Kamis, 05 Desember 2019

FPI LANJUT APA BUBAR

FPI: on genealogy 
Oleh: Iskandar Hadrianto *)
 “Mengkaitkan FPI dengan diskursus politik c.q. penistaan agama dalam kasus Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama adalah pandangan uprooted zonder ‘der gegenstand’ holistic. Untuk Itu perlu verifikasi, ‘due diligence’, apakah FPI gerakan syiar atau galiisme/premanisme berkedok agama (baca: Islam) dengan agenda khilafah dais?” Kulminasi pro-kontra tentang Front Pembela Islam - FPI sudah sampai pada critical masses (titik-didih). Lepas dari tujuan, AD-ART organisasi massa (ormas) yang menamakan dirinya sebagai “pembela Islam” dan memiliki ayatollah (imam besar) Hadromi bernama Rizieq Shihab, seharusnya perdebatan pro-kontra bersifat mature (matang, komprehensif). Disini tak perlu lagi dibahas, FPI sebagai paramilitary bentukan oknum TNI sebagai konsekuensi ‘gegeran’ Reformasi 1998. Semua orang tahu. Intinya, yang terpenting adalah “what’s next” terkait Surat Keterangan Terdaftar (SKT) bagi Ormas. Termasuk pengerian “khilafah” yang kepada publik (men in the street) juga ummat agama lain; harus dijelaskan oleh para ayatollah MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai wadah ‘gerontolocracy’ para kyahi model Tarekat di Qom Iran dengan fatwa ultimate. Dilain pihak “what if” jika zonder dicantumkannya Pancasila dalam AD-ART nantinya ‘behavior’ Ormas FPI menyimpang dari cita-cita NKRI yang berideologi Pancasila dan berlandasan dasar Konstitusi (baca: UUD-1945). Atau alih-alih FPI mimicry (mbunglon) macam Nasional Demokrat; dari ormas jadi Partai Nasdem dibawah Oom Brewok Surya Paloh. Ngaku saja, yang ditakutkan khalayak umum (mayoritas) adalah jika kekuatan FPI jadi kuda tunggang politik yang mengarah pada Piagam Jakarta. Atau bahkan daulah islamiya dengan amirulmukminin model khalifatullah Abubakar pasca wafatnya Nabi Besar Muhammad s.a.w. Dalam konteks ini, dedongkot & para anggota FPI juga harus menyadari ‘ketakutan’ mayoritas ummat Islam Indonesia plus minoritas ummat agama non-islam; termasuk WNI yang antum sebut ‘non-pribumi’ keturunan Cina. Aneh-nya Hadromi (turunan Arab) koq tidak disebut non-pribumi. Apakah kita (inlanders non-Arab non-Cina) memang bahlul? PeKokNdeLi? Guoblok setengah hidup? Kembali ke FPI. Dik Rizieq Shihab (adik klas Ibu Negoro di SMP-40 Pejompongan sebelah SD-2) WNI keturunan penjual biang (bibit) parfum (minyak wangi) ini okem (suka dugem). Dipecat dari SMP-40 akibat mbejujag, othal-othalan (baca: nakal liar pol model encik cilik - bocah arab). Akhirnya lulus SMP Penabur (Kristen). Sang ‘preman’ Rizieq itu sejak muda konconya lintas-agama. Suatu ketika tahun mid1990-an dalam reuni SMP-40 Habib Rizieq Shihab (HRS) datang pakai jeans dan baju kaos. Tak heran kepalanya diuyeg-uyeg teman & senior yang heran, koq ente bisa jadi Habib story nya gimana? Bahkan setelah dinobatkan sebagai ayatollah FPI pasca 2000, HRS kumpul teman ex-SMP 40 tidak pernah sekalipun nampak bersorban & baju gamis. Ummatnya saja yang pontificate (mem-Paus-kan) HRS sebagai keturunan Nabi Muhammad dan dielu-elukan sebagai ayatollah - imam besar. Model santri gudigen (baca: non educated moslem) yang tidak begitu faham Qur’an, Hadist, Fiqh, Adab (history) apalagi kitab kuning; kecenderungannya cari role model. HRS yang habis dicelub (dikirim ke Arab Saudi) entah belajar Islam atau sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia)yang faham Bahasa Arab seperti anak encik (bocah turunan Hadromi Arab) Sarkliwon, Pekalongan, Krukut, Condet lainnya ... koq pulang bersorban, ngaku habib dan jadi gegedug ngeslam. Bisa jadi sangking mlaratnya njit (Mbah) dan Abah (Papà)-nya encik cilik dikirim ke Hadramaut atau Jazirah untuk kerja di Negeri petro-dollar. Sembari belajar kefasihan berbahasa Arab& ilmu agama. Pulang ngaku Syech (guru) bahkan habaib. Inlanders memang mudah kagum pada produk asing atau yang berbau asing. Lihat saja dikampung-kampung. Guruku ngaji Ustadz Mudakir Muhsin Drs. Geography nggak dipandang sebelah mata jika di pengajian muncul Abdullah Taufail Saputra (Pakistani), Ba’asyir atau Sungkar yang ngArab Hadromi. Kyai Sahlan Rosidi bapaknya Mbak Fadillah ex Menteri Kesehatan pun ‘kalah awu’. Yang lebih dihormati para Santri Gudigen inlanders bahlul adalah ngustadz asing atau berbau asing. Tuch dia contoh, Wan Jaber bakul (penjual) jinten (kapulaga, cardamon) yang suka ditayangkan TV pengajian akbar di area PasarMinggu, Zaki Encik ‘lolak-lolok’ Sarkliwon, Syech kakaknya Jamal tengkor imam Masjid Segaff Wiropaten... jadi kabib tiban. Padahal kecilnya kutahu mereka khattam baca Qur’an pun kagak. Habib Syech? Okey Doki lah, dengan salawat badar yang dilantunkan mengandung ajaran seperti Kitab Ambiyo RNg. Yosidipuro pujangga Kraton (Tafsir al-Qur’an Jawen karya Ki Bagus Ngarfah tahun 1905). Tapi sorry to say & with all due respect saya pribadi kagak percaya ada habaib yang keturunan Nabi. Ingat, anak Fatmah (Sitti Fatima) dengan Bagendo ngAli - Sayyidina Ali) Hassan & Hussein dibantai Muawiyyah dan kaum Khawarij. Anak lelaki Fatmah lainnya miskram (miss carried) atau lahir premature dan meningggal. Sementara dalam kultur Kabilah garis keturunan dari wanita tidak diakui. Para Hadromi yang mengklaim diri sebagai habaib mungkin mengikuti Manzab bani Hasyim (Hashemite) seperti Raja Hussein dan Abdullah di Urduun (Jordan) yang keturunan at-Talal. Sedangkan as-Saud berkuasa di Saudi Arabia; ditunjuk British Authority sebagai Sheriff Makkah. Hadromi (orang asal Hadramaut (Yemen) katanya yang bermarga Alawiyin (keturunan Ali bin Abu Thalib menantu Rasulullah) “arrabithah al-alawii” dan berhak menyandang gelar Sayyid dan bersorban hijau. Di lain pihak ada Irsyadi (vide: ormas al-Irsyad) yang dianggap kastanya lebih rendah seperti Sungkar; termasuk marga ber-awalan Ba (Ba’Asyir Bawasir, Basalamah dsb). Tapi awas, Baudeh Itu Cina. Sebutan Arab Hadromi mal’un yang pikirnya semua Cina Itu Buddha (baca: baudeh). Tak jelas yang bin Sungkar Alurmeh Itu apa seperti 2nd class atau sederajat dengan Bani Thabathaba & Bani Hussein Di Tabristan (Iran). Alurmeh berkembang sampai Gujarat, lantas masuk Nusantara. Point to ponder: Apakah FPI identik Hizbut Tahrir (HTI) yang berakar ajaran Sayyid Qutb, Hasan al-Bana ataukah Wahabiisme? Rasa-rasanya bukan. Juga bukan waham dais - daulah islamiya al-Bhagdadi yang berkembang sebagai embryo ISIL (Islamic State in Iraq & Levant/Syria). Juga bukan ideologi Baathist (sosialisme Islam) model Saddam Hussein dan Hafez al Assad yang dilanjutkan anaknya: Bashar. FPI tidak juga mencita-citakan al-jamahiriya sebagaimana Muamar Khadafi. HTI jelas wahabi. Doktrin FPI yang dikenal luas adalah membela Islam. Namun apa yang dibela dan dari ancaman apa, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Namun Negara jangan sampai jadi authoritarian government yang mengekang kebebasan Rakyat dan menutup ruang publik (civil space) bagi perdebatan yang bermanfaat untuk “nation and character building”. Lantas bagaimana jika FPI akhirnya berubah jadi Darul Islam (DI) model Sekamadji Maridjan Kartosoewirjo atau TII (Tentara Islam Indonesia) antagonist TKR/TNI pimpinan Mayor Munawar (Batalyon 426) dan Sofyan Lasykar Hisbullah? Jadi ingat ceritera almarhum bapak. Munawar & Sofyan teman main & ngaji. Tapi begitu mereka ikut waham DI-TII Kartosoewirjo - jadi musuh. Karena mereka mengingkari cita-cita luhur NKRI yang berdasarkan Pancasila & UUD-1945. FPI berkembang sebagai embryo al-jamahiriya khalifatullah seperti model Fatimith-Abassyith-Umayyith? Meskipun usia sudah 65tahun demi tegaknya NKRI dan Islam yang “rahmatanlilalamin” (membawa rahmat, menaungi semua makhluk ciptaan Tuhan) kita masih bersedia membasmi sampai ke akar-akarnya. No further discussion jika FPI sebagai ormas bergerak di bidang sosial, dakwah (non Khawarij wal Wahabi wal Dais) dan bersikap toleran terhadap non-Islam plus minoritas WNI. *) United Nations University Academy graduate, APCSS alumnus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar