Selasa, 24 September 2013

LESSON LEARNED RANGKAIAN WORKSHOP DAN CONFFERENCE CYBER SPACE NEGARA ASEAN SERTA DAMPAKNYA BAGI INDONESIA

LESSON LEARNED RANGKAIAN WORKSHOP DAN CONFFERENCE CYBER SPACE NEGARA ASEAN SERTA DAMPAKNYA BAGI INDONESIA “The internet is fast, whereas criminal law systems are slow and formal. The internet offers anonymity, whereas criminal law systems require identification of perpetrators…The internet is global, whereas criminal law systems are generally limited to a specific territory. Effective prosecution with national remedies is all but impossible in a global space.” [Sieber, 2004] PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkembangan dunia dibidang teknologi, informasi dan komunikasi (informa tion communication and technology) / ICT mengalami kemajuan yang demikian pesat dan cepat, dan di luar dugaan. Melalui perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet dan peralatan komunikasi lainnya, manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia manapun dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari segala penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Di era 90 an semenjak perkembangan teknologi informasi menjadi sangat pesat, muncul adagium barang siapa menguasai informasi, menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba - lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejatuhan pemerintahan seperti Haiti dan Uni Soviet, yang tidak terlepas dari perang informasi global tersebut. Realitas menunjukkan bahwa Peralatan ICT disamping memberi manfaat bagi kemaslahatan masyarakat, di sisi lain juga memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dapat terjadi pada kejahatan biasa maupun yang secara khusus menargetkan kepada sesama infra struktur teknologi informasi dan komunikasi sebagai korbannya. Pelakunyapun dapat berupa aktor negara maupun non negara. Dampak dari kejahatan yang muncul dari penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi secara negatif dapat menyebabkan ancaman dan permasalahan terhadap aspek kehidupan masyarakat secara nasional dan transnasional. Dalam dunia bisnis, pemerintahan termasuk pertahanan dan keamanan hampir semuanya menggunakan sarana internet, komputer untuk menjalankan aktifitasnya. Internet secara total merubah kecepatan dalam melaksanakan bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa kreasi virtual telah menjadi bagian integral dalam menjalankan aktifitas sesuai fungsi masing masing dalam kegiatan dunia yang nyata. Na`mun demikian pemberdayaan teknologi yang telah diciptakan dan dibangun juga memperkuat bagi yang kurang bertanggung jawab untuk menganggu dan menghancurkannya. Hasil sutdy Symantec State of Enterprise Security menunjukkan bahwa beberapa tahun ini tiga dari empat aktifitas dunia bisnis mengalami serangan cyber (Cyber attacks ). Dimana mana pemerintah dan businesman disibukkan untuk meng countered Cyber attacks , antara lain Singapura dan Indonesia, China, USA dan masih banyak negara lainnya. Cyber attacks hanya memerlukan modal yang kecil atau sedikit manpower, tetapi kerusakan yang ditimbulkannya dapat terjadi sedemikan besarnya . Sebagai contoh insiden Sasser Worm pada tahun 2004 cyber attack oleh seorang siswa warga negara Jerman yang berumur 18 tahun, mampu menganggu dan merusak lebih dari lebih dari sejuta jaringan komputer komputer dunia, yang menyebabkan kerugian lebih dari 15 juta US $. Insiden ini menunjukkan bahwa serangan cyber dapat dilakukan hanya oleh satu orang atau grup kecil dapat menyebabkan dampak kerusakan jaringan yang begitu besar. Dengan analogi yang sama bagai mana kerugian tersebut diderita oleh Singapura atau perbankan Indonesia bila serangan itu terjadi, demikian pula untuk transaksi bisnis lainnya yang sudah on line. Dari sini dapat diketahui betapa pentingnya keamanan jaringan komunikasi (Info-Comm Security ). Demikian juga pentingnya keamanan terhadap cyber terorism dan cyber criminal. Merujuk pada latar belakang diatas maka tepatlah kiranya bila negara negara regional Asia Pacifik bekerja sama untuk menanggulang kejhatan ICT. Dalam rangka meningkatkan kerjasama dan membangun hubungan rasa saling percaya (Confidence Building Measure/CBM), baru baru ini Asia-Pacific Center for Security Studies (APCSS) bekerjasama dengan Universitas Pertahanan Singapura mengundang para alumni APCSS khususnya anggota yang berasal dari negara ASEAN, beserta para pakar, akademisi, praktisi untuk melaksanakan Workshop “Cyberia: Identity, Cyberspace & National Security”, dilanjutkan dengan konferensi yang melibatkan praktisi dan swasta mengenai “Cybersecurity & Cyberterrorism”, selama empat hari, dari tanggal 20 s/d 24 Agustus 2012. Peserta Workshop terdiri dari 50 peserta (termasuk penyelenggara APCSS Amerika dan Singapura), berasal dari lima negara Anggota ASEAN yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina. Peserta Confference terdiri 150 peserta, terdiri dari alumni APCSS, birokrat, praktisi, akademisi dan swasta. Bagi Unhan Singapura konferensi ini dilakukan sudah yang keenam kalinya, dan membawa kemajuan awareness terhadap utamanya terhadap Cybersecurity. Kegiatan APCSS di luar negeri (outreach) untuk tahun ini dilaksanakan di lima negara yaitu Singapura, Indonesia, Australia, Maldive dan Pakistan. Indonesia sebagai bagian dari anggota ASEAN, telah mengirimkan 5 personil alumni APCSS dari Setjen Wantannas, BAIS, BIN, POLRI untuk mengikuti workshop dan confference tersebut. Diharapkan kegiatan dimaksud dapat meningkatkan kemampuan berpikir yang berhubungan dengan isu keamanan, memberikan kesempatan untuk tukar menukar pengalaman, dialog membangun kesamaan pandang dan kapasitas ASEAN khususnya dalam merespon kontijensi, dan memperkuat networking, antar personel, kerjasama inter dan intrastate dalam menangani “Identity, Cyberspace & National Security, Cybersecurity & Cyberterrorism”, guna memberikan kontribusi khususnya dalam meningkatkan kapasitas Kementrian/ Lembaga (K/L), yang mampu merumuskan rekomendasi yang operable, tepat sasaran, dan tepat waktu kepada pimpinan negara. Hasil seminar workshop dan konferensi menunjukkan bahwa masih terjadi gap pengetahuan mengenai Identity, Cyberspace & National Security, Cybersecurity & Cyberterrorism penanggulangan serta prosedur dan hukum dimasing negara negara kawasan. PEMBAHASAN 2. Perkembangan Cyber Space Cyberspace merupakan istilah baru dimana pemahaman dan perkembangan nya disuatu negara dan negara lainnya berbeda, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Cyberspace, berakar dari kata latin Kubernan yang artinya menguasai atau menjangkau. Sedangkan kata Cyberspace pertama kali digunakan oleh William Gibson dalam novel fantasi ilmiahnya Neuromancer yang terbit pada tahun 1984, dimana digambarkan Meatspace dan Cyberspace sperti koin uang logam. Meatspace sebagai dunia nyata dan Cyberspace sebagai dunia maya sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Kata ini sendiri dipopulerkan oleh Bruce Sterling dan John Perry Barlow. Cyberspace secara de facto diangggap sebagai jejaring Internet, kemudian World Wide Web. Sehingga saat ini kita berasumsi Cyberspace sama dengan internet. Perkembangan cyberspace sangat pesat, dimana penggunaannya telah berkembang ke hal positif dan negatif yang dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara dalam menangani keamanan nasionalnya. Dalam 5 tahun terakhir 2007 s/d 2012 Asia menjadi tempat pertumbuhan pengguna internet yang paling pesat dan paling banyak (53%) populasi internet dunia berasal dari Asia, dengan pertambahan pengguna internet dari 415 miilion menjadi 1,1 billion dalam 5 tahun . 3. Peningkatan Ancaman Cyber Kebutuhan untuk menanggapi tantangan keamanan dapat dilihat dari meningkatnya pengguna jaringan di Asia Timur yang mendapatkan serangan cyber. Di Jepang misalnya, laporan kejahatan cyber pada tahun 2005 meningkat 52 persen (untuk 3.161 insiden dilaporkan) dari tahun sebelumnya. Tren serupa juga bisa dilihat di Korea Selatan di mana, pada tahun 2002, jumlah kasus kriminal berbasis internet meningkat menjadi 60.000 naik dari 121 pada tahun 1997. Pada tahun 2006 telah meningkat menjadi 70.545 kasus, dengan penipuan identitas dan hacking menjadi dua jenis kejahatan yang paling umum. Meskipun kemajuannya mengalami lompatan yang tidak dapat diragukan lagi, namun demikian walaupun sudah ada undang undang dimasing masing negara regional, kejahatan cyber tetap meningkat, di regional serta ekstra yurisdiksi. Statistik kejahatan dunia maya tersebut masih belum maksimal, karena apa yang dilaporkan tidak sesuai dengan jumlah kejahatan didunia maya dan masih adanya variasi definisi kejahatan dunia maya, serta keengganan pihak swasta, perusahaan untuk mengungkapkannya. Selain peningkatan jumlah ancaman cyber, sifat ancaman juga berubah, kelompok maya (virtual) menjadi lebih canggih dalam struktur serangan mereka. Umumnya berkisar pada jenis penipuan yang menggunakan situs web, ponsel untuk mencuri nomor kartu kredit dan pencurian identitas, penipuan melalui dengan meluncurkan virus atau spyware, dan "malware" seperti Trojan, yang memungkinkan penjahat untuk dapat mengkontrol ribuan komputer dan melakukan serangannya. Yang terakhir ini telah berkembang secara sangat signifikan, mengingat pertumbuhan internet seperti kehadiran online di China, yang merupakan pengguna internet terbesar di dunia. Ini akan menjadi isu yang menjadi perhatian tidak hanya untuk China, tetapi juga untuk negara-negara lain terkena dampak keberadaan website. 4. Identitas (Identity) Identitas merupakan 'karakter dasar negara' atau sebuah konsep relasional. Identitas dikonstruksi secara sosial. Identitas merupakan gambar individualitas dan kekhasan ("kedirian") yang diselenggarakan dan diproyeksikan oleh aktor dan dibentuk melalui hubungan signifikan dengan "orang lain. " Karena permasalahan identitas baik kelompok atau negara dapat menimbulkan konflik yang dapat mengancam keamanan nasional Kejahatan yang dilakukan sekarang ini salah satunya dengan memalsukan identitas yang dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan Regional. Dari pelaksanaan diskusi tingkat regional dapat disampaikan hal hal penyalah gunaan identitas beresiko terhadap keamanan antara lain: (a) Groups use identity for violent action-’lone wolf’ phenomenon (self radicalized individual and cells); Fenomena adanya Grup yang menggunakan identitas untuk tindakan tindakan kekerasan-'lone wolf' (individu radikal diri dan sel); (b) Clashes between groups (intra state)-Intolerance-religious-majority vs minority; (Bentrokan antara kelompok (intra state)-Intoleransi-agama mayoritas vs minoritas); (c) Increase probability of groups developing linkages with other international terrorist groups to strengthen and accrue logistical support-transnational linkages; (Kemungkinan Meningkatnya kelompok mengembangkan hubungan dengan kelompok-kelompok teroris internasional untuk memperkuat jaringannya dan terkait dengan dukungan logistik-transnasional); (d) Online emulation, replication, radicalization-learning from other theatres-copy cat techniques; (emulasi online, replikasi, radikalisasi-learning dari teater-lainnya dengan meniru teknik cat); (e) Spill over effect-chain reaction-religious attacks; (Imbas atas reaksi berantai-serangan agama); (f) Sabotage, espionage, subversion; (sabotase, spionasi dan subversi); (g) Identity is important/significant- but other factors come into play like governance, education, rights. ) (Identitas adalah penting/significant- tetapi ada faktor-faktor lain yang ikut bermain seperti pemerintahan, pendidikan, hak azasi) 5. Keamanan Nasional Keamanan nasional (National Security) adalah kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup negara melalui penggunaan ekonomi, proyeksi diplomasi, kekuasaan dan kekuasaan politik. Awalnya keamanan nasional (kamnas) berfokus pada kekuatan militer, sekarang mencakup berbagai aspek, yang semuanya mencakup pada keamanan militer, non ekonomi bangsa dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat nasional. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memiliki keamanan nasional, negara perlu memiliki keamanan ekonomi, keamanan energi, keamanan lingkungan, dan lain-lain. Ancaman keamanan tidak hanya melibatkan musuh konvensional seperti lainnya negara-bangsa tetapi juga aktor non-negara seperti kekerasan non-state aktor, kartel narkotika, perusahaan multinasional dan organisasi non-pemerintah, beberapa pihak berwenang termasuk bencana alam dan peristiwa yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Perkembangan ICT memudahkan untuk mengendalikan keamanan nasional, tetapi juga mempermudah organisasi yang tidak bertanggung jawab untuk menyerang, mengnagganggu dan menggagalkannya. Masing masing negara berusaha untuk menjamin tercapainya kepentingan nasional dengan cara mengambil Langkah-langkah antara lain sebagai berikut: 1) menggunakan diplomasi untuk menggalang sekutu dan mengisolasi ancaman; 2) marshalling kekuatan ekonomi untuk memfasilitasi atau memaksa kerjasama; 3) mempertahankan angkatan bersenjata yang efektif; 4) menerapkan langkah-langkah kesiapan pertahanan sipil dan darurat (termasuk undang-undang anti-terorisme); 5) memastikan ketahanan dan redundansi infrastruktur kritis; 6) menggunakan layanan intelijen untuk mendeteksi dan mengalahkan atau menghindari ancaman dan spionase, dan untuk melindungi informasi rahasia; 7) menggunakan layanan kontra intelijen atau polisi rahasia untuk melindungi bangsa dari ancaman internal. Namun demikian Hasil Pooling seluruh peserta workshop dan confference 2012 di Singapura menunjukkan: Tiga ancaman jangka pendek yang paling serius terhadap keamanan yang dapat mengancam keamanan nasional masing masing negara adalah: Religious extremism; Terrorism ; Pandemic disease/ Natural disaster ; Maritime crisis ; Cyber crisis ; Energy/ Environmental crisis ;Corruption ; Ethnic tensions dan Other. Sebagai perbanding bahwa anncaman bersama yang ditetapkan oleh para Menteri Pertahanan ASEAN dan para Panglimanya yang terdiri dari enam hal: terorisme, keamanan maritim, Humanitarian Assistance/Disaster Relief (HADR), bencana alam, foodsecurity, dan climate change. Dari sini kelihatan bahwa cybersecurity belum merupakan prioritas ancaman. Selanjutnya dapat diprediksi kemungkinan prioritas untuk mengatasi ancaman kedepan yaitu: (1) Dengan melaksanakan diskusi Inter agency collaboration pada tingkat national- Cyber crime bill in ASEAN-external experts to be involved- MoU/ Agreement between government and private sector. (Aturan bersama Cyber crime di Asean, pelibatan ahli dari eksternal disertai dengan MOU antara pemerintah dan sektor swasta) (2) More private sector participation/ PPP where practical/ feasible. (Partisipasi sektor swata akan lebih banyak/ppp secara praktis/Feasible). (3) International organizations for eg. UN and related agencies-provide framework-multilateral. (Organisasi internasional, contohnya UN dan agen lainya yang sesuai memerlukan kerangka kerjasama multilateral). (4) Need to harmonize domestic legal frameworks within ASEAN to deal with cyber crime and related issues. (Memerlukan harmonisasi kerangka hukum domestik sesama angota ASEAN dalam menangani cybercime dan isu isu terkait). (5) Need for advocate inside governments-need for CIO/CTO (membutuhkan bantuan dalam pemerintahan-kebutuhan CIO/CTO) (6) Need to attract TRACK II interaction-SME, practitioners, academia, NGO personnel. (perlu untuk menarik interaksi dalam diplomasi track II, SME, praktisi, akademisi, LSm dan personel). (7) Integrating national with regional and global efforts. (mengintegrasikan upaya nasional, regional dan global). (8) New technology based on Malaysia experiences-push (get message out)-pull (get website more interactive)-networking (interaction with public). (Teknologi baru berdasarkan pengalaman Malaysia-mendorong (keluar message)-tarik (mendapatkan website lebih interaktif)-networking (interaksi dengan publik)). (9) Need for change for mindset in governments-willingness to embrace new technology for greater public interface-will require new resources. (Perlu untuk perubahan pola pikir bagi pemerintah, kesediaan untuk mengadopsi teknologi baru untuk hubungan dengan masyarakat yang lebih besar, membutuhkan sumber daya baru). 6. Cyberspace, Cybercrime dan Cybertrorism a. Cyberspace. Perhatian negara negara dan ASEAN terhadap cyberspace utamanya cybercrime dan cyberterorism, masih kurang. Hal ini disamping dibutuhkan SDM dengan pengetahuan IT yang tinggi, brain ware dan software mengenai IT dan komputer. Singapura secara struktur sudah mempunyai badan yang menangani masalah cyber security, negara ASEAN lainnya kelihatan belum memilikinya. Malaysia, setelah peristiwa Ambalat 2005 mulai menaruh perhatian terhadap cybersecurity dan dikoordinasikan oleh dewan keamanan nasionalnya (National Security council), bekerjasama dengan kementrian telekomunikasi dan swasta. Negara negara ASEAN lainnya secara struktural belum kelihatan secara serius menanganinya. Indonesia masih pada tahap wacana, konsep dan sarasehan. b. Cybercrime Cybercrime menurut Komisi Eropa didefinisikan "Tindakan kriminal atau pelanggaran yang dilakukan melalui jaringan komunikasi elektronik dan sistem informasi atau sistim jaringan yang berisiko terhadapnya", Yang digolongkan sebagai Aksi Cybermafia Acute kelompok penjahat Dunia maya yang terorganisir. Lingkungan kegiatan kriminalitas siber kelas Dunia salah satunya seperti yang terjadi ditahun 2001, ketika 150 pakar pengguna internet melakukan rapat di Eropa bagian Timur tepatnya Ukraina untuk membentuk suatu organisasi kriminal 'Carder Planet' dibawah pimpinan Dmitry Glubov sebagai 'Godfather'. Artikel Baru pemahaman Equity bahwa internet mampu menciptakan kesempatan pencucian uang dan dapat mendatangkan keuntungan, dengan 'Perdagangan data perbankan.' Kelompok yang tergolong mafiacyber ini mengorganisir pencurian Data Kartu fasilitas kredit lalu menggunakannya dengan tidak sah. Dari demonstrasi dan penjelasan dari Agen USA disampaikan bahwa mafia cyber ini yang terbesar berasal Yunani dan Rusia. Para pelaku kriminal dengan cybercriminal dapat mencuri data lewat internet, mencuri uang lewat ATM, mencuri uang lewat antar BANK dan kriminal lainnya menggunakan cyberspace. c. Cyberterrorism Cyberterrorism adalah bentuk extreme lain dalam terminologi dunia modern yang melibatkan aksi-aksi dengan teknologi untuk tujuan politis lewat aksi kriminalitas maya seperti penyerangan sistem komputer, networks, yang tujuannya membahayakan, merugikan bahkan dapat menciderai kehidupan manusia dan mengancam keamanan nasional suatu negara. Diantara aksi mereka targetnya mencari kelemahan (vulnerability) dalam sistem kontrol transportasi (traffic control system) yang dapat menimbulkan kerusakan dan membahayakan keselamatan jiwa umat manusia. Mengutip satu definisi umum, menurut agen FBI Mark Pollitt ‘cyberterrorism is the premeditated, politically motivated attack againts information, computer systems, computer programs, and data which result in violence againts noncombatant targets by subnational groups or clandestine agents. Ditambahkan Danning, pakar cyber-politics, bahwa aksi-aksi terorisme melalui dunia cyber dapat menyebabkan kerugian-kerugian yang sangat serius, bisa berupa kesulitan ekonomi sampai dengan menghilangkan kekuasaan suatu Pemerintahan atau targetnya membuat collaps Perusahaan di suatu negara. Diawal-awal kemunculannya salah satu aksi cyberterrorism yang menyita banyak perhatian dunia global diantaranya yang terjadi di Jepang tahun 1995 dimana sebuah software yang disusupkan terroris berhasil mengacaukan jalur transportasi di Tokyo yang membunuh 12 orang dan melukai lebih dari 6000 orang. Memang dipertanyakan definisi cyberterrorism karena definisi terrorism sendiri sampai dengan sekarang ini PBB belum satu kata, namun setidaknya dengan definisi diatas Cyberterrorism yang merusak, merugikan materiil maupun nyawa tersebut perlu ditanggulangi. d. Gigihnya Ancaman Terorisme Ancaman terorisme terus-menerus, sangat kompleks dan selalu berkembang. Kita semua tahu bahwa teroris mengabaikan kehidupan manusia dan tidak terpengaruh oleh batas-batas geografis. Mereka telah menggunakan internet untuk tujuan perekrutan, pendanaan, training, pengontrolan dan pengembangan organisasi, fund dressing serta indoktrinasi dan mengajak untuk berbuat radikal. Ada juga ketakutan bahwa terorisme dan pembajak secara terpadu mengancam rantai pasokan maritim di seluruh dunia. Setiap hari masih terjadi berita media yang menyiarkan adanya ancaman terrorisme dinegara negara regional, termasuk di Indonesia. Media juga memberitakan penembakan yang dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap kaum teroris maupun penembakan yang dilakukan oleh teroris terhadap polisi. Walaupun telah diberlakukan UU penanggulangan terorisme di Indonesia, internal security act seperti di Singapura dan Malaysia, namun itu semua tidak dapat menjamin dan menghentikan adanya serangan terorisme. Seperti Singapura yang telah memberlakukan ISA selama 20 tahun, menahan Muhammad Fadil Abdul Hamid seorang radikalis Singapura yang telah melakukan kontak online dengan seorang perekrut yang dicurigai Al-Qaeda dan ingin memulai jihad bersenjata di luar negeri. Dua warga negara Singapura lainnya, Muhammad Anwar Jailani dan Muhammad Thahir Shaik Dawood, juga ditempatkan pada Restriction Orders. Mereka juga telah bertindak radikal sesuai dengan ideologi jihad. Sementara itu di daerah, kegiatan teroris yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah (JI) masih tetap berlangsung. Pada bulan Februari 2008, anggota JI Rijal Yadri bin Jumari ditangkap dan ditahan di bawah Internal Security Act. Pada saat penangkapannya, Rijal bekerja dengan unsur-unsur JI asing untuk menghidupkan kembali jaringan JI klandestin Singapura. Pada bulan Juli 2008, satu di antara mereka ditangkap oleh Indonesia dalam serangan di Palembang. Sel teroris telah mengumpulkan bahan peledak untuk serangan yang direncanakan terhadap sasaran lokal maupun asing di Jakarta. Ketika Mas Selamat Kastari ditangkap kembali di Malaysia pada tahun 2009, ia telah didukung oleh simpatisan di daerah. Tahun 2012, Indonesia menemukan sebuah kamp pelatihan teroris di Aceh dan menemukan bahwa mereka memiliki hubungan dengan elemen JI. Hanya dua bulan sebelumnya, pemerintah Indonesia menemukan peta stasiun MRT di Orchard ketika mereka menyerbu sebuah tersangka sel teroris di Jakarta Timur, yang memunculkan kecurigaan bahwa para teroris menargetkan stasiun tersebut. Dan terakhir pada bulan januari 2013 polisi telah menembak mati 5 pelaku yang diduga terorisme dari Sulawesi. Indonesia juga telah menangkap, mengadili pelaku tindak terorisme yang jumlahnya cukup banyak mencapai ratusan orang. Hal ini menunjukkan masa masa suram, bahwa meskipun telah dilakukan penangkapan terhadap personil kunci Al-Qaeda dan afiliasinya diberbagai daerah regional, sepertinya JI tidak hancur tetapi malah terpecah ke dalam sel yang menyebar kedalam kelompok. Meskipun jaringan pusat Al-Qaeda telah dilemahkan, tetapi ideologi jihad tetap hidup. Teroris memanfaatkan anonimitas dunia maya untuk menyebarkan ideologi mereka, bertukar informasi, dan merekrut anggota baru. Ini menjelaskan kebangkitan terus menerus terorisme. Perlu diingat bahwa ancaman terorisme adalah nyata terjadi setiap saat di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Indonesia, Singapura telah dan tetap menjadi target ikon untuk teroris. Sebagai pusat transportasi keuangan dan rumah bagi ribuan perusahaan multinasional, banyak dari Barat, maka Singapura dapat menjadi sasaran yang menarik bagi mereka yang ingin menyerang info-comm dan infrastruktur rantai pasokan. Demikian pula hal ini dapat terjadi untuk kota kota besar lainya seperti jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok dan Manila. Oleh karena negara negara ASEAN harus tetap waspada dan seluruh bangsa menaruh perhatiannya terhadap upaya upaya yang dilakukan demi menjaga stabilitas keamanan nasionalnya. Pemerintah, pelaku bisnis dan setiap individu - kita semua - memiliki bagian untuk untuk memastikan bahwa Jakarta, Singapura tidak menjadi korban serangan teroris, dengan mempertimbangkan ancaman terhadap keamanan masing masing negara. e. Cyberwar dan Cyberwarfare Hasil beberapa kali diskusi juga menyimpulkan bahwa perang kedepan akan memasuki rea cyberwar yang merupakan perang konsep, oleh karenanya butuh pengetahuan Informasi, komputer baik brain ware, hardware, maupun software, oleh karenanya perlu kepedulian yang tinggi (Cyber Domain Awareness) bagi tiap negara untuk meningkatkan kerjasama regional, utamanya menghadapi cyberterorism dan cybercrime. Indonesia menyelenggarakan sarasehan nasional Cyber deffence, yang diadakan dikemhan pada tanggal 2 oktober 2012, menekankan perlunya cyber army untuk mengantisipasi serangan melalui dunia maya tanpa menghadirkan pasukan. Cyber army yang dimaksud disini adalah prajurit cyber yang terdiri dari individu individu terampil serta ahli dalam cyber warfare, yang dituangkan dalam konsep Pembangunan Nasional Cyber defence, sebagai garda terdepan dalam menjawab tantangan perang informasi . Kesadaran semacam ini masih memerlukan usaha keras untuk mengakomodasikannya sebagai bagaian dari pertahanan nirmiliter. Tentunya bukan hanya individu yang terampil tetapi secara institusional meberdayakan seluruh potensi bangsa, khususnya yang berkompeten dalam bidang informasi. 7. Dampak Cyber space bagi Indonesia Dalam era globalisasi saat ini, dinamika dan fenomena cyberspace merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi dan informasi yang sangat pesat. Sarana yang digunakan antara lain adalah situs jejaring sosial berupa Facebook, Twitter, Friendster, Flickers, Blogger, Wordpress, youtube dan lain-lain dimana keberadaannya telah mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindak setiap individu dalam memanfaatkan cyberspace. Dampak positifnya masyarakat dan pemerintah akan dengan mudah mendapatkan informasi secara real time dan cepat, Kejadian disuatu negara dapat diketahui saat itu juga dinegara belahan bumi yang lain, transaksi bisnis lebih effisien dan cepat, dapat melakukan aktifitas sosial secara on line, memudahkan pencarian informasi keluarga, sahabat, korespondensi dan manfaat lainnya. Indonesia adalah pengguna internet facebook terbesar didunia antara bulan Oktober 2011 26.598.240 pengguna menjadi 29.844.240 pengguna face book dengan pertumbuhan 12,2% . Dari total pengguna facebook 78% memakai mobile phone. Facebook Population in Southeast Asia Total Users (as of 1 Oct 2010 and 1 Nov 2010) and % Month-on-Month Growth Rank Country Nov 01 Oct 01 % Growth 1 Indonesia 29,844,240 26,598,240 12.2% 2 Philippines 17,942,340 16,349,240 9.7% 3 Malaysia 8,815,780 8,136,780 8.3% 4 Thailand 6,071,480 5,376,700 12.9% 5 Singapore 2,382,200 2,273,440 4.8% 6 South Korea 1,730,320 1,454,740 18.9% 7 Japan 1,688,600 1,411,260 19.6% 8 Vietnam 1,493,600 1,270,560 17.6% 9 Brunei 187,740 169,240 10.9% 10 Cambodia 162,800 130,680 24.6% 11 Laos 28,960 28,620 1.2% Dari penggunaan yang terbanyak ini harus ada benefit secara ekonomi dan digunakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Contohnya pada peristiwa Ambalat tahun 2005, bagaimana volunter warga negara Indonesia mengadakan perang cyber dengan warga negara Malaysia menggunakan internet, twiter, youtube, chatting dll, sayangnya Indonesia belum mewadahinya menjadi bagian dari kamnas, karena UU Kamnas sampai sekarang belum selesai. Berbeda dengan negara jiran yang lalu mewadahi secara struktural dalam sistim keamanan nasionalnya. Apakah Indonesia akan membeiarkan selalu kalah langkah dalam mengambil keputusan strategis seperti ini. Jawabannya tentu saja tidak, lalu bagaimana, siapa yang mengkoordinirnya, Kemhankah atau kominfo atau Wantannas atau institusi lain? Dampak negatif bagi kehidupan masyarakat atas penggunaan situs jejaring sosial tersebut antara lain adalah maraknya pemberitaan yang bernuansa SARA meskipun UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Bab VII telah mengatur Perbuatan Yang Dilarang. Larangan yang dimaksudkan diantaranya adalah larangan bagi setiap orang untuk dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi bermuatan SARA, menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu. Dampak negatif lainnya adalah tindak pidana penipuan melalui internet, kejahatan terrorisme, penipuan melalui facebook, indoktrinasi radikalisme melalui website, chatting, penyebaran gambar, video dan counter narasi yang menyudutkan kelompok tertentu. Dengan demikian akar persoalan cyber space bagi Indonesia antara lain: a. UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada hakekatnya merupakan perkembangan hukum cyber atau hukum telematika yang relatif baru, kurang luas dalam sosialisasinya, implikasinya masyarakat kurang memahami hakekat tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan larangan-larangan yang terkandung di dalamnya. Masyarakat luas pada umumnya belum sepenuhnya memahami substansi materi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (khususnya Bab VII pasal 27 dan pasal 28) dan sanksi hukum yang ada. Mudahnya akses dan tidak adanya pembatasan atau ketentuan persyaratan apapun dalam pemanfaatan jejaring sosial, sehingga riskan untuk disalah gunakan untuk kepentingan yang tidak baik/melanggar hukum, seperti penipuan lewat toko on line, facebook. Akibat masih terjadinya fanatisme sempit pada sebagian individu/kelompok masyarakat tertentu sehingga memanfaatkan jejaring sosial sebagai media efektif untuk kepentingan negatifnya, contoh aramah.com, penggalangan dana FPI dengan mencantumkan no rekening dan radio FPI lewat internet. Masyarakat pengguna jejaring sosial sering lepas kontrol dalam aktivitas komunikasinya sehingga tidak mengindahkan kaidah etika/moral berkomunikasi. b. Masyarakat Indonesia bersifat majemuk dalam pengertian banyak suku-etnis, agama, golongan dan struktur sosialnya masih diwarnai oleh kesenjangan yang cukup signifikan. Pada kondisi tertentu memiliki potensi untuk mudah dihasut/diadu domba dengan memanfaatkan isu SARA, tidak mustahil dapat menimbulkan anarkhisme dan destruktif. c. Reformasi nasional meski telah menghasilkan berbagai kemajuan, namun juga menimbulkan ekses negatif antara lain kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat di muka umum kerap dilakukan dengan mengabaikan kebebasan orang lain/kelompok lain. d. Aparat penegak hukum kerapkali gamang ketika berhadapan dengan kerumunan massa (crowd) yang seringkali tidak terkendali dan cenderung melakukan tindakan destruktif. Kegamangan aparat penegak hukum antara lain khawatir dianggap melanggar HAM jika melakukan upaya penertiban terhadap massa beringas. Untuk mengantisipasi dan mencari solusi terbaik atas aktivitas pada jejaring sosial pada dunia maya (cyberspace) perlu dibuat regulasi secara komprehensif. Disamping itu diperlukan koordinasi dan kerjasama terpadu antar instansi terkait dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengambil langkah antisipasi dan solusi masalah ini mulai dari SDM, regulasi dan pengawasan yang ketat. 8. Membenahi Ketimpangan antar Negara Kemampuan Ekonomi dan politik yang berbeda antara negara negara ASEAN telah menimbulkan ketimpangan bagi negara-negara regional yang berdampak langsung pada kemampuan masing-masing untuk menangani cyberspace. Negara-negara yang lebih maju secara ekonomi dan politik lebih terbuka memiliki kapasitas yang lebih besar untuk mengatasi ketidak amanan dunia maya, dibandingkan negara-negara miskin dan lebih represif. Selain itu, perbedaan dalam konektivitas internet memiliki korelasi langsung dengan modernisasi ekonomi suatu negara serta dengan integrasi dengan proses pembangunan global. Faktor-faktor yang mendasari dan kehadiran cyber yang mengakibatkan masing-masing negara, pada gilirannya, memiliki efek langsung pada jenis keamanan cyber dan tantangan yang mereka hadapi. Disamping itu juga perbedaan budaya di antara negara-negara ASEAN yang secara signifikan berpengaruh terhadap antisipasi dan solusi masalah cyberspace. Pembangunan ekonomi dengan kemajuan yang tinggi dan sistem politik yang lebih demokratis tidak secara otomatis menjamin berlakunya norma-norma dan nilai-nilai yang sama dengan negara-negara maju lainnya. Seperti halnya di Jepang, Singapura, di mana situs porno tidak selalu dilihat sebagai ancaman, berbeda dengan negara lainnya, dimana warganya tidak menyetujuinya untuk mengakses materi tersebut. Selain itu, tingginya tingkat pembangunan ekonomi dan sosial, ditambah dengan tingginya penetrasi internet tidak menjamin keamanan untuk meng akses internet. Indonesia, Singapura, negara yang secara sosio-ekonomi telah maju, akses ke situs web diperbolehkan tetapi beberapa negara regional dan internasional lainya masih menolaknya. Khusus untuk Indonesia sudah mulai mengontrol dan memblokir situs internet porno, walaupun belum semuanya berhasil di kendalikan. Dengan demikian jelaslah bahwa dunia maya menimbulkan masalah keamanan yang baru bagi hukum dan ketertiban suatu negara yang memerlukan aturan penegakan hukum sendiri, serta menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan ancaman. Oleh karena cyber space dengan cybersecurity dan cyberterorism-nya saling berhubungan didunia maya, yang tidak terikat oleh aturan kedaulatan dan non-interferensi dengan segala kosekuwensinya yang memerlukan pembenahan tersendiri. Oleh karena itu ketimpangan antar negara dalam menangani dunia maya cyberspace, perlu direducer dengan kerjasama antar negara ASEAN melalui sharing knowledge, pelatihan/workshop dan confference secara berkala dan kerjasama secara nyata dilapangan untuk mengatasinya. 9. Regional Responses Pendekatan regional untuk ancaman keamanan bukan merupakan hal yang baru. Sejak berdirinya Forum Regional ASEAN pada tahun 1994, negara-negara Asia Timur dan mitra dialog ekstra-regional telah membahas cara-cara untuk mengurangi ketidakamanan regional. Paska serangan bom teroris 9 September terhadap AS, organisasi regional lainnya seperti APEC juga telah memasukkan isu-isu keamanan regional pada agenda kebijakan mereka. Dalam pengertian ini, penanganan ancaman keamanan cyber sudah memperoleh manfaat adanya mekanisme penanganan keamanan regional. Dengan demikian, negara harus berusaha untuk mengatasi kekurangan dalam kapasitas cyber, dengan bekerja sama dalam organisasi regional seperti ASEAN-institusi terkait dan APEC, untuk mengurangi tantangan yang ditimbulkan oleh ancaman keamanan cyber. 10. ASEAN & ASEAN Regional Forum Tindakan ASEAN dalam mengamankan dunia maya telah dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, telah terjadi upaya umum untuk meningkatkan kapasitas regional dan sumber daya melalui proses e-ASEAN yang dimulai sejak 1999. Kedua, telah terjadi serangkaian upaya yang lebih eksplisit untuk mengamankan dunia maya dari subversi keamanan nasional secara transnasional, khususnya yang bersumber dari kegiatan organisasi kriminal dan teroris. Ada juga subfocus pada aspek pengembangan cyber, yang dianggap kritis - jika hanya untuk membantu mengatasi apa yang dilihat sebagai akar penyebab kejahatan dan terorisme yang meluap ke dunia maya regional, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Sampai batas tertentu peristiwa 9/11 memberikan dorongan upaya untuk melakukan sekuritisasi keamanan cyber di tingkat regional. Namun, upaya itu sangat politis, dengan tanggapan utama melakukan studi tentang sistem hukum negara-negara regional, pertukaran informasi, dan upaya untuk mengembangkan perjanjian ekstradisi. 11. Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Berkaitan dengan APEC, suatu lembaga dengan basis keanggotaan yang jauh lebih luas, telah menghadapi tantangan serupa tetapi berbeda dalam melindungi anggotanya terhadap ancaman cyber. Sebagai lembaga ekonomi tanggapan APEC untuk masalah cyber dan ancamannya telah berfokus pada isu-isu seperti e-commerce, pencurian identitas, dan perkembangan terkait, akhir tahun 1990 beralih pada aspek pidana dunia maya (khususnya keamanan informasi), dan kemudian pasca 9/11 fokus pada terorisme cyber. Selanjutnya, ditengarahi ada kesenjangan digital yang jauh lebih besar antara anggota APEC daripada yang ada antara anggota ASEAN. Fokus bisnis yang diberikan oleh anggota APEC, jauh lebih baik daripada ASEAN. Seacara proaktif, baru-baru ini, organisasi masyarakat sipil yang terlibat dengan sektor bisnis memastikan bahwa kegiatan perusahaan memiliki input dan dukungan seluas mungkin untuk masalah ini. Hal ini tercermin dalam kolaborasi APEC dengan OECD - seperti lokakarya Malware pada bulan April 2007 - dan joint workshop antar anggota APEC-ASEAN pada Jaringan Keamanan, yang memungkinkan kedua peserta untuk berinteraksi dan berbagi pengetahuan dan praktik. 12. Respon Internasional Sementara inisiatif regional mendapat pujian yang baik, tantangan dalam memerangi ketidakamanan maya juga dilaksanakan di tingkat internasional yang lebih luas. Uni Eropa (UE), telah mengembangkan salah satu perjanjian keamanan maya paling komprehensif bagi setiap organisasi transnasional. Pada akhir 1990-an Uni Eropa secara resmi mulai mempertimbangkan dampak destabilisasi ancaman maya bisa saja terjadi pada negara-negara anggotanya, pasar dan masyarakat. Hasil akhirnya adalah 'instrumen yang mengikat secara hukum' yang disebut Konvensi Eropa tentang Cyber-Crime 2001 (Konvensi Budapest), dianggap sebagai perjanjian untuk menangani masalah keamanan cyber di tingkat domestik dan regional. Selain itu, masuknya Kanada, Jepang, Afrika Selatan dan Amerika Serikat dalam proses penyusunan Konvensi yang berarti, telah memiliki jangkauan melampaui batas-batas Eropa. Bagian kunci dari Konvensi adalah yang berkaitan dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan jangkauan hukum transnasional dan pengejaran pelaku kejahatan cyber di seluruh perbatasan. Pada pertengahan tahun 2004, penanda tangannan Konvensi telah meluas mencapai 37 negara. Dalam hal kerja sama transnasional, Konvensi mewajibkan negara-negara yang meratifikasinya untuk memberikan kerjasama yang seluas-luasnya. Dalam menciptakan instrumen mengikat CoE dan semua mitra penyusunan mencari masukan sektor swasta serta organisasi-organisasi masyarakat sipil. Sementara beberapa kelompok memiliki kepentingan mengenai isu-isu kebebasan privasi dan individu, adopsi Konvensi yang cepat pada wilayah politik di mana hak-hak sipil dianggap penting juga merupakan sinyal penerimaan luas. Selain itu, hal ini semakin menjadi standar global, baik untuk kerjasama maupun praktek-praktek terbaik. Dengan demikian, di tingkat internasional, Uni Eropa memberikan contoh respon kebijakan transnasional untuk mencari solusi politik yang dirasakan untuk menangani tantangan keamanan. 13. Pelajaran Yang bisa dipetik (Lesson Learned) a. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) Cyberspace seperti internet dan peralatan komunikasi lainnya membawa kemajuan yang berdampak positif untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia ini dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari segala penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Dari sisi negatif Kejahatan menggunakan sarana internet dapat menembus ruang dan waktu, tidak ada batas negara, tidak mengenal yurisdiksi, dan dapat dilakukan dari mana saja dan kapan saja. Sementara itu Peraturan perundangan untuk menjerat pelaku kejahatan ICT saat ini masih ketinggalan dibanding kemajuan teknologi dan kejahatan ICT. Indonesia sebagai pengguna internet terbesar di Asia setelah China, pengguna facebook terbesar didunia rawan terhadap serangan cyberspace utamanya cyber terrorism, radikalisme, cybercrime. b. Bagi indonesia Tanggungjawab dan kewajiban untuk mengendalikan dampak ICT bukan hanya terletak pada pemerintah tetapi memerlukan partisipasi masyarakat, khususnya terhadap pelaku kejahatan ICT. c. Cyber space “cyberterorism dan cybercrime”, cybersecurity merupakan hal menarik yang sangat penting untuk diantisipasi dan dicarikan solusinya bagi keamanan nasional Indonesia dan keamanan regional. d. Keseriusan APCSS dan UNHAN Singapura dengan penyelenggaraan workshop dan konferensi menunjukkan betapa seriusnya ancaman cyber ini terhadap keamanan nasionalnya, hal ini juga dapat dilakukan oleh UNHAN Indonesia untuk melaksanakanya. e. Pengetahuan mengenai Cyber space, cybercrime dan cyber terrorism serta cyber security akan terus berkembang seiring dengan perkembangan IT. f. Dalam diskusi diketahui Negara Singapura dan Malaysia pasca peristiwa Ambalat tahun 2005, telah secara serius memasukkan cyberspace kedalam penanganan dan koordinasi pada struktur organisasi dewan keamanan nasionalnya.Indonesia belum mebuatnya secara struktur, masih dalam kemampuan individu-individu. g. Hubungan dan interaksi antar negara diperlukan bukan hanya pada saat kegiatan workshop dan confference, tetapi kelanjutannya, sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi CBM guna meningkatkan kesejahteraan dan keamanan umat manusia. PENUTUP. 14. Kesimpulan a. Kehadiran negara-negara dengan berbagai kapasitas dalam komunitas internasional membuat sulit untuk memungkinkan resolusi cepat dari suatu masalah tertentu. Cepatnya perubahan di dunia maya - dan munculnya petugas dari ancaman berbasis web terhadap negara, pasar, masyarakat dan individu - memerlukan tindakan cepat oleh aktor securitizing jika media penting melalui mana sebagian besar penduduk dunia saat berkomunikasi adalah untuk dipertahankan. Apa yang dibutuhkan Oleh karena itu struktur horizontal yang mendukung di mana negara-negara pada tingkat yang sama dari pembangunan, dengan kebutuhan yang serupa dapat bekerja sama dalam meningkatkan keamanan cyber mereka. Penciptaan tingkat regional pemerintahan telah menciptakan ruang kolaboratif dimana kegiatan horisontal tersebut dapat berlangsung. b. Dengan demikian, tantangan bagi negara dalam menangani ancaman cyber adalah dua kali lipat. Pertama, ia harus menemukan dan mengadopsi keseimbangan yang tepat antara pendekatan regional dan internasional. Kedua, di mana negara adalah anggota dari organisasi regional, perlu untuk memastikan bahwa pendekatan regional dan norma-norma internasional tidak menyimpang melainkan berkembang secara paralel. Dengan demikian, sementara isu-isu budaya bersama, sejarah dan geografi mungkin memainkan peran kunci dalam lebih tingkat regional pengembangan kebijakan keamanan cyber, kesamaan tidak boleh menjadi dasar bagi perbedaan dengan upaya internasional yang lebih luas. c. Dari rangkaian Workshop dan konferensi beberapa negara yang diadakan akhir akhir ini mengenai cyberspace, cybersecurity, cybercrime, dan cyberterorism merupakan hal baru yang perkembangannya cukup pesat dan memerlukan perhatian tersendiri. Negara-negara di ASEAN khususnya kecuali Singapura belum begitu mendalami cybersecurity, hal ini tercermin dari ancaman bersama yang ditetapkan oleh para Menteri Pertahanan ASEAN dan para Panglimanya yang terdiri dari enam hal: terorisme, keamanan maritim, Humanitarian Assistance/Disaster Relief (HADR), bencana alam, foodsecurity, dan climate change belum memasukkan cybersecurity. Mengingat perkembangan cybersecurity yang dapat berdampak terhadap keamanan nasional secara serius maka cybersecurity dapat menjadi pertimbangan tersendiri sebagai ancaman yang harus mendapatkan prioritas. d. Dalam merumuskan cyberterorism diketahui bahwa PBB maupun negara-negara Asia-Pasifik masih kesulitan karena definisi terorisme yang belum sepaham. Namun demikian peserta sepakat bahwa cyberterorism dengan tindakannya merupakan ancaman bersama yang serius, yang dapat menganggu keamanan regional dan keamanan masing-masing negara. e. Negara-negara harus mempertimbangkan apa penekanan fokus kebijakan yang harus dimiliki - apakah pendekatan regional atau global akan lebih cocok untuk kebutuhan spesifik. Hubungan antara ranah domestik dan arena global adalah bahwa dari hubungan vertikal, dengan negara memilih untuk berpartisipasi dalam organisasi internasional untuk lebih kebutuhan sendiri. Namun, kehadiran negara-negara dengan berbagai kapasitas dalam komunitas internasional membuat sulit untuk memungkinkan resolusi cepat dari suatu masalah tertentu. Cepatnya perubahan di dunia maya - dan munculnya petugas dari ancaman berbasis web terhadap negara, pasar, masyarakat dan individu - memerlukan tindakan cepat oleh aktor securitizing jika media penting melalui mana sebagian besar penduduk dunia saat berkomunikasi adalah untuk dipertahankan. Apa yang dibutuhkan Oleh karena itu struktur horizontal yang mendukung di mana negara-negara pada tingkat yang sama dari pembangunan, dengan kebutuhan yang serupa dapat bekerja sama dalam meningkatkan keamanan cyber mereka. Penciptaan tingkat regional pemerintahan telah menciptakan ruang kolaboratif dimana kegiatan horisontal tersebut dapat berlangsung. 15. Rekomendasi a. Perlunya negara-negara untuk mempertimbangkan apa penekanan fokus kebijakan harus memiliki - apakah pendekatan regional atau global akan lebih cocok untuk kebutuhan spesifik. Hubungan antara ranah domestik dan arena global adalah bahwa dari hubungan vertikal, dengan negara memilih untuk berpartisipasi dalam organisasi internasional untuk lebih kebutuhan sendiri. Menyarankan kepada Pemerintah khususnya Menkum HAM TNI, Polri, Menkominfo, untuk mengkaji kembali dan koordinasi secara bersama dalam menentukan cybersecurity beserta turunannya yang dapat berdampak terhadap keamanan nasional, serta mengkaji dan merevisi Revisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan mempercepat realisasi RUU TIPITI (Tindak Pidana Teknologi Informasi/Cyber Crime) dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya yang visioner dan akomodatif dalam mengimbangi kemajuan teknologi utamanya kejahatan lewat cyberspace. b. Mengingat cepatnya perkembangan ICT termasuk cyberspace, oleh karenanya perlu kiranya Kemhan/TNI secara serius mengkaji cybersecurity sebagai salah satu ancaman, menjabarkannya dalam doktrin pertahanan dan doktrin TNI dan petunjuk Angkatan beserta dengan kontijensinya. c. Rangkaian Workshop dan konferensi mengenai Identity, Cyberspace & National Security, Cybersecurity & Cyberterrorism merupakan hal yang sangat berguna, oleh karena itu Indonesia perlu mengirimkan personilnya untuk menghadiri kegiatan semacam ini dan mengembangkannya. Dengan mengadakan kegiatan serupa bagi pengembangan cybersecurity dan cyber deffence di Indonesia, yang dimotori oleh Kemhan/Unhan, Kemenkominfo, Wantannas, TNI, dan Polri untuk mengadakan diskusi, workshop, sarasehan, konferensi mengenai cyberspace, cybersecurity, cybercrime, dan cyberterorism. d. Kementerian terkait 1) Bersama Pemda secara terus menerus melakukan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat luas terkait dengan UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2) Bekerjasama dengan pihak swasta (pembangun situs) memperketat persyaratan pembuatan account/registrasi untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan jejaring sosial. 3) Bersama aparat penegak hukum a) Membentuk Satgas Kewaspadaan Nasional untuk melakukan pemantauan dan penelusuran setiap terjadi indikasi informasi yang disebar luaskan melalui twitter dunia maya terkait isu-isu yang bernuansa SARA yang pada akhir-akhir ini semakin meresahkan, dan melakukan blocking jika benar-benar mengarah kepada penyebaran kebencian dan permusuhan. b) Merespon dan mengimbangi berita-berita yang bersifat menghasut, menyesatkan, provokasi dengan berita-berita yang sifatnya mencerdaskan masyarakat agar berita yang di atas tidak berkembang ke kondisi yang lebih buruk. c) Mendorong pihak operator selular, berperan aktif untuk membantu penegak hukum melakukan pelacakan dan mencari bukti berita SMS yang terindikasi/berbau provokasi atau hasutan. e. Kementerian terkait bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Swasta dibantu para Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan Tokoh Pemuda: 1) Membuat aturan mengenai kewajiban identitas riil dalam menggunakan account jejaring sosial agar pengguna mempunyai tanggung jawab secara moral. 2) Melakukan koordinasi, informasi dan edukasi, pencerdasan kepada masyarakat luas agar selalu waspada dalam menyikapi setiap adanya isu-isu yang berkembang terutama yang bernuansa SARA baik pada dunia nyata maupun pada dunia maya untuk tidak mudah terpancing dan terprovokasi hasutan yang belum tentu benar sumbernya. 3) Membangun dan meningkatkan budaya etika berjejaring sosial. 4) Mengajak para orang tua untuk meningkatkan pengawasan dan bimbingan terhadap anak/keluarga dalam penggunaan jejaring sosial (cyberspace) agar tidak terpengaruh terhadap budaya yang kurang baik. 5) Mendorong peran guru, dosen, pembimbing, pemuka agama, tokoh masyarakat/adat untuk meningkatkan pengawasan secara terus menerus kepada warga masyarakat dan anak didiknya. f. Aparat Penegak Hukum : 1) Memperkuat jumlah dan meningkatkan profesionalisme personil intelijen dan cyber-crime sampai tingkat Polres guna meningkatkan fungsi pemantauan. 2) Meningkatkan kualitas SDM yang mampu menangani perangkat ICT yang digunakan Aparat penegak hukum 3) Melakukan komunikasi konstruktif, memanfaatkan Intregated Criminal Justice System (ICJS)/ Makejapol untuk menerapkan hukuman maksimal bagi para pelaku penghasutan/penyebarluasan isu-isu bernuansa SARA pada jejaring media sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar