Sabtu, 03 Oktober 2015

IMPLEMENTASI NILAI NILAI YANG BERSUMBER DARI SESANTI BHINNEKA TUNGGAL IKA

IMPLEMENTASI NILAI NILAI YANG BERSUMBER DARI SESANTI BHINNEKA TUNGGAL IKA 1. Pendahuluan Nilai-nilai kebangsaan adalah nilai yang melekat pada diri setiap warga negara atau norma kebaikan yang terkandung dan menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu bersumber dari nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika yang dicerminkan dari sikap dan perilaku setiap warga negara. Bangsa Indonesia selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa mengesampingkan tanggung jawab untuk menghargai bangsa dan negara lain. Rasa kebangsaan adalah paham dan semangat kebangsaan yang bersumber dari Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika yang dicerminkan dari sikap dan perilaku setiap warga negara sebagai bangsa Indonesia. Sikap dan perilaku tersebut senantiasa mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Buku Pedoman Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia: Lemhannas RI). Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia berdiri dan dibangun dari keberagaman suku bangsa. Keberagaman sebenarnya merupakan kondisi alamiah yang membentuk suatu sistem menjadi kokoh dan stabil. Suatu orkestra akan indah didengar manakala dibangun dari berbagai suara yang berasal dari beragam instrumen musik, asalkan tidak ada satu alat musik pun yang mendominasi harmoni yang disusunnya. Demikian juga halnya dengan bangsa Indonesia, keindahan bangsa akan terwujud jika seluruh komponen bangsa dapat merajut harmoni kehidupan walaupun satu sama lain berbeda. Pada hakekatnya kondisi tersebut di atas merupakan perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam Sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun stabilitas suatu sistem dibangun dari keberagaman, namun pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak dapat dilakukan secara taken for granted (diambil untuk diberikan) atau trial and error (percobaan dan kesalahan). Sebaliknya, hal itu harus diakselerasikan secara sistematis melalui salah satu strategi, yaitu pendidikan multikultural bagi masyarakat yang diselenggarakan melalui lembaga pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Strategi dan pendekatannya tidak cukup hanya berbasiskan pada proses transfer of knowledge (transfer pengetahuan), tetapi harus diimbangi dengan transfer of know how (bagaimana bisa mentransfer), melalui keteladanan dengan tindakan nyata. Kebutuhan, urgensi, dan akselerasi pendidikan multikultural telah lama dirasakan sangat mendesak bagi negara bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara Barat, seperti Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat, sejak usai Perang Dunia II masyarakatnya semakin majemuk (multikultural) karena proses migrasi penduduk luar ke negara-negara tersebut (Hefner, 2007). Pendidikan mutikultural menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an, sebelumnya di Amerika Serikat (AS) dikembangkan pendidikan interkultural. Dengan meningkatnya multikulturalisme di negara tersebut, maka paradigma, konsep dan praktek pendidikan multikultural semakin relevan mengikuti perkembangan yang ada. Demikian juga halnya di Indonesia, penanaman nilai-nilai kemajemukan tidak hanya menjadi suatu kebutuhan, akan tetapi sudah menjadi keharusan. Upaya penanaman nilai-nilai itu harus semakin intensif, sistematis, dan integratif, terutama dalam menghadapi dinamika global, desentralisasi dan otonomi yang mengarah pada federalistik serta ego kesukuan dan kedaerahan yang semakin menguat. Untuk mencapai hal itu, pendidikan multikultural dan penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika harus sudah dimulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD). 2. Pengertian Sesanti Bhinneka Tunggal Ika Sesanti Bhinneka Tunggal Ika (apabila ditulis lengkap adalah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrva) diangkat dan disadur dari Kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular, pujangga istana pada zaman Hayam Wuruk (1350 -1389). Kemudian, oleh Muhammad Yamin (1903 -1962) Sesanti Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ajaran yang termuat dalam Sesanti Bhinneka Tunggal Ika menurut kitab tersebut, secara garis besar berisi wejangan cara mengatasi segala bentuk perbedaan agama (antara Siwa/Hindu dan Budha waktu itu). Perbedaan itu sangat rentan terhadap terjadinya konflik di antara dua golongan tersebut sehingga akan melemahkan kekuatan negara. Ajaran tersebut diaplikasikan oleh Raja Hayam Wuruk dalam penyelenggaraan pemerintahan yang adil dan bijaksana yang dapat menjaga hubungan antarwarga secara harmonis, saling menjaga dan menguatkan (Abdul Syukur, 2005). Sesanti Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kesatuan, meskipun negara dan bangsa Indonesia terdiri atas berbagai unsur dan suku yang beraneka ragam. Semboyan itu merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara “hal yang satu” dan “hal yang banyak”, kesatuan dalam kemajemukan. Keanekaragaman dalam segala aspek kehidupan tidak terlihat sebagai ancaman bagi kesatuan bangsa Indonesia, akan tetapi justru diharapkan mampu berperan sebagai sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya (Hadi, 1994). Semboyan Bhinneka Tunggal Ika memuat 2 (dua) konsep yang berbeda, yaitu kata Bhinneka mengakui adanya keanekaan atau keragaman, sedangkan kata Tunggal Ika menginginkan adanya kesatuan. Adanya 2 (dua) konsep yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika mengandung dua makna yang berbeda antara keanekaan dan kesatuan, yakni antara hal banyak (the many) dan hal satu (the one). Berdasarkan hal tersebut untuk mencari makna Bhinneka Tunggal Ika, diperlukan adanya pemikiran yang bersifat filosofis metafisis (penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada). Semboyan kebhinnekaan merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara “hal satu” dan “hal banyak”, yaitu kesatuan dan kemajemukan. Keanekaragaman di dalam segala aspek kehidupannya tidak dilihat sebagai ancaman bagi kesatuan bangsa Indonesia, tetapi justru diharapkan mampu berperan sebagai sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya (Hadi, 1994). Persoalan kesatuan dan kemajemukan itulah yang mengilhami Sesanti Bhinneka Tunggal Ika menjadi jiwa dan semangat bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Bhinneka Tunggal Ika adalah suatu keharusan untuk keutuhan bangsa Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan bangsa dan dikukuhkan sebagai konsensus bersama dalam Sumpah Pemuda 1928, guna mengatasi keanekaragaman yang ada sehingga dapat mencegah timbulnya disintegrasi bangsa. 3. Sejarah Sesanti Bhinneka Tunggal Ika Bangsa Indonesia lahir dari sebuah perjalanan panjang dan unik. Bangsa itu terhimpun dari berbagai ras (ras mongoloid dan ras melanesoid), berbagai suku bangsa (Aceh, Batak, Melayu, Sunda, Jawa, Dayak, Bali, Ambon, Sulawesi, Papua, dan lain-lain), berbagai budaya lokal, adat istiadat, agama yang beragam (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Khong Hu Cu) yang semuanya secara alamiah mengandung perbedaan. Namun, dalam realita perjalanan sejarah pembentukan bangsa, berbagai perbedaan yang ada tidak menyurutkan dan menjadi penghalang untuk bersatu. Pada masa pergerakan nasional, sejak lahirnya kesadaran berbangsa, kebangsaan dipahami tidak hanya sebagai himpunan suku-suku atau kelompok etnis, tetapi sebagai suatu ”transcendence (kelebihan) atas suku-suku” (perbedaan ciri-ciri lahiriah, adat istiadat, bahasa lokal dan bahkan agama/kepercayaan yang telah mengakar menjadi faktor pendorong untuk mewujudkan sebuah masyarakat baru dengan tatanan sosial baru), dengan demikian diharapkan akan lebih mampu menjamin hajat hidup ke arah yang lebih baik. Suku-suku tersebut pada umumnya telah memiliki tatanan sosialnya sendiri dan juga ada yang telah memiliki struktur pemerintahan sendiri yang didasarkan pada nilai-nilai lokal masing-masing. Secara suka rela mengorbankan sebagian kepentingannya, dan bahkan juga menyerahkan kedaulatannya demi kepentingan bersama, sebagai ciri-ciri sebuah bangsa yang besar. Pembentukan bangsa yang besar dengan kondisi yang serba bhinneka (majemuk) diharapkan menjadi bangsa yang kuat, bersatu, hidup dalam suasana kekeluargaan dan keharmonisan. Idealisme untuk membentuk bangsa yang besar dan kuat dalam perjalanan sejarah akan menjadi motivasi perjuangan dan pembebasan diri dari cengkeraman kaum penjajah yang telah berlangsung selama berabad-abad. Berbagai bentuk pergerakan kebangsaan yang berbasis etnis, kedaerahan, kelompok pelajar dan agama menyatu dalam perhelatan akbar yaitu Kongres Pemuda Tahun 1928. Kongres itu menghasilkan Sumpah Pemuda yang telah mengantarkan segenap rakyat Indonesia mewujudkan diri sebagai satu bangsa, yang mengilhami perjuangan membentuk bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" tercantum dalam sebuah Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular semasa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 yang berasal dari pupuh 139 Bait ke 5 berbunyi sebagai berikut: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneka rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrva.” Terjemahan: “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.” (http://id-wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika). Istilah Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang diambil dari Kitab Sutasoma dipakai untuk menggambarkan kondisi Majapahit (abad ke-14) dalam hal kehidupan beragama yang pada waktu itu ada dua agama besar (Hindu dan Budha). Kedua agama itu hidup secara bersama rukun dan damai. Kedua agama besar tersebut beriringan di bawah payung Kerajaan Majapahit yang diperintah oleh Raja Hayam Wuruk. Walaupun kedua agama tersebut merupakan dua substansi yang berbeda, perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan karena kebenaran Budha dan kebenaran Siwa bermuara pada hal yang satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Mereka memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran. Muhammad Yamin (1960) menyatakan bahwa seloka "Bhinneka Tunggal Ika" yang dilukiskan di bawah burung garuda dan perisai Pancasila dipetik dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Seloka tersebut hampir sama artinya dengan seloka dalam bahasa latin yaitu e pluribus unum yang artinya bersatu walaupun berbeda, berjenis-jenis tetapi tunggal. Istilah Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang semula menunjukkan semangat toleransi keagamaan, kemudian diangkat menjadi lambang negara Indonesia dan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang negara Indonesia merupakan upaya untuk mempersatukan masyarakat yang majemuk dengan latar belakang budaya beragam. Eka Dharmaputera (1997) menyatakan bahwa setiap pembahasan tentang Indonesia tidak dapat mengabaikan kedua atau salah satu dimensi dalam Sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Bagi bangsa Indonesia disintegrasi merupakan ancaman. Indonesia tidak hanya berbhinneka, tetapi juga tunggal ika, oleh karena itu integrasi bukanlah sesuatu yang mustahil. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika mengacu pada latar belakang historis bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku, bahasa, agama, dan adat istiadat. Keanekaragaman merupakan kekayaan bangsa, dan sekaligus dapat merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia yang bermuara pada timbulnya disintegrasi. Kesatuan merupakan pangkal tolak berpikir subjektif atas dasar ekspresi-refleksif, sehingga perbedaan diterima sebagai kenyataan alamiah yang diarahkan secara konseptual ke arah titik idealisasi. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan otonomi dan relasi. Otonomi menghargai hak individu, sedangkan relasi terletak di antara sifat kodrat manusia, yaitu manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. 4. Kedudukan Sesanti Bhinneka Tunggal Ika Sesanti Bhinneka Tunggal Ika bagi bangsa Indonesia merupakan semboyan untuk menata dan mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara guna menghormati dan mengharmoniskan hubungan perbedaan suku, ras, agama, bahasa dan budaya. Semboyan itu menjadi pilar untuk menyangga dan menjaga persatuan bangsa Indonesia yang tersebar dalam wilayah nusantara, membangun hubungan yang harmonis, menjaga keseimbangan dengan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan (Suparlan,2003). Kebhinnekaan mempersyaratkan adanya nilai-nilai dasar untuk membentuk keutuhan atau kesatuan. Tanpa adanya nilai-nilai dasar tersebut, kebhinnekaan cenderung akan menimbulkan disintegrasi. Sebaliknya apabila nilai-nilai dasar tersebut dapat diwujudkan, kebhinnekaan akan menghasilkan integrasi. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika merupakan sarana untuk memberikan keleluasan (kebebasan) bagi semua warga bangsa untuk mengembangkan kebudayaan, adat istiadat, tradisi, agama, bahasa dan tata kehidupan sesuai dengan lingkungan masyarakatnya demi memperkuat persatuan bangsa dan hubungan antarwarga yang harmonis. Keleluasaan untuk mengembangkan diri tidak boleh saling mendiskreditkan, mengganggu, dan merendahkan warga atau kelompok lainnya. Oleh karena itu tidaklah heran kalau nilai-nilai “kebhinnekaan dalam satu persatuan” menjadi inspirasi dan mewarnai UUD NRI Tahun 1945. Hal ini merupakan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menjadi sumber berbagai ketentuan dan perundangan-undangan yang akan mengatur dan menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara eksplisit, UUD NRI Tahun 1945 pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Tidak dapat disangkal bahwa, bangsa Indonesia merupakan bangsa dan negara dengan tingkat kemajemukan yang paling tinggi di dunia. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.480 pulau, baik yang dihuni maupun tidak dihuni. Jika ditinjau dari gatra demografi, menurut sensus penduduk Tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 237.641.326 juta jiwa yang terdiri atas berbagai suku bangsa, ras, bahasa, budaya, adat istiadat, dan agama. Para ahli mencatat bahwa di Indonesia terdapat kurang lebih 358 suku bangsa dan 200 sub suku bangsa (Yaqin, 2005). Demikian juga mengenai kehidupan beragama, jika dilihat dari pemeluknya, terdapat beberapa agama (yang diakui pemerintah) dan dipeluk oleh penduduk Indonesia, yakni Islam sebanyak 87,18%, Kristen sebanyak 6,96% dan Katolik sebanyak 2,91%, Hindu sebanyak 1,69%, Budha sebanyak 0,72% dan Khong Hu Cu sebanyak 0,05% yang lainnya 0,5% (BPS 2010). Jika melihat penjelasan di atas, adanya keanekaragaman dalam berbagai bidang tersebut, menyebabkan Indonesia mendapat julukan sebagai masyarakat yang multietnik, multiagama, multibudaya, multibahasa, dan sebagainya, sehingga Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk (plural society). Dari kenyataan ini tidak dapat dipungkiri bahwa secara kultural, Indonesia dibangun atas dasar kultur nusantara asli (berbagai suku, etnik, dan budaya). Keberagaman atau kemajemukan merupakan modal dasar untuk membangun bangsa yang besar dan kuat, jika perbedaan tersebut disatukan berdasarkan asas komplementari atau saling melengkapi satu sama lain secara harmonis. Bangsa Indonesia lahir dari kesadaran sejarah dan kesadaran politik karena persamaan nasib dan perjuangan yang sama untuk membentuk bangsa dan negara yang merdeka. Kesadaran kemerdekaan tersebut telah dirintis melalui berbagai perjuangan rakyat di berbagai daerah yang menekankan aspek-aspek mistis dan mesiani. Perjuangan itu terus berlanjut dan diterjemahkan dalam pola-pola perjuangan yang terorganisasi secara modern oleh kaum terpelajar. Kemampuan mengintegrasikan perjuangan dan kesadaran nasional yang melahirkan Sumpah Pemuda, yakni tekad para pemuda yang: mengaku bertumpah darah satu Tanah air Indonesia, mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda tidak muncul secara spontan pada 28 Oktober 1928, akan tetapi muncul dari tekad para pemuda sebagai momentum sejarah pertumbuhan bangsa yang didorong oleh adanya roh bangsa. Bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan geografis, sosial dan politis dengan penduduk yang terikat satu sama lain. Bangsa Indonesia memiliki satu karakter bangsa, kesadaran dan cita-cita sosial politik yang tumbuh dari perkembangan sejarah dan tantangan yang sama untuk mewujudkan negara kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Bangsa Indonesia selain mempunyai nilai konkret berupa penduduk, wilayah, dan aneka ragam budaya, juga mempunyai satu semangat, satu nilai rohaniah, yakni berupa persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan itu telah mampu mengintegrasikan unsur bangsa yang berbeda-beda, baik aspek etnik, daerah, golongan sosial maupun agama. Kesetiaan memegang simbol-simbol Bhinneka Tunggal Ika dari waktu ke waktu tampak mengalami perubahan. Bentuk perjuangan pada generasi tua dan generasi muda dalam mengisi kemerdekaan sudah pasti berbeda. Namun, bentuk perjuangan itu memiliki semangat pengikat roh bangsa, yaitu semangat Bhinneka Tunggal Ika yang secara terus menerus dibangkitkan. Apabila ditelaah secara lebih mendalam, maka dapat ditemukan sembilan nilai yang terkandung dalam Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yakni sebagai berikut: a. Nilai Toleransi b. Nilai Keadilan c. Nilai Gotong Royong/Kerja sama d. Nilai Solidaritas e. Nilai Kejujuran f. Nilai Kepercayaan g. Nilai Tanggung Jawab, h. Nilai Kepedulian,. i. Nilai Produktivitas,. Bila diterjemahkan lebih jauh, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai nilai yang menjadikan rakyat/warga negara dapat hidup untuk menata kehidupan bersama dengan harmonis dan bersatu. Sebagai kekuatan pembangunan negara, pada dasarnya hal ini tidak berbeda justru sangat relevan dengan nilai-nilai kebangsaan yang dipersepsikan dari sila-sila Pancasila Dilihat dari kesembilan nilai-nilai tersebut di atas, maka nilai yang paling dominan yang merupakan kristalisasi dari semua nilai-nilai tersebut guna meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai Sesanti Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah: Nilai Toleransi, Nilai Keadilan dan Nilai Gotong Royong. 1. Nilai Toleransi, merupakan satu sikap yang mau memahami orang lain sehingga komunikasi dapat berlangsung secara baik; 2. Nilai Keadilan, merupakan satu sikap mau menerima haknya dan tidak mau mengganggu hak orang lain; 3. Nilai Gotong Royong/Kerja sama, merupakan satu sikap untuk membantu pihak/orang yang lemah agar sama-sama mencapai tujuan. Ada sikap saling mengisi kekurangan orang lain. Hal ini merupakan konsekuensi dari manusia dan daerah yang memiliki kemampuan yang berbeda dalam konteks otonomi daerah. NILAI TOLERANSI Bangsa Indonesia adalah majemuk yang diperlihatkan melalui banyaknya agama, suku, ras, budaya, dan bahasa. Kemajemukan ini telah lama hadir dalam kehidupan masyarakat sebagai realitas empirik yang tidak terbantahkan oleh siapa pun yang kemudian dikenal masyarakat majemuk yang kaya dengan perbedaan, namun diikat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menyebutkan “Biar berbeda namun tetap satu.” Agama yang telah ada dan hidup di Indonesia mencerminkan keyakinan dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Meskipun ke-6 agama tersebut mendapat perhatian negara, namun para penganut agama lainnya seperti Shinto, dan agama pribumi yang diwarisi oleh keyakinan para leluhur juga diberi kebebasan untuk dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kemajemukan agama telah membuktikan bahwa Indonesia adalah masyarakat majemuk yang telah hidup berdampingan sekalipun dalam suasana perbedaan. Masyarakat telah hidup secara toleransi dan rukun dalam gerak kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan agama secara harmoni dan damai sejak beratus-ratus tahun. Di beberapa daerah di Indonesia, perbedaan agama justru terjadi dalam satu keluarga secara utuh yang diikat satu adat istiadat yang melekat pada dirinya. Kesepahaman dan saling pengertian atau toleransi antar masyarakat di seluruh daerah di Indonesia telah diwariskan oleh nenek moyang kita pendahulu melalui kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut telah mampu menjadi role model dalam merajut harmoni, toleransi, dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat. Kearifan lokal merupakan sumber nilai yang penting dalam kehidupan masyarakat karena hampir semua adat dan kebudayaan suku bangsa di tanah air ini terinspirasi oleh nilai-nilai lokal dan gagasan yang bersumber dari kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, nilai-nilai keagamaan, adat istiadat, dan budaya merupakan manifestasi pandangan hidup dan etos spiritual masyarakat. Nilai-nilai itu menjadi nyata dan mewujud dalam bentuk perilaku dan tindakan yang ditampilkan setiap saat dalam bersosialisasi. Berikut ini dapat dikemukakan beberapa contoh kearifan lokal yang mampu merajut dan merawat kemajemukan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, seperti Pela Gandong dari Maluku, Sai Bumi Ruwah Juai dari Lampung, Tepo Seliro dari Jawa, Rumah Betang (rumah panjang) dari Kalimantan, Bakar Batu dari Papua. Seperti pepatah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung merupakan pepatah dari Sumatera Barat. Nilai-nilai dan tata cara adat, tradisi, dan budaya lokal sebagaimana disebut di atas, merupakan perwujudan atas pemahaman nilai-nilai spiritual keagamaan yang dimanifestasikan dalam bentuk tatanan hidup dan sosial masyarakat yang penuh dengan toleransi. Kebebasan setiap pemeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya merupakan bagian dari nilai-nilai toleransi termasuk rasa saling menghormati antarumat beragama untuk menjalankan ibadahnya. 5. Pengertian Toleransi Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang sikap dan pandangan para intelektual Indonesia, ada baiknya dijelaskan lebih dahulu secara luas mengenai terminologi toleransi. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh kalangan pemerhati sosial, khususnya yang berhubungan dengan pengertian toleransi yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara baik dan benar menurut para ahlinya sebagaimana tertera di bawah ini. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dapat dijelaskan toleransi dengan kelapangan dada (dalam arti suka kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tidak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain) oleh (Poerwodarminta, 2003). Kata toleransi berdasarkan Kamus Dewan adalah perkataan ‘toleran’ yang berarti “sedia menghormati atau menerima pendapat orang lain yang berbeda dari pendapat sendiri”. Selain itu toleransi adalah penghormatan, penerimaan, dan penghargaan tentang keragaman yang kaya akan kebudayaan, ekspresi , dan tata cara manusia sebagai makhluk sosial. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan (UNESCO-APNIEVE, 2000). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata toleransi bermakna (1) ‘sifat atau sikap toleran’; (2) ‘batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan’; (3) ‘penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja’. Sementara ini kata toleransi juga berasal dari bahasa Inggris tolerance atau tolerare dalam bahasa Latin yang berarti 'menanggung' atau 'membiarkan'. Dalam bahasa Arab istilah ini merujuk kepada kata tasamuh yang berarti toleransi/tenggang rasa (Baalbaki, 1994). Tasamuh di dalam Islam tidak semata-mata tolerance karena tasamuh adalah sikap tenggang rasa yang dapat memelihara kerukunan hidup dan memelihara kerja sama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, tasamuh berfungsi sebagai penertib, pengaman dan pendamai dalam berkomunikasi dan interaksi sosial. Dalam Islam dinamakan mutasamihin, yaitu pemaaf, penerima, menawarkan, pemurah sebagai tuan rumah kepada tamu. Dalam bermasyarakat terjadi hubungan antaragama sehingga toleransi dapat berupa toleransi ajaran atau toleransi dogmatis, namun ada juga toleransi yang bukan ajaran atau toleransi praksis. Penerapan toleransi dogmatis terhadap pemeluk agama tidak menonjolkan keunggulan ajaran agamanya masing-masing, sedangkan toleransi praksis terhadap pemeluk agama akan membiarkan pemeluk agama lain melaksanakan keyakinannya masing-masing (Schumann, 2006). Dari penjelasan di atas, toleransi dapat dirumuskan sebagai suatu sikap saling terbuka untuk mendengar pandangan yang berbeda. Toleransi berfungsi dua arah, yakni mengemukakan dan menerima pandangan serta tidak merusak pegangan agama, keyakinan, dan nilai budaya masing-masing. Rumusan toleransi bukan hanya perbedaan agama saja melainkan keyakinan dan nilai budaya dalam ruang lingkup yang telah disepakati bersama. Pemahaman ini akan melahirkan konsep kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 6. Hakekat Toleransi Hakekat toleransi terhadap kehidupan masyarakat majemuk merupakan satu prasyarat utama bagi setiap individu yang menghendaki kehidupan yang aman dan tenteram. Dengan demikian, toleransi akan terwujud interaksi dan kesepahaman yang baik di kalangan masyarakat majemuk melalui pendekatan yang harmonis meskipun berbeda dari sudut pandang suku, ras, bahasa, dan agama yang dianutnya masing-masing. Hal tersebut menunjukkan perlunya setiap individu atau kelompok melaksanakan program dialog antar etnis di kalangan masyarakat itu sendiri. Program dialog ini berupa toleransi kehidupan beragama oleh para pemuka agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan intelektual yang saling bertanggung jawab terhadap kegiatan tersebut sehingga tercipta kehidupan yang harmonis antarumat beragama maupun sesama agama, baik dalam kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan etnis. Hal ini memerlukan suatu usaha yang gigih dan serius dari seluruh komponen bangsa. 7. Perkembangan Toleransi Toleransi secara etimologis berasal dari kata tolerare yang berasal dari bahasa Latin yang berarti 'menanggung' atau 'membiarkan'. Toleransi mempunyai warna-warni yang perlu dipahami, seperti etnis-sosial, religius, politis, yuridis, filosofis, dan teologis. Pada umumnya, arah pemahaman toleransi mencakup berlakunya keyakinan atau norma atau nilai sampai ke sistem nilai pada level religius, sosial, etika, politis, filosofis. Hal ini juga termasuk tindakan-tindakan yang selaras dengan keyakinan tersebut di tengah mayoritas yang memiliki keyakinan lain dalam suatu masyarakat atau komunitas. Sejak era reformasi Tahun 1998, diberi kebebasan kepada para penganut agama yang ada di Indonesia untuk menjalankan agamanya dengan melaksanakan suara hati serta kebebasan budaya kepada setiap kelompok minoritas yang ada. Dalam dunia modern, toleransi menyangkut hak asasi manusia (HAM), dapat dibedakan menjadi toleransi formal (dalam hukum resmi) dan toleransi isi (dalam hidup setiap hari dengan menghargai keyakinan minoritas). Dalam kondisi pencerahan toleransi, setiap orang melaksanakan kebebasan berpikir dan berdemokrasi. Untuk itu sekarang diberikan ruang berbeda pendapat untuk berkembang dan juga diberikan tawaran kampanye norma dan nilai yang fair kepada masyarakat dunia yang modern guna memahami norma dan nilai secara universal yang berlaku sebagai kebudayaan bagi umat manusia. Adapun ide dasarnya adalah bahwa tidak ada satu manusia pun yang dapat memiliki nilai-nilai kebenaran yang utuh. Nilai kebenaran yang sempurna hanya milik Tuhan Yang Maha Pencipta. Oleh karena itu, pada gilirannya manusia akan mampu menemukan kebenaran secara sempurna yang berlandaskan pada perintah Tuhan pencipta alam semesta, sebab pencarian kebenaran diakui sebagai proses majemuk yang menyejarah tidak sekali jadi. Selain itu, toleransi diperlukan agar setiap suara hati dapat berfungsi secara wajar dan saling menghargai. Dalam masyarakat majemuk, sesungguhnya nilai-nilai toleransi diperlukan untuk membangun dan mempererat hubungan timbal balik antarsesama warga masyarakat sesuai dengan norma-norma yang telah disepakati dan berlaku secara universal. Nilai-nilai ini dipakai guna mengatur tata kehidupan masyarakat, seraya memungkinkan pendapat masyarakat berkembang demi perubahan dan kemajuan masyarakat. Di sisi lain juga diharapkan orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat tidak ditentang, dikucilkan, dan didiskriminasikan dalam kehidupan antarsesama. Dengan hasil seperti itu, toleransi membuka ruang untuk terjadinya saling komunikasi yang sehat dan efektif. Toleransipun dapat digunakan dengan cara yang cerdas untuk mengatasi semua bentuk konflik sosial secara damai. Tiadanya nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat menyebabkan kelompok mayoritas merasa kuat dan menang sendiri dalam suatu interaksi kehidupan masyarakat. Sementara itu, kelompok minoritas merasa kecil kalah dan dikucilkan sehingga termarginalkan. Dalam komunitas politik, nilai-nilai toleransi mutlak sangat diperlukan demi tetap tegaknya dan berlangsungnya sistem demokrasi. Di sisi lain, nilai-nilai toleransi perlu dibatasi agar tidak mengganggu ketertiban umum. Namun, dalam realitas pelaksanaannya kadang-kadang batasannya kurang jelas, oleh karena itu toleransi dalam berpolitik adalah suatu kebutuhan bagi kesetaraan semua warga dan diharapkan toleransi dapat mendorong tercapainya kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan yang lebih baik dan merata bagi semua anggota masyarakat. Hidup yang baik dan benar adalah mencintai diri sendiri, mencintai sesama, dan mencintai lingkungan tempat dia berada guna membangun sikap toleran untuk hidup berdampingan satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, atau kedudukan lain. Toleransi bukanlah sesuatu yang dapat diberikan oleh kekuasaan negara atau kekuatan politik mana pun. Sebab toleransi merupakan tuntutan dari sifat dan kodrat manusia. Oleh sebab itu, semua manusia mempunyai kewajiban untuk memberi toleransi kepada orang atau golongan lain, termasuk kelompok agama. Jika melihat perkembangan nyata kondisi kehidupan toleransi masyarakat Indonesia pada dekade akhir-akhir ini, dihadapkan pada berbagai isu aktual yang terdapat dalam dinamika kehidupan masyarakat, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kondisi ini cenderung memperlihatkan ada penurunan nilai-nilai toleransi khususnya yang berdampak pada kerukunan baik secara internal maupun eksternal antarumat beragama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu). Dalam perkembangan akhir-akhir ini, khususnya pasca reformasi Tahun 1998, kondisi tersebut ternyata berdampak negatif terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia yang selama itu dikenal saling memiliki toleransi yang tinggi. Bahkan bahu-membahu dalam berbagai kegiatan sosial serta antarumat mereka, adalah merupakan interaksi kehidupan religius sesama umat beragama walaupun selama ini berbeda dalam agama dan keyakinan yang dianut masing-masing. Persaudaraan antarumat beragama juga memiliki sejarah yang unik dan spesifik sebagaimana banyak terdapat di daerah-daerah yang ada di Indonesia, seperti Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku yang banyak sekali umatnya berasal dari satu nenek moyang. Hal ini terlihat pada daerah tersebut banyak warga masyarakat yang menjadi satu keluarga besar, yang sebagian menganut agama Kristen dan sebagian lagi menganut agama Islam. Mereka itu memiliki dan menggunakan marga atau faham yang sama. Masih banyak lagi fakta-fakta sejarah lain yang menunjukkan kepada kita bersama bahwa masyarakat Indonesia adalah suatu masyarakat yang memiliki hubungan pertalian darah dan persaudaraan yang satu meskipun tetap memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Oleh karena itu, yang sangat diperlukan sekarang ini adalah dengan sesegera mungkin para tokoh agama bersama dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dapat menjadi panutan agar dapat dicontoh dalam mengatur dan menata kembali daerahnya. Selain itu masyarakat diharapkan saling menghargai satu sama lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada dasarnya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dittap Translai Universal Deputi Taplai Kebangsaan Tahun 2012, semua provinsi di daerah pengambilan sampel pernah terjadi konflik dalam satu Tahun terakhir itu. Kenyataan tersebut tidak serta merta dapat ditafsirkan bahwa toleransi antarumat beragama di dua belas provinsi (Aceh, Kepri, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Bangka Belitung, Jatim, NTB, Sulut, Maluku, Maluku Utara, dan Papua) dinilai kurang baik. Beberapa indikasi menjadi sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan penilaian terhadap tingkat pemahaman dan implementasi nilai-nilai toleransi di 12 provinsi antara lain sebagai berikut. a. Perbandingan antara kelompok responden yang menyatakan pernah terjadi konflik dan kelompok responden yang menyatakan tidak pernah terjadi konflik hampir berimbang. Dan total 1200 responden 61% (727 responden) yang menyatakan tidak pernah terjadi konflik antarumat beragama disebabkan oleh pendirian rumah ibadah. b. Adanya perbedaan antara satu kelompok responden dan kelompok responden lainnya dalam memberikan pernyataan (termasuk mengklasifikasikan jenis konflik) terhadap terjadinya konflik diakibatkan oleh pendirian rumah ibadah. Hal tersebut merupakan sebuah indikasi kuat bahwa di kalangan masyarakat masih ada perbedaan pendapat dalam mendefitusikan suatu kejadian yang dinyatakan sebagai konflik. Selain itu, yang juga perlu mendapat perhatian adalah frekuensi responden yang menyatakan terjadinya konflik yang disebabkan oleh konflik internal di lingkungan umat beragama cenderung meningkat bila dibandingkan dengan pendirian rumah ibadah. Dari 1200 responden, sebanyak 56% (675 responden) menyatakan pernah mengalami terjadi konflik internal. Terkait dengan tingginya potensi konflik tersebut di atas dikaitkan dengan pendirian rumah ibadah, pada dasarnya potensi konflik di lingkungan internal umat beragama lebih rentan. Masalah-masalah yang sering menjadi pemicu konflik adalah sebagai berikut. c. Masalah internal adalah masalah yang sering terjadi pada umumnya yang secara langsung terkait dengan hal-hal yang menyangkut nilai-nilai agama itu sendiri (perbedaan aliran dalam satu agama). Masalah yang berkembang di kalangan internal lebih bernuansa kepada persaingan figur baik pada skala internal organisasi maupun antarorganisasi dalam lingkup agama yang sama. d. Masalah eksternal merupakan hal-hal yang menyangkut sikap dan kebijakan individu atau organisasi dalam merespons kebijakan organisasi/kelompok keagamaan lainnya khususnya dalam pendirian rumah ibadah agama tertentu. Substansi masalah biasanya berkisar seputar perbedaan pemahaman dan sikap untuk menerima keberadaan agama lainnya. Sebagai bagian dari nilai-nilai Sesanti Bhinneka Tunggal Ika, toleransi harus dipahami dan diimplementasikan oleh setiap individu untuk menyegarkan suasana perbedaan dalam setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Memahami dan mengimplementasikan makna perbedaan, merupakan proses yang harus berjalan seiring dengan kompleksitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada era global saat ini. 8. Implementasi Toleransi Untuk menunjukkan sikap toleransi dan kerukunan masyarakat, dapat diimplementasikan dan dikembangkan melalui beberapa metode pendekatan antara lain. a. Dialog Bentuk dialog antarmasyarakat majemuk di Indonesia merupakan salah satu cara yang terbaik dan efektif membentuk suatu masyarakat yang harmonis dan saling memahami satu sama lain. Pendekatan seperti ini perlu dilakukan setiap waktu, dimulai semenjak usia dini dan dilanjutkan sampai ke tingkat pendidikan tinggi maupun dalam wadah organisasi kemasyarakatan, di lingkungan tempat-tempat kerja, dan di tempat-tempat lainnya. Hal ini dilakukan guna membiasakan dan memaknai toleransi yang sesungguhnya disesuaikan pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga terwujud kondisi kehidupan umat yang harmonis. Pendekatan dalam bentuk dialog ini perlu dirancang dengan baik agar tidak menimbulkan ketegangan di kalangan masyarakat, dimana masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk dilihat dari suku, agama, ras dan antargolongan. Hal ini perlu digerakkan oleh seluruh komponen bangsa tanpa melihat dan memandang perbedaan etnik atau paham politik. Adapun dalam pelaksanaan dialog perlu melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dengan bersikap terbuka dan ikhlas untuk mendengar dan menyerap pandangan-pandangan yang berbeda. b. Pendidikan Hal yang tidak kalah penting selain bentuk dialog adalah aspek pendidikan yang dapat diterima oleh semua kalangan khususnya generasi muda agar lebih bersikap dan terbuka untuk menerima perbedaan dan bersikap lebih proposional dalam menanggapi isu-isu aktual, tidak menimbulkan gejolak antarsesama warga negara dilihat dari segala aspek kehidupan termasuk perbedaan agama. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sudah seharusnya menindaklanjuti untuk memperkenalkan nilai-nilai toleransi sejak dini dengan mendesain kurikulum pendidikan nasional yang berbasis pada nilai toleransi. c. Seni Budaya Masyarakat Indonesia sejak dahulu dikenal kaya dengan potensi lokal terutama bidang seni budaya yang dimiliki oleh setiap daerah di seluruh wilayah nusantara, mulai dari Sabang sampai Merauke. Kenyataan ini telah menjadi modal kekayaan bangsa dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun yang dapat dipakai sebagai alat pemersatu bangsa dan memperkenalkan Indonesia baik di dalam forum lokal, nasional maupun internasional. Kekayaan seni budaya sebagai kearifan lokal juga menunjukkan identitas setiap daerah, sebagai kekayaan seni budaya bangsa Indonesia dan secara nyata juga menjadi milik semua masyarakat Indonesia umumnya tanpa memandang agama. Artinya, dapat dikatakan bahwa seni budaya dapat diterima baik oleh semua lapisan masyarakat. PBB melalui UNESCO telah mensahkan tiga belas warisan milik Indonesia sesuai dengan tiga kategori berbeda, yaitu warisan alam, cagar alam, atau situs dan karya budaya. Berdasarkan perkembangan sejarah di daerah-daerah tertentu terdapat seni budaya yang bernafaskan agama yang secara nyata dapat diterima baik oleh semua kalangan masyarakat yang berbeda agama. Oleh karena itu, kondisi ini dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai upaya konkret untuk membudayakan rasa toleransi di antara para penganut agama masing-masing secara damai. Kesemuanya ini akan memperkuat kehidupan masyarakat berupa persatuan dan kesatuan bangsa guna mewujudkan negara Indonesia yang kokoh dengan mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perkembangan implementasi nilai toleransi bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang mejemuk baik dari aspek agama, suku, budaya dan etnis merupakan satu realitas yang unik, menarik, dan patut untuk dikaji. Meningkatkan toleransi dalam masyarakat majemuk khususnya dalam mengatasi persoalan keagamaan merupakan tanggung jawab serta menjadi perhatian yang serius oleh para pemimpin bangsa, intelektual, cendekiawan, dan pemerhati sosial di Indonesia. Untuk itu, berbagai pihak khususnya dari kalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama harus secara terus menerus melakukan pendekatan guna mencermati persoalan toleransi dan kerukunan masyarakat Indonesia. Indonesia merdeka sebagai sebuah negara merupakan keinginan dan perjuangan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atau berbagai latar belakang yang berbeda-beda antara yang satu dan yang lainnya, seperti suku, ras, budaya, adat-istiadat, bahasa, dan agama. Indonesia bukanlah sebuah negara yang didirikan berdasarkan agama, tetapi didirikan berdasarkan Pancasila karena masyarakatnya beragama dan meyakini adanya nilai-nilai religius sebagai nilai-nilai sakral yang mengatur tata hubungan kehidupan manusia dengan Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tetap menjalankan ajaran agama yang diyakini dan dianutnya sesuai dengan keyakinannya masing-masing secara damai dan harmonis tanpa mengganggu agama dan keyakinan orang lain. Pancasila sebagai dasar negara telah ditegaskan dan dicantumkan dalam sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu menunjukkan kepada kita bahwa negara dan masyarakat Indonesia meyakini serta mengakui eksistensi terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam hidup dan kehidupannya secara individu, kelompok, dan masyarakat. Kemajemukan masyarakat yang ada, khususnya dari sudut pandang agama, diyakini masing-masing mengharuskan hadirnya peran pemerintah (negara) secara optimal untuk mengkoordinasi, mengatur dan membina hubungan antarmasyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat mampu meningkatkan rasa keimanan, ketakwaan, dan pengamalan nilai-nilai agama sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Pada tataran implementasi, penerapan nilai-nilai toleransi sangat berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya kerukunan antarumat beragama dan keselarasan keharmonisan dalam perbedaan setiap aspek kehidupan. Terjadinya konflik horizontal sering dipicu oleh hal-hal yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dalam pelaksanaan dan pengamalan agama masing-masing, diharapkan peran pemerintah untuk membuat berbagai peraturan. Hal itu dilakukan agar semua penyelenggara pemerintahan di semua tingkat dan masyarakat tiap-tiap agama dapat memahami dan menjalankan sikap toleransi sesuai dengan kondisi masyarakat majemuk misalnya; Kementerian Agama RI dapat merumuskan dan menetapkan pedoman dalam bertoleransi sebagai kesadaran multikulturalisme. Hendaknya hal tersebut dilaksanakan para penyelenggara negara guna melayani masyarakat yang majemuk. Keberadaan tiap-tiap agama di Indonesia yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk mengharuskan hadirnya tokoh-tokoh agama dari tiap-tiap agama. Tokoh-tokoh itu berperan untuk membina dan menuntun setiap umatnya dalam rangka memahami dan mengamalkan ajaran agamanya secara benar dan tepat agar kehidupan sehari-hari tidak terjadi adanya penyimpangan dan penyalahgunaan agama. Penyalagunaan agama dapat merusak dan merugikan serta menimbulkan ketersinggungan terhadap orang dan agama lain. Keberadaan setiap agama di Indonesia yang diakui sah oleh pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Khong Hu Cu) diharapkan memiliki tokoh agama dan imam atau pemimpin dari penganut tiap-tiap agama yang selama ini memiliki peran dan diakui serta sangat berpengaruh bagi setiap umatnya. Dengan demikian para tokoh agama ini mampu mengayomi dan memberikan fatwa/khotbah atau petunjuk bagi setiap penganut agama agar selalu hidup dalam toleransi dan kerukunan yang harmonis serta mengedepankan kepentingan bangsa dan negara secara damai dan kondusif. NILAI KEADILAN Sesuai dengan semangat dan cita-cita para pendiri bangsa, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang menjamin dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta juga memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 (sebelum di amandemen), bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Ini mengandung arti seluruh warga negara termasuk pemerintah (negara) dalam menyelenggarakan pemerintahannya haruslah berdasarkan hukum yang berlaku, dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka. Oleh karena itu, hukum harus menjadi pedoman dasar terhadap setiap tindakan pemerintah guna melindungi segenap warga negara Indonesia yang hendak mencari keadilan di mata para penegak hukum yang telah diatur dan diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dapat disadari bahwa begitu banyak permasalahan yang telah dialami dan dihadapi oleh warga negara Indonesia saat ini, baik masyarakat yang ada di pedesaan maupun di perkotaan terutama yang berkaitan dengan proses penegakan hukum. Setiap warga negara ingin mendapatkan kepastian hukum dengan harapan keadilan selalu berpihak kepada masyarakat bukan kepada aparat penegak hukum yang sedang melaksanakan tugas. Akan tetapi, dalam realitasnya masih banyak aparat penegak hukum yang mempermainkan hukum dengan jual-beli perkara dengan motivasi kepentingan pribadi secara sesaat untuk memperkaya diri serta adanya tekanan pihak tertentu. Oleh karena itu, para pencari keadilan di negeri ini masih merasakan begitu sulitnya untuk mendapatkan sebuah keadilan berdasarkan kebenaran yang telah diatur dan dijamin sepenuhnya oleh konstitusi negara. Banyaknya kasus-kasus yang terjadi dan dialami oleh masyarakat setiap harinya, mulai dari kasus-kasus kecil yang dialami rmasyakat kalangan bawah yang tidak mengerti tentang hukum dan keadilan, sampai pada kasus-kasus besar (mega skandal) oleh para penguasa dan pengusaha. Akan tetapi, keadilan tersebut belum dapat ditegakkan, dan bahkan keadilan semakin jauh dari harapan rakyat pada umumnya ataupun oleh para pencari keadilan dari masyarakat kalangan bawah secara khususnya. Kondisi saat ini, terbukti bahwa nilai sebuah keadilan sangatlah mahal, sulit untuk didapatkan, dan bahkan jauh dari harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya rakyat yang bertanya tentang apa gerangan yang terjadi di negeri ini sehingga keadilan dari waktu ke waktu tidak kunjung datang menghampirinya untuk dinikmati, baik secara lahir maupun batin, walaupun rakyat telah berusaha berjuang mencari dan berteriak tentang sebuah keadilan. Lebih ironisnya lagi, ketika rakyat sadar tentang hukum dan mengerti tentang makna keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun yang terjadi adalah keputusan dengan sebuah “keadilan” yang selalu memihak kepada kepentingan orang-orang kuat dalam kekuasaan atau kuat dalam keuangan. Sesungguhnya, masyarakat telah mengerti bahwa keadilan yang sejati telah diatur dan dijamin oleh negara berdasarkan Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, sering kali terjadi oknum aparat penegak hukum, dalam mengetuk palunya cenderung berdasarkan keinginannya sendiri. Masih adanya masyarakat yang belum merasakan keadilan dalam proses penegakan hukum. Terjadi perlakuan yang diskriminatif dalam penegakan hukum antara kelompok kaya dan miskin. Hal ini ibarat pisau bermata dua, tumpul ke atas tajam ke bawah. Pada dasarnya Indonesia telah menjunjung tinggi keadilan, namun realisasinya justru berbeda, pernyataan ini tentu mempunyai alasan, salah satu contoh perbandingan adalah kasus seseorang yang mengambil sebuah coklat di perkebunan milik suatu pabrik dihukum hingga 3 (tiga) bulan penjara sedangkan kasus seorang koruptor yang meraup uang negara bermiliar-miliar bahkan hingga bertriliun-triliun rupiah hanya dihukum ringan. Hal ini menggambarkan bahwa keadilan sangatlah sulit didapatkan di negeri tercinta ini. 9. Pengertian Keadilan Keadilan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang berarti kejujuran, kelurusan, keikhlasan, dan tidak berat sebelah, tidak memihak, serta tidak sewenang-wenang. Menurut Ensiklopedia Indonesia kata adil berarti a. Tidak berat sebelah atau tidak memihak kesalah satu pihak; b. Memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan hak yang harus diperolehnya; c. Mengetahui hak dan kewajiban, mana yang benar dan yang salah, jujur, tepat menurut aturan yang berlaku; d. Tidak pilih kasih dan tidak pandang bulu, setiap orang diperlakukan sesuai hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, keadilan merupakan suatu ukuran keabsahan dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perwujudan keadilan perlu diupayakan oleh seluruh komponen bangsa dengan memberikan jaminan terhadap tegaknya keadilan. 10. Hakekat Keadilan Hakikat keadilan terhadap kehidupan masyarakat majemuk merupakan suatu ukuran keabsahan dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada 3 (tiga) ciri khas yang selalu menandai keadilan yaitu : a. Keadilan tertuju pada orang lain, yaitu masalah keadilan atau ketidak- adilan hanya bisa timbul dalam konteks antar manusia. b. Keadilan harus ditegakkan, yaitu keadilan tidak cukup diharapkan atau dianjurkan saja. Keadilan mengikat kita, sehingga kita mempunyai kewajiban karena keadilan itu sendiri selalu berkaitan dengan hak-hak yang harus dipenuhi. c. Keadilan menuntut persamaan (equality), yaitu atas dasar keadilan, kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, tanpa terkecuali. Keadilan sangat berkaitan erat dengan konteks ekonomi dan hukum, tidak cukup hanya sebatas perasaan dan bahtin, akan tetapi menyangkut kepentingan yang dituntut oleh berbagai pihak. 11. Perkembangan Keadilan Untuk mencapai keadilan, manusia tidak hanya berkewajiban menata diri sendiri, namun juga wajib menata masyarakat dan negaranya sesuai dengan aturan hukum. Dalam konsep keadilan, setiap manusia harus mampu menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang sesuai dengan perkembangan masyarakat, baik ilmu pengetahuan maupun teknologi sesuai dengan kepribadian bangsa. Perkembangan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya golongan masyarakat kalangan bawah (miskin) dalam mencari keadilan semakin jauh dari harapan rakyat pada umumnya, khususnya oleh para pencari keadilan. Pemerintah telah menjalankan berbagai upaya reformasi hukum dan kelembagaan yang bertujuan untuk menciptakan lembaga penegakan hukum yang akuntabel dan mampu menghasilkan pemerintahan yang bersih. Adanya penyelenggaraan kemandirian yudisial, seperti yang disebut dengan “peradilan satu atap”, masih merupakan cita-cita dan harapan masyarakat Indonesia. Perkembangan yang terjadi di 12 (dua belas) daerah sampel penelitian terhadap pencurian harta benda orang lain satu tahun terakhir adalah; dari 1.200 responden, menunjukkan data sebagai berikut : 18% (210 responden) menyatakan tidak pernah mengalami pencurian, 24% (293 responden) menyatakan pernah mengalami pencurian 1-2 kali; 12% (145 responden) menyatakan pernah mengalami pencurian 3-4 kali dan 46% (552 responden) menyatakan pernah mengalami pencurian 5 kali.. Realitas itu menunjukan bahwa keamanan menjadi barang mahal di negeri ini terbukti dengan frekuensi kriminalitas di lingkungan masyarakat sebesar 2,70. Perilaku keadilan terhadap korban pencurian menunjukkani mean score 2,7 artinya cukup tinggi terjadi dalam masyakarat sehingga perlu ditindak secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku agar memberikan efek jera bagi para pelaku pencurian.Putusan pengadilan yang ditetapkan oleh aparat penegak hukum yang dianggap masyarakat tidak berpihak kepada rasa keadilan rakyat kalangan bawah di daerah menyatakan putusan pengadilan yang ditetapkan penegak hukum rakat tidak berpihak kepada rasa keadilan, artinya masyarakat masih belum merasakan keadilan dalam penegakan hukum. Keberpihakan penanganan kasus-kasus yang pelakunya rakyat kalangan bawah lebih cepat ditangani. Berbeda dengan kasus-kasus yang besar kadangkala terkesan lamban. Pada sisi lain adanya upaya dari para penegak hukum untuk memperbaiki citranya dalam menangani kasus-kasus. Proses peradilan yang ditangani di daerah >5 kali di atas 10 yaitu Aceh, Batam, Jambi, Bengkulu, Palembang, Babel, Surabaya, Manado, Ternate dan Jayapura, bahkan Bima mencapai 81. Putusan pengadilan yang ditetapkan oleh aparat penegak hukum yang dianggap masyarakat tidak berpihak kepada rasa keadilan rakyat kecil sebesar 2,44 artinya terjadi perlakuan diskriminatif diibaratkan pedang tajam ke bawah tumpul ke atas. 12. Implementasi Keadilan Selanjutnya untuk memahami arti keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menimbulkan suatu pertanyaan dalam pikiran masyarakat yang harus dijawab dengan jelas berupa: “Apakah arti keadilan dan kezaliman dan bagaimana bentuk implementasinya dalam kehidupan masyarakat Indonesia?” Kata adil dapat digunakan dalam empat hal yang langsung dialami kehidupan manusia, yaitu keseimbangan, persamaan atau non diskriminasi, pemberian hak kepada yang berhak, dan pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan. Empat hal tersebut di atas dapat dijelaskan dengan implementasi masing-masing antara lain sebagai berikut. a. Nilai-nilai keadilan dalam keseimbangan Adil berarti keadaan yang seimbang, apabila suatu sistem atau himpunan memiliki beragam bagian yang dibuat untuk tujuan tertentu, diperlukan sejumlah syarat berupa ukuran yang tepat pada setiap bagian, atau pola kaitan antarbagian tersebut, maka dengan terpenuhinya syarat tersebut, himpunan ini akan dapat bertahan, dan dapat memberikan pengaruh sesuai yang diharapkan termasuk pemenuhan tugas yang telah ditentukan. Misalnya, setiap masyarakat yang ingin bertahan hidup harus berada dalam keadaan seimbang. Seimbang di sini berarti segala sesuatu yang ada harus muncul dalam proporsi yang semestinya, bukan dalam proporsi yang setara. Setiap masyarakat melaksanakan bermacam-macam aktivitas, diantaranya aktivitas ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan kebudayaan. Semua aktivitas tersebut harus didistribusikan kepada anggota masyarakat secara proporsional. Keseimbangan sosial mengharuskan masyarakat untuk memperhatikan neraca kebutuhan, kemudian mengkhususkan anggaran yang sesuai dengan sumber daya yang proporsional, dan manakala keseimbangan sosial sudah terwujud, masyarakat juga tetap akan menghadapi persoalan “kemaslahatan” (kegunaan, kebaikan, manfaat), yakni kemaslahatan masyarakat berupa kelangsungan hidup yang terpelihara. Dengan perspektif seperti ini, untuk mencapai keadilan dan keseimbangan hidup, tentunya masyarakat perlu memperhatikan banyak hal yang harus dilaksanakan dan kemudian diimplementasikan dalam kehidupannya masing-masing. Kajian dan uraian tentang keadilan dalam pengertian “keseimbangan”, sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul apabila melihat sistem alam secara keseluruhan. Kajian tentang keadilan dalam pengertian sebagai lawan dari kezaliman terjadi ketika kita melihat tiap-tiap individu secara terpisah-pisah, sehingga mengurangi adanya rasa kebersamaan. b. Nilai-nilai keadilan dalam persamaan atau non diskriminasi Pengertian keadilan dalam persamaan atau diskriminasi adalah persamaan dan kesederajatan terhadap diskriminasi dalam bentuk apa pun. Ketika dikatakan bahwa “Si Budi adalah orang adil”, yang dimaksud adalah Budi memandang semua individu secara sama rata, tanpa melakukan perbedaan dan pengutamaan. Dalam pengertian ini, keadilan sama dengan persamaan. Definisi keadilan seperti ini menuntut adanya penegasan, padahal yang dimaksud dengan keadilan adalah keniscayaan tidak terjaganya beragam kelayakan yang berbeda-beda, memandang segala sesuatu dan semua orang secara sama rata. Keadilan seperti ini identik dengan kezaliman itu sendiri. Apabila tindakan memberi secara sama rata dipandang adil, tentunya tidak memberi kepada semua secara sama rata juga mesti dipandang adil. Anggapan umum bahwa “kezaliman yang dilakukan secara sama rata kepada semua orang adalah keadilan”. Adapun yang dimaksud dengan keadilan adalah terpeliharanya persamaan pada saat kelayakan yang memang harus sama. Pengertian tersebut dapat diterima sebab keadilan meniscaya-kan dan mengimplikasikan persamaan seperti itu. Pengertian adil terkait dengan makna keadilan tentang keadilan dalam pemberian hak kepada pihak yang berhak, karena sesuai dengan sifat kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan yang dimiliki setiap manusia. c. Nilai-nilai keadilan dalam pemberian hak kepada pihak yang berhak Pengertian keadilan dalam pemberian hak kepada pihak yang berhak adalah pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak kepada setiap orang yang layak menerimanya, sedangkan sifat kezaliman adalah pelenyapan dan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, yaitu keadilan sosial. Keadilan sosial adalah keadilan yang harus dihormati dalam hukum manusia oleh karena itu, setiap individu benar-benar harus berjuang untuk menegakkannya. Keadilan dalam pengertian ini berlandaskan dua hal: Pertama adalah hak dan prioritas, yaitu adanya berbagai hak dan prioritas sebagai individu apabila dibandingkan dengan yang lain. Contohnya seseorang mengerjakan sesuatu yang akan membutuhkan hasil, memiliki prioritas atas buah pekerjaannya. Penyebab timbulnya prioritas dan preferensi itu adalah dikarenakan pekerjaan beserta aktivitasnya sendiri. Contoh yang lain berupa hak seorang bayi ketika dilahirkan oleh ibunya adalah memiliki klaim hak prioritas atas air susu ibunya. Kedua adalah karakter manusia yang tercipta dalam bentuk yang sempurna, namun lemah, oleh karena itu, manusia memerlukan sejumlah ide dengan i’tibari (pelajaran) tertentu yang digunakan sebagai “alat kerja” agar dengan perantaraan “alat kerja” itu, ia dapat mencapai tujuannya. Ide-ide tersebut akan membentuk serangkaian gagasan i’tibari yang penentuannya dapat dengan perantara. Hal ini, bertujuan agar setiap individu dapat meraih kebahagiaan yang dipeliharanya sendiri. Pengertian keadilan manusia seperti ini diakui secara sadar oleh semua orang, namun yang berseberangan adalah sifat kezaliman yang secara sadar ditolak oleh semua orang. d. Nilai-nilai keadilan dalam pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan Pengertian keadilan dalam pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan adalah tindakan memelihara kelayakan dalam pelimpahan wujud (rupa dan bentuk yang dapat diraba), dan tidak mencegah limpahan dan rahmat pada saat kemungkinan untuk mewujudkan dan menyempurnakan yang telah tersedia. Pada bagian ini, dapat dijelaskan bahwa sistem ontologis sangatlah memberi arti pada tiap-tiap maujud (benar-benar ada), berbeda dalam hal kemampuan menerima emisi (pancaran) dan karunia dari sumber wujud. Semua maujud pada tingkatan wujud yang mana pun, memiliki kelayakan khas terkait kemampuannya menerima emanasi (sesuatu yang memancarkan) tersebut. Mengingat zat illahi yang kudus adalah kesempurnaan mutlak dan kebaikan mutlak yang senantiasa memberi emanasi. Dia pasti akan memberikan wujud atau kesempurnaan wujud kepada setiap maujud sesuai dengan yang mungkin diterimanya. Jadi, keadilan Illahi menurut rumusan ini adalah setiap yang maujud mengambil wujud dan kesempurnaan wujudnya sesuai dengan yang layak dan yang memungkinkan untuknya. Para ahli hikmah (teosof) menyandang sifat adil kepada Allah Swt. (Tuhan Maha Pencipta) dalam pengertian yang sedang kita bicarakan sekarang ini, sejalan dengan (ketinggian) Zat Allah Swt, dan menjadi sifat sempurna bagi-Nya, demikian juga kezaliman yang mereka lakukan terhadap Allah Swt. Para teosof berkeyakinan bahwa sesuatu yang maujud tidak memiliki hak atas Allah Swt, sehingga pemberian hak tersebut merupakan sejenis pelunasan utang atau pelaksanaan kewajiban. Apabila sudah dipenuhi, Allah Swt, dapat dipandang adil karena Dia telah melaksanakan segenap kewajiban-Nya terhadap pihak-pihak lain secara cermat. Keadilan Allah Swt sesungguhnya identik dengan kedermawanan dan kemurahan-Nya, artinya, keadilan-Nya berimplikasi kepada kemurahan-Nya yang tidak tertutup bagi semua maujud yang mungkin diraihnya optimal (maksimal). Pengertian itulah sesuai dengan yang dimaksud oleh Imam ‘Ali as dalam khotbah 214 dalam Nahj Al-Balaghah yang menyatakan “sesungguhnya, hak itu tidak terdiri dari satu pihak, setiap orang berhak atas pihak lain, pihak lain pun berhak atas pihak pertama”. NILAI GOTONG ROYONG Masyarakat Indonesia sejak dahulu kala, jauh sebelum bangsa dan negara Indonesia merdeka, para nenek moyang kita memiliki jiwa dan semangat yang kuat dan tinggi dalam hal tolong menolong antarsesama mereka. Hal ini terjadi terlebih pada masyarakat pedesaan yang lebih mengedepankan keterikatan yang kuat, baik secara komunitas satu desa atau kampung maupun antara satu desa dan desa tetangganya. Perkembangan adat dan budaya yang selama ini dimiliki oleh masyarakat Indonesia dapat menghasilkan begitu banyak kegiatan- kegiatan yang bernuansa positif, sekaligus membawa kebaikan bersama mulai dari kebutuhan yang sangat primer sampai sekunder (kebutuhan pangan dan sandang) yang dirasakan dan dinikmati bersama oleh masyarakat. Dari latar belakang kehidupan masyarakat desa, sebagaimana digambarkan di atas, gotong royong tumbuh dan berkembang terus sampai memasuki zaman revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh para anak bangsa dengan begitu rela berjuang dengan tulus ikhlas, bersama memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang pada puncaknya diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 oleh the founding father. Sejarah telah membuktikan bahwa dahsyatnya kekuatan kebersamaan dapat melahirkan bangsa dan negara ini ke luar dari kekuatan besar para penjajah. Kerja sama dan gotong royong yang telah dimiliki oleh seluruh rakyat pada waktu itu dapat mengilhami pemikiran-pemikiran cerdas oleh salah satu proklamator bangsa Indonesia, yaitu Bung Hatta yang melahirkan dan mewujudkan gotong royong dan kerja sama dengan ditandai berdirinya koperasi. Koperasi ini merupakan upaya dari bangsa dan negara Indonesia untuk mengangkat ekonomi rakyat secara menyeluruh, baik di daerah pedesaan maupun daerah perkotaan yang kini telah mengkristal pada setiap anak bangsa dari generasi ke generasi berikutnya. Hingga saat ini gotong royong, kerja sama, dan koperasi telah menjadi jiwa dan semangat seluruh rakyat Indonesia yang masih tetap dipelihara, dipertahankan, dan dikembangkan oleh masyarakat bersama pemerintah sesuai perkembangan situasi dan kondisi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kehidupan yang telah digali dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Hal demikian inilah dapat memberi inspirasi cemerlang bagi pendiri bangsa, sehingga dapat mencetuskan dan menetapkan kata gotong royong dan koperasi dengan lambang rantai emas sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari lambang negara Republik Indonesia, yaitu Burung Garuda. Kehidupan masyarakat Indonesia yang berlandaskan kerja sama dan gotong royong sampai kapanpun akan tetap dipertahankan sebagai warisan budaya bangsa. Hal tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Pada dasarnya nilai-nilai gotong royong bukanlah merupakan nilai sosial baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gotong royong merupakan kerja sama untuk berbagi dan menyelesaikan masalah dalam bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Namun, dalam perkembangan zaman yang selalu diikuti dengan perubahan nilai-nilai sosial budaya, nilai-nilai gotong royong mulai tergerus oleh berbagai kepentingan sesuai dengan perkembangan era globalisasi. Sebagai contoh, adanya kecenderungan sebagian masyarakat pada tataran tertentu memberikan imbalan sebagai bentuk pengganti partisipasi dalam kegiatan gotong royong. 13. Pengertian Gotong Royong Pengertian gotong royong adalah bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama pula menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Gotong royong juga berarti suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing. Hampir setiap masyarakat adat mempunyai istilah yang mempunyai padanan dengan “gotong royong”. Sebagai contoh, pada masyarakat Jawa dikenal dengan semangat dan kelembagaan gugur gunung atau holo pis kuntul baris; pada masyarakat Maluku dikenal dengan pela gandhong; pada masyarakat Tapanuli dikenal dengan istilah dalihan natolu (Siahaan dalam Pranadji (2009); dan pada masyarakat Minahasa dikenal dengan istilah mapalus. Hal ini menunjukkan bahwa dalam khasanah adat istiadat di Indonesia akan banyak ditemui keragaman istilah (menurut istilah etnis atau suku bangsa setempat) namun memiliki makna relatif sama. Keragaman ini menunjukkan bahwa pada bangsa Indonesia secara sosio budaya dikenal semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini diharapkan dapat lebih dipahami mengenai hubungan antara konsep ”gotong royong” dan sosio-budaya di satu sisi yang lain. Revitalisasi adat istiadat, dikaitkan dengan upaya untuk menjadikan bangsa besar, kuat dan dihormati dalam pergaulan masyarakat dunia, perlu membangkitkan kembali elemen “gotong royong” sebagai kelembagaan yang strategis dalam perspektif sosio budaya pada masyarakat yang majemuk. Dengan semangat gotong royong atau holo pis kuntul baris (istilah Jawa), negara Indonesia ditegakkan kembali, dan roda pemerintahan dijalankan. Jika setiap golongan (etnis, adat, agama, atau sosial lainnya) menganggap dirinya lebih kuat atau lebih penting dari yang lain, maka saat itulah semangat gotong royong tidak dapat dijalankan dengan baik. Esensi gotong royong terkandung makna kesetaraan, keadilan dan kebersamaan dalam memecahkan masalah atau mencapai tujuan bersama. Dari perspektif ini, pemaknaan gotong royong mencakup bahwa dalam masyarakat Indonesia sudah terkandung makna adanya modal sosial dan budaya (social capital) dan masyarakat madani (civil society). Dapat dikatakan bahwa istilah gotong royong adalah substansi isi (old wine), sedangkan penggunaan frasa social capital dan civil society adalah pengemasan baru dari kekayaan adat istiadat kita. Menurut Soekanto (1984) gotong-royong diartikan sebagai bentuk kerja sama yang spontan yang sudah terlembagakan yang mengandung unsur timbal-balik yang sukarela antara warga desa dengan warga desa lainnya dan dengan Kepala Desa serta musyawarah desa untuk memenuhi kebutuhan desa, baik yang insindental maupun yang rutin dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama. Menurut Charles H. Cooley, kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerja sama. Pada masyarakat Indonesia terdapat bentuk kerja sama yang disebut gotong royong. Koentjaraningrat (1983) secara konseptual menyebutkan bahwa gotong royong dapat diartikan sebagai model kerja sama yang disepakati bersama dengan membagi dua jenis gotong royong berupa: a. gotong royong dalam bentuk tolong menolong yang terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa bencana atau kematian; b. gotong royong dalam bentuk kerja bakti, kegiatan ini biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum. Sikap dan perilaku gotong royong hampir ditemukan pada setiap kehidupan masyarakat Indonesia. 14. Hakekat Gotong royong Hakikat gotong royong dalam kehidupan masyarakat majemuk terjadi akibat didorong oleh adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri, dan dibantu oleh akal pikiran yang dimilikinya. Setiap orang sangat merasakan banyak manfaat serta keuntungannya dari nilai gotong royong (kerja sama), yang juga dapat memunculkan berbagai kepentingan kelompok tersebut. Nilai gotong royong merupakan salah satu wujud kebudayaan, sebagaimana halnya diketahui bentuk ketergantungan dan saling membutuhkan antarindividu dalam pemenuhan kebutuhannya. Dengan demikian, hubungan antarindividu, kelompok atau negara sebaiknya dibangun melalui kebudayaan yang ditunjukkan melalui nilai, norma dan kaidah. Manusia dalam kehidupannya mencari sesuatu yang bernilai untuk dijadikan landasan dalam berperilaku, sehingga nilai atau norma yang ada dalam suatu masyarakat dapat menjembatani perbedaan yang ada pada setiap suku, agama, ras, antargolongan, bangsa dan negara, karena nilai dan norma tersebut dapat meningkatkan kehidupan masyarakat dalam bergotong royong. 15. Perkembangan Gotong royong Bagi bangsa Indonesia, gotong royong tidak hanya bermakna sebagai perilaku sebagaimana pengertian yang dikemukakan di atas, namun juga berperan sebagai nilai-nilai moral, artinya gotong royong menjadi acuan perilaku, pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbagai kehidupan bermasyarakat. Penerapan atau pelaksanaan nilai gotong royong di Indonesia mengalami pasang surut yang dinamis mengikuti pola hidup masyarakat itu sendiri. Kata gotong royong telah digunakan oleh semua lapisan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat, nilai gotong royong telah mengalami pergeseran nilai, hal ini dapat kita lihat di perkotaan yang semakin jarang dilakukan, kehidupan kota yang memiliki kegiatan yang padat akan sulit menemukan waktu yang luang di samping juga masyarakatnya cenderung mempunyai sifat hidup yang individualistis, sehingga untuk melakukan gotong royong misalnya ronda, membersihkan lingkungan, pada umumnya tidak ikut serta dan sebagai kompensasinya adalah dengan memberikan uang, makanan dan minuman. Sebaliknya di daerah pedesaan, pinggiran kota, masih kita jumpai perilaku gotong royong baik untuk pribadi maupun umum, misalnya hajatan pengantin atau sunatan, sedangkan untuk kepentingan umum seperti halnya ada musibah atau bencana alam, nilai gotong royong masih dipegang sangat teguh oleh penduduk desa sebagai Nilai-nilai Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat dalam Pancasila. Di lingkungan kehidupan masyarakat, apabila terjadi musibah berupa kematian atau meninggal dunia, masyarakat dapat membantu memberi keringanan. Dari 1.200 responden, menunjukkan data sebagai berikut : 65% (777 responden) menyatakan bantuan atau keringanan yang diberikan jika terjadi musibah kematian di lingkungannya berupa uang, makanan, minuman dan tenaga serta pemikiran; 24% (296 responden) menyatakan uang, makanan dan minuman, serta tenaga; 5% (60 responden) menyatakan uang, makanan dan minuman; dan sisanya sebanyak 6% (67 responden) bantuan yang diberikan berupa uang. Nilai-nilai gotong royong menunjukkan bahwa secara umum masyarakat di kedua belas provinsi sangat baik, tingginya persentasi bentuk bantuan yang bersifat menyeluruh (uang, makanan dan minuman, tenaga serta pemikiran) mencerminkan bahwa masyarakat masih menerapkan budaya gotong-royong di daerahnya. Di tengah era modern yang serba praktis di mana uang dianggap sebuah alat yang dapat mewakili seseorang termasuk memberikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan, masyarakat di 12 (dua belas) provinsi tidak hanya mengandalkan uang sebagai ungkapan bela sungkawa, namun juga makanan dan minuman, tenaga serta pemikiran merupakan bentuk ungkapan bela sungkawa lainnya yang diberikan oleh para kerabat dan tetangga. Gotong royong sebagai sebuah etika nilai-nilai ketimuran merupakan sebuah budaya yang harus tetap dipelihara oleh seluruh masyarakat, termasuk dalam suasana duka. Pemberian bantuan selain uang juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk empati yang bersifat dukungan moril yang justru dapat dirasakan sebagai ungkapan tulus yang dirasakan oleh keluarga yang sedang mengalami duka. Bencana alam yang selama ini terjadi, masyarakat di daerah ini dapat berpartisipasi aktif untuk membantu meringankan beban masyarakat yang kena bencana alam berupa menunjukkan dari 1.200 responden, menunjukkan data sebagai berikut: 57% (688 responden) menyatakan bantuan atau keringanan yang diberikan jika terjadi musibah kematian di lingkungannya berupa uang, makanan, minuman dan tenaga serta pemikiran; 23% (280 responden) menyatakan uang, makanan, minuman dan bahan bangunan serta tenaga; 13% (152 responden) menyatakan uang, makanan dan minuman; dan sisanya sebanyak 7% (80 responden) bantuan yang diberikan berupa uang. Gotong royong dengan mean score 3,49% artinya sangat tinggi, kesediaan berperan serta aktif dalam bencana sebesar 3,31%. Sikap gotong royong masih dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat. Bila terjadi bencana alam, masyarakat secara sukarela membantu para korban bencana alam. Masyarakat memberikan bantuan dukungan moril dan materiil sebagai rasa simpati. Pemberian bantuan bagi para korban bencana, datang juga dari luar daerah bencana. Sikap yang simpati ditunjukkan dengan memberikan bantuan berupa uang, makanan dan minuman termasuk pemikiran. Ada juga dengan tenaga secara sukarela membantu meringankan para korban. Hasil riset itu menunjukan bahwa dari segi gotong-royong yang merupakan nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia dirasakan mulai memudar. Muncul model gotong royong dalam versi baru berupa sumbangan uang, makanan dan minuman, hal ini sebagai akibat dari pengaruh lingkungan strategik dalam era global yang berkembang saat ini. 16. Implementasi Gotong royong Melihat pengamalan saat ini, masih dirasakan belumlah optimal dan implementasi asas gotong royong di berbagai kehidupan masyarakat. Perwujudan partisipasi rakyat dalam era reformasi sekarang ini adalah merupakan pengabdian dan kesetiaan masyarakat terhadap apa yang merupakan agenda reformasi tersebut harus senantiasa bergotong royong dalam kebersamaan untuk mewujudkannya. Sikap gotong royong memang sudah menjadi kepribadian bangsa Indonesia yang harus benar-benar dijaga dan dipelihara. Akan tetapi, arus kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap sikap dan kepribadian suatu bangsa yang juga diikuti oleh perubahan tata nilai dan norma yang berlaku serta dipatuhi oleh masyarakat sendiri. Adapun nilai-nilai gotong royong yang telah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia, tentu tidak akan terlepas dari pengaruh tersebut. Namun, kita patut bersyukur bahwa sistem budaya kita yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan, merupakan benteng kokoh dalam menghadapi arus perubahan zaman. Untuk dapat meningkatkan implementasi asas kegotongroyongan dalam berbagai kehidupan, perlu dibahas latar belakang dan alasan pentingnya bergotong rotong, yaitu sebagai berikut: a. bahwa manusia membutuhkan sesamanya untuk mencapai kesejahteraan baik jasmani maupun rohani; b. manusia baru berarti dalam kehidupannya apabila ia berada dalam kehidupan sesamanya; c. manusia sebagai makhluk berbudi luhur memiliki rasa saling mencintai, mengasihi, dan tenggang rasa terhadap sesamanya; d. dasar keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengharuskan setiap manusia bekerja sama dan bergotong royong untuk mencapai kesehjahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat; e. usaha yang dilakukan secara gotong royong akan menjadikan suatu kegiatan terasa lebih ringan, mudah, dan lancar. 17. PENUTUP Esensi Nilai-Nilai Sesanti Bhinneka Tunggal Ika dari Nilai-nilai Kebangsaan merupakan nilai yang melekat pada setiap diri warga negara atau norma-norma kebaikan yang terkandung dan menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia yang bersumber dari Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang mencerminkan sikap dan perilaku setiap warga negara yang senantiasa mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta ikut bertanggung jawab dalam menjaga ketertiban dunia. Perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka memelihara dan menjaga satu kesatuan sebagai bangsa “nation” penuh dengan dinamika dalam mempertahankannya. Dari sejarah perjuangan bangsa, terjadi berbagai peristiwa yang ingin memisahkan diri dari keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di beberapa daerah, hal ini menjadi catatan penting bagi bangsa dan negara. Untuk itu diperlukan komitmen bersama dalam menjunjung tetap tegaknya kedaulatan bangsa. Berbagai peristiwa pengkhianatan, bahkan perjuangan politik yang ilegal melalui konstituante terjadi di beberapa daerah yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat guna memecah belah nilai-nilai yang terkandung dalam Sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Nilai-nilai Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini menjadi nilai dasar pemersatu bagi seluruh bangsa Indonesia khususnya dalam penanaman toleransi, keadilan dan gotong royong untuk pengembangan rasa, jiwa dan semangat pemersatu bangsa dalam mengisi pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita nasional, saat ini ternyata mengalami suatu kemunduran (degradasi) khususnya dalam rasa, jiwa dan semangat kebangsaan. Indikasi dari degradasi tersebut terlihat semakin menipisnya kesadaran dan kurang dihayatinya tatanan kehidupan yang berdasarkan nilai-nilai Sesanti Bhinneka Tunggal Ika pada setiap lapisan masyarakat. Oleh karena itulah kita perlu mengangkat kembali nilai-nilai kebangsaan khususnya yang terkandung dalam Sesanti Bhinneka Tunggal Ika demi menegakkan jati diri bangsa dalam membangun kesadaran semangat mempertahankan dan menjaga keutuhan serta menegakkan kedaulatan NKRI dari pengaruh arus globalisasi yang bersifat multidimensional Jakarta 10 AprilL 2015

1 komentar:

  1. kalau boleh minta file yang lebih sistematis donk, bisa kirim ke atangkusuma@gmail.com

    BalasHapus