Selasa, 24 September 2013

TINDAK LANJUT KEGAGALAN AMM PHNOM PENH: TANTANGAN BAGI SOLIDITAS ASEAN

TINDAK LANJUT KEGAGALAN AMM PHNOM PENH: TANTANGAN BAGI SOLIDITAS 
Oleh: Dr. A. YAni Antariksa., SE, SH, MM

ASEAN Pendahuluan ASEAN merupakan sebuah organisasi geo-politik dan geo ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 melalui Deklarasi Bangkok oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, pengembangan kebudayaan, serta memajukan perdamaian di tingkat regionalnya. Negara-negara anggota ASEAN mengadakan rapat umum pada setiap bulan Nopember . Brunei Darussalam bergabung pada 7 Januari 1984, Vietnam pada 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada 23 Juli 1997, dan Kamboja pada 16 Desember 1999 . Konsep pembentukan ASEAN Community (Komunitas ASEAN) dirumuskan oleh Indonesia pada tahun 2003 saat pertemuan puncak ASEAN ke sembilan di Bali. Dalam pertemuan puncak yang disebut juga sebagai “Bali Concord II”, pada tahun 2020 dideklarasikan kesungguhan ASEAN untuk mencapai kemajuan bersama dibidang ekonomi, stabilitas politik dan keamanan serta sosial. ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama, yaitu: 1) ASEAN Political Security Cooperation (APSC), akan memperkuat ketahanan kawasan dan mendukung penyelesaian konflik secara damai. Terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan akan menjadi modal bagi proses pembangunan ekonomi dan sosial budaya masyarakat ASEAN. Komunitas Keamanan ASEAN menganut prinsip keamanan komprehensif yang mengakui saling keterkaitan antar aspek-aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Komunitas Keamanan ASEAN memberikan mekanisme pencegahan dan penanganan konflik secara damai. 2) ASEAN Economic Cooperation (AEC), memberikan peluang bagi negara–negara anggota ASEAN untuk memperluas cakupan skala ekonomi, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi, meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi investor dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi perdagangan dan memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis. Disamping itu, pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN juga akan memberikan kemudahan dan peningkatan akses pasar intra-ASEAN serta meningkatkan transparansi dan mempercepat penyesuaian peraturan-peraturan dan standarisasi domestik. 3) ASEAN Socio-Cultural Cooperation (ASCC), menjadi salah satu titik tolak utama untuk meningkatkan integrasi ASEAN melalui terciptanya “a caring and sharing community”, yaitu sebuah masyarakat ASEAN yang saling peduli dan berbagi. Kerja sama sosial-budaya mencakup Kerja sama di bidang kepemudaan, wanita, kepegawaian, penerangan, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, penanggulangan bencana alam, kesehatan, pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan, dan ketenagakerjaan serta Yayasan ASEAN. Pada pertemuan puncak ASEAN yang ke 18 di Jakarta (18th ASEAN Summit in Jakarta) telah dicapai sebuah keputusan penting yakni mendorong percepatan pembentukan Visi ASEAN - “ASEAN Community in a Global Community of Nations” setelah tahun 2015, dan mencapai kepakatan platform bersama ASEAN sebelum tahun 2015. Untuk menindak lanjuti visi ASEAN tersebut (visi keamanan), dilakukan kerjasama angkatan bersenjata/pertahanan ASEAN, para menteri pertahanan ASEAN dalam pertemuan II (ASEAN Defence Ministers’ Meeting /ADMM) pada tanggal 14 Nopember 2007, sepakat untuk meningkatkan kerja sama Angkatan Bersenjata ASEAN dalam bentuk kegiatan kongkrit seperti Seminar, workshops, training, exercise, dan meningkatkan peran dan kapasitas ADMM untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan ASEAN. Dalam pertemuan tersebut juga dicapai kesepakatan bersama untuk memberikan kontribusi guna merealisasikan ketahanan dinamis APSC pada tahun 2015 . Keberhasilan regionalisasi ASEAN mendapat ujian ketika antar anggotanya mempunyai sengketa teritorial yang cukup komplek di Laut china Selatan yang berhubungan dengan kepentingan nasionalnya dibidang ekonomi utamanya. “Kegagalan Pertemuan Tingkat Menteri, ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di Phnom Penh dalam mengeluarkan komunike bersama merupakan pelajaran yang berharga yang menunjukkan perpecahan mendalam di ASEAN atas perselisihan Laut Cina Selatan (LCS). Hal ini akan mempengaruhi kemampuan ASEAN untuk menghadapi persaingan kekuatan besar yang muncul di wilayah ini, yang dapat mempengaruhi persatuan dan soliditas ASEAN, dan perannya dalam mempromosikan kerja sama antar anggotanya”. Pembahasan Hasil dari Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (AMM) di Phnom Penh pekan lalu adalah titik penting dalam sejarah ASEAN. Ini adalah pertama kalinya sejak didirikan pada tahun 1967 pendapat ASEAN terpecah dalam membahas satu masalah, hal ini telah mencegah ASEAN dari kebiasaan membuat Komunike Bersama pada akhir AMM . Di masa lalu, seperti tergambarkan dalam latar belakang diatas (pendahuluan) diatas ASEAN selalu dapat mencapai kesepakatan dengan cara ASEAN. Kegagalan untuk membuat suatu kesepakatan kali ini mencerminkan situasi yang serius. Laporan-laporan media sebelum dan selama AMM memberitakan tentang perbedaan antara beberapa anggota ASEAN atas sengketa teritorial di Laut Cina Selatan (LCS) yang didominasi AMM, bukan masalah yang lebih penting tentang kerja sama ekonomi dan fungsional lainnya di ASEAN. Filipina dan Vietnam dilaporkan sebagai negara yang ingin memasukkan dalam insiden laut terakhir di Laut Cina Selatan yang melibatkan kapal-kapal mereka dan kapal Cina sebagai referensi ke komunike bersama. Kamboja, sebagai Ketua, berpendapat bahwa penyebutan sengketa bilateral tidak sesuai untuk komunike AMM. Divisi dalam ASEAN - Kurangnya Soliditas Dan Solidaritas Masalah ini membayangi upaya ASEAN untuk lebih maju menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan mengatakan bahwa dengan tidak bisanya mengeluarkan Komunike Bersama, AMM tidak bisa mencatat masalah dan usulan untuk dipertimbangkan pada pengambilankeputusan KTT ASEAN akhir tahun ini. Tidak seperti biasanya pada masa lalu, perkembangan ini muncul karena adanya tarik menarik kepentingan dan kurangnya soliditas serta solidaritas ASEAN dalam menangani isu-isu yang menjadi kepentingan bersama untuk ASEAN. Asean terpecah dalam divisi, perbedaan pendapat yang menunjukkan menurunnya soliditas ASEAN. Apa yang terjadi pada AMM akhir akhir ini tentunya harus ditanggapi dengan serius oleh ASEAN sebagai sebuah dorongan untuk bangkit. Untuk pertama kalinya individu tertentu negara ASEAN hanya mengejar kepentingan mereka sendiri (kepentingan nasionalnya) mengabaikan soliditas dan solidaritas ASEAN dan kebiasaan menemukan kompromi untuk kepentingan bersama ASEAN. Masalah ini telah menjadi lebih menantang bagi ASEAN karena persaingan kekuatan besar muncul di daerah ini termasuk di LCS. ASEAN sedang memasuki era baru persaingan kekuatan besar yang selama ini telah diupayakan untuk dihindari sejak organisasi ini didirikan. ASEAN sekarang harus merefleksikan situasi baru dan mempertimbangkan jalan ke depan untuk memastikan soliditas dan untuk mempertahankan peran penting ASEAN di kawasan ini. Selama bertahun-tahun, ASEAN telah mampu membangun pentingnya dan relevansi sebagai platform netral dan Convenor untuk negara-negara besar untuk bertemu dengan negara-negara ASEAN dan antara mereka sendiri. Sentralitas ASEAN diakui dalam arsitektur berlapis-lapis lembaga regional seperti ASEAN +1, ASEAN +3, ARF, EAS dan ADMM Plus. Hal ini telah memungkinkan ASEAN untuk bekerja sama, termasuk dengan negara-negara besar untuk membangun kawasan yang damai dan sejahtera, sehingga meningkatkan pentingnya ASEAN secara regional dan internasional. Namun demikian menghadapi konflik LCS terjadi perbedaan pendapat (divisi) dalam ASEAN. Dinamika Konflik LCS Konflik LCS merupakan konflik cukup rumit dan menyentuh level inter-regional, sehingga kecenderungan mempertahankan status quo tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang, berhadapan dengan adanya eskalasi ketegangan politik dan militer. Hal ini mendorong negara-negara ASEAN untuk memasukkan masalah keamanan regional dalam agenda resmi ASEAN. Salah satu upaya untuk mengelola konflik tersebut adalah meningkatkan rasa saling percaya atau Confidence Building Measure (CBM). Perundingan untuk pengelolaan dan upaya pencarian penyelesaian damai konflik di LCS, sejauh ini baru pada tahap disepakatinya suatu non-legally binding code of conduct antara ASEAN dengan China, yakni saat ditandatanganinya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada KTT ASEAN-China, 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja . ASEAN sejak awal menginginkan dikeluarkannya suatu legally-binding code of conduct (COC) for the South China Sea, namun karena adanya tarik-menarik kepentingan, untuk sementara baru dihasilkan suatu “perjanjian sementara” berupa deklarasi yang akan dijadikan sebagai peraturan dalam penyelesaian sengketa di LCS. Dinamika konflik LCS menunjukkan bahwa semenjak ditandatanganinya DOC, pengembangan pangkalan militer, perlombaan senjata di kawasan LCS justru semakin meningkat, dan beberapa kali terjadi konflik militer. Masing-masing negara juga menyiapkan diri untuk mengatasi konflik dengan jalan kekerasan. Hal ini mengindikasikan bahwa kesepakatan yang ditanda-tangani dalam DOC belum efektif meningkatkan Kerja sama Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN. Selain ARF Indonesia telah melaksanakan inisiatif keamanan (Secury inisiatif) mengorganisasikan penyelenggaraan International Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea Sea, guna menurunkan potensi konflik, serta mendorong serangkaian kerja sama pemanfaatan sumber daya di LCS, termasuk kerjasama angkatan bersenjatanya, serta pembentukan Declaration of code of Conduct yang dibahas di forum ASEAN+China . DOC dapat dipakai sebagai pedoman dalam kerja sama Angkatan bersenjata negara negara di LCS. Dalam posisinya sebagai Ketua Peace Committee dalam membangun CBM Indonesia telah membantu menyelesaikan masalah Filipina Selatan dan membantu penyelesaian separatisme di Thailand Selatan melalui kerjasama Angkatan Bersenjata, mengirimkan LO. Namun demikian kerja sama Angkatan Bersenjata ini masih belum optimal karena kondisi nyata menunjukkan bahwa pelanggaran keamanan masih terjadi, berupa perompakan, penyerangan terhadap negara klaiman lain, dan ketegangan lainnya berupa pengawalan kapal kapal ikan China oleh kapal-kapal bersenjatanya, patroli kapal korvetnya menimbulkan ketegangan dikawasan ini. Hal ini karena negara klaiman tidak mentaati DOC sebagai pedoman dalam kerjasama Angkatan Bersenjata. Declaration Code of Conduct (DOC) merupakan Deklarasi yang dibuat oleh ASEAN - China, yang melibatkan negara Malaysia, Philipina, Vietnam, Brunei dan China, yang bersengketa di LCS minus Taiwan. DOC sifatnya non legally-binding code of conduct. Sengketa Laut Cina Selatan sangat kompleks dan rumit sebagaimana klaim tidak hanya teritorial tetapi juga berdasarkan sejarah. Dengan demikian, perselisihan LCS tidak akan segera terselesaikan, tetapi butuh waktu yang lama. LCS ini hanya melibatkan empat negara ASEAN dengan China dan Taiwan, dan bukan masalah ASEAN-Cina. Pendekatan ASEAN karena perselisihan harus diselesaikan secara damai antara negara-negara penuntut sesuai dengan hukum internasional dan UNCLOS, didukung oleh Declaration of Code Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) dan Pedoman Pelaksananya tahun 2011. ASEAN dan China bekerja menggunakan Kode Etik untuk memfasilitasi negosiasi antara negara-negara klaiman/yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka. Kebebasan navigasi tidak pernah menjadi masalah untuk lewat melalui Laut Cina Selatan, sebagaimana semua negara regional serta negara-negara besar memiliki kepentingan untuk menjamin kebebasan navigasi komersial, dimana sekitar separuh perdagangan dunia dan energi melalui kawasan Asia Tenggara. Munculnya Persaingan Kekuatan Negara Besar - Tantangan bagi ASEAN Dengan posisinya sebagai negara super power, Amerika memainkan peran kunci yang sangat strategis dikawasan ini. Bangsa-bangsa di kawasan ini melihat bahwa pilar keamanan di Asia-Pasifik tetap ada pada tiga kekuatan, yakni AS, RRC, dan Jepang. Meskipun dalam realita politik ketiga kekuatan tersebut merupakan faktor utama dalam keamanan kawasan Asia Pasifik, namun secara individual sebenarnya masing-masing negara mempunyai persoalan dan kepentingan sendiri terhadap kawasan. Pada posisi sekarang ini Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat menjalin hubungan militer yang cukup baik. Sehingga berpengaruh positif terhadap stabilitas keamanan regional. Kondisi sekarang ini lebih ditunjukkan oleh adanya klaim di wilayah ZEE dan keinginan China dan Jepang untuk mengembangkan Angkatan Bersenjatanya. Nampaknya terdapat penambahan anggaran yang cukup signifikan, di kawasan negara-negara regional Asia Pasifik. Apabila ditinjau dari sisi sosio-historis, beberapa bangsa di kawasan ini memiliki sejarah konflik di masa lalu, bahkan ada yang masih berlangsung hingga kini. Di samping itu, kawasan Asia dan Pasifik Selatan juga terdapat potensi konflik yang bersumber pada masalah claim wilayah. Kemampuan, kredibilitas, dan postur pertahanan China yang meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir, ternyata mendapat perhatian yang serius dari global major power countries seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Hal yang sama juga menjadi perhatian bagi banyak negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, karena ancaman terbesar justru dihadapi oleh negara-negara Asia Tenggara. Permasalahan ini dapat memicu terjadinya perlombaan senjata (arm race), polarisasi kekuatan serta mengundang kehadiran kekuatan ekstra kawasan. Klaim kepemilikan kepulauan Spratly-Paracel, yang melibatkan beberapa negara termasuk negara anggota ASEAN, Chinna dan Taiwan, dapat pecah menjadi konflik terbuka. Perseteruan tersebut dapat meluas ke perairan Indonesia, mengancam kepentingan nasional dan Stabilitas Nasional serta dapat mengganggu arus pelayaran nasional maupun internasional. Indonesia sendiri memiliki potensi konflik perbatasan dengan beberapa negara tetangga, dengan Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Philiphina. Pernyataan RRC mengenai klaim teritorial dengan garis putus-putus yang menjangkau dan tumpang tindih dengan yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna, akan menjadi persoalan yang serius pada masa mendatang dan harus diwaspadai. "Dilihat dari segi hukum internasional, peta LCS yang dibuat oleh China tersebut, dikenal sebagai "nine-dotted line", adalah bertentangan dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982. Selanjutnya Pemerintah China pada bulan Maret 2010 juga menyatakan bahwa LCS merupakan "China's core national interest" yang memiliki posisi penting yang sama dengan Taiwan, Tibet, dan Yellow Sea . Namun demikian setelah diprotes Indonesia China telah mengeluarkan peta baru yang tidak memasukkan ZEEI kedalam wilayahnya (teritorinya). Kondisi di atas diperuncing pula oleh sikap Amerika Serikat (AS), yang pada saat pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) bulan Juli 2010 lalu menyatakan bahwa AS memiliki 3 (tiga) kepentingan nasional terkait dengan LCS, yaitu: "freedom of navigation, respect for international law in the South China Sea, dan oppose to the use or threat of force by any claimant". Bahkan, terkait dengan Declaration of Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC), AS juga memfasilitasi bagi proses penyelesaian secara menyeluruh atas pembahasan DOC, yang mana hal ini ditentang dengan sangat keras oleh China. Jepang sebagai negara industri besar pada milenium ketiga akan membutuhkan energi yang sangat banyak sehingga dengan demikian sangatlah mungkin negara ini akan menggunakan kekuatannya untuk mengamankan jalur SLOC dan SLOT. Jepang menganggap memiliki kewenangan untuk mengamankan kapal-kapalnya sampai 1000 NM ke wilayah LCS yang berarti memasuki wilayah perairan Indonesia dan perbatasan negara-negara ASEAN di Laut Natuna. Adanya negara tertentu dalam kawasan maupun ekstra-kawasan dengan konsep geopolitik dan geostrategi aktif yang dapat memicu terjadinya benturan kepentingan nasional antar negara. Australia adalah negara dengan konsep dan persepsi keamanan nasional yang mengancam integritas maupun kedaulatan negara lain di kawasan, khususnya Indonesia. Australia juga menerapkan AMIS (Australia Maritime Interdiction System) dan program pertahanan rudal jarak jauh yang dapat mengancam negara kawasan terutama Indonesia. Ambisi India untuk memegang kepemimpinan di Asia Selatan, disamping menanamkan pengaruhnya di Samudera Hindia. Di bidang Hankam, pembangunan pangkalan AL di Andaman dan pangkalan AU di Nicobar perlu diamati secara cermat apakah bertujuan untuk pengamanan Laut teritorialnya atau dalam rangka mewujudkan eksistensinya di Samudera Hindia. Demikian pula kegiatan penelitian dan pengembangan persenjataan nuklir yang mencemaskan negara tetangga khususnya, regional dan dunia pada umumnya. Sementara itu persepsi bersama negara-negara ASEAN tentang tatanan keamanan regional masih belum terbentuk secara utuh. Beberapa negara ASEAN justru terikat kerja sama dalam bidang pertahanan dengan negara-negara tertentu di luar ASEAN. Masih terdapat kecurigaan hubungan masa lalu yaitu negara Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam terikat dalam Five Power Defence Arrangement (FPDA), bersama dengan Australia dan Inggris. Philiphinna mengikat perjanjian dengan Amerika Serikat, demikian juga Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN maupun negara-negara di LCS, masih saling curiga, dan mengundang kekuatan ekstra regional untuk melindunginya. Hal ini menyebabkan mekanisme penyelesaian konflik internal negara-negara ASEAN melalui ASEAN Regional Forum (ARF) dinilai belum maksimal. Di sisi lain, kecenderungan pola hubungan antar negara di kawasan baik dalam bentuk pakta pertahanan seperti Anzus yang melibatkan Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat, maupun non-pakta pertahanan seperti China dan India dapat menimbulkan kecurigaan yang dapat memancing konflik keamanan kawasan. Pembangunan militer dan Angkatan Laut, khususnya di kawasan Asia Pasifik juga sangat signifikan. Singapura melengkapi armadanya dengan fregat multi misi kelas Lafayette (Perancis) dan Victory Class (Inggris). Malaysia akan menambah fregat Meko kelas Kedah hingga mencapai 20 buah dan kapal selam jenis Scorpene. Pembangunan kekuatan skala besar juga diperlihatkan oleh China dan India. Sementara itu, perkembangan kekuatan militer terutama Angkatan Laut negara-negara di kawasan Asia lainnya juga tidak bisa dianggap kecil. Di kawasan Asia Pasifik, Amerika Serikat menempatkan 3 pilar penopang keamanan regional yaitu security, prosperity dan democracy dengan tetap mendahulukan keamanan. Selain Amerika Serikat perlu diperhitungkan postur RRC dan Jepang sebagai aktor regional. RRC akan jadi kekuatan ekonomi dunia yang mengandalkan kepada kekuatan industri. Dengan kemajuan industri berat, RRC akan mampu memodernisasi mesin perangnya yang memang amat dibutuhkan untuk mendukung penyelesaian berbagai masalah klaim teritorialnya di LCS. RRC telah mengubah kebijakan pertahanannya dengan Island Change keduanya yang beroperasi s/d samodera Pasifik. Pengerahan kapal fregat untuk patroli di kawasan LCS, dan pembangunan pangkalan kapal ikannya di kepulauan Spratly telah mengubah perimbangan kekuatan di LCS. Adanya konflik kepemilikan Pulau, konflik perbatasan dan penanggulangan perompakan, kegiatan illegal lainnya di LCS telah menambah persoalan keamanan dikawasan ini. China cenderung menujukkan hegemoni kekuatannya baik politik, ekonomi dan pertahanan diikawasan ini dan cenderung menjadi ancaman, utamanya bangsa ASEAN. Perkembangan di LCS menjadi tidak menentu dan menegangkan setelah China, Vietnam dan Philipina sama-sama melanggar kesepakatan damai. Baru baru ini Tiga anggota Kongres Filipina melakukan kunjungan ke salah satu pulau di kawasan itu, pada hari Rabu tanggal 20 juli 20011, dan China mengecam kunjungan itu bisa mendestabilkan kawasan . Perhatian tentang konflik LCS menjadi agenda penting pertemuan para menteri luar negeri ASEAn, yang dihadiri juga Menlu AS Hillary Clinton, dikenal sebagai ASEAN + 4. (ASEAN, Korea Selatan, Jepang dan China, AS), dimana sehari sebelumnya dalam paket ASEAN + 3 disepakati guide line code of conduct of the south China Sea , yang diprakarsai oleh Indonesia. Perkembangan ekonomi kawasan Asia Pasifik semakin menguat di dalam percaturan ekonomi global. Kecenderungan ini membawa pengaruh langsung terhadap keberadaan perairan Indonesia, karena lebih dari 80% perdagangan di kawasan Asia Pasifik melalui garis perhubungan Laut (Sea Lines of Communication-SLOC) yang melintasi perairan Indonesia, dan angka tersebut mencapai lebih dari seperempat volume total perdagangan global. Apabila terjadi gangguan terhadap SLOC, khususnya Selat Malaka, maka dampaknya tidak hanya dirasakan oleh negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga kawasan Asia Pasifik bahkan dunia. Hal ini menyebabkan tuntutan terhadap keamanan Selat Malaka oleh negara-negara pengguna SLOC sangat tinggi. Di sisi lain, ketidakseimbangan ekonomi di kawasan Asia Pasifik, memicu terjadinya lalu lintas perdagangan ilegal dan human traficking antar negara. Jalan Kedepan Selama ini upaya yang dilakukan oleh negara-negara LCS khususnya ASEAN dalam memelihara stabilitas regional melalui kerangka kerja sama keamanan di Asia Tenggara dalam bentuk pengaturan bersama keamanan regional (Regional Security Arrangement) yang dituangkan ke dalam berbagai Forum antara lain ZOPFAN, Declaration of Asean Concord (DAC), Treaty of Amity Cooperation in South East Asia (TAC) dan Asean Regional Forum (ARF) maupun patroli terkoordinasi di selat Malaka secara kongkrit telah mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap ketertiban dunia umumnya. Indonesia mempunyai bargaining position yang cukup baik dalam meningkatkan kerja sama negara-negara LCS, ASEAN, melalui pemberdayaan APSC, serta dukungan organisasi internasional lainnya. ASEAN-China telah menjalin kerja sama keamanan dalam menyelesaikan konflik melalui forum, pertemuan, selain itu menjalin hubungan lainnya seperti bidang politik dan ekonomi. Nampaknya soliditas ASEAN mengalami ujian akibat perselisihan LCS. Perluasan EAS adalah perhatian bidang lain yang harus di perhatikan kedepan. Seperti pertemuan EAS pada bulan November 2011 telah menggeser agenda dari kerjasama ekonomi ke kerjasama politik dan keamanan, dan kerjasama fungsional yang diupayakan oleh EAS. Dengan demikian perluasan kerjasama masa depan menjadi tidak pasti dan tantangan kedepan bagi sentralitas ASEAN bila tidak bisa mengatur agenda dan mendorong proses. Jalan kedepan ASEAN harus kembali kesoliditas dan solidaritasnya dengan cara ASEAN yang telah ditempuh selama ini untuk kemakmuran bersama. Era baru munculnya persaingan kekuatan besar di wilayah ini, termasuk peningkatan keterlibatan AS 'di kawasan Asia dan pivot atau kembalinya keseimbangan pasukan militernya di Asia Pasifik serta respon Cina terhadap strategi AS. Persaingan ini berdampak pada ASEAN sebagaimana telah ditunjukkan dengan jelas intervensi AS dalam sengketa LCS pada pertemuan ARF pada Juli 2010, dan penolakan China terhadap keterlibatan eksternal serta partisipasi regional dalam sengketa bilateral. Penutup Dari uraian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa AMM telah terganggu dari tujuan utamanya dan tujuannya akibat perselisihan LCS yang tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Negara-negara ASEAN perlu mengakui bahwa kerjasama ASEAN harus dilanjutkan di bidang fungsional ekonomi dan fungsi lainnya, dimana persatuan ASEAN sangat penting untuk kesejahteraan semua anggotanya. Di masa lalu, ASEAN telah mampu berkembang seperti selalu bisa menemukan kompromi melalui "cara ASEAN" ketika mereka menemui perbedaan. Oleh karena itu direkomendasikan ke depan, ASEAN perlu meninjau apa yang telah terjadi di AMM dan dalam beberapa kali serta mempertimbangkan bagaimana ia bisa mendapatkan kembali soliditas dan solidaritas bagi ASEAN untuk mempertahankan relevansi dan peran di kawasan untuk kepentingan ASEAN lebih lanjut. SEMOGA BERGUNA BAGI PEMBACA SEKALIAN -------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar