Kamis, 29 Juli 2021

HERD IMMUNITY DAN VAKSIN

HERD IMMUNITY dan VAKSIN.

 Covid-19 sampai saat ini disebagian besar negara didunia, masih menunjukkan “keperkasaannya”. Di Indonesia, pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Jokowi telah berusaha keras dengan segala cara yang cocok dengan situasi dan kondisi Indonesia untuk mengatasi pandemi ini Namun hasilnya masih jauh dari memuaskan, oleh karena itu ada orang-orang atau kelompok yang mengatakan presiden gagal. Penanganan Covid-19 harus dilakukan oleh semua pihak secara komprehensif. Rakyat harus ikut mendukung sepenuhnya program-program pemerintah untuk menanggulangi penyebaran virus Covid-19. Ibarat relasi dalam keluarga, ibu menyuapi makanan pada anak agar sehat, anak harus mau menerima makanan yang diberikan oleh ibu. Saudara-saudara yang lain harus membantu ibu, agar anak mau makan. Tahapan yang sedang berjalan dalam penanggulangan Covid-19 sekarang adalah pembentukan Herd Immunity atau kekebalan kelompok. 

 ❇️ Mengapa herd immunity penting? Kekebalan kelompok terjadi ketika sebagian besar komunitas (kelompok) menjadi kebal terhadap suatu penyakit, membuat penyebaran penyakit dari orang ke orang tidak mungkin terjadi. Akibatnya, seluruh komunitas menjadi terlindungi, bukan hanya mereka yang sudah kebal. 

 ✳️ Berapa persen dari keseluruhan komunitas yang perlu kebal untuk mencapai kekebalan kelompok? Besarnya bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit yang lain. Semakin menular suatu penyakit, semakin besar proporsi populasi yang perlu kebal terhadap penyakit untuk menghentikan penyebarannya. Misalnya, campak adalah penyakit yang sangat menular. Diperkirakan 94% populasi harus kebal untuk memutus rantai penularan. ✅ Bagaimana caranya agar herd immunity tercapai? Sedikitnya ada dua jalur utama untuk herd immunity untuk COVID-19 yaitu infeksi dan vaksin. 

🍀Infeksi alami. Kekebalan kelompok dapat dicapai ketika cukup banyak orang dalam populasi telah pulih dari penyakit dan telah mengembangkan antibodi pelindung terhadap infeksi di masa depan. 

 🍁Vaksin Kekebalan kelompok juga dapat dicapai ketika cukup banyak orang yang telah divaksinasi terhadap suatu penyakit dan telah mengembangkan antibodi pelindung terhadap infeksi di masa depan. Berbeda dengan metode infeksi alami, vaksin menciptakan kekebalan tanpa menyebabkan penyakit atau komplikasi. Menggunakan konsep herd immunity, vaksin telah berhasil mengendalikan penyakit menular seperti cacar, polio, difteri, rubella dan banyak lainnya. Tetapi mencapai kekebalan kelompok melalui vaksinasi terhadap COVID-19 mungkin sulit karena berbagai alasan. Sebagai contoh: Keraguan vaksin. Beberapa orang mungkin keberatan disuntik vaksin COVID-19 karena alasan agama, kekhawatiran tentang kemungkinan risiko, atau skeptis tentang manfaatnya. Jika proporsi orang yang divaksinasi dalam suatu komunitas di bawah ambang batas kekebalan kelompok, penyakit menular dapat terus menyebar. Kunci dari kekebalan kelompok adalah, jika dalam kelompok tersebut hanya ada sedikit “inang” yang rentan untuk mempertahankan penularan. Mereka yang telah divaksinasi atau sudah terinfeksi secara teoritis tidak dapat tertular dan menyebarkan virus. Atau lebih tepatnya tidak mudah tertular virus. Kondisi di Indonesia, relatif masih banyak orang yang belum mendapat vaksin. Penyebabnya bisa karena belum tersebarnya pemberian vaksin secara merata diseluruh Indonesia (tugas pemerintah) dan penolakan individu (orang) untuk di vaksin.  

❎ Alasan Mengapa Individu Menghindari/Menolak Vaksinasi Arcadio A. Cerda dan Leidy J. Garcia dari Chili melakukan Penelitian untuk menentukan variabel yang mempengaruhi penolakan terhadap vaksin Covid-19 Semua responden yang menjawab penelitian diminta untuk menyebutkan alasan utama yang dapat menyebabkan mereka menghindari vaksinasi. Hasilnya : • Alasan peringkat pertama adalah efek samping vaksin dan tingkat risiko. • Alasan peringkat kedua adalah kurangnya pengetahuan tentang vaksin, dan • alasan peringkat ketiga adalah mereka lebih memilih orang lain untuk divaksinasi terlebih dahulu Selain itu, hasil penelitian menunjukkan tingkat penolakan vaksinasi yang dipilah berdasarkan rentang usia, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin. 

 👩🏼‍🦰👱🏼‍♂️Kategori usia menunjukkan bahwa responden antara usia 30 dan 49 tahun menganggap kekhawatiran mereka dengan efek samping dan risiko vaksin sebagai alasan utama penolakan. Responden lain memiliki alasan yang berbeda-beda. 👨🏼‍🎓👩🏻‍🎓Demikian pula, tingkat penolakan menurut tingkat pendidikan menunjukkan bahwa orang berpendidikan tinggi lebih sering menolak vaksin karena risiko dan efek samping (S2: 17%; gelar universitas: 13%) daripada orang dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah (SMA: 2,7% ). Demikian pula, mereka yang berpendidikan lebih tinggi menunjukkan tingkat penolakan yang lebih tinggi karena kurangnya pengetahuan tentang vaksin (gelar universitas 11%) daripada orang yang memiliki pendidikan sekolah menengah (3%). 

 👩🏻‍💼👨🏻‍⚕️Wanita menolak vaksin lebih banyak daripada pria, terutama karena kekhawatiran tentang efek samping (wanita: 26,2% vs. pria: 13.8%) dan karena kurangnya pengetahuan tentang vaksin (wanita: 11,9% vs pria: 11,3%). Dari hasil tersebut bisa diperolah gambaran kasar faktor penyebab penolakan terhadap vaksinasi, yang hasilnya menunjukkan bahwa alasan utama adalah efek samping dan kurangnya pengetahuan tentang vaksin. Kalaupun di Indonesia penolakan terhadap vaksin disebabkan karena faktor yang sama dengan di Chili, maka sosial media swasta dan sumber komunikasi dari pemerintah (Kominfo) bisa berperan sebagai agen untuk mempromosikan vaksinasi sebagai langkah untuk mencegah penularan. Lebih lanjut, perlunya otoritas kesehatan untuk menggunakan data ilmiah untuk melawan informasi keliru yang disebarluaskan di media sosial dan secara terus menerus memberi tahu warga tentang manfaat dan risiko vaksin COVID-19. Wahai para Youtuber dan Kominfo, masyarakat yang sadar vaksin mengharap partisipasimu untuk mensukseskan vaksinasi dengan cara dan gaya promosi masing-masing yang sesuai dengan selera masyarakat. Lebih dari itu semua kalangan termasuk Komunitas Intelektual, Agama, Partai Politik, Seniman dan lain-lain juga diharapkan untuk ikut berperan aktif membantu pemerintah mewujudkan Herd Immunity di Indonesia secepatnya. “Dari pahitnya penyakit, manusia belajar manisnya kesehatan.” 

RTS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar