Sabtu, 17 November 2018

GEOPOLITIK CHINA DI BALI



*MEMBACA JARINGAN CHINA DI BALI DARI PERSPEKTIF GEOPOLITIK*

Kajian (ilmu) geopolitik senantiasa melihat persoalan negara dari 4 (empat) dimensi yang meliputi teori ruang (living space) atau lebensraum, dimensi frontier, dimensi keamanan negara dan bangsa, serta dimensi politik kekuatan atau sering disebut power concept. Secara singkat dan sederhananya dalam praktik (geo) politik, empat dimensi di atas artinya "pintu masuk." Pintu masuk untuk kemana? Kolonialisme! Ini memang sisi lain dari sebuah geostrategi. Pertanyaan kenapa geostrategi terkait dengan dimensi ---pintu masuk--- dalam pergeopolitikan .

Cluenya adalah, ruang adalah inti geopolitik, begitu kata Ratzel dan Haushofer. Apapun dimensi yang dipakai oleh kaum kolonial, poin inti yang ingin direbut adalah ruang, baik ruang secara fisik yaitu teritorial maupun ruang dalam arti nonfisik seperti pengaruh, sphere of influence, hegemoni dan lain-lain.

Amerika Serikat (AS) dan sekutu, misalnya, ketika mereka mengkoloni Afghanistan dan Irak dahulu, pintu masuknya adalah (dimensi) power concept dengan militer di depan. China pun demikian, ketika merambah ke negara-negara Afrika terutama Angola, Zimbabwe dll juga melalui power concept tetapi dari sisi (investasi) ekonomi yang didepan ---bukan militer--- bermodus debt trap. Jebakan hutang. Atau contoh lain lagi, lepasnya Sipadan Ligitan dari NKRI tempo doeloe, salah satunya akibat menebalnya frontier (batas imajiner antara pusat dan daerah akibat pengaruh asing) di wilayah perbatasan serta pembiaran berlarut oleh pusat terhadap frontier tersebut. Lazimnya pengaruh asing bermula dari ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), dan jika frontier tadi tidak dilakukan antisipasi maka dapat berujung ke aspek politik dan lain-lain.

Berbeda dengan Irak, Afghanistan, Angola dll yang dirambah kolonialis melalui power concept, nah -- lepasnya Sipadan Ligitan dari pangkuan Ibu Pertiwi justru melalui (dimensi) frontier. Ya. frontier berjalan senyap, tanpa letusan peluru dan tak ada asap mesiu.

Sebagaimana diulas sekilas di atas, frontier adalah batas imajiner antara pusat dengan daerah akibat pengaruh asing. Awal pengaruh adalah ekosob. Contohnya, secara faktual bahwa di perbatasan kini lebih dominan budaya Malaysia daripada Indonesia, atau chanel TV dan/atau frekwensi radio lebih (kuat) condong dari negeri sebelah, atau lapangan pekerjaan justru menjanjikan di luar, atau alat transaksi di perbatasan Indonesia-Malaysia menggunakan ringgit ---uang Malaysia--- bukannya rupiah, termasuk distribusi sembako, minuman kaleng dll berasal dari Malaysia dst. Artinya, jika suatu daerah terdapat frontier kemudian ada pembiaran oleh pemerintah daerah setempat (dan pusat) tanpa langkah-langkah antisipasi sama sekali, kelak bila dipicu oleh peristiwa politik ---referendum, atau sengketa hingga ke Mahkamah Internasional--- maka daerah tersebut niscaya lepas. Sipadan Ligitan adalah pengalaman pahit akibat pembiaran frontier oleh pusat.

Merujuk hal-hal di atas, hari ini, kita saksikan Gubernur Wayan Koster secara cerdas lagi berani mengantisipasi terbentuk dan menebalnya frontier di Bali. Pasalnya, jaringan China yang tengah menebalkan frontier melalui bisnis parawisita dan segmen ikutan lainnya seperti resto, penginapan, angkutan, dst --- dikikis habis. Ditutup total oleh Koster baik yang legal (berizin) apalagi ilegal. Kenapa demikian, bahwa praktik pariwisita yang dijalankan jaringan China tersebut terendus "tidak sehat", selain transaksi di semua segmen menggunakan mata uang (Yuan) China, termasuk penggunaan e-money tanpa melalui bank-bank di Bali, juga menggunakan wechat, transaksi online langsung ke China. Hal ini merupakan potret bahwa terbangun frontier oleh jaringan China. Melayani transaksi antar mereka sendiri, membuat jalur sendiri Bali - China, dan lain-lain.

Jadi, membanjirnya turis dari China tetapi tidak ada kontribusi sama sekali untuk Bali dan masyarakat. Rakyat cuma menonton. Uang hanya berputar di kalangan mereka sendiri bahkan kembali ke negara mereka, China.

Dalam perpektif geopolitik, apa yang terjadi di Bali merupakan ujud asymmetric warfare yang dilancarkan asing berpintu frontier ---salah satu dimensi geopolitik--- menebalkan batas imajiner antara pusat dengan daerah melalui pengaruh ekosob.

Bravo Pak Gubernur Bali, semoga langkah ini merupakan kontra skema atas tebaran frontier yang dilakukan China di tanah air. Sekiranya semua daerah agar waspada atas praktik-praktik frontier dengan berbagai cara dan modus.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam....

Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar