Minggu, 23 Desember 2018

Peristiwa Penembakan Nduga Perspektif Ketahanan Nasional

 Peristiwa Penembakan Nduga dalam Perspektif Ketahanan Nasional Penulis: Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo Gubernur Lemhannas - 21 December 2018, 00:30 WIB TULISAN ini mencoba melihat peristiwa penembakan di Nduga, Papua, dalam perspektif ketahanan nasional. Ketahanan nasional bukan merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri, melainkan merupakan kumulasi dari hasil ketahanan yang terdapat pada elemen ‘gatra’ yang ada pada masyarakat dan mencakup gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Ketahanan nasional akan baik apabila ketahanan gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan baik. Ilmu untuk menjadikan ketahanan nasional baik tidak berada pada disiplin ilmu ketahanan nasional. Namun, ada pada bidang disiplin ilmu ideologi yang merupakan bagian dari disiplin ilmu politik dan sosial budaya, bidang disiplin ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu sosial budaya. Disiplin ilmu yang membentuk disiplin ilmu pertahanan dan keamanan. Secara praktis ketahanan diartikan sebagai kemampuan sebuah entitas untuk kembali kepada bentuk aslinya bila mendapat tantangan, gangguan, hambatan dan ancaman. Ketahanan nasional (dan di daerah) dikatakan baik apabila ketahanan pada lima gatra dapat menciptakan keadaan yang mendukung kelangsungan pembangunan dalam kerangka pembangunan masyarakat Pancasila. Penegakan hukum Untuk menyesuaikan dengan ruang yang tersedia, tulisan ini terbatas untuk membahas gatra yang paling signifikan dalam membahas peristiwa penembakan yang terjadi di Nduga, Papua. Gatra yang dipertimbangkan paling signifikan ialah gatra pertahanan keamanan, aspek penegakan hukum dan pembangunan yang masuk dalam gatra sosial budaya. Aspek yang pertama dan utama signifikan dalam me­respons peristiwa penembak­an di Nduga, Papua, ialah terjadinya pembunuhan terhadap karyawan PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018. Kejadian tersebut menunjukkan telah terjadi tindak pidana pembunuhan. Oleh karenanya, tindakan pertama ialah melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap pelaku guna mempertanggungjawabkan tindakannya melalui proses pengadilan. Dari proses penyidikan akan didapatkan motif dan latar belakang tindakannya. Mulai dari pembunuhan yang direncanakan hingga kemungkinan adanya motif pemberontakan. Proses hukum harus dilaksanakan hingga majelis hakim sampai kepada keputusannya untuk menjatuhkan hukuman. Proses ini pada dasarnya merupakan proses penegakan hukum karena pembunuhan yang direncanakan dengan bersenjata hingga rencana pemberontakan semua terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun, sebelum dapat mengajukan ke depan pengadilan, para pelaku pembunuhan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) harus ditangkap. Karena KKSB memiliki senjata yang diperkirakan cukup banyak dengan kemampuan mobilitas mereka di medan Papua, operasi pengejaran dan penangkapan perlu dilakukan melalui operasi militer. Polri memiliki kemampuan untuk mengejar dan menangkap KKSB melalui sa­tuan paramiliter seperti Brigade Mobil. Dalam hal ini Presiden Jokowi telah memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan pengejaran dan menangkap pelaku pembunuh­an KKSB. Untuk TNI, operasi ini ialah operasi militer selain perang dalam bentuk operasi perbantuan kepada pemerintah sipil di masa damai berdasarkan keputusan politik Presiden. Operasi yang dilakukan TNI bukan sebagai penegak hukum, melainkan membantu Polri dalam melakukan operasi militer pengejaran terhadap KKSB. TNI tidak melakukan operasi penegakan hukum karena TNI tidak punya kewenangan sebagai penegak hukum. Untuk melaksanakan operasi militer selain perang dalam perbantuan kepada pemerintahan sipil di masa damai kiranya beberapa piranti lunak perlu disusun. Yang terpenting ialah prosedur dan mekanika pengerahan TNI dalam tugas perbantuan kepada pemerintahan sipil di masa damai. Bagaimana pengorganisasian, pembagian kewenangan, serta rantai komando apabila TNI dan Polri terlibat dalam sebuah operasi gabungan. Hal itu diperlukan agar tidak terjadi kesimpangsiuran pada tingkat pelaksanaan dan memberi alur yang jelas tentang akuntabilitas. Pemberian nama teror atas pemberontakan bagi KKSB tidak serta-merta otomatis memberi alasan untuk pengerahan TNI. Pengerahan TNI ditentukan keputusan politik sesuai dengan ketentuan UU TNI. Pengerahan TNI juga tidak serta-merta menjadi tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Ketentuan yang dapat membebaskan TNI dari tuduhan pelanggaran hak asasi manusia ialah memiliki aturan pelibatan yang jelas tentang bagaimana menangani kombatan dari pihak bersenjata yang dihadapi dengan nonkombatan dari rakyat biasa. TNI juga bertindak mematuhi semua ketentuan yang berlaku bagi tentara profesional, baik dari segi hukum internasional maupun konstitusi secara nasional. Mengefektifkan pembangunan Aspek lain yang perlu mendapat perhatian ialah bagaimana untuk mengefektifkan pembangunan bagi rakyat Papua. Fokus perhatian di sini ialah bagaimana anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat diserap secara efektif oleh program-program kepala daerah dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua. Pertama ialah bagaimana pemerintah melaksanakan pengawasan anggaran terhadap kepala daerah masing-masing. Belum lepas dari ingatan kita bagaimana kucuran anggaran kepada Provinsi Timor Timur tidak mampu menjadikan rakyat Timor Timur merasa sebagai bagian dari NKRI, yang pada akhirnya melalui jajak pendapat mengakibatkan lepasnya Provinsi Timor Timur dan berubah menjadi Republik Demokratik Timor Leste. Mengucurkan pemberian dalam bentuk pembangunan yang berlimpah tidak senantiasa berarti kita telah memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua. Kita perlu memahami apa sebenarnya ekspektasi mereka dan kekecewaan mereka melalui dialog yang terbuka. Pembangunan yang dimaksudkan berujung pada peningkatan kesejahteraan saja belum cukup. Kita perlu memahami apa yang tersirat di balik harapan mereka. Namun, sebaliknya kita juga mempunyai ekspektasi terhadap mereka tentang kepatuhan terhadap konstitusi serta peraturan perundang-undangan. Papua memang tidak dibedakan dalam hal upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Oleh ka­renanya, diharapkan pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah di Papua pertama diawali pemerintah daerah di Papua sendiri. Juga terbuka bagi pengawasan fungsional lembaga pemerintah yang berlaku secara umum. Seperti BPKP, BPK dan KPK tanpa dikaitkan dengan tekanan politik yang bersifat defensif. Untuk itu, diperlukan kesadaran dan efektivitas upaya fungsional dari saudara-saudara kita di tingkat pemerintah daerah, untuk menjamin suksesnya pembangunan, dan mempercepat efektivitas fasilitas otonomi khusus bagi peningkatan kesejahteraan saudara-saudara kita di Papua. Pendekatan represif saja tanpa memberi ruang untuk menyampaikan harapan mereka dalam sebuah dialog akan dapat menimbulkan reaksi yang keras. Namun, pendekatan kesejahteraan tanpa keha­diran negara untuk mengawal konsensus dasar bangsa yang terdiri dari Pancasila, UUD Negara RI 1945, NKRI, dan makna seloka Bhinneka Tunggal Ika akan mudah disalahgunakaan karena memang posisi unik Papua dalam proses penyatuan menjadi bagian dari NKRI, dan masih hidupnya aspirasi yang belum menerima fakta itu, serta bermimpi tentang kemerdekaan Papua. Dapat dikatakan proses nation building sebagai bagian dari NKRI bagi Papua memang berjalan di belakang daerah-daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu, memerlukan perhatian khusus. Penanganan masalah Pa­pua tidak terlepas dari proses demokratisasi di Indonesia serta implikasinya bagi implementasi otonomi khusus bagi provinsi Papua. Indeks demokrasi Papua tidak menunjukkan peningkatan sepanjang 2009-2017. Skor untuk aspek hak politik dan lembaga demokrasi masih timpang dengan aspek kebebasan sipil (sumber: Tirto.id), dalam hal keamanan tidak ditindaklanjuti dengan mendalami masalah untuk mendapatkan akar penyebab. Hal yang paling menonjol ialah terlalu mudahnya kasus keamanan mengerucut pada pelibatan satuan TNI yang mengandung kelemahan dasar hukum pengerahan serta profesionalisme yang didasarkan kepada adanya peranti lunak tentang aturan pelibatan yang tegas. Sebelumnya pada 2018 saja sudah 7 kasus kekerasan bersenjata dengan rincian 1 kasus terjadi di Mimika, 1 kasus di Puncak, 2 kasus di Puncak Jaya, dan 3 kasus di Nduga (sumber: Tirto.id). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa memang daerah Nduga termasuk daerah rawan terjadinya gangguan kekerasan bersenjata dari kelompok kriminial separatis bersenjata (KKSB). Perlu mendapat perhatian di sini, tentang proteksi keamanan bagi para pekerja sipil dalam proyek pembangunan di daerah rawan. Alternatif lain ialah dengan keputusan Presiden mengerahkan TNI untuk melaksanakan proyek pembangunan di daerah rawan seperti Nduga. Kegiatan ini sekali lagi merupakan bentuk kegiatan operasi militer selain perang dalam perbantuan kepada pemerintah sipil di masa damai, seperti civic mission di masa lalu. Iklim yang kondusif Oleh karena itu, kebijakan dari pemerintah pusat perlu lebih diartikulasi bagi kepentingan rakyat Papua dan terukur. Sebagaimana disebut dalam uraian di atas, perlunya keseimbangan antara pembangunan dan pengawasan. Karena itu, kebijakan terhadap rakyat Papua perlu disesuaikan melalui koordinasi dan musyawarah dengan para pemangku kepentingan sehingga dicapai kebijakan nasional yang mencakup seluruh fungsi pemerintahan melalui satu whole of government approach. Diharapkan, melalui tindak­an tegas penegakan hukum, dapat dipulihkan kembali tingkat ketahanan keamanan dan melalui pendekatan yang lebih terpadu dapat ditingkatkan ketahanan sosial budaya dan ekonomi. Bila kondisi ketahanan gatra sosial budaya, ekonomi, dan keamanan dapat ditingkatkan, hal tersebut dapat membangun iklim yang kondusif bagi pembangunan indeks gatra lainnya. Khususnya, gatra ideologi sebagai perekat NKRI. Apabila kita mampu meningkatkan keta­hanan pada tiap gatra yang ada dalam masyarakat, dapat kita katakan bahwa kondisi ketahanan nasional di daerah Papua dalam kondisi baik. Dengan becermin pada pengalaman peristiwa gangguan kekerasan bersenjata yang dilakukan KKSB selama 2018, langkah-langkah yang dapat dilakukan seperti tersebut di atas menjadi pertimbangan bagi perbaikan indeks keta­hanan nasional untuk Provinsi Papua pada 2019. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar