatan pelaksanaan program KB perlu diubah orientasinya dari supply ke demand side approach. Strategi yang dikembangkan adalah melakukan integrasi, desentralisasi, kemitraan, dan pemberdayaan serta fokus pada penduduk miskin. Berikut adalah penjelasan detailnya.
Integrasi adalah implementasi program KB ke dalam program pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi. Sementara itu, desentralisasi dilakukan melalui lima cara. Pertama, memberikan otoritas yang lebih besar kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam implementasi program KB, salah satunya adalah dengan memperkuat kelembagaan. Tujuannya adalah melakukan sinkronisasi dan menghindarkan overlap fungsi dan peran antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Seperti telah diamanatkan dalam UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga, BKKBD (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah) perlu segera dibentuk. Pemerintah memfasilitasi pembentukan BKKBD dengan merevisi regulasi, khususnya yang terkait dengan otonomi daerah, yang menghambat terbentuknya lembaga tersebut. Kedua, melakukan pemberdayaan SDM di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam rangka capacity building. Ketiga, memperkuat komitmen politik, khususnya di tingkat kabupaten/kota dalam pelaksanaan program KB. Keempat, memperkuat infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan program KB di tingkat kabupaten/kota. Kelima, mendelegasikan kewenangan operasional di tingkat kabupaten/kota untuk memberikan otoritas yang lebih besar pada kabupaten/kota dalam rangka mengembangkan program dan melaksanakannya berdasarkan kondisi spesifik setiap daerah. Sementara itu, strategi kemitraan dilakukan dengan cara memperkuat kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Tujuan strategi ini adalah untuk lebih mengembangkan keterlibatan pihak swasta dan masyarakat sipil dalam pelaksanaan program KB. Kemitraan tidak terbatas dilakukan secara internal, tetapi juga dengan lembaga internasional dengan prinsip kesetaraan dan mutual benefits. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kapasitas kelembagaan untuk memperkuat jejaring antarpemangku kepentingan, baik secara vertikal maupun horizontal, nasional maupun intenasional. Sejalan dengan program penanggulangan kemiskinan, pelaksanaan program KB difokuskan pada masyarakat miskin dengan cara memberikan subsidi pelayanan kesehatan reproduksi dan KB. Dalam pelaksanaannya, strategi ini perlu memperhatikan kondisi sosial, budaya, demografi, dan ekonomi kelompok sasaran.
b.           Kebijakan Peningkatan Kualitas
1)  Dimensi Kesehatan
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam rangka menurunkan angka kematian dan meningkatkan angka harapan hidup.
2) Dimensi Pendidikan
       Meningkatkan kompetensi dan daya kompetisi penduduk Indonesia melalui pendidikan formal, nonformal maupun informal dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan nasional.
       Mengurangi kesenjangan pendidikan menurut jenis kelamin melalui peningkatan akses perempuan untuk memperoleh pendidikan.

3)  Dimensi Ekonomi
       Meningkatkan status ekonomi penduduk melalui perluasan kesempatan kerja dan pengurangan pengangguran dan setengah pengangguran.
       Mengurangi kesenjangan ekonomi sebagai salah satu usaha untuk menurunkan angka kemiskinan.
4)              Strategi Peningkatan Kualitas
Strategi peningkatan kualitas penduduk merupakan aspek yang sangat penting dalam pembangunan kependudukan. Di samping itu, strategi peningkatan kualitas penduduk merupakan bagian integral dari strategi pengendalian kuantitas penduduk, pembangunan keluarga, dan pengarahan mobilitas penduduk. Penduduk merupakan pelaku, pelaksana, dan penikmat pembangunan. Dengan kualitas yang tinggi, penduduk akan lebih banyak berperan sebagai pelaku dan pelaksana pembangunan. Selain itu, pembangunan tidak hanya bergantung pada sumber daya alam dan teknologi, tetapi justru lebih bergantung pada kualitas penduduknya. Dengan tersedianya sumber daya manusia yang memadai dalam arti kuantitas dan kualitas, maka tantangan di masa yang akan datang dapat diatasi dengan baik. Kualitas sumber daya manusia yang ada sekarang masih perlu ditingkatkan agar tantangan tersebut diatasi dengan baik.
Pembangunan kualitas penduduk Indonesia ditentukan oleh tiga hal: pembangunan ekonomi, pembangunan kesehatan, dan pendidikan. Oleh karena itu, kondisi yang ingin dicapai dalam peningkatan kualitas penduduk tahun 2035 adalah penduduk yang sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia serta berkarakter. Kondisi inilah yang harus dicapai oleh seluruh penduduk Indonesia. Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik meliputi kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, dan kecerdasan. Hal itu dianggap sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan, dan hidup layak.
Penduduk yang sehat tidak hanya berumur panjang sejalan dengan bertambahnya usia harapan hidup, tetapi juga produktif, cerdas, dan berdaya saing. Penduduk dengan kualitas seperti itu diharapkan dapat mengatasi arus pasar global yang semakin menguat. Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut, maka strategi peningkatan kualitas penduduk harus fokus pada tiga dimensi, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Strategi di bidang kesehatan dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak serta kematian maternal. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengalami pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi pada penyakit kronis dan degeneratif. Untuk itu, strategi utama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan dan treatment penyakit infeksi, khususnya pada bayi dan anak-anak. Di samping itu, sejalan dengan meningkatnya penyakit kronis dan degeneratif sebagai penyebab kematian orang dewasa, maka alokasi sumber daya kesehatan harus juga diarahkan untuk pencegahan dan treatment penyakit tersebut. Akan tetapi, dengan memperhatikan diversitas kondisi kesehatan antardaerah, terutama dalam hal penyakit, maka setiap strategi, sekali lagi, tidak dapat bersifat homogen atau tunggal, tetapi harus merespons kondisi spesifik setiap daerah.
Sementara itu, strategi penurunan kematian maternal sangat erat kaitannya dengan program KB sehingga strategi yang dijalankan untuk pelaksanaan program KB juga akan memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kematian maternal. Hal tersebut harus ditopang dengan pengembangan pelayanan prenatal maupun antenatal. Dari sisi pendidikan, strategi yang harus dilakukan adalah memberikan akses yang sebesar-besarnya kepada kelompok rentan, khususnya penduduk miskin, untuk memperoleh pendidikan. Penurunan gender gap dalam hal akses terhadap pelayanan pendidikan juga penting sebagai prioritas, khususnya untuk mengatasi masalah di berbagai daerah yang masih lebar kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuannya. Karena di berbagai provinsi angka melek huruf masih rendah, maka untuk pendidikan nonformal maupun informal perlu memperoleh prioritas. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan tersebut. Strategi di tiga dimensi tersebut sekaligus merupakan strategi untuk meningkatkan IPM. Namun, karena ketertinggalan Indonesia dalam hal IPM dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya adalah pada bidang pendidikan, maka tampaknya sektor tersebut perlu menjadi prioritas dalam strategi peningkatan IPM.
c.           Kebijakan Pembangunan Keluarga
Pokok-pokok kebijakan pembangunan keluarga memuat pokok-pokok kegiatan membangun keluarga yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah; membangun keluarga berketahanan, sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan harmonis yang berkeadilan dan berkesetaraan gender; membangun keluarga yang berwawasan nasional dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan negara; serta membangun keluarga yang mampu merencanakan sumber daya keluarga. Sasaran dari pokok kegiatan pembangunan keluarga tersebut adalah seluruh keluarga Indonesia yang terdiri dari keluarga dengan siklus keluarganya; keluarga yang memiliki potensi dan sumber kesejahteraan sosial; keluarga rentan secara ekonomi, sosial, lingkungan, maupun budaya; serta keluarga yang bermasalah secara sosial ekonomi dan sosial psikologis.
     Strategi Pembangunan Keluarga
a)      Membangun keluarga yang bertakwa kepada Tuhan  yang Maha Esa Dalam upaya membangun keluarga yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, strategi yang disuguhkan adalah pembangunan keluarga melalui Pendidikan Etika, Moral, dan Sosial Budaya secara formal maupun informal.
Pembangunan keluarga yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa mempunyai indikator keberhasilan sebagai berikut.
       Keluarga yang menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing
        Keluarga yang menaati nilai, norma, dan aturan agama
        Keluarga yang memelihara kerukunan antarumat beragama.
b) Strategi Membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang  sah
Strategi untuk membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah dilakukan dengan hal-hal sebagai berikut:
       Meningkatkan pelayanan lembaga penasihat perkawinan
       Meningkatkan peran kelembagaan keluarga
       Komitmen pemerintah Indonesia yang hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan
       Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan negara
       Perkawinan yang mensyaratkan diketahui oleh keluarga dan masyarakat
Indikator keberhasilan dalam membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah adalah:
        Keluarga dibangun dari perkawinan menurut hukum agama dan negara.
        Keluarga dibangun dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan, bukan perkawinan dengan sejenis kelamin.
        Keluarga dibangun dari perkawinan yang diketahui oleh keluarga dan masyarakat.
        Setiap perkawinan tercatat di lembaga yang berwenang dengan dibuktikan oleh kepemilikan akta nikah.
c)     Strategi membangun keluarga harmonis, sejahtera, sehat, maju, dan mandiri.
Beberapa strategi untuk membangun keluarga harmonis, sejahtera, sehat, maju, dan mandiri adalah sebagai berikut:
(1)       Peningkatan ketahanan keluarga berwawasan gender berbasis kelembagaan local strategi ini dijalankan melalui kegiatan konsultasi dan advokasi keluarga, pendampingan keluarga rentan, pengembangan nilai keluarga dan keadilan gender, pembagian peran gender yang berkeadilan dan berkesetaraan, serta optimalisasi fungsi keluarga menuju kesejahteraan dan ketahanan keluarga.
(2)       Pengembangan perilaku hidup sehat pada keluarga (sehat fisik/reproduksi, sehat psikologis, sehat sosial, dan sehat lingkungan).
(3)       Pendidikan dan pengasuhan anak agar berkarakter baik.
(4)       Pengembangan ketahanan keluarga dan ketahanan pangan keluarga. Strategi ini dilaksanakan dengan pemanfaatan pekarangan dan dukungan sosial lingkungan.
Indikator keberhasilannya adalah:
(1)       Keluarga berketahanan (kuat, bertahan hidup, beradaptasi)
(2)       Keluarga sejahtera (pendapatan per kapita/bulan tidak miskin, rumah layak huni, mempunyai tabungan)
(3)       Keluarga sehat (kecukupan pangan dan gizi, morbiditas rendah, tidak berpenyakit, sehat psikologis)
(4)       Keluarga maju (partisipasi pendidikan, partisipasi kerja)
(5)       Keluarga mandiri (kemandirian sosial ekonomi)
(6)       Keluarga harmonis (tidak bercerai, penurunan tingkat kekerasan dalam rumah   tangga, penurunan tingkat perdagangan manusia, penurunan tingkat kenakalan anak).
d)      Strategi Membangun keluarga yang berwawasan nasional dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan Negara Strategi yang digunakan adalah penyadaran melalui pendidikan, pembinaan, dan penyuluhan. Strategi ini dilakukan melalui kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) keluarga, seperti penguatan kapasitas keluarga, pembangunan sebuah keluarga berketahanan sosial, pemilihan keluarga pionir, dan peningkatan peran serta keluarga dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Indikator keberhasilannya adalah keluarga yang berketahanan sosial, berwawasan ke depan (menguasai iptek), serta berkontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan negara (berperan serta dalam kegiatan sosial kemasyarakatan).
e)      Strategi membangun keluarga yang mampu merencanakan sumber daya keluarga, strategi yang dapat dilakukan adalah untuk membangun keluarga yang mampu merencanakan sumber daya dengan pendampingan manajemen sumber daya keluarga. Kegiatan lainnya adalah dengan konsultasi perkawinan, pengasuhan anak, manajemen keuangan rumah tangga, manajemen stres, serta manajemen waktu dan pekerjaan keluarga. Indikator keberhasilannya adalah:
(1)       Keluarga mempunyai perencanaan berkeluarga.
(2)       Keluarga mempunyai perencanaan investasi anak. Hal ini dapat dilihat dari tingkat partisipasi sekolah wajib belajar, tabungan/asuransi pendidikan anak, dan angka drop-out menurun.
(3)       Keluarga mempunyai perencanaan keuangan. Hal ini dapat diukur dari tabungan keluarga, partisipasi keluarga menabung di bank, dan perencanaan membeli rumah.
d.           Persebaran dan Pengarahan Mobilitas Penduduk
Kebijakan Pembangunan Kependudukan pada penataan persebaran dan pengerahan mobilitas, dapat diuraikan sebagai berikut:
1)        Pengarahan mobilitas penduduk yang didorong dan mendukung pembangunan-pembangunan daerah yang berkeadilan
2)        Pengelolaan urbanisasi yang mengarah pada pembangunan perkotaan yang berkelanjutan
3)        Pengarahan persebaran penduduk untuk mencapai tujuan Pembangunan Nasional sesuai dengan kebutuhan setiap wilayah.
4)        Pencegahan munculnya faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya IDPs
5)        Pemberian perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri secara maksimal.
Strategi mencapai tujuan kebijakan pengarahan mobilitas penduduk adalah sebagai berikut:
       Menumbuhkan kondisi kondusif bagi terjadinya migrasi internal yang harmonis
       Melindungi penduduk yang terpaksa pindah karena keadaan (pengungsi)
       Memberikan kemudahan, perlindungan, dan pembinaan terhadap para migrant   internasional dan keluarganya
       Menciptakan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan daya dukung    dan daya tampung lingkungan
       Mengendalikan kuantitas penduduk di suatu daerah/wilayah tertentu
       Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru
       Memperluas kesempatan kerja produktif
       Meningkatkan ketahanan dan pertahanan nasional
       Menurunkan angka kemiskinan dan mengatasi pe    ngangguran
       Meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia
       Meningkatkan infrastruktur permukiman, meningkatkan daya saing wilayah baru, meningkatkan kualitas lingkungan, dan meningkatkan penyediaan pangan bagi masyarakat.
Beberapa upaya pengarahan mobilitas penduduk dilakukan dengan cara sebagai berikut.
(1)     Mengupayakan peningkatan mobilitas nonpermanen dengan cara menyediakan berbagai fasilitas sosial, ekonomi, budaya, dan administrasi di beberapa daerah yang diproyeksikan sebagai daerah tujuan mobilitas penduduk.
(2)     Mengurangi mobilitas penduduk ke kota megapolitan, seperti Jakarta agar tidak terulang di luar Jawa. Dengan adanya penataan wilayah penyangga untuk mengembangkan daerah tujuan transmigrasi yang secara khusus diintegrasikan dengan kota besar sekitarnya. Transmigrasi seharusnya tidak terkesan membuang penduduk ke wilayah terpencil, tetapi benar-benar menonjolkan napas distribusi penduduk .
(3)     Mengurangi peran pusat dan meningkatkan promosi daerah-daerah tujuan baru   sehingga penduduk terangsang untuk melakukan perpindahan secara spontan.
(4)     Membuat regulasi yang menguntungkan bagi daerah tujuan dengan sasaran menghambat/mengurangi minat penduduk yang tidak berkualitas berpindah ke daerah lain (mobilitas bukan sekadar pemindahan kemiskinan). Penduduk miskin adalah tanggung jawab daerah asal/kelahiran.
(5)     Membuat kebijakan yang berskala nasional dan berujung pada kepentingan nasional, misalnya transmigrasi ke pulau terdepan, peningkatan kualitas prasarana dan sarana ekonomi, serta peningkatan akulturasi dan asimilasi kultural antara pendatang dan penduduk asli.
(6)     Penyusunan roadmap kebijakan pengarahan mobilitas penduduk tidak semata-mata atas dasar pertimbangan hukum, tetapi juga didasari oleh fakta sosiologis dan dinamika lingkungan sosio-kultural dan politik Indonesia pasca reformasi. Berdasarkan pertimbangan ini, maka roadmap pengarahan mobilitas penduduk secara tegas berbasis pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembanguan Nasional, Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan yang Berkeadilan, serta Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Pada saat itu, basis kondisi sosiologis serta dinamika sosio-kultural dan politik mengamanatkan penyusunan strategi pengerahan mobilitas penduduk perlu mempertimbangkan berbagai kondisi perkembangan lingkungan global, nasional, dan daerah. Basis ini pun secara nyata mencermati sejauh mana komitmen pemerintah provinsi dan kota/kabupaten terhadap aspek mobilitas penduduk sehingga menjadi bagian yang integral dan menentukan bagi perkembangan dan keberhasilan pembangunan penduduk dan pembangunan berkelanjutan di wilayahnya. Pada titik ini, pengarahan mobilitas penduduk perlu menjamin kepastian pelibatan elemen nonpusat. Fakta yang berkembang menunjukkan bahwa pengerahan mobilitas penduduk saat ini tidak semata dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga elemen masyarakat sipil dan  pasar. Oleh karena itu, penting untuk mereposisi dan mengidentifikasi peran yang harus dimainkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Mereka memiliki kewenangan dan perannya masing-masing. Demikian juga peran dan kewenangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun Civil Society Organization (CSO). Semua elemen harus memiliki peran strategis dalam pelaksanaan pembangunan kependudukan. Kebijakan mobilitas daerah harus memperhatikan perkembangan-perkembangan spesifik daerah, misalnya kemungkinan dampak masuknya penduduk ke daerah industri baru, cara mengantisipasi dan memitigasi kemungkinan dampak negatif bagi daerah tujuan, dampak bagi keseimbangan penduduk lokal dan pendatang, serta kemungkinan marginalisasi penduduk lokal. Dengan demikian, penting dirumuskan sebuah kebijakan lokal yang dapat merespons hal-hal tersebut, misalnya melalui perda pengendalian penduduk.
Berbicara tentang pengerahan penduduk, maka dalam jangka pendek maupun menengah dan panjang, perlu dirumuskan beberapa sasaran pengarahan mobilitas penduduk yang antara lain meliputi hal – hal berikut:
(1)     Pemodelan rekayasa sosial yang memungkinkan integrasi antara penduduk pendatang dan penduduk asli
(2)     Pengembangan kebijakan lokal yang pro masyarakat asli tanpa mengurangi hak hidup pendatang.
(3)     Pengembangan regulasi yang memungkinkan adanya migration selection berdasarkan kapasitas pendidikan dan keterampilan, aspek politik, dan kelembagaan.
(4)     Penguatan peran elemen masyarakat sipil (CSO, NGO, dan universitas) dalam capacity  building permukiman baru hasil kebijakan mobilitas formal.
(5)     Pengembangan forum komunikasi antar warga di daerah-daerah tujuan mobilitas.
(6)     Penguatan kelembagaan keluarga migran dalam konteks kebijakan kesehatan Reproduksi.
(7)     Strategi pengembangan daerah penyangga perkotaan dan pengembangan ekonomi perdesaan sehingga mengurangi minat penduduk desa melakukan urbanisasi
(8)     Pemodelan pengembangan ekonomi makro dan distribusi kesejahteraan yang merata sehingga semakin mengurangi distorsi biaya hidup antarwilayah
(9)     Memikirkan kembali keterkaitan antara pendidikan dan kesempatan kerja
(10)   Desentralisasi kewenangan pengarahan mobilitas penduduk.
(11) Pengembangan kajian akademis terkait pemodelan mobilitas penduduk dikaitkan dengan kepentingan nasional (sesuai dengan dokumen perundangan),tujuannya adalah untuk   pengembangan dan mengonstruksikan proposisi / teori menengah terkait dengan proses-proses migrasi yang berhasil diidentifikasi dari studi terkait kondisi masyarakat Indonesia. Hal ini untuk menjawab tantangan tujuan-tujuan pengarahan penduduk, mengaitkannya dengan  kebijakan pengarahan mobilitas penduduk terkait perkembangan ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan fisik migran, baik lokal, regional maupun global.
(12) Membangun kerangka konseptual baru yang memungkinkan untuk menjawab tantangan pengarahan mobilitas penduduk, serta pengembangan strategi-strategi baru terkait dengan pengarahan mobilitas penduduk, baik internal maupun internasional. Untuk tercapainya tujuan-tujuan pengarahan mobilitas penduduk    tersebut, maka sejak awal dipastikan bahwa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), dan berbagai aturan pelaksana lainnya telah dapat diselesaikan. Beberapa peraturan yang dibutuhkan untuk meng- implementasikan tujuan itu adalah sebagai berikut.
(a)     Penataan dan penyebaran penduduk ke daerah perbatasan antar Negara.
(b)     Kebijakan mobilitas penduduk nonpermanent.
(c)     Penataan persebaran penduduk melalui kerja sama antar daerah.
(d)     Pengarahan mobilitas penduduk melalui pengembangan daerah penyangga
(e)     Pedoman pengelolan urbanisasi di perkotaan
(f)      Pedoman pelayanan terhadap penduduk musiman serta tata cara pengumpulan data,   analisis mobilitas, dan persebaran penduduk. Sementara itu, pada tataran perda, dibutuhkan adanya perda tentang kebijakan mobilitas penduduk.
Pada tataran operasional, pengarahan mobilitas penduduk dalam konteks dukungan terhadap percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi dilakukan melalui manajemen terpadu pada koridor utama pembangunan wilayah sebagai berikut:
(1)     Mengembangkan potensi ekonomi wilayah di enam Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua–Kepulauan Maluku
(2)     Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected)
(3)     Memperkuat kemampuan SDM dan Iptek nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi. Keinginan dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk menebar kekuatan ekonomi ke seluruh penjuru Nusantara ini, semakin kentara melalui percepatan pembangunan ekonomi nasional berbasis koridor (ruang) ekonomi dengan delapan program utamanya. Komitmen ini diawali dengan percepatan penyediaan infrastruktur: (1) industri, (2) pertambangan, (3) pertanian, (4) kelautan, (5) pariwisata, (6) telekomunikasi, (7) energi, dan (8) ekonomi Kawasan. Koridor ekonomi yang dalam hal ini berbasis “ruang pulau” terbagi menjadi enam koridor sebagai berikut.
(a)     Pulau Sumatera sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi serta lumbung  energi nasional.
(b)     Pulau Jawa sebagai pendorong industri manufaktur dan jasa nasional.
(c)     Pulau Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang serta     lumbung energi nasional.
(d)     Pulau Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas, dan pertambangan nasional.
(e)     Pulau Bali, NTB, dan NTT sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan  nasional.
(f)      Pulau Papua-Maluku sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional (di Papua). Koridor ekonomi ini, dengan demikian, merupakan ruang yang secara sengaja dirancang untuk tempat tumbuh dan berkembangnya komoditas dan/atau usaha unggulan tertentu yang terintegrasi dengan kawasan permukiman dan membentuk pusat-pusat pelayanan baru atau mendukung pusat-pusat pelayanan yang ada. Pola pikir penataan persebaran adalah dengan cara mengembangkan dan membangun sentra-sentra ekonomi di luar Pulau Jawa. Strategi yang dilaksanakan adalah dengan menciptakan kota-kota metropolitan potensial dari empat kota metropolitan besar menjadi 14 kota metropolitan besar, kota metropolitan kecil dari tiga menjadi 18, kota besar dari 17 menjadi 44, serta penciptaan kota sedang, kota kecil, dan pusat-pusat pertumbuhan (pusat kegiatan lokal). Strategi Penataan Persebaran Penduduk disesuaikan dengan pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar di seluruh pulau di Indonesia dan diarahkan pada pulau-pulau luar Jawa yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi baru dan potensial. Diharapkan wilayah-wilayah tersebut menjadi kota-kota metropolitan baru dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru yang akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di dalamnya.

4.      Permasalahan dan Tantangan
          Untuk mewujudkan kondisi yang diinginkan tersebut di atas, ditemukan  permasalahan dan tantangan sebagai berikut:
a.      Kesenjangan Wilayah.
Secara umum, disparitas antarwilayah merupakan permasalahan pokok di bidang kependudukan. Semua indikator kuantitas penduduk, kualitas penduduk, pembangunan keluarga, mobilitas penduduk dan juga pembangunan data base memperlihatkan bahwa masih ada kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Artinya  di masa mendatang Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk memeratakan hasil-hasil pembangunan. Penjelasan di bawah ini merupakan ilustrasi singkat mengenai permasalahan dan tantangan pembangunan kependudukan di Indonesia di tingkat nasional. Penjelasannya perlu dipahami dalam konteks seperti telah disebutkan di atas, yaitu permasalahan tersebut tidak bersifat tunggal, tetapi bervariasi antarwilayah. Pendalaman lebih lanjut sangat diperlukan untuk dijadikan dasar perumusan kebijakan kuantitas penduduk, kualitas penduduk, pembangunan keluarga, mobilitas penduduk dan juga pembangunan data base.
b.      Permasalahan Kuantitas Penduduk
1)      Pencapaian Bonus Demografi
         Bonus demografi akan terjadi di tanah air pada kurun waktu 15 tahun ke depan atau mulai 2025. Bonus “ledakan” kaum muda dan angkatan kerja produktif ini sangat krusial jika SDM yang tumbuh tidak berkualitas. Bonus demografi terjadi apabila mayoritas penduduk Indonesia adalah usia angkatan kerja. Penduduk yang berada di usia angkatan kerja tersebut dapat menjadi potensi bagi Indonesia menjadi negara maju, tetapi juga dapat menjadi bumerang apabila kualitas sumber daya manusia usia produktif itu rendah. Modal untuk pembangunan adalah kualitas SDM.
        Salah satu tanda bonus demografi adalah angka ketergantungan di bawah 50 persen, artinya satu orang penduduk nonproduktif ditanggung oleh 1-2 orang penduduk usia produktif. Berdasarkan kelompok umur, penduduk dapat dibedakan atas tiga kategori, yaitu muda (0-14 tahun), menengah (15-64 tahun), dan tua (65 tahun keatas). Pada tahun 2010, proporsi penduduk lanjut usia sebesar 5 persen dengan proporsi di daerah perkotaan sebesar 4,3 persen dan di perdesaan sebesar 5,8 persen. Dibandingkan dengan sensus penduduk tahun sebelumnya, proporsi penduduk lanjut usia mempunyai tren meningkat dengan rata-rata peningkatan 0,6 persen.
        Peningkatan persentase penduduk lansia dapat diinterpretasikan sebagai hasil perbaikan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan gizi, dan perbaikan pola hidup. Proporsi penduduk lansia di daerah perdesaan lebih besar dibandingkan dengan perkotaan. Pengelompokan penduduk yang terkait dengan kemampuan berproduksi secara ekonomi dapat diklasifikasikan menjadi penduduk nonproduktif dan penduduk usia produktif. Penduduk nonproduktif terdiri dari penduduk yang berumur 0-14 tahun dan penduduk yang berumur 65 tahun. Kelompok penduduk usia produktif adalah penduduk yang berumur 15-64 tahun. Angka beban ketergantungan Indonesia sebesar 51,3 persen, yang artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung sekitar 52 penduduk nonproduktif. Hasil sensus tahun sebelumnya menunjukkan tren yang semakin menurun yang berarti beban penduduk usia produktif semakin kecil sehingga diharapkan tingkat kesejahteraan penduduk mengalami peningkatan.  
Secara umum, di tingkat provinsi menunjukkan angka rasio ketergantungan yang menurun. Data BPS menunjukkan bahwa rasio ketergantungan penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 51,33 persen. Sekitar 80 juta penduduk usia tidak produktif di Indonesia bergantung pada sekitar 157 juta penduduk pada usia produktif (15—64 tahun). Angka tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan rasio ketergantungan penduduk sebelum penerapan program Keluarga Berencana tahun 1970 yang sekitar 80 persen. Rasio ketergantungan penduduk antarprovinsi di Indonesia ternyata tidak merata karena hampir setengah dari 33 provinsi di Indonesia memiliki rasio ketergantungan penduduk di bawah rata-rata nasional. Rasio ketergantungan provinsi masih timpang dengan adanya rasio tertinggi di Nusa Tenggara Timur sebesar 73,23 persen dan rasio terendah di DKI Jakarta sebesar 36,95 persen. Pemerintah dapat memanfaatkan mobilitas penduduk untuk meratakan angka ketergantungan penduduk antar provinsi di Indonesia.
Dengan adanya kebijakan tersebut, penduduk usia produktif dari provinsi lain disediakan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di wilayah dengan rasio ketergantungan penduduk yang tinggi. Beban ketergantungan merupakan indikator yang tidak hanya ditentukan oleh jumlah penduduk muda, tetapi juga ditentukan oleh jumlah penduduk tua. Peningkatan derajat kesehatan yang sangat memadai pada titik tertentu akan berdampak pada membesarnya kelompok ini yang secara langsung akan meningkatkan angka beban ketergantungan penduduk usia produktif. Dengan kata lain, seiring dengan perjalanan waktu, beban ketergantungan tidak ditentukan oleh besarnya angka kelahiran, tetapi dengan meningkatnya derajat kesehatan. Lansia yang panjang umur, sehat, dan tidak tergantung merupakan langkah yang harus dipersiapkan untuk menjemput penduduk “tua”. Penurunan kualitas fisik dan psikis lansia dapat disikapi secara bijak sehingga kelemahan yang ada dapat dimanfaatkan menjadi suatu modal pembangunan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam membicarakan bonus demografi adalah kualitas penduduk usia “dewasa” atau produktif. Menyiapkan generasi muda yang berkualitas dari aspek pendidikan dan kesehatan merupakan modal utama untuk membekali generasi muda melakukan kompetisi mendapatkan pasar kerja yang lebih berkualitas. Pengangguran terdidik dan peningkatan angkatan kerja perempuan di satu sisi, sedangkan di sisi yang lain lapangan pekerjaan yang semakin terbatas merupakan tantangan tersendiri bagi bidang ketenagakerjaan. Satu hal yang perlu disikapi adalah besarnya jumlah penduduk usia kerja yang kemudian disebut dengan bonus demografi benar-benar merupakan jendela kesempatan di bidang ekonomi, bukan sebaliknya sebagai petaka yang menyertai ledakan penduduk usia kerja ini.
2)  Pengaturan angka kelahiran
Pencapaian bonus demografi sangat tergantung kepada usaha pengaturan fertilitas. Memperhatikan kecederungan perubahan angka fertilitas, baik dari hasil sensus penduduk maupun SDKI. Tantangan terbesar di bidang kuantitas penduduk adalah tetap mempertahankan penurunan angka fertilitas sehingga dicapai angka replacement level yaitu TFR sama dengan 2,1 per perempuan. Target yang dicanangkan dalam RPJMN, yaitu TFR sama dengan 2,1 diharapkan tercapai tahun 2015 dan jika kemudian kecenderungan penurunan TFR berlanjut terus, maka pencapaian angka ketergantungan paling rendah akan dicapai tahun 2030. Akan tetapi memperhatikan TFR yang cenderung stagnan, atau bahkan meningkat, tampaknya Indonesia akan mengalami masalah yang cukup serius. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana TFR dapat diturunkan secara konsisten sehingga mencapai 2,1 tahun 2020. Kondisi tersebut berkaitan dengan menurunnya kinerja program keluarga berencana (KB), khususnya sejak krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an. Ada indikasi bahwa CPR cenderung stagnan dan unmet demand meningkat. Jika penurunan fertilitas menjadi salah satu tujuan kebijakan kependudukan di bidang kuantitas penduduk, maka revitalisasi program keluarga berencana menjadi tantangan di tahun-tahun mendatang. Dalam konteks ini ada empat tantangan utama yang perlu diperhatikan, yaitu bagaimana mengembangkan aspek kelembagaan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 52 tahun 2009; mengembangkan komitmen politik dalam bidang KB di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; mengubah orientasi program keluarga berencana dari supply ke demand driven; serta bagaimana meningkatkan akes dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduski, khsusunya bagi kelompok miskin.
c.      Permasalahan Kualitas Penduduk
1)  Pendidikan
Salah satu masalah penting pendidikan di Indonesia adalah masih rendahnya partisipasi murni di tingkat SLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SD sudah hampir 95 persen dan SLP hampir 70 persen. Dengan program wajib belajar 12 tahun tampaknya masalah tersebut akan segera teratasi. Akan tetapi jika di lihat di tingkat SLA dan PT, maka terlihat bahwa angkanya masih relatif rendah. Hal ini menggambarkan rendahnya akses penduduk untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SLA dan PT. Akses penduduk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu akses ekonomi dan akses fisik. Keterbatasan akses secara ekonomi terutama terjadi pada penduduk miskin yang tidak mampu membiayai pendidikan di jenjang SLA dan PT. Keterbatasan akses dari sisi fisik mengacu kepada keterbatasan sarana dan prasarana serta kondisi geografis. Sementara itu, dilihat dari rata-rata tahun sekolah (mean years of schooling) Indonesia tergolong masih rendah dibandingkan dengan negara tetangga. Kondisi ini merupakan indikasi, besarnya jumlah murid yang drop out dari pendidikan SD atau SLP. Sekali lagi hal ini terkait dengan persoalan akses terutama akses ekonomi. Pendidikan Indonesia juga berhadapan dengan tantangan untuk meningkatkan kompetensi dan kompetisi penduduk. Berhadapan dengan globalisasi peningkatan daya kompetensi dan kompetisi menjadi salah satu kunci.
2)  Kesehatan
a)    Perilaku Kesehatan
Salah satu tantangan terbesar di bidang kesehatan adalah berkaitan dengan perilaku kesehatan. Kesadaran penduduk untuk berperilaku sehat masih rendah.
b)    Kesehatan Lingkungan
Tantangan dalam bidang ini menyangkut kondisi lingkungan fisik dan biologis yang belum memadai
c)     Pelayanan Kesehatan
Dalam pelayanan kesehatan, paling tidak ada dua tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama adalah berkaitan dengan  masih rendahnya akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan, khususnya bagi penduduk miskin. Akses terhadap pelayanan dapat dibagi menjadi dua, yaitu akses dari sisi fisik yang terkait dengan kondisi geografis yang tidak menguntungkan. Kedua, adalah akses penduduk yang rendah karena kemampuan ekonomi yang tidak memadai. Hal ini terkait dengan ketersediaan dan distribusi pelayanan kesehatan. Ketiga adalah kualitas pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik belum merata di seluruh wilayah Indonesia sehingga belum semua penduduk dapat menikmati pelayanan yang prima. Sumbernya adalah masih terbatasnya tenaga kesehatan yang profesional serta distribusi tenaga kesehatan yang timpang.
d)    Status Gizi
Selama periode 1989-2010, persentase penduduk dengan status gizi kurang dan buruk menurun secara signifikan. Akan tetapi, untuk status gizi buruk angkanya cenderung fluktuatif dan penurunan selama periode tersebut relatif rendah. Dengan kata lain, Indonesia masih berhadapan dengan masalah gizi buruk dan hal ini erat kaitannya dengan persoalan kemiskinan.
e)    Perubahan Pola Penyakit
Di bidang penanggulangan penyakit, saat ini Indonesia berada di persimpangan jalan. Penanganan dan penanggulangan penyakit yang mudah diberantas dan murah biayanya belum sampai tuntas dilakukan.  Tapi kemudian muncul berbagai tipe penyakit yang sulit diberantas dan memerlukan biaya sangat mahal. Transisi epidemiologi tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena munculnya penyakit degeneratif masih diikuti tingginya insiden penyakit infeksi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, sebab angka kematian bayi pada umumnya berkaitan dengan penyakit infeksi, sedangkan kematian penduduk usia dewasa pada umumnya disebabkan karena oleh penyakit degeneratif. Persoalan yang menyangkut penentuan skala prioritas menjadi problematik.
3)  Ekonomi
a)    Kesempatan Kerja dan Pengangguran
Jumlah penduduk tahun 1971 sekitar 118,3 juta dan meningkat menjadi 237,6 juta tahun 2010. Angka pertumbuhan penduduk periode 1971-1980 adalah 2,32 persen per tahun dan menurun menjadi 1,49 persen per tahun pada periode 2000-2010. Persebaran penduduk antara Jawa dan Luar Jawa sangat timpang. Pada tahun 1971, sekitar 64,2 persen penduduk bertempat tinggal di Jawa dan menurun menjadi 59,1 persen tahun 2010. Ketimpangan ini menyebabkan terkurasnya sumber daya alam atau daya dukung lingkungan di Jawa. Sebaliknya, sumber daya alam yang ada di luar Jawa kurang dimanfaatkan secara optimal karena kekurangan sumber daya manusia. Dilihat dari struktur umur, terutama usia 0-14, dari sekitar 25,4 persen atau 63,0 juta tahun 2015 akan terjadi penurunan menjadi 18,9 persen atau 56,6 juta tahun 2035. Penduduk usia kerja (15+) tahun 2015 hanya sekitar 74,6 persen atau 185,2 juta dan akan meningkat menjadi 81,1 persen atau 243,0 juta tahun 2035. Dengan menggunakan TPAK 69,2 persen (Sakernas, 2011), maka jumlah angkatan kerja yang tahun 2015 mencapai sekitar 128,1 juta akan bertambah menjadi 168,2 juta tahun 2035. Apabila angka pengangguran terbuka hanya sekitar 6,7 persen dan angka setengah pengangguran hanya 29,5 persen, maka jumlah pengangguran terbuka sekitar 8,6 juta meningkat menjadi 11,3 juta tahun 2035. Kemudian pekerja setengah penganggur meningkat dari 37,8 juta tahun 2015 menjadi 49,6 juta tahun 2035. Apabila pemerintah dan swasta nasional berhasil memperluas kesempatan kerja sebanyak 50 persen hingga 2035, maka jumlah pengangguran terbuka dan pekerja setengah penganggur masih sekitar 30 juta penduduk. Hal ini merupakan pekerjaan yang berat, tetapi harus dilakukan untuk menciptakan kesempatan kerja yang baru. Tantangannya adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan kesempatan kerja yang memadai bagi angkatan kerja baru. Setiap tahun, pertambahan jumlah angkatan kerja diperkirakan 2 juta sehingga untuk mempertahankan jumlah pengangguran terbuka pada angka yang sama dengan tahun sebelumnya ada tuntutan penambahan kesempatan kerja dalam jumlah yang sama juga. Jika targetnya adalah penurunan jumlah pengangguran terbuka, maka kesempatan kerja yang diciptakan harus lebih besar dari pada jumlah angkatan kerja baru. Permasalahan lain yang dihadapi Indonesia adalah bahwa ternyata pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil tinggi diikuti oleh peningkatan kesenjangan. Salah satu indikatornya adalah kenaikan gini rasio. Sejak tahun 2007 hingga 2011 angka gini rasio meningkat dari 0,33 menjadi 0,41. Ketimpangan pendapatan adalah salah satu faktor pentig yang menyebabkan munculnya kemiskinan. Di samping itu, ketimpangan merupakan sumber dari instabilitas sosial dan politik, sehingga tantangannya adalah bagaimana tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dalam waktu yang bersamaan menurunkan ketimpangan.
b)    Kemiskinan
Karakteristik rumah tangga atau penduduk miskin, antara lain, berada pada keadaan 4L, yaitu the last, the least, the lowest, dan the lost atau mereka yang tercecer di belakang. Menurut Bappenas (2007), batasan kemiskinan adalah sekelompok orang atau seseorang yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasar untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermanfaat. Hak-hak dasar, antara lain, adalah terpenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan air bersih, merasa aman dari tindak kekerasan, serta mempunyai hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Konsep operasional kemiskinan model Bappenas tersebut sebagian sulit diukur sehingga perhitungan kemiskinan yang digunakan adalah dengan pendekatan makro dan dilakukan oleh BPS dengan data sampel dari Susenas modul konsumsi. Hasil perhitungan menyajikan jumlah dan persentase penduduk miskin serta tidak dapat menunjukkan siapa dan lokasi penduduk miskin. Metode ini dilakukan sejak 1984 sampai sekarang.
Persoalan kemiskinan tidak lepas dari ketimpangan pendapatan antargolongan di Indonesia yang diukur dari Rasio Gini. Data menunjukkan bahwa Rasio Gini setelah tahun 2006 mengalami peningkatan, sebaliknya pertumbuhan ekonomi setelah tahun 2007 hingga 2009 mengalami penurunan. Data lain menunjukkan bahwa secara nasional penurunan Rasio Gini hanya terjadi di perkotaan dari 0,362 menjadi 0,352, sedangkan di perdesaan justru meningkat menjadi 0,297 dari 0,288.


c)     Ketahanan Pangan.
Kebutuhan dasar makanan dan minuman mencakup satu dari 52 komoditas saja, yaitu beras. Kebutuhan pangan beras dihitung berdasarkan Kebutuhan Hidup Pantas (KHP), yaitu 10 kg beras per kapita per bulan atau 120 kg beras per kapita per tahun. Pada tahun 2011, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan telah mencapai 242 juta, tahun 2015 sekitar 257,3 juta, dan tahun 2035 minimal telah menjadi 307,2 juta.
Menggunakan kriteria di atas, maka kebutuhan pangan beras sekitar 2.575 juta kg per bulan atau 30.900 juta kg per tahun. Jumlah ini akan meningkat menjadi 308,2 juta kg per tahun atau 36.984 juta kg per tahun.
Ini baru kebutuhan pangan beras, belum termasuk kacang, kedelai, jagung, gula, garam, ikan, daging, dan lain-lain. Persediaan beras sebagai makanan pokok nasional, menurun terus akibat dari berbagai hal, seperti penyusutan lahan pertanian pangan menjadi peruntukan nonpangan, gagal panen karena hama dan penyakit, serta musim kemarau yang panjang. Solusi paling mudah adalah mengimpor beras yang banyak menguras devisa negara. Jika pengendalian jumlah penduduk gagal, maka jumlah beras itulah yang akan muncul. Kebijakan penciptaan tanah pertanian pangan yang baru di Jawa-Madura sangat sulit dilakukan dan yang terjadi adalah alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi tempat tinggal, industri, dan jasa. Memperlambat cepatnya penyusutan lahan pertanian dalam jangka panjang sampai 2035 agaknya sulit dilakukan, tetapi ini harus dilakukan. Penciptaan lahan pertanian baru di luar Jawa adalah pilihan utama sambil mempelajari kegagalan pencetakan lahan pertanian sejuta hektar di Kalimantan. Pemberian subsidi input pertanian juga diperlukan, utamanya dalam bentuk pupuk, bibit unggul lokal, pestisida, dan infrastruktur irigasi teknis. Perlu juga dilakukan perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian dan pemberdayaan upah sekaligus mengerem urbanisasi desa-kota. Apabila beberapa hal tersebut gagal dilaksanakan, ada kemungkinan Indonesia akan tetap menjadi pengimpor produk pertanian terbesar di dunia. Hal yang sama juga terjadi dalam hal negara pengimpor garam yang cukup besar jumlahnya, padahal Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di dunia.
d)    Persebaran dan Mobilitas Penduduk
Salah satu tantangan pembangunan kependudukan yang perlu memperoleh perhatian serius adalah persebaran penduduk. Hal ini perlu memperoleh perhatian karena masalah persebaran penduduk tidak hanya masalah kependudukan, tetapi terkait dengan pembangunan pada umumnya. Dari sisi pembangunan ekonomi, distribusi penduduk erat kaitannya dengan kesenjangan wilayah. Daerah padat penduduk merupakan daerah yang secara ekonomi maju, sebaliknya daerah yang tidak padat penduduk adalah daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Dalam konteks ini, dikotomi Jawa-Bali dengan luar Jawa Bali dan/atau kota dengan desa merupakan representasi dari perbandingan antara daerah maju dengan yang belum atau tidak maju. Tantangan ke depan adalah membuat suatu wilayah di satu pihak tidak menanggung beban terlalu besar karena menjadi tempat akumulasi penduduk dan pada saat yang sama ada wilayah lain yang tidak mampu melakukan optimalisasi pemanfaat sumber daya alam karena kekurangan sumber daya manusia. Hal ini menjadi lebih penting ketika dikaitkan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), ketika setiap koridor yang telah ditetapkan berkembang dengan dukungan sumber daya manusia yang memadai. Dalam konteks mobilitas penduduk di Indonesia dewasa ini, terdapat beragam tantangan yang perlu menjadi perhatian, yakni transmigrasi, urbanisasi, migrasi tenaga kerja TKI/TKW, Pengungsi dalam negeri atau Internally Displaced Oersons (IDPs), pencari suaka ilegal, resettlement, dan lain-lain. Tiga kecenderungan migrasi di Indonesia sejak tahun 2000 adalah sebagai berikut:
       Pertama adalah mobilitas akibat globalisasi. Migran masuk dengan kualifikasi tenaga ahli dari luar negeri dan diiringi dengan migrasi tenaga kerja dengan keterampilan rendah ke luar negeri mengalami peningkatan.
       Kedua adalah proses akselerasi, yakni pertumbuhan pesat suatu daerah akibat proses migrasi (dengan beragam alasan), sebagai contoh adalah Kota Jakarta, Balikpapan, dan Batam.
       Ketiga adalah proses feminisasi, yakni meningkatnya jumlah migran perempuan yang akhirnya menjadi mayoritas di berbagai tingkatan dan kawasan. Feminisasi pada proses mobilitas penduduk terjadi pada mobilitas internasional oleh tenaga migran TKW/TKI migran. Sebagian besar mereka masih bekerja pada sektor informal, seperti sebagai pembantu rumah tangga dan beberapa pekerjaan rendahan. Beberapa tahun terakhir, mulai muncul pekerja migran yang masuk ke sektor formal sebagai perawat. Bentuk mobilitas lain yang cukup mengemuka dalam satu dasawarsa terakhir di Indonesia adalah pengungsian (displacement) akibat bencana alam, konflik sosial, kerusuhan lokal, serta intervensi-investasi ekonomi yang akhirnya mendorong sebagian penduduk terusir dari tanah kelahiran dan tempat tinggalnya lalu terpaksa untuk pindah ke tempat lain. Dalam konteks di Indonesia, fenomena pengungsian terjadi secara besar-besaran terkait dengan berbagai konflik sosial dan politik. Sementara itu, perpindahan terpaksa akibat konflik laten antarelemen masyarakat pada satu dasawarsa terakhir akibat munculnya sentimen antipendatang di beberapa wilayah Indonesia yang semakin mengemuka. Pengungsi dalam negeri atau Internally Displaced Persons (IDPs) dalam satu dasawarsa terakhir semakin meningkat dengan berbagai alasan. Perlu adanya kebijakan nasional maupun lokal yang kondusif bagi seluruh penduduk sehingga mengurangi bias kepentingan lokal, etnis, dan kelompok. Konflik lokal yang marak dalam beberapa tahun terakhir harus mampu dikelola dengan baik dan dicarikan solusi dalam kerangka kepentingan nasional. Apabila negara gagal melakukan hal ini, maka tidak dapat dihindari terjadinya mobilitas penduduk dari penduduk nonlokal yang meninggalkan daerah nonasal etnis, meninggalkan daerah mayoritas religi akibat adanya diskriminasi kelompok minoritas, dan proses-proses reklamasi (reclaiming) kelompok masyarakat atas aset tanah kelompok masyarakat yang lain (pendatang). Hal yang sangat khas Indonesia adalah pada saat ini fenomena IDPs (sukarela maupun terpaksa) belum dianggap sebagai masalah penting. Belum muncul kebijakan maupun aksi nyata untuk menangani penduduk terusir ini, baik pada tingkatan nasional maupun lokal. Pada kenyataannya, masalah ini sebenarnya semakin meningkat dalam satu dasawarsa terakhir seiring dengan menguatnya isu kedaerahan dalam kebijakan politik saat ini. Konflik di berbagai tempat merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan. Dalam konteks IDPs, kebijakan mobilitas penduduk harus mampu menjadi bagian dari penyelesaian masalah tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik yang terjadi di berbagai tempat merupakan ekses dari mobilitas penduduk yang tidak dikelola secara baik. Konflik berdarah yang terjadi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir telah menyebabkan tidak kurang dari 1,2 juta manusia yang tersebar di 20 provinsi harus mengungsi di negara sendiri. Meskipun telah ada strategi penanganan pengungsi yang mencakup normalisasi, relokasi, dan pemberdayaan, penanganan pengungsi belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
  d.    Fenomena dan Dampak Migrasi Internal
1)  Migrasi Sirkuler (commuting)
       Peningkatan secara eksponensial jumlah kendaraan bermotor mengakibatkan peningkatan kemampuan jarak tempuh > 50 km per hari dari desa ke kota.
       Paling tidak ada seorang anggota dari 25 persen rumah tangga perdesaan melakukan ulang-alik desa-kota-desa.
       Sulitnya memperoleh pekerjaan/mengembangkan usaha di perdesaan mengakibatkan ulang-alik dan bekerja/berusaha di sektor informal di perkotaan.
       Jumlah wilayah perkotaan yang terbatas, utamanya di Jawa, dengan infrastruktur dan pelayanan yang tidak memadai serta penegakan hukum yang lemah menyebabkan kekumuhan perkotaan dan kemacetan lalu lintas.
2)         Migrasi Musiman (temporary)
       Terbukanya lapangan kerja berbasis usaha migas dan berbasis pertanian/kehutanan di luar Jawa (wilayah perdesaan) yang tanpa keberpihakan kepada masyarakat setempat telah menarik penduduk luar wilayah tersebut bermigrasi masuk secara musiman.
       Buruknya konektivitas antarwilayah mengakibatkan masuknya penduduk yang berketerampilan tinggi, cukup pengalaman, dan cukup modal sehingga memicu disparitas di perdesaan.
       Secara nasional terjadi disparitas tingkat upah dan pengangguran antarwilayah, padahal aliran informasi antarwilayah cukup memadai sehingga berpotensi terjadinya kecemburuan sosial. Migrasi internal yang lebih spesifik di Indonesia adalah transmigrasi yang telah dikenal sejak zaman kolonisasi sampai otonomi daerah. Cukup banyak lokasi penempatan transmigrasi dari Jawa, Madura, dan Bali yang telah berkembang pesat dan daerah tersebut menjadi kabupaten/kota, seperti di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Riau, dan Sumatera Utara. Demikian pula yang terjadi di semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi, dan kawasan timur Indonesia. Persoalan utama yang tidak pernah terselesaikan adalah tanah garapan (pekarangan, ladang, dan sawah) untuk jaminan kegiatan ekonomi rumah tangga migran internal termasuk di dalamnya pelayanan kebutuhan dasar. Sejak otonomi daerah diberlakukan, kerja sama dalam penerimaan dan pengiriman antardaerah pengirim dan penerima lebih diintensifkan dalam arti calon transmigran diberi kesempatan untuk datang dan melihat lokasi yang akan ditempati. Termasuk pula daerah penerima harus menyiapkan calon transmigran lokal (translok) dari penduduk setempat atau dari sekitar lokasi penempatan transmigrasi. Dengan demikian, proses asimilasi antara pendatang dan penduduk lokal dapat segera tercapai dan sekaligus menghilangkan prasangka buruk di antara kedua kelompok tersebut. Model translok dengan menyisipkan ke dalam transmigrasi umum dalam beberapa hal dapat mengurangi aspek negatif atau saling curiga. Tidak hanya itu, tanah yang disiapkan untuk transmigrasi tidak sekadar diklaimkan sebagai tanah ulayat yang tidak dapat diberikan pada transmigran umum. Pembangunan sarana prasarana pelayanan kebutuhan dasar tidak hanya terbatas pada lokasi penempatan transmigrasi, tetapi terkondisi dengan daerah-daerah pinggirannya. Studi banding untuk translok, bahkan sering didampingi oleh pemerintah daerah Jawa Bali.
3)         Fenomena dan Dampak Migrasi Internasional
       Belum semua profesi pekerjaan berstandar kompetensi internasional sehingga kesempatan kerja di pasar kerja internasional tidak termanfaatkannya secara optimal.
       Hanya pekerjaan D3 (dirty-dark-dangerous) di pasar kerja internasional yang dapat dimanfaatkan oleh TKI nonprofesional. Hal ini melemahkan perlindungan bagi tenaga kerja. Investasi asing yang mengalir tanpa batas dan dikuti dengan kehadiran tenaga kerja asing dan lemahnya regulasi migrasi internasional dalam konteks Perjanjian Perdagangan Bebas menimbulkan persaingan tenaga kerja.


5.      Kondisi Kependudukan yang Diinginkan        
Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, maka kondisi kependudukan yang  diinginkan dari Perspektip  Kuantitas Penduduk, Kualitas Penduduk, Kondisi Keluarga, Persebaran dan Mobilitas Penduduk, serta Data Base Kependudukan adalah sebagai berikut:
 a.          Kuantitas Penduduk
Dalam jangka panjang, kondisi kependudukan yang diinginkan adalah tercapainya penduduk stabil dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Untuk mencapai kondisi ini, jumlah bayi yang lahir diharapkan sama (seimbang) dengan jumlah kematian sehingga penduduk menjadi stasioner. Indikator pencapaian penduduk tumbuh seimbang (PTS), adalah angka kelahiran total (TFR) sama dengan 2,1 per perempuan atau Net Reproduction Rate (Angka Reproduksi Bersih = NRR) sebesar 1 per perempuan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJMN), TFR sama dengan 2,1 diperkirakan tercapai pada tahun 2015. Selanjutnya, TFR diperkirakan menurun menjadi 1,88 dan NRR menjadi 0,89 tahun 2020. Kondisi ini akan dipertahankan terus sampai dengan tahun 2035. Akan tetapi target tersebut berbeda dengan perkiraan yang dilakukan oleh PBB.
         Seperti halnya RPJMN, diperkirakan TFR sama dengan 2,1 akan tercapai pada tahun 2015 tetapi pada periode berikutnya penurunan TFR akan melambat yaitu mencapai 1,94 pada periode 2020-2025. Sedangkan periode 2025-2030 menjadi 1,86, pada  periode 2030-2035 menjadi 1,85. Oleh Unaited Nation (UN) angka ini dibuat konstan sampai dengan tahun 2050. Hasil proyeksi penduduk (sementara) yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa TFR sama dengan 2,1 juga lebih lambat dibandingkan target RPJMN. Dengan skenario paling optimis TFR sama dengan 2,1 akan tercapai pada tahun 2020. Kondisi inilah yang ingin dicapai, sebab jika memperhatikan dua skenario lainnya, pencapaian TFR sama dengan 2,1 terjadi pada periode yang lebih lambat dan akan memiliki implikasi terhadap perubahan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin.
          Berdasarkan pencapaian TFR tersebut dan perkiraan IMR yang  didasarkan pada target program, maka tahun 2015 jumlah penduduk diperkirakan akan mencapai 254,0 juta, dan tahun 2035 diperkirakan menjadi 304,7 juta. Perkiraan ini akan menjadi kenyataan jika pertumbuhan penduduk per tahun dapat ditekan menjadi 1,35 persen pada periode 2010-2015; 1,19 persen pada periode 2015- 2020; 1,03 persen pada periode 2020-2025; 0,89 persen pada periode 2025-2030 dan 0,75 persen pada periode 2030-2035. Di samping itu, dari sisi perubahan komposisi penduduk menurut umur, tahun 2027 diharapkan Indonesia berada pada fase ketika rasio ketergantungan mencapai angka terendah, yaitu kurang dari 44,8. Kondisi ini penting, karena akan memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mencapai bonus demografi. Salah satu tandanya adalah dengan jumlah penduduk usia produktif yang mencapai puncak, yaitu kira-kira 70 persen dari jumlah penduduk. Kondisi ini merupakan kondisi yang diharapkan agar sejak sekarang, dapat disusun kebijakan untuk optimalisasi kesempatan tersebut.
          Pencapaian tahap ini sangat tergantung kepada pengelolaan pertumbuhan penduduk melalui pengendalian angka kelahiran. Jika angka kelahiran meningkat seperti halnya indikasi yang muncul dari berbagai sumber data, maka tahap tersebut akan tertunda atau bahkan hilang sama sekali. Perlu untuk dicatat bahwa kondisi ini adalah kondisi di tingkat nasional. Pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota, kondisinya sangat bervariasi. Bagi wilayah yang angka TFR rendah misalnya DI Yogyakarta dan DKI Jakarta, kondisinya akan sangat berbeda dengan NTT yang masih memiliki TFR cukup tinggi. Di samping itu, variabel lain yang tidak kalah pentingnya adalah migrasi, karena besar dan kecilnya migrasi akan sangat memengaruhi komposisi penduduk.
b.           Kualitas penduduk
Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan, dan hidup layak (UU No. 52 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 5). Pengembangan kualitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan manusia yang sehat jasmani dan rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja yang tinggi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pembangunan kualitas penduduk difokuskan pada  pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Dari sisi pendidikan, target utama adalah angka melek huruf mencapai 100 persen. Hal ini didukung oleh angka partisipasi murni (APM) untuk SD mencapai 100 persen dari 94,0 persen pada tahun 2008, meskipun sebenarnya pencapaian target tersebut dapat dilakukan pada periode sebelumnya melalui program wajib belajar. Sementara itu APM untuk tingkat SLP mencapai 100 persen dari 66,9 tahun 1998. Pencapaian ini cukup realistis dengan memperhatikan tren selama 30 tahun terakhir yang memperlihatkan kenaikan cukup impresif. Pada tahun 2010, APM di tingkat SLA telah mencapai hampir 46 persen, maka pencapaian 70-80 persen tahun 2035 adalah masuk akal. Tahun 2035 APM pada jenjang perguruan tinggi diharapkan meningkat menjadi 20-25 persen dari 11 persen tahun 2010.
Berdasarkan target program, angka kematian bayi tahun 2015 diharapkan akan menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup dan terus menurun secara berlanjut hingga pada tahun 2035 menjadi sekitar 14,5 per 1.000 kelahiran hidup. Sejalan dengan menurunnya angka kematian bayi, usia harapan hidup juga meningkat menjadi dari 71,4 tahun tahun 2015 menjadi 74,9 tahun pada tahun 2035. Pemerintah dalam visi tahun 2025 menargetkan PDB mencapai 3,8-4,5 triliun dolar AS dengan pendapatan per kapita 13.000-16.000 dolar AS dari kurang lebih 3000 dolar AS pada tahun 2000 dari  3500-3600 dolar AS tahun 2011.
Sebagai sasaran, antara tahun 2015 ditargetkan pendapatan per kapita akan meningkat menjadi 5500 dolar AS. Jika target ini dijadikan dasar untuk menentukan pencapaian tahun 2035, tampaknya sulit dilakukan. Keinginan untuk mencapai pendapatan per kapita dua kali lipat lebih tahun 2025 dibandingkan tahun 2005 mengakibatkan angkanya tahun 2035 akan lebih besar lagi. Untuk mencapainya perlu didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi (kurang lebih 10 persen per tahun). Angka paling realistis adalah bahwa tahun 2035 GNI per kapita penduduk Indonesia berkisar antara 8000-9000 dolar AS. Terdapat isu yang lebih penting dari sekadar kenaikan pendapatan per kapita, yaitu pemerataan pendapatan. Pada 2012 Gini ratio diperkirakan berada pada kisaran 0,4, artinya tidak berubah banyak dari kondisi terakhir tahun 2010. Angka ini harus ditekan serendah mungkin tahun 2035 agar kesenjangan pendapatan yang merupakan salah satu sumber kemiskinan dapat ditekan.
c.      Pembangunan keluarga
Kondisi yang diinginkan melalui pembangunan keluarga adalah terwujudnya keluarga Indonesia yang berkualitas berdasarkan perkawinan yang sah dan bertakwa kepada Tuhan YME. Selain itu juga menuju keluarga sejahtera, sehat, maju, mandiri, dengan jumlah anak yang ideal dan harmonis yang berkeadilan dan berkesetaraan gender, keluarga yang berketahanan sosial memiliki perencanaan sumberdaya keluarga, berwawasan nasional, berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa.
          Untuk mewujudkan  keluarga Indonesia yang berkualitas, sejahtera, dan berketahanan sosial, diupayakan mewujudkannya melalui terbentuknya:
       Keluarga yang bertakwa kepada Tuhan YME, yaitu keluarga berdasarkan pernikahan yang sah menurut hukum negara
           Keluarga sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan harmonis yang berkeadilan dan berkesetaraan gender dengan jumlah anak yang ideal sesuai kemampuan keluarga tersebut
           Keluarga yang berketahanan sosial, yaitu. - Keluarga yang memiliki perencanaan sumber daya keluarga - Keluarga berwawasan nasional, yaitu keluarga yang mengembangkan kepribadian dan budaya bangsa Indonesia - Keluarga yang berkontribusi kepada masyarakat, yaitu keluarga yang mampu berperan serta dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan memiliki kepedulian terhadap lingkungannya - Keluarga yang berkontribusi kepada bangsa dan negara serta berpartisipasi dalam kegiatan bela negara, taat membayar pajak, patuh terhadap peraturan perundangan yang berlaku.
d.      Persebaran dan mobilitas penduduk
Dari aspek mobilitas penduduk, kondisi yang diinginkan adalah terjadinya persebaran penduduk yang lebih merata ke luar Pulau Jawa sehingga konsentrasi penduduk tidak semakin besar di Pulau Jawa yang memang sangat padat penduduk. Demikian juga halnya dengan urbanisasi, diharapkan agar penduduk tidak berbondong-bondong datang ke perkotaan yang pada gilirannya menimbulkan masalah baru yang tidak kalah peliknya. Namun patut disadari bahwa urbanisasi tidak semata-mata karena perpindahan penduduk dari desa ke kota, tetapi juga karena daerah-daerah dengan kategori urban semakin banyak jumlahnya karena fasilitas dan hasil pembangunan yang merata. Kondisi persebaran penduduk yang diinginkan adalah persebaran penduduk yang merata dan pengaturan mobilitas sesuai
dengan potensi daerahnya. Tentunya yang diharapkan adalah adanya penataan dan persebaran yang proporsioal sesuai daya dukung alam dan lingkungan. Ini berarti pemerintah harus dapat menata keberadaan penduduk melalui perpindahan penduduk dari Pulau Jawa keluar pulau Jawa. Dari segi mobilitas, kondisi yang diinginkan adalah mendorong urbanisasi tahun 2010/2011 (sekitar 52 persen berada di pulau Jawa) menjadi tahun 2025/ 2035 (> 65 persen). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
        Persebaran penduduk di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa tahun 2010/2011  (60   persen/40 persen) menjadi kurang dari 50 persen dan lebih dari 50 persen tahun 2025-2035.
        Konsentrasi pusat pelayanan publik diubah dengan mendorong mengalirnya penduduk perdesaan ke perkotaan (pada metropolitan potensial, terutama luar Pulau Jawa)
        Distribusi pusat pelayanan publik diubah dari wilayah perdesaan menjadi pusat perekonomian.
Kondisi migrasi internasional yang diinginkan tahun 2035 adalah terjadinya persebaran penduduk yang lebih merata ke luar Pulau Jawa, sehingga konsentrasi penduduk tidak semakin besar di Pulau Jawa yang memang sangat padat penduduk. Meskipun demikian pemerataan distribusi penduduk harus dikaitkan dengan kebutuhan SDM di masing-masing wilayah. Tercapainya persebaran penduduk yang merata dan pengaturan mobilitas harus sesuai dengan potensi daerahnya dan yang proporsial sesuai daya dukung alam dan lingkungan.
e.           Database kependudukan
Kondisi yang diinginkan dari pembangunan data dan informasi kependudukan secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :
(1)      Tersusunnya sistem survei dan pengumpulan data kependudukan yang  sesuai dengan kebutuhan kementerian terkait dan pihak swasta yang membutuhkan.
(2)      Tersusunnya sistem database kependudukan sehingga diharapkan dapat diperoleh data dan informasi kependudukan yang andal, akurat, riil, dan dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan secara cepat.
(3)      Isu-isu strategis yang harus ada di dalam Data dan Infomasi Kependudukan adalah; Regulasi dan Kebijakan, Kelembagaan, Sumber Daya Manusia (SDM), Aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), NIK, dan Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) harus saling terkait satu sama lain.
(4)      Regulasi dan kebijakan yang berkenaan dengan kependudukan meskipun telah ada, tetapi masih perlu penjelasan yang lebih rinci, terutama untuk operasionalisasi regulasi dan kebijakan tersebut di daerah-daerah. Operasionalisasi regulasi dan kebijakan tersebut harus diiringi dengan enforcement dan pemberian sanksi bagi yang melanggar regulasi dan kebijakan. Di samping itu, regulasi dan kebijakan tersebut perlu secara sistematis disosialisasikan kepada semua pemangku kepentingan yang terkait dengan data kependudukan. Sosialisasi tersebut dapat berupa pelatihan-pelatihan cara menterjemahkan regulasi dan kebijakan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih operasional dan pembuatan alur kerja (work flow) tertib administrasi kependudukan.
(5)      Pembuatan operasionalisasi alur kerja ini hendaknya dapat menjamin standardisasi pelaksanaan Sistem Administrasi Kependudukan (SAK). Regulasi dan perundang-undangan serta standardisasi ini tidak akan dapat berjalan secara optimal jika sekiranya tidak didukung oleh kelembagaan yang baik. Kelembagaan di lingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Ditjen Dukcapil Kemdagri RI) telah tertata dengan baik. Semua fungsi SAK dan SIAK telah terbagi ke dalam unit-unit yang ada. Setiap unit memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang terdefinisikan dengan jelas. Beberapa unit masih perlu menyinkronkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan tupoksinya. Di samping itu, perlu ditetapkan indikator kinerja setiap unit agar irama kerja sama antarunit dapat menghasilkan produk layanan yang optimal. Sementara itu, kelembagaan yang menangani SAK dan SIAK di daerah masih bervariasi. Ada daerah yang secara jelas dan tegas menetapkan Dinas Kependudukan untuk menangani SAK dan SIAK, tetapi masih ada daerah yang menetapkan penanganan SAK dan SIAK ini di bawah dinas. Untuk itu, perlu mendorong adanya standardisasi struktur organisasi penanganan SAK di daerah.
(6)      Struktur organisasi yang menangani SAK dan SIAK, baik yang di pusat maupun yang di daerah, seyogianya disusun berdasarkan hierarki kelembagaan yang mengelola SAK dan SIAK tersebut. Setiap tingkatan pada hierarki tersebut memerlukan kompetensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu ditetapkan SDM yang sesuai dengan kompetensinya pada setiap  unit. SDM ini secara terus-menerus perlu ditingkatkan kapasitasnya, baik pengetahuan maupun keterampilannya dalam menangani SAK dan SIAK
(7)      Pelatihan untuk SDM perlu dilakukan secara berkala, terjadwal, dan  berkelanjutan. Terutama untuk SDM TIK yang telah dilatih, mereka tidak boleh dimutasikan ke bidang non-TIK, tetapi perlu disediakan jenjang karier yang jelas. Hal ini perlu dilakukan agar SDM TIK tersebut tetap dapat merespons perubahan-perubahan infrastruktur TIK yang sangat pesat.
(8)       Aplikasi SIAK memiliki dua modul utama, yaitu modul pendaftaran penduduk dan modul pencatatan sipil. Setiap modul utama tersebut dibagi lagi atas berbagai submodul yang digunakan, baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, perlu di review (diulas) sejauh mana aplikasi SIAK diterapkan, baik yang di pusat maupun yang di daerah. Seyogianya, aplikasi SIAK tersebut mengalir mulai dari titik layanan kependudukan (kelurahan atau kecamatan), lanjut ke kabupaten/kota, dan pusat serta ke provinsi.
(9)      Secara proporsional dan terdistribusi, aliran aplikasi SIAK harus disesuaikan dengan kondisi di daerah masing-masing. Bersamaan dengan aplikasi SIAK tersebut, maka database kependudukan dapat dikonsolidasikan secara bertingkat. NIK dan KTP elektronik adalah salah satu informasi identitas dan dokumen kependudukan sebagai keluaran dari aplikasi SIAK yang sangat penting dan berdampak luas.
(10) NIK, selain sebagai identitas penduduk Indonesia, juga merupakan kunci akses   dalam melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna mendukung pelayanan publik. Ketunggalan NIK secara efektif dimulai sejak diterbitkannya kepada seorang menggunakan SIAK. Pada saat ini untuk menjamin autentitas NIK hanya digunakan dua faktor, yaitu faktor yang menyatakan sesuatu yang Anda ketahui dan faktor yang menyatakan sesuatu yang Anda miliki.
(11) Dalam rangka memastikan ketunggalan NIK, dilakukan konsolidasi antar-database kabupaten/kota, provinsi, dan nasional secara sistem tersambung (on-line). Pada saat bersamaan, setiap database kependudukan kabupaten/kota dimuktakhirkan untuk membersihkan unsur yang menjadikan NIK ganda, NIK yang tidak merepresentasikan pemiliknya, satu NIK dimiliki oleh dua orang, dan seterusnya dengan mekanisme konsolidasi secara on-line dan verifikasi NIK. Dalam rangka meningkatkan ketunggalannya NIK seseorang, maka seluruh penduduk wajib KTP nya direkam karakteristik yang melekat pada diri seseorang berupa biometri seluruh sidik jari dan disimpan dalam server database sidik jari (AFIS). Sistem database ini terintegrasi database SIAK sehingga seseorang wajib KTP dapat diakses biodata termasuk NIK dan biometri sidik jarinya. KTP elektronik sebagai KTP ber-chip yang memuat biodata, sidik jari, dan foto penduduk bersangkutan adalah upaya untuk meniadakan kepemilikan KTP palsu dan KTP ganda, serta kurangnya kepercayaan terhadap KTP bersifat nasional. Untuk itu, secara bertahap akan diterapkan KTP elektronik sesuai amanat Perpres No. 26 Tahun 2009 tentang KTP Berbasis NIK secara nasional.
(12) Untuk mendukung kegiatan SAK dan SIAK yang terus berkembang dan berubah, maka untuk menjamin terjadi kesinambungan dalam penanganan infrastruktur TIK, perlu disusun suatu tata kelola TIK (IT Governance) untuk SAK dan SIAK. Tata kelola TIK ini menjamin TIK yang digunakan untuk SAK dan SIAK agar memberikan manfaat yang optimal bagi unit-unit yang menangani administrasi kependudukan. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal, infrastruktur TIK, seperti server, jaringan internet, dan komputer pribadi, perlu di-upgrade secara berkala dan berkelanjutan.
(13) Untuk melakukan outsource pengelolaan infrastruktur TIK ini agar SDM TIK yang menangani SAK dan SIAK dapat lebih fokus pada masalah-masalah yang substantive, maka perlu dijalin kerja sama antara Ditjen Adminduk dengan penyedia jasa TIK, terutama untuk mendukung kegiatan aplikasi SIAK agar memberikan hasil yang optimal.













BAB IV
PERAN DEMOGRAFI DALAM KETAHANAN NASIONAL

1.     Umum
Ketahanan Nasional sebagai konsepsi merupakan pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan nasional secara utuh dan menyeluruh serta terpadu berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan Wawasan Nusantara (Wasantara).
Dengan kata lain, Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia merupakan pedoman (sarana) untuk meningkatkan (metode) keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahterahan dan keamanan. Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya, demi sebesar besar kemakmuran yang adil dan merata, baik rohaniah maupun jasmaniah. Sementara itu, keamanan adalah kemampuan bangsa melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar dan dari dalam.
     Implementasi konsepsi Ketahanan Nasional melibatkan seluruh komponen bangsa mulai dari individu, keluarga, masyarakat, institusi pemerintah maupun non pemerintah, serta adanya kualitas manusia Indonesia yang dapat berperan baik dalam kancah globalisasi dunia maupun pembangunan dalam negeri.
Untuk itu, determinasi ketahanan nasional suatu bangsa dapat dianalisis melalui keterhubungan antar resultante ketahanan bangsa tersebut, yang dikenal dengan istilah asta gatra meliputi gatra geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Teori ketahanan nasional yang diusung oleh Lemhannas RI, esensinya adalah bagaimana melihat sesuatu itu secara konprehensif, integral  dan holistik, yang bermuara pada persatuan dan kesatuan bangsa. 

Sehubungan dengan hal tersebut, patut dilakukan analisis keterkaitan antara Bidang Studi Demografi dengan Astagatra, sebagai berikut :

2.         Gatra Geografi        
                 Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau dan dilalui gugus lempengan bola dunia, serta merupakan rangkaian gunung berapi yang masih aktif dan labil, sangat rawan lerhadap bencana alam antara lain: letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran, tanah longsor serta rawan pula terhadap berbagai penyakit. Ada 92 (Sembilan puluh dua) pulau  terluar yang memerlukan penanganan khusus dalam pembangunan pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain keterbatasan transportasi serta kualitas SDM yang masih belum optimal ditambah kurangnya penguasan Iptek, sering terjadi keterbatasan penanganan permasalahan pembangunan.
                      Kepadatan penduduk yang tidak merata, khususnya antara Desa dan Kota, antara Jawa (sekitar 60 % penduduk berada di Pulau Jawa, dengan luas sekitar 6,6 % dari luas Indonesia) dengan Luar Jawa (sekitar 40 % penduduk berada diluar Pulau Jawa, dengan luas sekitar 93,4% dari luas Indonesia), antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia Bagian Timur, semuanya telah melahirkan kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Secara empiris, ternyata kondisi geografis ini merupakan salah satu faktor yang menjadi hambatan terjadinya mobilitas penduduk antar daerah, karena antara lain masalah transportasi, sehingga dapat menimbulkan kesejangan sumber daya manusia diberbagai daerah, karena sumber daya manusia yang potensial akan terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang relative akses lebih mudah untuk dijangkau.
Hal ini akan berpengaruh pada daya tampung dan pembangunan di daerah tersebut, karena daerah yang akses transportasinya mudah dijangkau (Pulau Jawa) akan menjadi minat utama bagi para investor dalam berinvestasi, hal ini akan berdampak positif bagi daerah dan masyarakat setempat, namun bagi daerah-daerah yang akses transportasinya lebih sulit seperti daerah-daerah di Indonesia bagian timur, mereka akan sulit mendatangkan para investor, sehingga pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan nasional menjadi lambat.    .  


3.         Gatra Demografi    
Katalog Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menjelaskan bahwa pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia sekitar 243.740 juta jiwa, merupakan penduduk dengan jumlah terbanyak ke-4 didunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 % pertahun. Dengan jumlah tersebut  negara Indonesia tidak terancam kekurangan sumber daya manusia, sebaliknya memiliki peluang menjadi kekuatan  produktif yang luar biasa dahsyat untuk mendorong persaingan global bila kekuatan itu dikelola dengan baik dan tepat.
Tantangan yang muncul adalah ketika kondisi bonus demografi ini  tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, maka akan terjadi “ledakan” pengangguran usia produktif di era Tahun 2025-2035, yaitu, bukan terwujudnya “window of opportunity”, namun yang dihadapi  pemerintah dan rakyat Indonesia adalah  kondisi window of  disaster. Sebaiknya persiapan menyongsong bonus demografi itu harus dimulai dari sekarang, agar pada waktunya kita tidak panen “persoalan” melainkan tercapainya “kesejahteraan”.
Penduduk Indonesia terdiri dari lebih dari seribu etnis dan sub etnis, disertai keragaman budaya, agama, dan bahasa. Kondisi ini merupakan suatu kekuatan yang sangat besar apa bila mampu dikelola dengan baik sehingga meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Namun disisi lain keragaman ini juga menyebabkan tingkat kesenjangan yang semakin tajam antara kaya dan miskin, antara yang maju dengan yang terbelakang, yang berpendidikan dengan yang putus sekolah dan sebagainya. Persoalan dalam demografi yang harus diselesaikan adalah:
a)              Program Keluarga Berencana (KB) dan pemberian pelayanan dan perlindungan  bagi Ibu dan Anak oleh  pemerintah masih sangat lemah. Isu kependudukan dan KB tidak lagi menjadi isu nasional yang penting dan seksi baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintahan daerah termasuk oleh penyelenggara media massa, elektronik dan cetak serta belum dijadikannya isu ini sebagai isu di media sosial. Apabila hal ini dibiarkan akan menghambat gerakan nasional KKB, sehingga diperlukan advokasi pada pengambil keputusan pada pemasang iklan dan pengelola media.Sehingga dibutuhkan Revitalisasi gerakan kependudukan dan Keluarga Berencana dan Peningkatan peran dan kapasitas pengelola Kependudukan dan Keluarga Berencana (K dan KB) di kabupaten/kota

b)              Migrasi dan urbanisasi yang tidak terkendali akibat meningkatnya usia kerja di desa sementara lapangan kerja sulit didapat dan di kota-kota menjanjikan kehidupan yang lebih baik akibat kemudahan informasi dan transportasi. Adanya urbanisasi dan migrasi menyebabkan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam dikuasai oleh asing dan pemilik modal besar di daerah dan perdesaan. Terjadi eksploitasi anak oleh keluarga karena berubahnya sumber keuangan keluarga dari sektor pertanian ke sektor tenaga kerja (transformasi ekonomi buruh tani menjadi TKW). Akibat menurunnya kemampuan infrastruktur pertanian dan makin sempitnya lahan pertanian, tidak terbaharukannya sistem pengairan teknis sehingga terjadi fenomena putus sekolah, kawin muda, anak balita di posyandu diantar nenek dan tingginya kawin cerai serta meningkatnya tenaga kerja muda ke luar negeri menjadi TKW. Oleh karena itu diperlukan pembinaan dan peningkatan daya saing sumber daya manusia Indonesia melalui: peningkatan komitmen seluruh komponen bangsa, perubahan pola pikir dimulai dari pemerintah dan birokrasinya, kembangkan idealisme, profesionalisme dan etos kerja yang tinggi agar terjadi peningkatan produktifitas, inovasi, kreatifitas didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Kembangkan jiwa kewirausahaan dan kempenyaekan tentang potensi Indonesia dalam menghadapi pasar bebas. Pemerintah harus membangun jejaring dengan kaum profesional Indonesia di luar negeri dalam rangka membangun ketahanan dan kepentingan nasional.

c)              Penataan sistem data kependudukan belum selesai yang diharapkan akhir tahun 2017 tuntas (termasuk E-KTP yang belum tuntas), sementara data kependudukan hasil sensus penduduk, survey nasional sering mengalami disharmoni dan diragukan akurasinya serta kurang tepat waktu. Data penduduk dan data pemilih pada pemilu dan pemilukada sering menimbulkan konflik akibat disharmoni, akurasi data, dan pemutakhiran data, yang dianggap sebagai tindakan manipulasi dan penyalahgunaan suara pemilih berakibat bermuara pada konflik sosial. Sehingga perlu mendorong BPS memberikan kemudahan akses kepada seluruh pihak yang memerlukan data dan informasi kependudukan.

4.         Gatra Sumber Kekayaan Alam  
Indonesia memiliki sumber kekayaan alam (SKA) yang berlimpah dan beraneka ragam. Jika kita mau jujur bahwa sampai saat ini belum seluruh SKA yang kita miliki diketahui jumlah dan jenisnya, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan sumber daya manusia yang belum sepenuhnya mampu untuk mengetahui keberadaan SKA tersebut, apalagi memanfaatkannya, bahkan sering kali orang luar lebih mengetahui keberadaan SKA yang kita miliki dibandingkan kita sendiri, karena mereka menguasai Iptek.
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa SKA yang besar dapat dipakai sebagai modal dasar  bangsa Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya, namun demikian SKA yang besar dapat juga menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia, karena banyak negara yang ingin menanamkan modal/ pengaruhnya  untuk ikut menguasai/mengelola SKA yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Keberadaan SKA yang tersebar diberbagai bagian wilayah Indonesia, perlu mendapatkan perhatian agar supaya tetap tejaga keamanan dan pemanfaatannya. Kondisi ini akan semakin rumit apabila  sebaran penduduk di berbagai wilayah juga tidak proporsional, sehingga berpotensi terhadap gangguan dan ancaman terhadap SKA yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, apalagi bila di lokasi dimana terdapat SKA  yang bernilai tinggi tidak ada penduduknya sama sekali.
Dengan demikian sebaran penduduk di setiap wilayah yang proporsional juga akan memiliki kontribusi yang cukup siqnifikan dalam menjaga dan mengamankan keberadaan dan pemanfaatan SKA di wilayah NKRI.

5.         Gatra Ideologi         
Pancasila merupakan pandangan hidup, falsafah, Ideologi dan dasar negara bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, mengajarkan kepada  anak bangsa ini, antara lain : Pengakuan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan akan HAM, demokrasi, keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung  pada setiap sila Pancasila dapat dikatakan bahwa nilai-nilai luhur Pancasila akan melekat dan dapat diwujudkan serta dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan nasional bangsa Indonesia.
Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Indonesia telah mengalami berbagai cobaan dalam mengisi kemerdekaannya, seperti adanya pemberotakan PKI tahun 1948 dan tahun 1965, DI-TII, Kartosuwiryo, Kahar Muzakar  dan lain sebagainya. Dimana semuanya itu bertujuan  untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Situasi dan kondisi yang demikian dapat diatasi, karena bangsa Indonesia memiliki Ideologi yang dapat menjaga keutuhan NKRI, yaitu Ideologi Pancasila.
Dalam hubungannya dengan krisis multi dimensional, yang bermula dari krisis ekonomi dunia, merembet ke Indonesia menyebabkan lahirnya krisis kepercayaan kepada pemerintah, terjadilah krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial budaya dan krisis keamanan, semuanya menjadikan Indonesia instabilitas, terjadi gejolak dalam negeri dan mengancam disintegrasi bangsa. Anak bangsa ini patut bersukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa bahwa dengan adanya Ideologi Pancasila, krisis tersebut dapat diatasi dengan segala daya dan upaya pemerintahan dan rakyat Indonesia dalam menghadapi segala bentuk Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG).
Kesadaran  masyarakat (penduduk) dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara  merupakan kata kunci dalam mengatasi setiap betuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan  (ATHG) baik yang datang dari dalam maupun dari luar sehingga keutuhan NKRI tetap terjamin. 

6.         Gatra Politik
Adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari segenap komponen bangsa yang digerakkan oleh Pemerintah bersama rakyat Indonesia telah berhasil memasukkan issu kependudukan dalam kerangka pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025 sebagai penjabaran politis dari kerangka pembangunan nasional jangka panjang, telah memasukkan issu kependudukan sebagai salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembangunan nasional dan pembangunan daerah.
Demikian pula dengan jargon penduduk yang dikenal selama ini sebagai sentral pembangunan atau penduduk sebagai obyek dan subyek pembangunan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan. Maksudnya adalah pembangunan dengan memperhatikan dinamika kependudukan yang ada.
Kenyataan menunjukkan bahwa keberhasilan yang dicapai dalam tataran politis tersebut  belum diimplementasikan dalam tataran praktis opersional. Pembangunan dilakukan bukan di ruang hampa, tetapi dilakukan di ruang hidup yang penuh dinamika, untuk itu pembangunan akan berhasil bila dilakukan secara tertib dan teratur  dan didukung dengan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis.
Dengan adanya stabilitas yang mantap dan dinamis, berarti keadaan politik dalam negeri haruslah tumbuh dan berkembang tanpa adanya gejolak politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan di dalam masyarakat yang pada gilirannya dapat  menghabat jalan pembangunan nasional.
Stabilitas nasional perlu terus dipupuk, dibina dan ditingkatkan melalui upaya pembangunan nasional dimana didalamnya mengandung konsepsi tentang pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan, secara serasi dan seimbang. Harus disadari bahwa kelemahan pada salah satu aspek  kehidupan akan berpengaruh pada aspek lainnya yang pada gilirannya akan dapat membahayakan integritas, identitas, kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam kerangka NKRI.

7.         Gatra Ekonomi       
Indonesia mempunyai peluang untuk dapat menikmati Bonus Demografi, yaitu terjadinya percepatan pertumbuhan ekonomi akibat berubahnya struktur umur penduduk yang ditandai dengan menurunnya ratio ketergantungan (Dependency Ration) penduduk non usia kerja kepada penduduk usia kerja. Perubahan struktur ini memungkinkan bonus demografi  tercipta karena meningkatnya suplai angkatan kerja (Labor Supply), Tabungan (Saving), dan kualitas sumber daya manusia (Human Capital).
Di Indonesia, ratio ketergantungan telah menurun dan melewati batas  50 % pada tahun 2012 dan mencapai titik terendah sebesar 4,9 % antara tahun 2008 dan 2031. (Sumber : Bappenas, RPJPN 2015 – 2019). Indonesia mempunyai potensi untuk memanfaatkan bonus demografi, baik secara nasional maupun regional. Penduduk usia produktif Indonesia sendiri menyumbang sekitar 38 % dari total penduduk  usia produktif Asean.
Tingginya jumlah dan proporsi penduduk usia kerja di Indonesia selain dapat meningkatkan angkatan kerja dalam negeri, juga membuka peluang untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja negara-negara yang proporsi penduduk usia kejanya menurun seperti Singapura, Korea, Jepang dan Australia.
Langkah-langkah yang perlu diambil, yaitu :
·                Mengoptimalkan kerjasama global dengan memperhatikan dimensi sosial budaya.
·                Memperluas lapangan kerja.
·                Meningkatkan iklim investasi dan promosi ekspor.
·                Meningkatkan sinergi arah kebijakan industri.
·                Meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja serta pengembangan sistem kerja yang layak.
·                Pendalaman kapital dan pendidikan tenaga kerja.
·  Peningkatan partisipasi perempuan dalam tenaga kerja.

8.         Gatra Sosial Budaya        
Secara empiris terlihat bahwa kondisi sosial budaya bangsa Indonesia sangat adaptif, respek dan lentur terhadap program pembangunan kependudukan, khususnya program Keluarga Berencana (KB). Kondisi  yang demikian telah menjadikan Indonesia sebagai suatu negara paling sukses di dunia dalam pengendalian laju pertumbuhan penduduk pada satu sisi.       Sedangkan pada sisi lain masih adanya tradisi, budaya dan adat istiadat yang kurang sejalan bahkan bertentangan dengan program KB. Output dari   kerja keras para petugas KB dalam menyadarkan masyarakat telah berbuah manis pada perubahan cara pandang dan perubahan sikap masyarakat serta adanya sinergitas antara masyarakat dengan petugas KB dalam mensukseskan program KB.
Program KB akhirnya mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat, dan masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis sadar bahwa setiap orang yang akan membangun rumah tangga harus memiliki perencanaan yang baik dan matang, mulai dari tujuan pernikahan, memilih pasangan hidup, membina keluarga, merencanakan jumlah anak, dan yang terkait dengan urusan kerumah tanggaan yang akan dibina.
Salah satu kendala pada saat dicanangkannya program KB di Indonesia adalah menghadapi adat istiadat, budaya, serta  agama yang menjadikan program KB itu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun hal tersebut pada akhirnya dapat diatasi dengan baik, dan bahkan tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat memberikan dukungan yang besar terhadap suksesnya program KB. Pemanfaatan teknologi informasi melalui tayangan di televisi, sinetron, radio, media cetak dan media lainnya telah membantu masyarakat dalam menyerap informasi tentang program kependudukan. 



9.         Gatra Pertahanan Keamanan    
Luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari beribu pulau serta penyebaran penduduk yang tidak merata dan didukung pula oleh kondisi geografi Indonesia yang terbuka, menjadi peluang bagi negara-negara lain masuk dan melakukan aktivitasnya di wilayah Indonesia  dengan berbagai dampak yang ditimbulkanya.
 Pencurian ikan, perompakan, penyeludupan, peredaran narkotika, perdagangan manusia, eksploitasi ilegal SDA seperti kayu, produk kayu dan kertas merupakan bentuk ancaman terhadap kehidupan masyarakat dan berdampak pula kehidupan ekonomi.
 Konflik yang berkempanjangan di negara-negara seperti Irak, Syria,  Afganistan dan munculnya ISIS serta konflik agama Rohingya Birma, dan berbagai konflik di wilayah ASEAN lainnya telah menyebabkan banyak warga negaranya yang mencari suaka politik ke negara lain seperti Australia melalui Indonesia.  Kepergian mereka dari negaranya ke negara tujuan tidak jarang menggunakan alat transportasi air (lahirlah istilah manusia perahu).
Menurut Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau Kecil (KP3K)  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman  menyatakan jumlah manusia perahu yang masuk ke Indonesia semakin banyak dalam 10 tahun terakhir. Saat ini sebanyak 544  orang manusia perahu yang masih ditampung di tenda Kampung Tanjung Batu Berrau Kaltim untuk dipulang ke Malaysia. (Kompas 24 Nopember  2014).
Adanya migrasi internasional ini harus menjadi perhatian bersama, disamping terkait dengan kependudukan (pengungsi dari negara lain harus diperlakukan sesuai ketentuan hukum internasional).  Lebih jauh dari itu harus diperhatikan dari perspektif pertahanan dan keamanan negara.
                                                                                    BAB V
KETERKAITAN DEMOGRAFI DENGAN BIDANG STUDI LAINNYA

1.         Demografi dengan Wawasan Nusantara
Berbagai ahli berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi akan dapat menyebabkan berbagai persoalan khususnya dalam bidang sosial budaya dan sosial ekonomi dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasional suatu bangsa. Di Indonesia, kebijakan kependudukan melalui pembangunan nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi pembangunan berwawasan kependudukan memerlukan suatu landasan visional yaitu wawasan nasional. Wawasan Nasional yaitu Wawasan Nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia (geopolitik) mengenai diri dan lingkungannya yang serba seragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, yang tidak menghilangkan, tetapi menghargai dan dan menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.
Setiap kehidupan nasional selalu berada dalam suatu sistem yang mengadakan interaksi dengan bagian dari sistem lain dan berinteraksi serta berinterdepensi dengan dinamika lingkungan strategi, sehingga dapat menimbulkan dampak berupa ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) yang datang dari dalam maupun dari luar. Dengan perkembangan baru geopolitik Indonesia berupa visi akan menjadi poros maritim dunia, pertama membangun konektifitas berupa infra struktur pelabuhan laut, jalan darat dan bandar udara akan menambaeratnya persatuan dan kesatuan nusantara. Tentunya  ATGHT nya juga menjadi lebih besar, namun dengan tekad yang besar dan semangat juang yang tinggi visi tersebut akan bisa dicapai.
Dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis tersebut perlu diterapkan wawasan nusantara dalam arti wawasan nusantara menentukan arah pembangunan nasional, termasuk pembangunan kependudukan. Perkembangan kependudukan di Indonesia merupakan bagian dari kebijakan dan strategi pembangunan nasional. Kebijakan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai program yang bersifat lintas bidang dan lintas sektor. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa kebijakan, strategi dan program kependudukan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan dalam ikatan NKRI.
Dari sisi demografi wawasan nusantara harus di sosialisasikan sejak dini sebagai wawasan nasional dan geopolitik bangsa Indonesia mulai dari diri, keluarga, lingkungan sampai secara nasional.  Kedepan bangsa Indonesia dituntut untuk menjaga keutuhan NKRI yang telah semakin besar dan luas sejak diakuinya Deklarasi juanda dan Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar didunia.

2.         Demografi dengan Ketahanan Nasional
Konsepsi ketahanan nasional Indonesia merupakan pedoman untuk meningkatkan dan mewujudkan keuletan serta ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional melalui  pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Pembangunan berwawasan kependudukan merupakan bagian konsepsi ketahanan nasional dan merupakan pencerminan dari perwujudan bidang kependudukan. Didalam ketahanan nasional utamanya gatra demografi dilihat dari kuantitas, kualitas, mobilitas dan basis data.Sehingga tercapai ketahanan nasional yang diharapkan.
                 Bila dilihat dari perspektif pertambahan jumlah penduduk, bahwa pertambahan jumlah penduduk dipengaruhi oleh mortalitas, fertilitas dan migrasi. Pertambahan penduduk akan berdampak positif dan negatif. Sisi negatifnya adalah bila pertambahan penduduk tidak seimbang dengan pertumbuhan ekonomi dan tidak diikuti dengan usaha peningkatan kualitas penduduk, hal ini akan menimbulkan permasalahan sosial seperti pengangguran, dimana pengangguran tersebut akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan nasional.
Dari perspektif komposisi penduduk, yang merupakan susunan penduduk berdasarkan pendekatan tertentu, seperti dari pendekatan umur; jenis kelamin; agama; pendidikan dan lain sebagainya.   Komposisi penduduk sama halnya dengan pertambahan penduduk juga dipengaruhi oleh mortalitas, fertilitas dan migrasi.  Fertilitas berpengaruh besar pada komposisi penduduk berdasarkan umur, sebaliknya pengaruh mortalitas relatif kecil. Masalah yang dihadapi adalah dengan bertambahnya jumlah penduduk golongan muda, timbulah persoalan penyediaan fasilitas pendidikan, lapangan kerja dan lain sebagainya, tentunya hal tersebut akan berimplikasi pada ketahanan nasional.
                 Bila dilihat dari sisi persebaran penduduk, dimana persebaran penduduk yang ideal adalah terpenuhinya persyaratan kesejahteraan dan keamanan, yaitu suatu persebaran yang proporsional. Namun pada kenyataannya manusia ingin bertempat tinggal d idaerah yang aman dan terjamin kehidupan sosial ekonominya. Hal inilah menjadi jawaban mengapa sampai terjadi suatu daerah berpenduduk padat dan pada daerah lainnya jarang penduduknya, bahkan ada daerah yang tidak berpenduduk.
Sedangkan dari segi kualitas penduduk, bahwa sejatinya kualitas penduduk dipengaruhi oleh faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik meliputi kesehatan, gizi dan kebugaran, sedangkan faktor non  fisik meliputi kualitas mental dan kualitas intelektual. Kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah kependudukan ini antara lain melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, gerakan KB, penyuluhan tentang transmigrasi, peningkatan kualitas, ketrampilan, kecerdasan dan sikap mental penduduk serta peningkatan kondisi sosial budaya masyarakat. Dengan demikian terdapat korelasi bahwa semakin meningkatnya kualitas penduduk akan memberikan kontribusi positif terhadap tingkat ketahanan nasional. 
Penduduk Indonesia saat ini jumlahnya adalah sekitar (± 253  juta jiwa pada tahun 2014)[1] sekarang kurang lebih 256 juta, menduduki urutan nomor 4 di dunia, dengan penyebaran penduduk yang tidak merata, di mana penduduk di pulau Jawa sangat padat sedangkan di luar pulau Jawa masih sangat jarang, telah mempengaruhi kemampuan daerah melaksanakan pembangunan. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan nasional dan rentang kendali pemerintahanya dibutuhkan informasi dan teknologi yang dapat meliputnya. Kondisi ini juga merupakan modal yang besar untuk meningkatkan peran media pemberitaan dengan posisi sekarang Indonesia sebagai pengguna internet nomor 4 terbesar di dunia, pengguna tweeter dan facebook nomor 6 di dunia akan menjadi kekuatan pengganda yang besar dalam mensosialisasikan pemberitaan masyarakat media. Pertambahan penduduk yang besar akan menambah beban pembangunan bila tidak dibina dan ditingkatkan kualitasnya. Penduduk merupakan modal dan faktor dominan pembangunan nasional. juga sekaligus merupakan subyek dan obyek pembangunan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu media pemberitaan tentang kependudukan yang mampu menyajikan informasi tentang jumlah penduduk dan pertumbuhannya, jumlah angkatan kerja, jumlah usia anak sekolah, jumlah pengangguran dan lain-lain. Melalui media pemberitaan tersebut akan mampu meningkatkan kualitas keputusan yang akan diambil bagi penguatan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat guna restorasi sosial Indonesia dalam rangka ketahanan nasional. Hasil pengukuran Indek Ketahanan Nasional (IKN) 2016 menunjukkan demografi di daerah Maluku Utara menunjukkan Cukup tangguh.
Indonesia merupakan salah satu negara yang unik, yaitu negara kepulauan yang terletak pada posisi silang dua benua dan dua samudra. Kondisi geografis ini di satu pihak merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, namun harus dipahami juga, bahwa kalau tidak pandai mengelola anugerah ini, maka menjadi tantangan yang luar biasa. Dari hasil pengukuran Ketahanan Nasional indeks gatra geografi pada tahun 2016 ini, sudah mencapai kategori cukup tangguh dengan nilai indeks 2,68.  Walaupun secara gatra sudah mencapai kategori cukup tangguh, namun kalau dilihat per variabel masih banyak yang termasuk pada kategori kurang tangguh seperti sarana dan prasarana.


3.         Demografi dengan Kewaspadaan Nasional
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kebutuhan primer penduduk adalah adanya rasa aman. Rasa aman tersebut tidak hanya dibutuhkan oleh kelompok orang tertentu, akan tetapi rasa aman tersebut dibutuhkan oleh setiap orang, setiap  keluarga, dan oleh lingkungan tempat tinggal, juga oleh organisasi bahkan bagi suatu negara. Untuk terwujudnya keamanan pribadi, bagi yang mempunyai kedudukan mereka akan menyewa  petugas keamanan (security) untuk menjaga keamanan dimanapun mereka berada, sedangkan bagi suatu negara rasa aman tersebut diwujudkan dengan terpenuhinya kebutuhan akan aparat dan peralatan pertahanan (Alutsista), semakin profesional dan lengkapnya alutsista suatu negara maka semakin tinggi rasa aman  penduduk dalam negara tersebut.
Setelah mengetahui ancaman gangguan hambatan dan tantangan yang dijelaskan dalam ketahanan nasional, maka untuk dapat melangsungkan dan menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara dibutuhkan kewaspadaan nasional yang tinggi disegala bidang.  Bagi penyebaran penduduk yang tidak merata dipulau pulau terpencil, termiskin dan terbelakang kewaspadaan nasional dibina dengan meningkatkan kesejahteraan dan kewaspadaan penduduknya. Bagi daerah frontier di perbatasan amak pemerintah menaruh kewaspadaan tersendiri antara aparat pemerintah dan penduduk didaerah tersebut melaui medsos, televisi dan telekomunikasi memberikan informasi tentang pembangunan nasional dan kemajuan bangsa.  Demikian juga derah perkotaan dengan memelihara stabilitas keamanan dan kesejahteraan.
Pertanyaan generik muncul. Dalam menjalankan kehidupan nasionalnya, dapatkah Bangsa Indonesia dalam wadah NKRI mempertahankan kesepakatannya – mempertahankan persatuan dan kesatuannya – mempertahankan integrasi nasionalnya. Pertanyaan lain sehubungan dengan hal tersebut; bagaimana Bangsa Indonesia harus menjalankan kehidupan nasioalnya – menuju cita-cita dan tujuan nasionalnya. Adalah wajar pertanyaan itu muncul, karena menurut teori organic, bangsa dan negara adalah kehidupan – setiap mahluk hidup  akan mempertanyakan kelangsungan hidupnya. Oleh karenanya  jaminan kelangsungan hidup akan selalu menjadi pertanyaan – akan menjadi  sesuatu yang sangat  vital (core value) yang setiap saat  perlu dan harus diwaspadai. Kewaspadaan adalah  sikap yang berkaitan dengan jaminan kelangsungan hidup (survival). Oleh karena itu juga, kewaspadaan nasional menjadi sebuah konsekuensi dari sebuah kelahiran  Bangsa – Bangsa Indonesia dalam wadah NKRI. Mengkait dengan pertanyaan  kesanggupan  mempertahankan kesepakatan menjaga persatuan, mempertahankan kelangsungan hidup dalam integrasi nasional NKRI, -- berikut cara-cara dalam menjalankan kehidupan nasional, akan sangat tergantung dari potensi ancaman yang dihadapi Bangsa. Terlebih – lebih dalam alam Globalisasi. Disamping itu, kualitas kewaspadaan nasional akan sangat berpengaruh terhadap jalannya kehidupan nasional. Karena Kewaspadaan Nasional adalah sikap, kualitas kesiapan dan kesiagaan dalam menghadapi ancaman.

Bagi bangsa Indonesia yang  majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan yang mempunyai adat istiadat berbeda-beda,  serta adanya pengaruh lingkungan strategis, semuanya itu menjadi rawan akan perpecahan apabila tidak mampu dikelola dengan baik. Dengan demikian, masalah keamanan menjadi kebutuhan semua pihak, sehingga kewaspadaan dini tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI),  tetapi kewaspadaan dini perlu disikapi oleh seluruh penduduk Indonesia.
Kewaspadaan dini tidak hanya dibutuhkan bagi penduduk yang berdomisili di kawasan kota-kota besar yang memiliki dinamika sosial politik, ekonomi dan keamanan  yang sangat tinggi. namun disetiap wilayah NKRI. Menurut Prof. Dr. Nur Syam, M.Si, Kewaspadaan  dini adalah kondisi kepekaan, kesiagaan dan antisipasi masyarakat (penduduk) dalam menghadapi potensi dan indikasi timbulnya bencana, baik bencana perang, bencana alam, baik bencana karena ulah manusia.
Dengan demikian, kewaspadaan dini penduduk dimaksudkan untuk menjaga keamanan yang merupakan kondisi kepekaan, kesiap-siagaan dan antisipasi penduduk dalam menghadapi kemungkinan timbulnya gangguan keamanan. Semakin tinggi tingkat kewaspadaan dini penduduk, maka akan dapat menekan tingkat gangguan keamanan ditempat tersebut. 

4.         Demografi dengan Sistem Manajemen Nasional
Demografi Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan antar golongan, berjumlah 254 juta jiwa. Bila dilihat dari segi kualitas dan kuantitas maka penduduk Indonesia merupakan sumber daya yang potensial yang dapat diberdayakan dalam berbagai strata dan profesi, sedangkan sumber kekayaan alam memiliki keragaman hayati, nabati dan mineral serta luas laut yang mendominasi 2/3 wilayah Indonesia memiliki kandungan yang tak ternilai bagi kemakmuran bangsa Indonesia. Ketiga potensi alam tersebut perlu dikelola, diolah dan diberdayakan menjadi kemampuan nyata untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.  Dalam pengelolaan potensi tersebut diperlukan perpaduan antara faktor karsa, sarana dan upaya yang merupakan suatu metoda untuk mengubah setiap potensi yang ada menjadi kemampuan agar memperoleh keberhasilan (outcome) sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam lingkup tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, secara konseptual mengubah trigatra (potensi alamiah) menjadi pancagatra (kemampuan). Kemampuan nyata yang perlu dibangun adalah kemampuan Ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam melalui suatu pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional, diperlukan suatu keterpaduan tata nilai, struktur dan proses. Keterpaduan tersebut merupakan himpunan usaha untuk mencapai daya guna dan hasil guna sebesar mungkin dalam penggunaan sumber daya dan sumber dana nasional guna mewujudkan tujuan nasional. Proses itu semua dapat dinamakan Sistem Manajemen Nasional (Sismennas).
            Sismennas adalah suatu upaya menyeluruh dengan memadukan faktor karsa, sarana, dan upaya (“Ends–Means–Ways”) untuk memberdayakan, mengubah, meningkatkan potensi menjadi kemampuan nasional. Mengubah potensi menjadi kemampuan dilaksanakan melalui Pembangunan Nasional. Indonesia memiliki potensi berupa geografi, demografi, dan sumber kekayaan alam tak terperi jumlahnya. Potensi-potensi tersebut merupakan modal dasar pembangunan yang perlu dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Luas Indonesia bila dibentang di Eropa akan menutup London sampai Istambul. Bila di benua Amerika, akan terbentang dari pantai barat ke pantai timur. Kekayaan flora dan fauna memiliki berbagai varietas dan species. Hasil-hasil hayati dan nabati dapat digali di Negara kepulauan RI. Di tahun 2000, para pimpinan dunia bertemu di New York mengumumkan ”Deklarasi Milenium”. Sebuah tekad untuk menciptakan “lingkungan yang kondusif bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan” di tahun 2015. Indonesia ikut menandatangani diantara 189 negara lainnya. Khususnya untuk menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan ekstrem di tahun 2015, menargetkan harus turun setengahnya atau tinggal 50%. Namun realita mengungkapkan, secara absolut jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data jumlah penduduk miskin pada Maret 2009 tercatat sebesar 32,53 juta jiwa (14,15 %). Strategi yang digariskan untuk melepaskan dari perangkap kemiskinan, yaitu: pro growth, pro jobs, dan pro poor. Pencapaian tersebut memerlukan percepatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun dalam lima tahun mendatang.


5.         Demografi dengan Kepemimpinan Nasional
            Para ahli demografi pada mulanya memproyeksikan bahwa pada abad ke-21, jumlah penduduk sudah sedemikian besarnya tahun 2017 delapan milyar, idealnya hanya 3 sd 4 milyar, sehingga tidak ada lagi ruang untuk bergerak, mereka tidak memperkirakan adanya pembangunan ekonomi modern serta adanya pengaruh kepemipinan nasional dalam mengelola pembangunan, termasuk pembangunan kependudukan. Indonesia telah mengalami perubahan demografi yang besar karena angka fertilitas dan mortalitas[2].  Secara umum disparitas antar wilayah merupakan permasalahan pokok dibidang kependudukan. Pada tahun 2035 populasi Indonesia diperkirakan akan mencapai 343,04 juta jiwa, sehingga manajemen sumber daya manusia menjadi penting dalam membangun strategi Negara, sebagaimana faktor demografi menjadi bagian dari strategi jangka panjang Indonesia untuk mencapai kesuksesan terhadap beberapa aspek terkait, yaitu jaminan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan dukungan[3]. hal ini membutuhkan pemimpin nasional yang handal, termasuk kepemimpinan nasionalnya.
Terdapat bermacam-macam defenisi tentang kepemimpinan nasional. Kepemimpinan Nasional diartikan sebagai kelompok pemimpinan bangsa pada segenap strata kehidupan nasional di dalam setiap gatra (ASTA GATRA) pada bidang/sektor profesi baik di supra struktur, infrastruktur dan sub struktur, formal dan informal yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/mengerahkan kehidupan nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 serta memperhatikan dan memahami perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang. (Dr. Adi Sujatno, SH, MH).  Sementara itu, DR. Susilo Bambang Yudhoyono, MA (Presiden RI Periode 2005 – 2015) menekankan lima karakter manusia unggul yang ingin dicapai oleh Indonesia: Pertama: Manusia-manusia Indonesia yang sungguh bermoral, berakhlak dan berperilaku baik. Oleh karena itulah, masyarakat kita harus menjadi masyarakat yang religius;  Kedua: adalah mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;  Ketiga : Manusia-manusia Indonesia yang makin ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar kemajuan; Keempat : SBY mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat semangat harus bisa, yang terus mencari solusi dalam setiap kesulitan; Yang terakhir (ke-lima) : kita semua, manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa dan negaranya, mencintai tanah airnya. (Pentingnya Karakter Bangsa, Situs resmi Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 20 Mei 2011).
            Pemimpin nasional yang dipilih 5 tahun sekali melalui demokrasi pemilu  DPRD, DPD, DPR, Prsiden dan wakilnya serta pemilihan kepala daerah Provinsi, kabupaten dan kota akan terseleksi secara alami dan lolos sebagai pemimpin nasional.   dari sisi demografi masih terdapat kendala yang sangat mendasar, yakni dibidang pendidikan, bahwa lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) jumlahnya lebih besar dari pada lulusan Perguruan Tinggi.  Dengan demikian tentu akan menyulitkan dalam melahirkan kader pemimpin nasional sesuai yang diharapkan. Sementara kualitas pemimpin nasional dituntut memiliki nasionalisme dan wawasan kebangsaan, taat dan mampu menegakkan hukum, memiliki keteladanan, dan memiliki integritas yang tinggi yang diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Dari penjelasan di atas betapa jelasnya peran seorang pemimpin di dalam menggerakan masyarakat yang dipimpinnya. namun demikian demografi yang ada belum dapat melahirkan pemimpin dan memberikan kesempatan menjadi pemimpin karena masih banyak yang pendidikanya rendah. Oleh karena itu, salah satu yang harus dilakukan oleh para pemimpin tingkat nasional  untuk menjadikan  bangsa ini menjadi bangsa yang unggul adalah dengan membangun manusia-manusia Indonesia yang berkualitas dan berkemampuan tinggi, sehingga   dapat bersaing dan memenangkan persaingan pada setiap event, bangsa yang unggul secara komparatif dan kompetitif. 

6.         Demografi dengan Hukum dan HAM
Perubahan sistem pemerintahan yang terjadi sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998 membawa konsekuensi pada perubahan mindset  dan perilaku penduduk (selanjutnya disebut dengan masyarakat). Kebebasan dan keterbukaan dimaknai berlebihan, termasuk cara  masyarakat memandang hukum. Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa dalam konsep penegakkan hukum, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal. Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat  yang beradab. Hukum diciptakan agar setiap penduduk termasuk penyelenggara negara melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan sesuatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan.
Penyimpangan perilaku masyarakat yang kadang mengabaikan aturan hukum seringkali terjadi, seperti tindakan anarkis. Perbedaan pendapat dan/atau perbedaan kepentingan bisa berakhir pada tindakan anarkis,  konflik sosial atau unjuk rasa dapat berujung pada kericuhan, bentrokan dan tindakan anarkis.  Terhadap tindakan-tindakan semacam ini, hukum harus ditegakkan dengan optimal agar negara hukum yang dianut oleh bangsa Indonesia menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum tercapai.. Tegaknya hukum guna mendukung supremasi hukum ini merupakan salah satu prasyarat bagi terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh.
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa obyek dan subyek hukum adalah manusia (penduduk), tegak  dan berjalannya hukum sebagaimana yang diharapkan, akan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  
Perbandingan antara aparat penegak hukum dengan jumlah penduduk yang harus diawasi masih belum seimbang. Contoh 1 Polisi mengawasi 100 orang sekarang ini masih mengawasi 400 orang bahkan ada daerah yang 1000 orang. Demikian juga aparat penegak hukum lainya.  Oleh karena itu demografi dan penegakan hukum membutuhkan penegak hukum yang profesional.



7.         Demografi dengan Pengaruh Lingkungan Global
Dalam kehidupan  bermasyarakat, berbangsa  dan bernegara saat ini, sangat dirasakan adanya pengaruh globalisasi yaitu ekonomi global dan informasi. Derasnya arus informasi yang tidak mengenal batas. Arus informasi tersebut dapat berdampak positif maupun negatif  terhadap kehidupan di dalam negeri. Untuk itu, sebagai suatu bangsa yang berdaulat, Indonesia dituntut untuk mewaspadainya dan mampu untuk memilih dan memilah penggunaan informasi apa saja yang ada manfaatnya dengan masuknya atau beredarnya berbagai informasi baik yang tertulis maupun visual mengenai sesuatu keadaan/kejadian. Sementara faktor ekonomi adanya perdagangan bebas menuntut Indomesia untuk menyiapkan produknya agar mampu bersaing dengan negara lainnya.
 Pemerintah berkewajiban untuk menerbitkan informasi kependudukan yang resmi agar tidak terjadi bias dengan kepentingan-kepentingan lainnya yang tidak benar. Informasi kependudukan yang tertata dengan baik dapat menjadi asset baik untuk kepentingan di dalam negeri maupun sebagai bahan rujukan bagi negara-negara lainnya yang membutuhkan. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi telah memungkinkan suatu bangsa dari berbagai negara di dunia ini untuk melakukan interaksi. Apabila masyarakat keliru mencernakan informasi tersebut maka akan dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Kondisi tersebut dapat menjadi suatu ancaman,  termasuk ancaman dalam bidang kependudukan, yang apabila masalah tersebut tidak disikapi dengan bijak oleh pemerintah disertai langkah-langkah yang kongkrit untuk menghindari pengaruh negatif yang akan ditimbulkannya.

Pengaruh lingkungan global yang juga akan mewarnai pembangunan kependudukan di tahun-tahun mendatang, apalagi Indonesia telah ikut meratifikasi kesepakatan pembangunan global atau Millenium Development Goals (MDGs)  yang menekankan pencapaian pembangunan tahun 2015 untuk meningkatkan taraf kehidupan. Dalam MDGs terdapat 8 (delapan) sasaran yang sangat terkait dengan kependudukan, yaitu :  (1) pengurangan kemiskinan dan kelaparan; (2) pencapaian  pendidikan dasar yang universal; (3) promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) pengurangan tingkat kematian bayi; (5) peningkatan kesehatan ibu; (6) pencegahan  terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; (7) penjaminan keberlanjutan lingkungan; dan (8) kemitraan global. MDGs  ini merupakan semacam konklusi dari berbagai kesepakatan internasional yang juga harus dianut oleh negara-negara yang ikut m meratifikasinya (termasuk Indonesia). Untuk Tahun 2017 berlaku Sustainable Development goals (SDGs) yang terdiri dari: 17 Goals , 169 target , 300 indikator. yaitu (1) Goal 1:  7  target:  Mengakhiri segala bentuk  kemiskinan di manapun. (2). Goal 2:  8 target mengakhiri kelaparan,  mencapai ketahanan pangan  dan meningkatkan  gizi,  serta mendorong  pertanian  yang  berkelanjutan. (3) Goal  3 : 13  target -Menjamin kehidupan yang             sehat  dan     mendorong  kesejahteraanbagi   semua  orang di  segalausia.(4) Goal  4:  10 target- Menjamin pendidikan yang inklusif dan  berkeadilan  serta   mendorong  kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang. (5). Goal 5: 9 target - Menjamin  kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh  wanita  dan anak perempuan.(6). Goal  6 : 8 target-Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi yang  berkelanjutan  bagi semua orang. (7).Goal 7:  5 target  - Menjamin akses  energi  yang  terjangkau,  terjamin,  berkelanjutan dan modern  bagisemua orang.(8). Goal  8: 12 target- Mendorong        pertumbuhan ekonomi yang terusmenerus, inklusif, dan berkelanjutan, serta kesempatan kerja penuh dan  produktif dan pekerjaan yang layak bagi  semua  orang. (9). Goal 9: 8  target-Membangun infrastruktur  yang berketahanan, mendorong industrialisasi yang  inklusif dan   berkelanjutan serta membina  inovasi. (10) Goal 10:10 target-  Mengurangi kesenjangan di  dalam dan antar Negara. (11). Goal 11: 10 target  -  Menjadikan    kota dan  pemukiman manusia inklusif, aman, berketahanan dan berkelanjutan.           (12).Goal 12:11  target- Menjamin pola produksi dan konsumsi  yang  berkelanjutan .  (13) Goal 1 :  5  target mengambil  tindakan  mendesak  untuk  memerangi  perubahan   iklim dan dampaknya. (14).Goal 14:10 target-Melestarikan  dan  menggunakan  samudera, lautan serta  sumber  daya  laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan. (15). Goal 15 : 12         target-Melindungi,  memperbarui,  serta mendorong penggunaan    ekosistem daratan yang berkelanjutan, mengelola hutan  secara berkelanjutan,    memerangi  penggurunan,    menghentikan dan memulihkan degradasi tanah,  serta menghentikan  kerugian  keanekaragaman  hayati.  (16). Goal 16: 12 target-Mendorong           masyarakat   yang  damai  dan inklusif  untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan        bagi semua orang,  serta  membangun institusi  yang  efektif, akuntabel, dan  inklusif di seluruh tingkatan.(17). Goal 17 : 19  target -  Memperkuat  cara-­cara  implementasi  dan  merevitalisasi   kemitraan  global  untuk pembangunan berkelanjutan .

Anak muda sebagai hasil bonus demografi harus belajar membangun kemitraan positif.  Pengembangan super tim harus menjadi acuan proses pembangunan di Indonesia. Persahabatan antar negara diarahkan untuk membangun kesempatan kerja bagi bonus yang besar Menuju pembangunan berkelanjutan. dan Kerjasama global perlu diarahkan pada tujuan menyerap potensi tenaga kerja yang melimpah.Pada tahun 2017 penduduk dunia mencapai 8 milyar, padahal idealnya bumu hanya mampu menampung 3sd4 milyar, maka akan timbul ketimpangan akibat kemiskinan dan kesehatan, konflik perebutan sumberdaya dan kelangkaan energi.  Konflik anat penduduk dan antar etnis telah menyebabkan migrasi besar besaran dari Suriah ke Eropa, daerah Timur Tengah ke Asia dan Australia yang menimbulkan permasalahan tersendiri. Dibutuhkan inovasi yang cerdas dan kreatifitas baru untuk penduduk bumi tinggal di planet lain.

8.         Demografi dengan Pengaruh Lingkungan Regional
Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan berdasarkan data Susenas 2014 s/d 2015, jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9  juta jiwa. juta jiwa merupakan negara yang mempunyai penduduk terbesar keempat di dunia, setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Posisi Indonesia yang berada di kawasan Asia, selain memiliki penduduk yang besar, juga memiliki sumber kekayaan alam yang cukup bisa diandalkan untuk mendukung pembangunan nasional. 
Dengan berlakunya Dalam konteks permasalahan kependudukan, Indonesia memang tidak sendiri menghadapi masalah kependudukan, karena tujuh dari sepuluh penduduk terpadat di dunia berada di Asia. Namun demikian ada  hal yang menguntungkan (berpeluang untuk berhasil) dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, karena program tersebut pernah sukses pada pemerintahan orde baru, yaitu program keluarga berencana, dan sampai sekarang masyarakat masih bisa menerima dan mendukung program KB tersebut.
Belajar dari sejarah pemerintah Tiongkok pada tahun 1970 pernah belajar dari Indonesia tentang program keluarga berencana yang dinilai berhasil dalam menekan angka kelahiran. Seharusnya Indonesia bangga sebagai negara percontohan dimana Tiongkok menilai program keluarga berencana yang mereka lakukan saat ini dinilai berhasil adalah hasil dari belajar dari Indonesia. Pemerintah Tiongkok telah menetapkan suatu kebijakan tentang perlunya pengendalian angka kelahiran karena apabila jumlah penduduk tidak terbatas, pada gilirannya akan menimbulkan kesenjangan sosial yang tajam.
Ternyata setelah 30 tahun pemerintah Tiongkok melaksanakan program kependudukan, telah berhasil mengendalikan angka kelahiran di negaranya, dan program kependudukan ini memberikan kontribusi terhadap program pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Keseriusan pemerintah Tiongkok dalam memajukan program keluarga berencana sangat terlihat jelas dengan dibangunnya sejumlah sarana dan teknologi yang mendukung, disertai dengan tidak henti-hentinya melakukan kampanye yaitu “Satu Keluarga Satu Anak” (one  family one child).
Negara tetangga Tiongkok, yaitu Taiwan, pada tahun 2011 telah berhasil menurunkan angka kelahir terendah di dunia, yaitu sebesar 0,94 % jauh dibawah angka rata-rata dunia 2,1 %  yang merupakan replacement level. Walau jumlah penduduk Tiongkok dan Taiwan belum menurun, mereka telah dipusingkan dengan masalah kekuarangan tenaga kerja muda dan peledakan jumlah penduduk lansia. Namun Singapura amat cepat menyelesaikan transisi demografinya, meskipun saat ini masih menghadapi masalah ledakan jumlah penduduk lansia.
Sementara itu dengan jumlah penduduk yang banyak berkontribusi terhadap besarnya Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga Indonesia masuk G18, bahkan tahun 2016 Indonesia diundang kepertemuan G8.  hal ini menunjukkan demografi Indonesia menghasilkan PDB yang tinggi dan kepemimpinan yang diakui dunia.





                                                      BAB VI
PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan hidup manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, telah berjalan dalam waktu yang sangat lama, tetapi perhatian manusia pada pengetahuan kependudukan baru mulai pada tahun 1662. Ada keterkaitan antara sejarah kependudukan di Eropa dengan Negara negara di Asia termasuk Indonesia, yang paling utama adalah  pada perubahan angka pertumbuhan penduduk.
Kita semua harus ikut bertanggung jawab atas pertumbuhan penduduk yang relatif cepat itu, begitu pula dalam  membatasi kelahiran untuk meminimalisir keadaan yang sering terjadi, diantaranya kematian ibu atau bayi saat proses melahirkan. Kita wajib memberikan masukan-masukan yang positif dan memberi informasi pada masyarakat tentang pentingnya memelihara kesehatan dan harus ada kerja sama antara masyarakat dan pemerintah dalam mencari solusi terkait dengan masalah kependudukan.
 Masalah kependudukan di Indonesia merupakan masalah yang  menuntut penyelesaian dengan segera. Ketidakmerataan persebaran penduduk di Indonesia sangat berpengaruh terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijaksanaan  pemerintah untuk mengatasi masalah ini berhadapan dengan berbagai hambatan dan keterbatasan, sehingga tidak dengan mudah dapat dilaksanakan.
Indonesia dengan penduduk saat ini lebih dari 243.740 juta jiwa, dengan wilayah yang terdiri dari kepulauan serta laju pertumbuhan penduduk yang berbeda beda, telah melahirkan dinamika migrasi yang khas. Pola migrasi yang ada sangat menarik untuk dikaji. Faktor faktor penyebab, baik faktor pendorong maupun faktor penarik timbulnya migrasi tumbuh dalam kompleksitas yang meningkat sesuai dengan perkembangan masyarakat, dengan demikian berarti upaya penyelesaian masalah kependudukan menjadi semakin rumit. Semoga materi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

Ananta Aris,Lembaga Demografi FEUI,1995.Transisi Demografi,Transisi Pendidikan dan Transisi Kesehatan di Indonesia,Kantor Menteri Kependudukan Republik Indonesia/BKKBN.

Adioetomo Sri Moertiningsih, Samosir Omas Bulan, 2011. Dasar dasar Demografi,Edisi kedua,Salemba Empat.Jakarta.

         Dwiyanto Agus, Kebijakan Kependudukan, Pusat Kependudukan Universitas Gajah Mada ( www.wonderwahtbiz )

         Harmadi Sonny Harry B, Handayani Dwini, Hidayat Zainul, Saputra Muda, Mariun Badrun N,  2011, Pembangunan Berwawasan Kependudukan, BKKBN & LD FEUI

        Jalal Fasli, Paparan Pembangunan Berwawasan Kependudukan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, Bandung, 26 November 2014

        Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Tahun 2012, Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035,

          Lembaga Ketehanan Nasional Republik Indonesia. RevisiPetunjuk Taskap, 2014, halaman 12

Mantra Ida Bagoes, 2013,Demografi Umum,Edisi kedua,Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Rusli Said, 2014. Pengantar Ilmu Kependudukan. Cetakan kesembilan. LP3ES. Jakarta


[1]http://finance.detik.com/read/2014. Urutan penduduk dunia: China 1.355.692.576 ,   India 1.236.344.631 ,   Amerika Serikat 318.892.103 ,   Indonesia 253.609.643,   Brasil 202.656.788  dan   Pakistan 196.174.380.
[2] Adioetomo, Sri Moertiningsih, 2013, Ringkasaonograf Penuaan Penduduk Indonesia: Fakta Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, UNFPA Indonesia Country Office, pada Materi Pokok Bidang Studi Lingkungan Strategis, Lemhannas RI. hal. 131.
[3] Bambang H,dkk. Tim Pokja Bidang Studi Lingstra, 2016. Materi Pokok Bidang Studi Lingkungan Strategis, Lemhannas RI. hal.131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar